“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006
Oleh Pormadi Simbolon
Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006. Salah satu “roh” atau semangat mendasar yang penting dipegang oleh semua pihak, menurut hemat penulis adalah poin “h” pada bagian Menimbang, yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.
PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Kita patut menyambut baik produk PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 ini dengan sikap mengedepankan “roh” kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.
Kerukunan Umat Beragama
Definisi kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).
Defini tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).
Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.
Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.
Sekali lagi peran pemerintah tersebut hanyalah sebagai fasilitator, dan pemeran utama adalah setiap umat beragama. Hal ini pernah diutarakan mantan Presiden Soeharto dalam salah satu sambutannya semasa memerintah. “Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila pejabat pemerintah mempersukar atau menghalang-halangi kegiatan keagamaan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan ibadah agama itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat (sambutan Presiden Soeharto pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 29 Januari 1980 di Istana Negara).
Kerukunan Nasional
Kita patut mensyukuri kemajemukan bangsa kita. Teristimewa kemajemukan agama. Itulah sebabnya roh kerukunan yang terdapat pada PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 itu menjadi bagian penting dari kerukunan antar umat beragama menuju keadaan kerukunan nasional.
Kemajemukan bangsa kita dapat menjadi aset pembangunan bangsa sekaligus ancaman kehancuran bangsa yang mengarah pada fragmentasi. Semua komponen bangsa (aparatur negara dan masyarakat) wajib memelihara dan membangun kerukunan nasional agar tidak terjadi keterpecahbelahan bangsa dan macetnya pembangunan nasional.
Kerukunan nasional memang tidak didefinisikan dalam PBM Menag dan Mendagri No 9/8 Tahun 2006 tersebut. Namun pengertian dan maknanya tentu mencakup kerukunan segenap warga negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan kerukunan nasional adalah keadaan hubungan sesama warga negara Indonesia yang hidup bersama dan dilandasi visi kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemeliharaan kerukunan nasional adalah imperatif bagi semua umat beragama, masyarakat keseluruhannya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Roh PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 tersebut menandaskan bahwa kerukunan nasional merupakan bahagian penting dari perwujudan kerukunan hidup antar umat beragama. Dengan perkataan lain, kerukunan nasional dapat tergapai bila kerukunan umat beragama sudah diupayakan dan dipelihara bersama. Dalam arti ini kehadiran PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 tahun 2006 patut disambut dengan lapang dada. Sebab ada roh kerukunan sebagai penggerak bersama dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat. Beberapa pihak memang masih merasa tidak puas. Tetapi kalau semua pihak berpegang pada roh kerukunan yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional maka Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera pelan-pelan bisa dituju.
Kita semua berharap, sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 nantinya seyogiyanya mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional dan juga perwujudan perbaikan keadaan bangsa dan negara di masa yang akan datang menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Dengan demikian kita tidak lagi disebut sebagai bangsa Indonesia yang pura-pura Pancasilais dan bangsa yang seolah-olah beragama, tetapi memang sungguh-sungguh bangsa Indonesia yang sejatinya melaksanakan seratus persen nilai-nilai Pancasila dan seratus persen pula ajaran agamanya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, setiap warga Indonesia bisa seratus persen Indonesia dan seratus persen pula menjadi pemeluk agamanya yang dilandasi nilai Pancasila dan nilai-nilai hak asasi manusia seperti yang dideklarasikan semua anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk Indonesia.
Penulis adalah pemerhati masalah hidup keagamaan,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang.
Trima kasih mengunjungi blog kami!
Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Senin, April 24, 2006
“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006
Label:
agama,
berita,
BIMAS KATOLIK,
departeman agama,
dialog agama,
kementerian agama,
kerukunan umat beragama,
opini,
peraturan bersama menteri
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Jumat, April 21, 2006
Cerpenku: ANGKA DI ATAS KUBURAN
ANGKA DI ATAS KUBURAN
( Pormadi Simbolon)
"Aku yakin ... Ucok pasti bisa menamatkan diri dari SMU. Ia cukup pintar, meskipun sekolah tingkat atas di pedesaan Sidikalang. Lagi pila ia sangat rajin belajar dan membantu ibunya di ladang". Inilah kata-kata yang keluar dari mulut Halomoan melihat anaknya si Ucok pergi ke sekolah.
Tengah hari itu, seusai pulang sekolah dan makan siang, Ucok langsung menyusul ayah dan ibunya bekerja di ladang. Mereka menyiangi padi yang sudah di tanam sebulan yang lalu bersama-sama dengan tetangga. Rencananya hasil padi itu akan digunakan sebagai biaya sekolah masuk perguruan tinggi, selain biaya untuk hidup. Dengan padi, ditambah dengan sedikit hasil kopi yang harganya sangat murah, menjadi bekal penerus hidup keluarga Halomoan. "Ucok, pulang kita dulu, sudah sore, bah.... Lagipula aku masih harus mengambil tuak kita di tepi tepi jurang pinggir ladang kita" pinta Halomoan.
Ladangnya memang di daerah berlembah-lembah dan bergunung-gunung. Itulah memang keadaan dataran tinggi Sidikalang, daerah tertinggal di Sumatera Utara. Di daerah bergunung-gunung demikian, terdapat deretan pohon enau yang menjadi sumber tuak bagi penduduk.
Tuak menjadi minuman penghangat badan sebelum istirahat malam. Tuak termasuk minuman pesta dan minuman khas penduduk Sidikalang, sama seperti di tempat lain. Ayah Ucok, Halomoan senang minum tuak, meskipun sedikit, selebihnya dijual di emperan, dan menjadi tempat penduduk berkumpul sambil minum tuak. Kadang-kadang kalau pohon enau lagi tidak "bertangan", Halomoan mengolah tuak dari "tangan" pohon kelapa. Tuak dari kelapa, merupakan hal biasa. Rasanya juga, kadang-kadang lebih enak dibandingkan dengan tuak dari pohon enau. Hal itu sudah dibuktikan para tetangga. "Rasanya, lebih enaklah, tuak kelapa" kata Sinaga pelanggan setia tuak Halomoan.
Hampir setiap sore hari, para bapak-bapak berdatangan ke "warung mini" Halomoan. Tuak kadang-kadang membawa rejeki bila lagi banyak airnya. Lumayan, bila tuak sampai 5 liter per hari. Tuak menjadi penghasilan tambahan, meskipun hanya untuk membeli gula pasir dan minyak goreng masing-masing satu kilo. Ya... mengurangi pengeluaran.
*******
Pagi-pagi benar Halomoan cepat bangun. Ia membuatkan kopi untuk dirinya. Membuatkan kopi bukanlah haruas dilayani istri. Itulah kebiasaan keluarganya. Lalu langsung berangkat ke ladang memulai pekerjaannya. Sedangkan istrinya, Ria Uli memasak sarapan pagi untuk suami dan anak-anak yang sudah siap pergi ke sekolah. Maklum anak-anak harus cepat bangun karena jarak rumah dengan sekolah cukup jauh. Lagi pula harus ditempuh dengan jalan kaki. Kalau betis-betis anak-anak sekolah besar-besar ukurannya, maka itu disebabkan latihan jalan setiap pagi dan pulang dari sekolah.
Setelah anak-anak sarapan dan pergi ke sekolah, barulah Ria Uli menyusul suaminya ke ladang sambil membawa sarapan. Saat itu jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia tidak langsung mengajak suaminya sarapan. Ia ikut membantu suaminya menyiangi tanaman padi mereka. "Ibu Ucok, sarapanlah dulu kita, sudah pukkul sepuluh !" ajak Halomoan kepada istrinya. Perut memang sudah lapar dan harus diisi. Begitulah kebiasaan penduduk setempat yang mayoritas bermata pencaharian dari hasil ladang atau pertanian. Itulah gambaran kebanyakan petani-petani ladang di Sidikalang, kota kabupaten yang bergunung-gunung atau berbukit-bukit.
Sore itu Sinaga bersama tetangga lain kembali datang memesan tuak. Sitanggang , salah satu teman Sinaga, ikut juga hadir di warung mini Halomoan. Sitanggang yang masih serumpun dengan marga Halomoan yakni Simbolon, merupakan pecandu tuak. Selain pecandu tuak, Sitanggang mempunyai misi judi togel, judi dengan tebak angka, dulu dikenal SDSB atau Porkas. Ia menawarkan dan menjual lembaran togel kepada semua orang yang ikut minum tuak. Judi togel memang sudah terkenal dimana-mana. Tak terkecuali di pedesaan Sumatera Utara. Togel menjadi pembahasan penduduk, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu hingga ke pemuda-pemuda pengangguran. Kalau dulu para parmitu (Peminum tuak) berbicara lapo (lapangan politik), main catur dan lomba tarik suara, sekarang togel menjadi pembahasan utama. Barangkali togellah yang membuat berkurangnya pengaruh keramaian demo politik atau demo buruh di daerah ini. Kalau di daerah lain, banyak penduduk ikut demo apalagi ada yang menjarah toko-toko orang-orang Cina yang dikenal sangat tertutup dengan kelompoknya.
"Tadi malam aku bermimpi bah ! Mimpiku tentang orang gila". Kata Sinaga setelah membaca buku tafsir mimpi, yang disediakan Sitanggang. "Orang gila ? Mari kita bahas, buku ini memang menyediakan seribu satu tafsir mimpi" jelas Sitanggang. Lalu ia menunjukkan dalam buku tafsir yang mereka sebut juga buku esek-esek nipi (buku tebak mimpi), sebuah gambar orang gila dan di atasnya terdapat angka delapan tujuh. Lalu Sinaga membeli lima lembar kertas togel dengan maksud menuliskannya dalam lima tebakan. Menurut Sitanggang, tafsir mimpi tidak boleh ditafsirkan bulat-bulat dengan satu kali tebakan. Angka dari mimpi harus dibahas lagi dalam aneka tebakan. Kiat tersebut ternyata berhasil. Sinaga mendapat Rp 75.000,- untuk satu lembar dengan tebakan dua angka.
Menyaksikan Pak Sinaga yang mendapat rejeki tersebut, Halomoan akhirnya tertarik dengan judi togel. Harganya murah kok per lembar. Setiap lembar untuk tebakan versi dua angka hanya Rp 500,- saja, untuk versi tiga angka Rp 1.000,- dan untuk versi empat angka Rp 5.000,- dan untuk versi enam angka Rp 10.000,-. Itulah yang muncul dalam benaknya. Lebih menarik lagi, hadiah-hadiahnya cukup besar, untuk dua angka sebesar 75.000 rupiah, untuk tiga angka sebesar 300.000 rupiah, untuk empat angka sebesar 10.000.000, untuk lima angka sebesar 50.000.000,- dan untuk enam angka sebesar 100.000.000,-. Saya bisa kaya dan membiayai sekolah anakku, pikirnya.
Tak lama kemudian, Halomoan mewujudkan angan-angannya. Diam-diam, ia mempunyai mimpi yang selama ini selalu menemaninya dalam pembaringan. Selama ini Halomoan sudah berkali-kali menceritakan mimpi anehnya. Dalam mimpi ia selalu melihat kuburan di ladangnya. Mimpi tersebut membuat ia penasaran. Apa arti mimpi saya. Syukurlah togel ini ada, dan bisa menjadi tempat penyalurannya. Demikian pemikiran akhirnya. Buku tafsir mimpi togel pun ia pinjam. Dalam buku tersebut, tampak ada kuburan. Empat angka yang berbeda terdapat di samping gambar tersebut. "Empat angka ? ... semakin besarlah hadiahku nanti" tanyanya dalam hati bercampur hati gembira. Tanpa ragu-ragu ia membeli lima puluh lembar kertas togel, versi empat angka dengan harga seribu rupiah per lembar. Diam-diam Halomoan berkeyakinan, bahwa dengan semakin banyak tebakan, semakin banyak kemungkinan untuk menang. Ia belajar dari teman-temannya yang membeli sedikit lembaran togel dan jarang sekali menang. Ia berani menghabiskan hasil penjualan tuaknya. Ia mengacak keempat angka tersebut menjadi lima puluh tebakan versi empat angka. Ucok yang sibuk melayani pelanggan warung mini ayahnya, hanya menjadi penonton dan tidak mungkin mencampuri urusan orang-orang tua. Ucok hanya diam ketika melihat rencana ayahnya, dan ia sebagai anak mendoakan "usaha" ayahnya berhasil. Namun Ria Uli tidak tahu-menahu tentang langkah suaminya, sebab ia sibuk memasak di dapur untuk makan malam mereka. Halomoan sudah menyerahkan semua lembaran togel ke Sitanggang, tinggal menunggu pengumuman pada minggu berikutnya.
******
Dalam penantian penuh harapan, Halomoan tetap melakukan pekerjaannya. Kali ini begitu luar biasa semangatnya bekerja di ladang yang berada di antara dua perbukitan indah. Dalam benaknya, ia punya segudang angan-angan. Salah satu angan-angannya jika menjadi pemenang togel nanti adalah akan menggunakan uang tersebut untuk membeli seratus lembar togel lagi dalam versi enam angka.
Satu minggu berlalu tanpa terasa. Halomoan langsung mendatangi rumah Sitanggang, agen togel desanya. Ternyata satu dari lima puluh tebakan Halomoan benar dan ia menjadi satu-satunya pemenang di desa itu. Betapa mendalam kegembiraannya. Kegembiraan tersebut ia bagikan juga dengan Sitanggang. Ia memberikan lima ratus ribu kontan kepada agen togel tersebut. Lalu ia pulang sambil membawa uangnya. "Enak sekali hidup ini, dalam seminggu aku bisa mendapatkan uang sebesar 10.000.000 rupiah" ucapnya dalam hati. Dekat rumah, istri dan anaknya, Ucok melihat Halomoan berjalan cepat-cepat dan dengan gembira. Ucok tidak curiga, ia tahu ayahnya pasti dapat uang karena togelnya. "Ayah, minggu lalu membeli togel, ia pasti menang", kata Ucok pada ibunya. Halomoan langsung menunjukkan plastik kresek tempat uang tersebut pada istrinya. "Kita akan menjadi kaya, dan akan semakin kaya lagi dalam minggu-minggi mendatang" katanya dengan suara meyakinkan. " Pak, bernasib benar kita hari ini, bapak pasti setuju jika sebagian uang tersebut untuk dana melanjut ke Perguruan Tinggi di Medan" kata Ucok sambil merayu bapaknya. Halomoan hanya senyum, tanpa mengatakan sepatah kata juga. Rencana Halomoan kali ini makin bertambah. Dengan uang kurang lebih sepuluh juta, ia membangun tugu nenek moyangnya di Samosir dengan biaya enam juta, belum termasuk acara adat dan makan bersama, yang besarnya satu juta. Memang membangun tugu nenek moyang atau marga merupakan suatu kebanggaan orang-orang Toba. Dengan membangun tugu, status sosial menjadi lebih terpandang dan dihargai penduduk. Halomoan menjadi terkenal karena bisa menaikkan status keluarganya. "Kehebatan" Halomoan menjadi pembicaraan penduduk.
*******
Tanpa pikir yang lain-lain, diam-diam Halomoan akhirnya mewujudkan rencananya. Ia membeli seratus lembar togel versi enam angka, jadi seharga satu juta rupiah. Kali ini ia bermaksud menajdi pemenang seratus juta rupiah. Betapa tingginya impian Halomoan. Rencananya membuat ia selalu berdoa supaya mendapat mimpi lagi. Tiap malam ia berdoa minta kepada Tuhan supaya diberi mimpi versi enam angka. Satu minggu berlalu, namun mimpi belum juga datang. Hal itu tidak membuat ia putus asa. Sejenak ia merenung. Lalu akalnya muncul. Ia pergi ke Datu atau dukun peramal. supaya diberi angka atau petunjuk. Dukun, yang mereka sebut datu memberi syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya Halomoan harus menyediakan dan menyembelih ayam berwarna hitam pekat dan tak bercacat. Ayam itu harus disajikan di atas lemarinya dengan mengucapkan permohonan mimpi. Malam itu juga, ia memenuhi seperti perintah datu tersebut. Setelah mencari ayam hitam, lalu menyembelih dan menyajikannya dalam talam di atas lemarinya dan mengucapkan permohonannya.
Pagi-pagi hari Minggu itu ia agak telat bangun, sedang istrinya sudah lama bangun dan memasakkan ubi untuk sarapan mereka. Sekali lagi, ia kembali bermimpi tentang kuburan di tengah-tengah ladangnya. Keanehan mimpi tersebut tidak membuat Halomoan heran dan ragu-ragu.
Halomoan langsung membahas mimpinya dengan buku tafsir mimpi di tangan kirinya. Kelihatanlah tetap empat angka yang sama dan tidak berubah. Lagi-lagi ia tidak terlalu heran. Barangkali keempat angka ini harus diacak dan menjadikannya seratus tebakan versi enam angka. Demikian timbul dalam pikirannnya. Semua angka hasil bahasannya ia tuliskan satu persatu pada lembaran yang sudah tersedia di kamar tidurnya. Dalam tiga jam, ia dapat menyelesaikan "pekerjaannya". Pada hari itu juga ia pergi ke rumah Sitanggang menyerahkan lembaran-lembaran togelnya. Ia rela tidak masuk gereja demi seratus juta rupiah.
******
Minggu itu merupakan minggu pertama dalam bulan Mei. Ucok yang memilih jurusan ilmu eksakta selama ini sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir nasional. Ucok merasa yakin sudah siap menghadapinya. Selain pintar, ia rajin belajar baik pada malam hari maupun pada pagi-pagi kira-kira pukul empat. Ia membagi jadwal begini : malam hari mengerjakan pekerjaan rumah atau soal-soal latihan. Pagi-pagi ia mempelajari bahan yang akan diberikan gurunya. Hal itu dijalankannya seturut nasehat gurunya si Pandiangan.
Tidak sia-sia semua usaha Ucok selama ini. Ia dapat menamatkan diri dengan nilai ujian akhir nasional dengan total nilai empat puluh sembilan. "Hebat juga saya .... bah. Aku bisa mencapai nilai rata-rata tujuh. Aku hampir menyamai kedudukan juara umum se- Kabupaten Dairi dengan nilai lima puluh empat dari jurusan ilmu eksakta" puji Ucok pada dirinya. Tahun ini menurut panitia ujian, nilai-nilai ujian akhir nasional merosot, sama seperti di beberapa daerah lain. Tahun lalu nilai tertinggi mencapai 63 untuk jurusan ilmu sosial.
Ucok bangga karena dapat memenuhi harapan ayahnya selama ini. Langkah berikutnya, tinggal memikirkan jenjang ke perguruan tinggi.
******
Sebagian impian Halomoan sudah terwujud. Kali ini kembali teringat bahwa ia harus menyekolahkan anaknya sampai setinggi-tingginya. Sebab bagi mereka, anakkhon ki do hamoraon di au. Semboyan yang berarti "anakku merupakan kekayaan bagiku" tersebut merupakan prinsip bagi kebanyakan orang Toba. Banyak orang Toba rela tanpa ganti pakaian baru dan dengan makanan yang sederhana, asal saja anaknya dapat melanjut sekolah setinggi-tingginya. Demikianah pula prinsip Halomoan terhadap anak tunggalnya. Impian untuk menyekolahkan anaknya tersebut digantungkan pada togel versi enam angka yang akan diumumkan besok Minggu.
Ketika hari pengumuman togel tiba, ia dengan penuh harapan menuju rumah Sitanggang yang jaraknya kira-kira sepuluh rumah dari sebelah kiri rumahnya. Sitanggang, yang pernah mendapat persenan, menyambutnya dengan sangat hormat dan hati-hati. Lalu ia memberi lembaran pengumuman yang datang dari bandar pukul tujuh pagi tadi. Halomoan menerima lembaran tersebut seraya bertanya "Angka berapa keluar Tanggang". Namun, ia tidak mempedulikan jawaban pertanyaannya. Ia langsung melihat dan melihat sungguh-sungguh kertas berwarna-warni dan berukuran kwarto tersebut. Tak percaya, ia melihat kembali semua angka tebakannya dan mencocokkannya dengan versi enam angka yang keluar.
Akhirnya, ia baru yakin. Tak satu pun angka tebakannya persis mengena dengan pengumuman. Namun ada satu tebakan yang membuat ia penasanan. Dari enam angka tebakannya, angka paling di ekor tidak mengena, selebihnya persis mengena. Inilah yang membuat wajahnya semakin memerah. Ia mulai marah dan hendak membunuh datu peramal si pembohong. Sambil heran dan tak percaya ia pulang ke rumah. Semakin lama, ia semakin marah dan pusing-pusing. Ia melangkahkan kaki dengan tidak teratur. Ucok dan Ria uli, ibunya sudah menanti sang bapak. Suasana tempat mereka berubah. Ucok dan Ria Uli memahami bahwa sang bapak pasti ketiban sial. Tanpa mengeluarkan kata-kata, Halomoan langsung menuju kamarnya, ia tergeletak, pusing dan stres berat. Ria Uli tidak bisa berkata apa-apa, sebab selama ini perbuatan ayahnya sudah diketahui melalui cerita Ucok.
Berhari-hari Halomoan tidak selera makan dan minum. Ia sudah lama berbaring dan mengurung diri di kamar tanpa boleh diganggu siapapun. Akhirnya Halomoan tidak bisa bergerak. Menurut mantari (dokter) desa, ia kena stroke. Ia harus opname di rumah sakit. Cepat-cepat Ucok menghentikan mobil penumpang di depan rumahnya, dan membawa ayahnya ke rumah sakit umum di kota Sidikalang, yang jaraknya dua jam perjalanan angkutan desa.
******
Sebagian penduduk bisa memahami mengapa Halomoan jatuh stroke. Sebagian lagi, memandang sebelah mata. Itulah nasib orang yang mengandalkan judi. Kalau dulu pujian berdatangan kepada keluarga Halomoan, kini hinaan datang menimpanya. Mengapa tidak gara-gara togel, Halomoan melalaikan tanaman padinya, yang selama ini hanya dikerjakan Istrinya dan Ucok anaknya.
Ucok tertegun memandang ayahnya yang belum sadar di rumah sakit. Impian untuk melanjut ke perguruan tinggi di Medan sudah pupus. Uang untuk biaya pengobatan ayahku pun sudah membengkak. Ucok hanya dapat mengeluh dalam hatinya. Semuanya pupus hanya karena angka di atas kuburan.
*(saya tulis ketika masih kuliah)
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Rabu, April 19, 2006
GENERASI MUDA: BANGKIT DAN BERGERAKLAH!
GENERASI MUDA: BANGKIT DAN BERGERAKLAH!
Oleh: Pormadi Simbolon
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa berbudaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang tinggi, bermoral merosot, dan lingkungannya rusak serta nyawa warganya gampang melayang. Sementara teriakan sekelompok kecil penentang kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut tak ampuh menghentikan arus besar “gerakan” koruptor, maling dan tokoh-tokoh busuk yang ada di republik ini. Barangkali seruan Gymnastiar (Aa Gim) untuk mengurangi kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut adalah generasi muda harus memulai dari dirinya sendiri dan dari hal kecil untuk membangun keadaban publik yang bermartabat dan terhormat.
Dewasa ini, banyak orang membahas dan meneriakkan pemberantasan KKN, namun budaya busuk dan tidak beradab tersebut tetap merajalela mulai dari birokrasi tingkat paling tinggi hingga birokrasi tingkat paling rendah. Mengapa, ternyata sejulah pejabat publik yang kita kenal publik di permukaan dan meneriakkan pemberantasan korupsi, ternyata sudah menjadi tahanan polisi karena tindakan korupsi. Ternyata ada maling teriak maling. Tidak heran, Indonesia semakin kehilangan kepercayaan dari mata dunia internasional. Sampai sekarang kebiasaan maling dan rakus masih dipertontonkan di hadapan publik bangsa dan dunia.
Betapa merosotnya moral bangsa ketika kesibukan para pejabat publik memikirkan diri, kelompok atau golongan terbatas dan pengejaran cita-cita sektarian. Mereka melalaikan cita-cita hakiki bangsa ini ketika didirikan yaitu mengejar kemaslahatan segenap rakyat Indonesia. Akibatnya, banyak rakyat kecil semakin menderita dan miskin sementara para pejabat busuk menikmati uang negara secara haram.
Egoisme dan sektarianisme para maling juga tidak mempedulikan keselamatan lingkungan. Para maling dan tokoh busuk merusak lingkungan secara sewenang-wenang dengan melakukan perusakan hutan. Baru-baru ini kita digemparkan dengan kasus illegal logging terbesar yang terjadi di Papua dan Kalimantan. Kasus tersebut sudah berlangsung selama puluhan tahun dan merugikan negara sampai triliunan rupiah. Nyatanya pencurian kayu tersebut sudah membiasa bagi para cukong jahat dan pejabat publik bermoral busuk di rebublik ini.
Di saat gerakan pemberantasan korupsi sedang berjalan, pada saat yang sama pula sejumlah pejabat publik melakukan korupsi dengan membagi-bagikan uang negara. Ingat kasus KPU yang sedang marak sekarang ini. Ini sungguh menunjukkan betapa merosotnya keadaban sejumlah pejabat publik.
Yang lebih menakutkan lagi, sekelompok anak-anak bangsa ini memiliki niat menghilangkan nyawa orang-orang tidak bersalah. Niat jahat tersebut diwujudkan dengan melakukan peledakan bom dan provokasi di tengah masyarakat. Lagi, kecurigaan yang tergesa-gesa terhadap sesama dan kegampangan tersinggung alias marah ikut mempertebal niat untuk mengorbankan nyawa sesamanya.
Kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut belum bisa di tangani pemerintah , apalagi oleh teriakan sekelompok pejuang keadilan dan kepentingan segenap rakyat. Segelintir orang saja yang berani mencoba menentang arus budaya maling dan biadab yang sudah kasat mata.
Keberanian itu amat mahal harganya. Almarhum Baharuddin Lopa harus wafat ketika ia berencana memanggil koruptor ke pengadilan. Ia kehilangan nyawanya karena kehendaknya menegakkan keadilan.
Jaksa Agung saat ini, Abdurahhman Saleh merupakan harapan publik untuk mengadili para koruptor secara transparan. Selain karena latar belakangnya yang bersih dan jujur, ia juga merupakan tokoh yang berani menentang pembebasan Akbar Tanjung sebagai tersangka koruptor. Namun sayang, ia cepat naik pitam dan marah ketika seorang anggota DPR, Anhar menyebutnya “bagai ustadz di kampung maling”. Mestinya, kritikan tersebut memacu dirinya mengadili para koruptor dan maling harta negara.
Sekarang semakin jelas di hadapan kita, bahwa tidak sedikit pejabat dan pengelola badan publik di negeri ini mempertontonkan kebiasaan busuk dan tidak beradab yaitu KKN, tindakan amoral dan “asusila”. Masalah serius yang sedang mengancam nasib bangsa menjadi penyebab rusaknya keadaban publik. Seyogiyanya, masalah tersebut menjadi keprihatinan generasi bangsa ini.
Salah satu usaha terbaik, menurut Aa Gym adalah semua orang yang berkehendak baik berpartisipasi memperbaiki keadaban publik bangsa dengan berani memulai kebiasaan beradab, bermartabat dan terhormat dari diri individu dan dari hal kecil.
Sejak Orde Baru hingga “Orde Reformasi” generasi muda bangsa ini kesulitan mencari tokoh-tokoh yang dapat dijadikan model atau teladan bagi mereka. Tak heran kebanyakan generasi muda kerap kali menjadikan para tokoh bangsa jaman pra-Orde Baru saja menjadi model. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan Mohammad Roem.
Jika kita cermati riwayat hidup, pergulatan dan perjuangannya, keluar-masuk penjara, dibuang dan diasingkan, maka kita akan sadar betapa susahnya menggapai keberhasilan secara beradab, bermartabat dan terhormat. Keunggulan individu dari tokoh-tokoh tersebut persepsi dan praksis mereka memilih hidup berjuang serba susah namun terhormat dan bermartabat demi suatu keberhasilan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Ada baiknya juga, jika segenap kaum muda bangsa ini, terutama di saat merenungkan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei tahun ini, mau belajar dari para tokoh bangsa di negeri ini.
Tak salah juga jika belajar dari tokoh dunia seperti Benjamin Franklin, mantan presiden Amerika Serikat. Ia membangun keadaban individu dari dirinya sendiri. Mari wahai generasi muda bangsaku, bangkit dan bergeraklah dari tidurmu untuk membangun keadaban bangsa secara bermartabat dan terhormat seperti yang diteladankan para tokoh bangsa dan dunia.
Benjamin Franklin mempelajari dan mempraktekkan budaya jujur, adil, ugahari, diam (tidak gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang, teguh hati, hemat, rajin, moderat, bersih (sehat), hidup murni dan rendah hari. Ketigabelas budaya beradab tersebut dipraktekkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri menjadi insan beradab, bermartabat dan terhormat. Ia tidak terkecoh dengan budaya curang rekan-rekannya.
Setiap satu dari keadaban ini dipraktekkannya dalam satu minggu. Lalu pada setiap akhir minggu, perjuangan tersebut dievaluasinya. Bila gagal dalam minggu ini, ia melanjutkannya di Minggu berikutnya. Demikian seterusnya hingga ia berhasil menjadi insan beradab.
Keadaban jujur dijalankannya untuk menjauhi tipu muslihat yang menyakitkan hati, untuk berpikir bersih dan adil serta belajar berbicara tentang apa yang benar alias tidak berbohong. Antara kata-kata dengan tindakan serasi.
Sedangkan keadaban adil dipelajarinya agar ia tidak gampang menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang merugikan orang lain atau melalaikan hal-hal yang menjadi kewajibannya.
Begitu pula keadaban ugahari didalaminya dengan belajar makan dan hidup yang cukup. Ia tidak makan dan minum terlalu banyak sehingga kelak ia tahu diri dan tidak memikirkan perutnya sendiri atau kelompoknya.
Demikian seterusnya untuk keadaban-keadaban bermartabat lainnya, digulatinya untuk membentuk diri menjadi insan beradab. Tak heran ia dipilih rakyat menjadi presiden, dan menjadi teladan bagi generasi muda bangsanya.
Generasi muda bangsa menjadi tonggak harapan perubahan keadaban bangsa yang rusak dan merosot. Kaum muda seyogiyanya berani memulai dari dirinya sendiri. Memulai dari diri sendiri memang bukan pekerjaan yang mudah. Usaha ini butuh motivasi dan kerendahan hati yaitu berangkat dari keprihatinan mendalam akan keadaban sejumlah pejabat pengelola publik di negeri ini. Upaya tersebut juga butuh kesediaan dan kerelaan secara bebas dan sadar akan susah-payah dan jatuh-bangun seperti yang ditunjukkan pengalaman Benjamin Franklin, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan Tokoh lainnya.
Tidak ada kata mundur bagi para insan beradab. Bagi mereka, usaha dan kerja keraslah yang membuat mereka menang secara terhormat. Mereka tidak picik. Mereka menghimbau ketabahannya. Memang mudah sekali untuk berhenti, namun untuk tetap tabah, itulah yang sulit. Meskipun mereka keluar dari pergulatan meletihkan dengan babak belur, patah dan takut, namun mereka tetap meneruskan perjuangannya.
Baru-baru ini, forum diskusi “Menembus Batas Nalar” yang diselenggarakan oleh Group Kompas dan Yayasan Mahardhika, mengemukakan bahwa bangsa ini perlu melakukan rekonstruksi peradaban (Kompas, 24/02/05). Rekonstruksi tersebut dibutuhkan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah dalam kondisi kritis yang amat gawat.
Menurut hemat penulis, membangun keadaban individu dari diri sendiri atau dari keluarga sendiri menjadi salah satu kunci untuk menciptakan kedaban publik yang memperhatikan keseimbangan moral dan nalar bangsa. Akhirnya tiada lagi pepatah-petitih “bagai ustadz di kampung maling” atau bila dibalik “bagai maling di kampung ustadz”. Semoga.
Pormadi Simbolon, SS, Alumnus STFT Widya Sasana Malang,
Label:
agama,
berita,
GEREJA KATOLIK,
opini,
orang muda Katolik
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
MEMBANGUN KEADABAN INDIVIDU
MEMBANGUN KEADABAN INDIVIDU
Oleh Pormadi Simbolon
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa berbudaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), bermoral merosot, lingkungannya rusak dan nyawa warganya gampang melayang. Sementara teriakan sekelompok kecil penentang budaya busuk dan tidak beradab tersebut tak ampuh menghentikan arus besar “gerakan” koruptor, maling dan tokoh-tokoh busuk yang ada di republik ini. Barangkali, salah satu usaha mengurangi budaya busuk dan tidak beradab tersebut adalah anak-anak bangsa ini harus berani membangun keadaban individu dari diri sendiri untuk membangun keadaban publik.
Oleh Pormadi Simbolon
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa berbudaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), bermoral merosot, lingkungannya rusak dan nyawa warganya gampang melayang. Sementara teriakan sekelompok kecil penentang budaya busuk dan tidak beradab tersebut tak ampuh menghentikan arus besar “gerakan” koruptor, maling dan tokoh-tokoh busuk yang ada di republik ini. Barangkali, salah satu usaha mengurangi budaya busuk dan tidak beradab tersebut adalah anak-anak bangsa ini harus berani membangun keadaban individu dari diri sendiri untuk membangun keadaban publik.
Banyak orang membahas dan meneriakkan pemberantasan KKN, namun budaya busuk dan tidak beradab tersebut tetap merajalela mulai dari birokrasi tingkat paling tinggi hingga tingkat RT/RW. Tidak heran, Indonesia semakin terkenal karena mendapat gelar salah satu negara terkorup dari tiga negara terkorup di dunia. Inilah budaya maling atau budaya tikus yang dipertontonkan anak-anak negeri di mata internasional yaitu budaya tidak beradab.
Betapa merosotnya moral bangsa ketika kesibukan anak-anak bangsa lebih memikirkan diri, kelompok atau golongan terbatas dan pengejaran cita-cita sektarian. Mereka melalaikan cita-cita hakiki bangsa ini ketika didirikan yaitu mengejar kemaslahatan rakyat banyak. Akibatnya, banyak rakyat kecil semakin miskin dan menderita.
Egoisme dan sektarianisme para maling juga tidak mempedulikan keselamatan lingkungan. Para maling dan tokoh busuk merusak lingkungan secara sewenang-wenang dengan melakukan illegal lodging. Baru-baru ini kita digemparkan dengan kasus illegal logging terbesar yang terjadi di Papua dan Kalimantan. Kasus tersebut sudah berlangsaung selama puluhan tahun dan merugikan negara sebesar triliunan rupiah. Nyatanya pencurian kayu tersebut sudah membudaya dan mebiasa bagi para cukong busuk di republik ini.
Yang lebih parah lagi, anak-anak bangsa ini memiliki budaya gampang menghilangkan nyawa sesamanya. Budaya ini jelas dari peledakan bom terencana, kecurigaan yang tergesa-gesa terhadap sesama dan kegampangan tersinggung alias marah. Nilai nyawa manusia menjadi semakin rendah dibandingkan nilai kepentingan diri atau kelompok.
Budaya busuk tersebut belum bisa dikurangi oleh sekelompok kecil pejuang keadilan dan kepentingan rakyak banyak. Segelintir orang saja yang berani mencoba memberantas budaya maling dan budaya tikus yang sudah kasat mata. Almarhum, Suprapto, mantan Jaksa Agung, merupakan salah satu tokoh yang berani mengatakan “tidak” secara lantang dan tegas kepada Presiden Soekarno.
Keberanian itu amat mahal harganya. Almarhum Baharuddin Lopa harus wafat ketika ia dengan berani memanggil tersangka koruptor. Ia kehilangan nyawanya karena kehendaknya untuk menghentikan budaya maling di negeri ini.
Jaksa Agung saat ini, Abdurahman Saleh merupakan harapan publik untuk menjadi “tonggak” perubahan budaya maling di republik tercinta ini. Selain karena latarbelakangnya bersih dan orangnya jujur, ia juga merupakan tokoh yang berani menentang pembebasan Akbar Tanjung sebagai tersangka koruptor. Namun sayang, ia cepat naik pitam dan marah ketika seorang anggota DPR Anhar menyebutnya “bagai ustadz di kampung maling”. Mestinya, kritikan ini ditanggapi sebagai cambuk untuk melawan dan mengadili para maling harta negara.
Sekarang semakin jelas di hadapan kita, bahwa bangsa ini sedang menghadapi masalah serius yaitu budaya KKN dan kemerosotan moral. Masalah serius yang sedang menggerogoti bangsa menjadi penyebab rusaknya keadaban publik. Salah satu usaha terbaik, menurut hemat penulis, adalah semua orang yang berkehendak baik memajukan kedaban publik bangsa harus berani memulai budaya beradab individu dari diri sendiri.
Dalam sejarahnya, bangsa ini mempunyai sejumlah tokoh yang memiliki keadaban individu yang pantas dijadikan model. Sebut saja Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan Mohammad Roem. Jika kita baca riwayat hidup, pergulatan dan perjuangannya, keluar-masuk penjara, dibuang dan diasingkan, maka kita akan sadar betapa susahnya menggapai keberhasilan secara beradab. Keunggulan individu dari tokoh-tokoh tersebut adalah persepsi dan praksis mereka yang memilih hidup serba susah sebagai pembebas bangsa ini dari penindasan penjajah.
Ada baiknya juga, jika setiap individu anak bangsa ini mau belajar dari Benjamin Franklin, mantan presiden Amerika Serikat (AS). Ia membangun “peradaban” individu dari dirinya sendiri.
Ia mempelajari dan mempraktekkan keadaban jujur, adil, ugahari, diam (tidak gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang,teguh hati, hemat, rajin, moderat, bersih (sehat), hidup murni dan rendah hati. Ketigabelas budaya beradab tersebut dipelajari dan dipraktekkannya lewat pengalaman jatuh-bangun untuk membangun dirinya menjadi insan beradab. Ia tidak terkecoh dengan budaya curang para rivalnya.
Setiap satu keadaban ini dipraktekkanya dalam satu minggu. Lalu pada setiap akhir minggu, pelajaran tersebut dievaluasinya. Bila gagal, ia mempraktekkannya lagi di minggu berikutnya. Demikian seterusnya hingga ia berhasil menjadi insan beradab.
Keadaban jujur dipraktekkannya untuk menjauhi tipu muslihat yang menyakitkan hari, untuk berpikir bersih dan adil serta belajar berbicara tentang apa yang benar alias tidak berbohong.
Sedangkan keadaban adil dipelajarinya agar ia tidak gampang menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang tidak adil atau melalaikan hal-hal yang menjadi kewajibannya.
Begitu pula keadaban ugahari dipelajarinya untuk belajar makan dan hidup yang cukup. Ia tidak makan dan minum terlalu banyak sehingga kelak ia tahu diri dan tidak memikirkan perutnya sendiri atau kelompoknya.
Demikian pula keadaban-keadaban lainnya, dipelajarinya untuk membentuk dirinya menjadi insan beradab. Tak heran ia dipilih rakyat menjadi presiden, selain menjadi tokoh yang diteladani warganya.
Membangun keadaban publik dengan memulainya dari diri sendiri bukanlah pekerjaan mudah, apalagi bila hal itu dilakukan di tengah maraknya budaya maling dan tikus. Upaya membangun keadaban individu membutuhkan kesediaan dan kesadaran akan susah-payah dan pengalaman jatuh bangun seperti yang ditunjukkan Benjamin Franklin, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan tokoh lainnya.
Tidak ada kata mundur bagi para insan beradab. Bagi mereka, usaha dan kerja keraslah yang membuat menang. Mereka tidak picik. Mereka mengimbau ketabahannya. Memang mudah sekali untuk berhenti, namun untuk tetap tabah, itulah yang sulit. Meskipun mereka keluar dari pergulatan meletihkan dengan babak belur, patah dan takut, namun mereka tetap meneruskan perjuangannya.
Baru-baru ini, forum diskusi “Menembus Batas Nalar” yang diselenggarakan oleh Group Kompas dan Yayasan Mahardhika mengemukakan bahwa bangsa ini perlu melakukan rekonstruksi peradaban (Kompas, 24/02/05). Rekonstruksi tersebut dibutuhkan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah dalam kondisi kritis yang amat gawat.
Menurut penulis, membangun keadaban individu dari diri sendiri atau dari keluarga sendiri menjadi salah satu kunci untuk menciptakan keadaban publik yang memperhatikan keseimbangan moral dan nalar bangsa. Akhirnya, tidak akan ada lagi pepatah-petitih “bagai ustadz di kampung maling” atau bila dibalik “bagai maling di kampung ustadz (agamawan”. Semoga.
Pormadi Simbolon,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang,
Label:
agama,
berita,
GEREJA KATOLIK,
habitus baru,
opini,
orang muda Katolik
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Conscientization Integritas Diri
Conscientization Integritas Diri
Oleh Pormadi Simbolon
Di tengah kehidupan kita sehari-hari, kita mungkin cukup fanatik untuk mengaku sebagai diri yang memiliki integritas, keutuhan dan kredibilitas. Mudah-mudahan pribadi kita benar-benar utuh atau integral. Namun disadari atau tidak, integritas diri kita diuji justru di tengah lingkungan kerja, kantor, pemerintahan dan masyarakat luas. Di sanalah aneka godaan untuk melakukan perbuatan menyimpang dan merugikan kepentingan umum, demi. kepentingan pribadi atau kelompok bisa terjadi.
Perbuatan menyimpang dan merugikan kepentingan umum adalah tindakan yang meniadakan hak-hak orang lain, seperti korupsi, penipuan, persekongkolan jahat dan persaingan tidak sehat. Akibat dari perbuatan tersebut, tugas kita sebagai pelayan menyimpang dari kesejatiannya, dan memperkosa hak-hak orang lain.
Kejatuhan kita kepada tindakan menyimpang dan merugikan orang lain disebabkan oleh keterpecahan kepribadian kita. Kepribadian kita mengalami disfungsi secara utuh.
Keterpecahan kepribadian adalah ketidakseimbangan keberadaan kualitas pribadi utuh dalam pusat diri kita yaitu cinta, (Love), ketegasan (Assertion), kelemahan (Weakness) dan kekuatan (Strength).
Keempat kualitas pribadi utuh tersebut, yang kemudian disingkat menjadi LAWS, merupakan unsur-unsur yang menjadikan diri kita berfungsi secara integral.
Hilangnya salah satu unsur atau ketidakseimbangan unsur-unsur LAWS tersebut membuat kita bertindak menurut ketidakteraturan nafsu atau insting. Kendali rasio menjadi lemah.
Tidak heran tindakan korupsi terjadi karena dorongan nafsu atau insting akan uang dan kepentingan pribadi, yang sebenarnya di dalam hati terdalamnya (deepest heart) tidak menyetujuinya. Akibatnya hak asasi orang lain menjadi korbannya.
Begitu pula, orang mungkin tidak memiliki ketegasan pada nilai atau prinsip sebagai insan beriman, bisa terjebak pada trend ikut-ikutan korupsi dan bersekongkol untuk menjatuhkan orang lain. Orang demikian menjadi plin plan dan terombang-ambing oleh pengaruh orang lain.
Kita semua pasti memiliki kelemahan. Persoalannya, tidak semua orang mampu menyadarinya. Malahan kelemahan pribadi seperti sulit menerima kekalahan dan gampang tersinggung acapkali ditutupi dengan pola pembelaan diri atau pola konfrontasi baik secara kasat mata maupun tidak.
Lalu, selain memiliki kelemahan, kita semua pasti memiliki kekuatan, keunggulan atau kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Kekuatan tersebut merupakan “modal” yang patut dibanggakan dan disumbangkan bagi orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Pada titik pemahaman ini, apakah kita benar-benar sudah memiliki integritas diri. Apakah kita sudah secara hakiki menjadi pribadi yang utuh?
Makna integritas diri perlu kita tegaskan lagi. Pribadi yang utuh niscaya mampu mencintai orang lain dengan cinta agape (universal), karena orang lain adalah sesama makhluk Tuhan. Ia pasti tegas pada nilai atau prinsip sebagai insan beriman. Juga, ia berani mengakui kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya.
Jika dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mencintai sesama manusia namun tidak tegas menolak ajakan ber-KKN, berarti diri kita tidak berfungsi secara utuh. Demikian pula sebaliknya, kita tegas terhadap nilai, namun kehilangan cinta, semuanya akan sia-sia.
Jika kita bisa mengakui keunggulan kita dan orang lain, tetapi tidak berani mengakui kelemahan kita, akan terjadi ketimpangan dan “cacat” pribadi yaitu tidak seimbang.
Maka yang terpenting adalah mencoba menyadari apakah diri kita sudah berjalan secara utuh. Kita seyogiyanya mengkondisikan hati untuk melakukan penyadaran diri akan unsur-unsur LAWS dalam diri kita.
Seperti diinspirasikan gagasan Dr. Dan Montgomery, secara universal kepribadian yang utuh terdiri dari kutub-kutub cinta, ketegasan, kelemahan dan kekuatan yang seyogiyanya dialami, diungkapkan dan dijalani dalam kehidupan bersama.” ...people should experience and express the universal polarities of personality known as love, assertion, weakness and strength” (Dan Montgomery, 1997).
Sekali lagi, hakikat pribadi yang utuh mempunyai makna yaitu penyadaran (conscientization) akan keberadaan cinta, ketegasan, kelemahan dan kekuatan yang niscaya diungkapkan, dialami dan dijalani dalam kehidupan bersama.
Penyadaran akan unsur-unsur LAWS dalam diri kita berarti: pertama, kita dengan suasana hati yang tenang menyadari cinta sebagai pusat diri kita, sebagai perekat dalam berrelasi dengan orang lain. Cinta memampukan kita untuk tertarik, bersimpati dan berbela rasa pada orang lain. Dengan cinta kita tidak akan tega ber-KKN ria.
Kedua, kesadaran akan ketegasan bermaknakan tegas terhadap nilai yang kita pegang sebagai orang beriman. Ketegasan tersebut mendorong kita untuk setia pada kebenaran yang kita yakini sebagai insan beriman. Ketegasan berarti mengatakan tidak terhadap kezaliman, kekerasan dan ketidakadilan yang diperlakukan pada dirinya dan orang lain yang ada di sekitarnya.
Ketiga, dan keempat yaitu kesadaran akan kelemahan dan kekuatan mendorong kita untuk berani mengakui kelemahan dan kekuatan kita. Kelemahan kita perbaiki dan kekuatan menjadi sumbangan indah bagi sesama yang lain.
Dengan penyadaran integritas diri tersebut, kita akan berani mengakui diri sebagai pribadi utuh. Kita memiliki integritas diri dan kredibilitas bila unsur-unsur LAWS dalam diri kita sudah beroperasi secara seimbang di tengah kehidupan kita, di lingkungan kerja, kantor, pemerintahan dan masyarakat luas.
Mudah-mudahan, dengan penyadaran kualitas integritas diri dan kredibilitas yang kita miliki, segala perbuatan yang menyimpang dan merugikan kepentingan masyarakat luas akan berkurang. Juga dengan penyadaran tersebut lahirlah orang-orang yang memiliki integritas diri dan kredibilitas secara sejati.
Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Malang,
Label:
agama,
berita,
etika,
filsafat,
integritas diri,
opini,
pendidikan karakter
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
MELATIH DIRI MEMAHAMI YANG LAIN
MELATIH DIRI MEMAHAMI YANG LAIN
Oleh Pormadi Simbolon
Di negeri ini masih sering terjadi pergesekan dan konflik antar umat beragama, konflik antar elite politik ataupun konflik pribadi yang disebabkan kurangnya pemahaman akan keberbedaan yang dimiliki yang lain.
Setiap individu seyogianya perlu melatih diri untuk memahami keberbedaan yang ada pada yang lain, seperti perbedaan agama, suku, golongan ataupun pada perbedaan pendapat dan penerimaan soal kalah dan menang, misalnya dalam pemilu. Sebab ketiadaan pelatihan diri (self training) untuk memahami keberbedaan tersebut akan menimbulkan kecurigaan dan bahkan konflik.
Sepanjang jaman cukup sering terjadi pertikaian dan permusuhan antar umat Kristiani dengan umat Muslimin. Seringkali pula usaha dialog dan kerja sama baik di tingkat tokoh-tokohnya maupun pada tingkat grass root diupayakan, namun konflik tetap masih rentan terjadi. Bahkan sering kali sindiran dan singgungan yang “menjelekkan” agama lain masih terdengar dalam kothbah atau renungan entah di kalangan Kristen maupun di kalangan Muslim.
Padahal betapa besar kerugian yang diakibatkan pertikaian atau konflik tersebut baik secara material, psikologis maupun secara sosial. Pengrusakan gedung ibadah, timbulnya image negatif terhadap agama tertentu dan adanya sekat-sekat pembatas dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan masyarakat.
Tidak hanya itu, baru-baru ini, akibat perbedaan hasil jumlah pemilih presiden terpilih dengan yang tidak terpilih tampak jelas masih menimbulkan keengganan pada pihak yang kalah untuk mengakuinya. Konflik kecil masih terjadi pada tataran internal partai pengusung calon presiden yang tidak terpilih. Bahkan sikap saling tuding menuding terjadi, tampak pada munculnya cap “pembusukan partai” terhadap beberapa tokoh dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Keengganan menerima kekalahan dalam Pemilihan Calon Presiden 2004 lalu masih merupakan hal yang sulit dipahami, meskipun tidak boleh tidak, akhirnya semua harus menerima kemenangan presiden terpilih. Sebab kemenangan tersebut diperoleh secara fair dan demokratis.
Tidak jarang pula, perbedaan pendapat dalam suatu forum diskusi berakibat pada renggangnya persahabatan , adanya permusuhan dan bahkan bisa mangakibatkan terputusnya komunikasi dalam waktu yang lama. Keberbedaan pendapat rupanya masih menjadi suatu momok yang ditakuti. Takut tidak rukun, takut tidak harmonis, dan takut tidak ada rasa aman dalam kehidupan bersama.
Barangkali, ketakutan tidak harmonis atau berbeda pendapat merupakan tradisi orang Timur, seperti diyakini kebanyakan orang, meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan. Orang masih butuh proses yang lama untuk bisa menerima dan memasuki suatu situasi berbeda pendapat.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, karena perbedaan suku, konflik-konflik atau gesekan-gesekan berbau rasial sering terjadi dalam skala kecil. Perbedaan suku tidak jarang pula berakibat pada pembatasan atau penjagaan jarak antara yang satu dengan yang lainnya dalam pergaulan sehari-hari.
Hal ini tampak dari adanya cap-cap negatif terhadap suku tertentu di tengah masyarakat. Padahal cap negatif tidak bisa digeneralisasi atau dikenakan pada semua orang yang berasal dari suku tertentu.
Disinyalir, cap-cap negatif muncul hanya karena ada satu atau beberapa orang yang melakukan tindakan negatif (baca: premanisme, copet, jambret atau rampok) atau karena kebanyakan suku tertentu memiliki profesi tertentu seperti sopir, tukang tambal ban (gelar “ITB” = Institut Tambal Ban), Pembantu Rumah Tangga, TKI di luar negeri atau pun juga tukang becak.
Perbedaan tersebut seyogianya tidak menjadi alat untuk menjelekkan, memusuhi atau menjauhkan yang lain dari kita melainkan menjadi alat untuk mendapat pencerahan yang mendalam untuk memahami realitas sejati. Setiap individu perlu melatih diri memahami, menerima dan supaya bersama-sama membela dan mengejar kebaikan bersama dalam kehidupan bersama pula.
Pertikaian atau konflik yang terjadi selama ini hanyalah karena ketiadaan keinginan atau kemauan untuk melatih diri memahami yang lain, yang berbeda dengan kelompok atau dirinya. Akibatnya perbedaan tetap menjadi perbedaan.
Bulan Ramadhan ini merupakan kesempatan yang baik bagi umat Muslimin maupun umat Kristiani. Umat Kristiani coba melatih diri untuk memahami umat Muslimin yang sedang berpuasa. Umat Kristiani menghormati dengan tidak merokok di tempat umum atau tidak melakukan hal-hal yang mengganggu) mereka yang sedang berbakti kepada Allah lewat bakti berpuasa, doa dan memberi sedekah. Demikian pula sebaliknya bila umat Kristen merayakan Natal, sehingga tercapai keharmonisan dan kerukunan.
Kemenangan Presiden terpilih adalah kenyataan yang harus diterima. Pihak yang kalah pada pemilu secara ksatria semestinya mengakuinya. Tanpa merasa harga dirinya turun atau dijauhi oleh orang lain. Pihak yang kalah harus legawa.
Sikap rasialis adalah sikap yang tidak mau memahami suku lain. Negeri kita ini terdiri ribuan suku yang berbeda-beda. Bukan tidak mungkin sikap rasialis menyeruak ke permukaan.
Pernyataan bahwa semua orang tanpa diskriminasi berhak hidup di bumi ini adalah kesepakatan bangsa-bangsa yang bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Itu berarti semua orang harus melatih diri memahami orang yang berbeda suku.
Melatih diri bukanlah hal luar biasa. Pelatihan hanyalah merupakan pembiasaan diri. Bisa karena biasa. Pelatihan tersebut butuh komitmen demi keharmonisan hidup bersama.
Pelatihan untuk memahami keberbedaan yang absolut ini akan berhasil jika orang tua menciptakan iklim perbedaan dalam kehidupan sehari-hari dan mengajarkan perlunya memahami adanya perbedaan pada anak-anak dalam keluarga. Mulai dari perbedaan kehendak antar anggota keluarga, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hingga pada lingkup besar yaitu lingkungan masyarakat. Sebab pembiasaan pada masa kanak-kanak akan membuahkan sikap pemahaman akan adanya perbedaan pada masa remaja, dewasa yaitu masa terlibat dalam kehidupan masyarakat.
Bila perbedaan masih merupakan “sesuatu yang ditakuti”, maka konflik agama, permusuhan elit politik, gesekan-gesekan rasialis, pertikaian pribadi menjadi taruhannya. Upaya yang mendalam dan yang harus berangkat dari kesadaran diri sendiri adalah upaya melatih diri memahami yang lain.
Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni STFT Widya Sasana, Malang
Oleh Pormadi Simbolon
Di negeri ini masih sering terjadi pergesekan dan konflik antar umat beragama, konflik antar elite politik ataupun konflik pribadi yang disebabkan kurangnya pemahaman akan keberbedaan yang dimiliki yang lain.
Setiap individu seyogianya perlu melatih diri untuk memahami keberbedaan yang ada pada yang lain, seperti perbedaan agama, suku, golongan ataupun pada perbedaan pendapat dan penerimaan soal kalah dan menang, misalnya dalam pemilu. Sebab ketiadaan pelatihan diri (self training) untuk memahami keberbedaan tersebut akan menimbulkan kecurigaan dan bahkan konflik.
Sepanjang jaman cukup sering terjadi pertikaian dan permusuhan antar umat Kristiani dengan umat Muslimin. Seringkali pula usaha dialog dan kerja sama baik di tingkat tokoh-tokohnya maupun pada tingkat grass root diupayakan, namun konflik tetap masih rentan terjadi. Bahkan sering kali sindiran dan singgungan yang “menjelekkan” agama lain masih terdengar dalam kothbah atau renungan entah di kalangan Kristen maupun di kalangan Muslim.
Padahal betapa besar kerugian yang diakibatkan pertikaian atau konflik tersebut baik secara material, psikologis maupun secara sosial. Pengrusakan gedung ibadah, timbulnya image negatif terhadap agama tertentu dan adanya sekat-sekat pembatas dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan masyarakat.
Tidak hanya itu, baru-baru ini, akibat perbedaan hasil jumlah pemilih presiden terpilih dengan yang tidak terpilih tampak jelas masih menimbulkan keengganan pada pihak yang kalah untuk mengakuinya. Konflik kecil masih terjadi pada tataran internal partai pengusung calon presiden yang tidak terpilih. Bahkan sikap saling tuding menuding terjadi, tampak pada munculnya cap “pembusukan partai” terhadap beberapa tokoh dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Keengganan menerima kekalahan dalam Pemilihan Calon Presiden 2004 lalu masih merupakan hal yang sulit dipahami, meskipun tidak boleh tidak, akhirnya semua harus menerima kemenangan presiden terpilih. Sebab kemenangan tersebut diperoleh secara fair dan demokratis.
Tidak jarang pula, perbedaan pendapat dalam suatu forum diskusi berakibat pada renggangnya persahabatan , adanya permusuhan dan bahkan bisa mangakibatkan terputusnya komunikasi dalam waktu yang lama. Keberbedaan pendapat rupanya masih menjadi suatu momok yang ditakuti. Takut tidak rukun, takut tidak harmonis, dan takut tidak ada rasa aman dalam kehidupan bersama.
Barangkali, ketakutan tidak harmonis atau berbeda pendapat merupakan tradisi orang Timur, seperti diyakini kebanyakan orang, meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan. Orang masih butuh proses yang lama untuk bisa menerima dan memasuki suatu situasi berbeda pendapat.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, karena perbedaan suku, konflik-konflik atau gesekan-gesekan berbau rasial sering terjadi dalam skala kecil. Perbedaan suku tidak jarang pula berakibat pada pembatasan atau penjagaan jarak antara yang satu dengan yang lainnya dalam pergaulan sehari-hari.
Hal ini tampak dari adanya cap-cap negatif terhadap suku tertentu di tengah masyarakat. Padahal cap negatif tidak bisa digeneralisasi atau dikenakan pada semua orang yang berasal dari suku tertentu.
Disinyalir, cap-cap negatif muncul hanya karena ada satu atau beberapa orang yang melakukan tindakan negatif (baca: premanisme, copet, jambret atau rampok) atau karena kebanyakan suku tertentu memiliki profesi tertentu seperti sopir, tukang tambal ban (gelar “ITB” = Institut Tambal Ban), Pembantu Rumah Tangga, TKI di luar negeri atau pun juga tukang becak.
Perbedaan tersebut seyogianya tidak menjadi alat untuk menjelekkan, memusuhi atau menjauhkan yang lain dari kita melainkan menjadi alat untuk mendapat pencerahan yang mendalam untuk memahami realitas sejati. Setiap individu perlu melatih diri memahami, menerima dan supaya bersama-sama membela dan mengejar kebaikan bersama dalam kehidupan bersama pula.
Pertikaian atau konflik yang terjadi selama ini hanyalah karena ketiadaan keinginan atau kemauan untuk melatih diri memahami yang lain, yang berbeda dengan kelompok atau dirinya. Akibatnya perbedaan tetap menjadi perbedaan.
Bulan Ramadhan ini merupakan kesempatan yang baik bagi umat Muslimin maupun umat Kristiani. Umat Kristiani coba melatih diri untuk memahami umat Muslimin yang sedang berpuasa. Umat Kristiani menghormati dengan tidak merokok di tempat umum atau tidak melakukan hal-hal yang mengganggu) mereka yang sedang berbakti kepada Allah lewat bakti berpuasa, doa dan memberi sedekah. Demikian pula sebaliknya bila umat Kristen merayakan Natal, sehingga tercapai keharmonisan dan kerukunan.
Kemenangan Presiden terpilih adalah kenyataan yang harus diterima. Pihak yang kalah pada pemilu secara ksatria semestinya mengakuinya. Tanpa merasa harga dirinya turun atau dijauhi oleh orang lain. Pihak yang kalah harus legawa.
Sikap rasialis adalah sikap yang tidak mau memahami suku lain. Negeri kita ini terdiri ribuan suku yang berbeda-beda. Bukan tidak mungkin sikap rasialis menyeruak ke permukaan.
Pernyataan bahwa semua orang tanpa diskriminasi berhak hidup di bumi ini adalah kesepakatan bangsa-bangsa yang bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Itu berarti semua orang harus melatih diri memahami orang yang berbeda suku.
Melatih diri bukanlah hal luar biasa. Pelatihan hanyalah merupakan pembiasaan diri. Bisa karena biasa. Pelatihan tersebut butuh komitmen demi keharmonisan hidup bersama.
Pelatihan untuk memahami keberbedaan yang absolut ini akan berhasil jika orang tua menciptakan iklim perbedaan dalam kehidupan sehari-hari dan mengajarkan perlunya memahami adanya perbedaan pada anak-anak dalam keluarga. Mulai dari perbedaan kehendak antar anggota keluarga, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hingga pada lingkup besar yaitu lingkungan masyarakat. Sebab pembiasaan pada masa kanak-kanak akan membuahkan sikap pemahaman akan adanya perbedaan pada masa remaja, dewasa yaitu masa terlibat dalam kehidupan masyarakat.
Bila perbedaan masih merupakan “sesuatu yang ditakuti”, maka konflik agama, permusuhan elit politik, gesekan-gesekan rasialis, pertikaian pribadi menjadi taruhannya. Upaya yang mendalam dan yang harus berangkat dari kesadaran diri sendiri adalah upaya melatih diri memahami yang lain.
Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni STFT Widya Sasana, Malang
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
"BERSAMA KITA BISA?"
“BERSAMA, KITA BISA?"
SBY pernah mengutarakan, sekarang ini sudah tiba saatnya untuk merajut lagi kebersamaan. Tendensi untuk saling menjatuhkan satu sama lain tidak diperlukan lagi. Hanya dengan kebersamaan, pembangunan bangsa dapat berjalan.
Kebersamaan kembali muncul kepermukaan sebagai sebuah harapan akan tercapainya cita-cita bersama. Kebersamaan itu indah dan bermakna inklusif.
Kebersamaan sebagai satu keluarga menjadi dasar filosofis terdalam dari pendirian Indonesia merdeka. The Founding Fathers (Soekarno, Soepomo, dan Yamin) menyatakan bahwa karakter natural Indonesia adalah kebersamaan sebagai satu keluarga, di samping karakter yang masih berkaitan satu sama lain: gotong-royong, kebangsaan, kerakyatan, religiusitas dan seterusnya.
Karakter natural tersebut akhirnya disepakati sebagai prinsip pendirian Republik Indonesia. Kebersamaan sebagai sebuah keluarga atau kekeluargaan sebagaimana kita lihat dalam hidup keluarga sehari-hari, dimana masing-masing anggota keluarga biasanya saling membagi kegembiraan bersama dan gotong-royong dalam hidup. Meskipun fungsi dan tugas pemimpin dalam keluarga sebagai seorang “Bapak” tidak persis sama dengan pemimpin dalam negara. Sebab dalam keluarga sering kali diandaikan aturan dan tugas masing-masing anggota keluarga sudah diketahui, tetapi dalam negara tidaklah demikin.
Prinsip kebersamaan sebagai karakter sejati bagsa Indonesia semakin lama terasa semakin pudar. Selama Soeharto memerintah, kebersamaan itu tampak di permukaan saja atau di pidato-pidato presiden di layar kaca, namun sebenarnya rakyat diperlakukan nyaris seperti hamba, bukan sebagai “saudara” dalam kebersamaan sejati.
Pasca lengsernya Soeharto, karakter kebersamaan tersebut semakin hilang ditelan krisis politik berkepanjangan. Akibatnya berbagai konflik seperti konflik etnis dan religius yang serius dialami bangsa Indonesia. Keadaan realistis Indonesia nyaris kembali pada situasi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) dalam istilah Hobbes. Hingga pada pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) krisis politik itu masih berlanjut. Situasi bangsa Indonesia mulai relatif stabil pada kurang lebih dua dan tiga tahun terakhir, yaitu pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
PRINSIP kebersamaan berhembus kembali melalui suara Calon Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono yang hampir pasti sebagai Presiden Indonesia untuk lima tahun yang akan datang. Sebuah angin penyejuk bukan angin ketakutan bagi semua komponen bangsa, terlebih bagi golongan minoritas atau mereka yang menjadi korban konflik etnis dan religius selama lima sampai tujuh tahun yang lalu.
Pudarnya prinsip kebersamaan itu karena realitas kehidupan polis di Indonesia terjebak pada skema atau citra pengkotak-kotakan bangsa. Pengkotak-kotakan tersebut tampak di saat munculnya isu-isu jawa-luar jawa, pribumi-nonpribumi, mayoritas-minoritas, dan seterunya.
Sudah saatnya pengkotak-kotakan tersebut dilenyapkan dan dihapuskan dari khazanah pikiran kita. Yang ada sekarang adalah kebersamaan sebagai sebuah keluarga, ialah kekeluargaan dalam negara dan bangsa Indonesia.
Menghilangkan pengkotak-kotakan, bukan berarti menghilangkan keberbedaan dalam kehidupan sebagai bangsa. Penghilangan tersebut bukan berarti pula peredusiran pada sistematisasi keseragaman dalam kehidupan berbangsa (dalam konsep modernisme), tetapi pada konsep keanekaragaman (dalam konsep postmodernisme).
Pluralisme atau multikultural (kemajemukan) bangsa tetap eksis di dalam kebersamaan untuk menggapai the good life bangsa Indonesia. Harapan untuk merajut kembali kebersamaan tersebut semakin urgen untuk diprakarsai oleh Pemimpin Nasional yang akan datang.
Kebersamaan itu memang sudah mulai terwujud ketika kita berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung. Pada titik ini, kita mengawali prinsip kebersamaan yang sukses. Kita mendapat pujian dari dunia internasional. Harapan kita, kebersamaan ini akan berlangsung dalam pemerintahan eksekutif, terutama kebersamaan dengan lembaga legislatif dan judikatif untuk menggapai Indonesia Baru yang demokratis. Hasil akhir dari kebersamaan tersebut akan kasat mata ketika hidup rakyat menjadi lebih baik, kesejahteraan umum dirasakan bersama dan di mata Internasional, Indonesia semakin dihargai dan disegani.
Dalam merajut kembali kebersamaan dalam membangun Indonesia, Pemimpin Nasional sebaiknya tidak jatuh pada konsep ‘asal aman, asal sejahtera, asal damai’ padahal realitas sejatinya tidaklah demikian. Pemerintah yang akan datang mestinya menanamkan pada khazanah pikirannya bahwa mereka duduk di pemerintahan karena konvensi rakyat (convention of the people). Artinya, rakyat bersepakat memilih mereka sebagai pemimpin nasional dan sebagai wakil rakyat, karena mampu membawa dan mewujudkan kebaikan atau kesejahteraan bersama (bonum commune).
Pada titik inilah, pemimpin nasional penting mengedepankan nilai-nilai universal kemanusiaan, tanpa mengesampingkan apa yang merupakan karakter khas/ partikular/ lokal dari tata hidup bersama. Semoga motto: “Bersama Kita Bisa” akan terwujud.
Oleh: Pormadi Simbolon
Alumnus STFT Widya Sasana Malang
Tinggal di Jakarta
SBY pernah mengutarakan, sekarang ini sudah tiba saatnya untuk merajut lagi kebersamaan. Tendensi untuk saling menjatuhkan satu sama lain tidak diperlukan lagi. Hanya dengan kebersamaan, pembangunan bangsa dapat berjalan.
Kebersamaan kembali muncul kepermukaan sebagai sebuah harapan akan tercapainya cita-cita bersama. Kebersamaan itu indah dan bermakna inklusif.
Kebersamaan sebagai satu keluarga menjadi dasar filosofis terdalam dari pendirian Indonesia merdeka. The Founding Fathers (Soekarno, Soepomo, dan Yamin) menyatakan bahwa karakter natural Indonesia adalah kebersamaan sebagai satu keluarga, di samping karakter yang masih berkaitan satu sama lain: gotong-royong, kebangsaan, kerakyatan, religiusitas dan seterusnya.
Karakter natural tersebut akhirnya disepakati sebagai prinsip pendirian Republik Indonesia. Kebersamaan sebagai sebuah keluarga atau kekeluargaan sebagaimana kita lihat dalam hidup keluarga sehari-hari, dimana masing-masing anggota keluarga biasanya saling membagi kegembiraan bersama dan gotong-royong dalam hidup. Meskipun fungsi dan tugas pemimpin dalam keluarga sebagai seorang “Bapak” tidak persis sama dengan pemimpin dalam negara. Sebab dalam keluarga sering kali diandaikan aturan dan tugas masing-masing anggota keluarga sudah diketahui, tetapi dalam negara tidaklah demikin.
Prinsip kebersamaan sebagai karakter sejati bagsa Indonesia semakin lama terasa semakin pudar. Selama Soeharto memerintah, kebersamaan itu tampak di permukaan saja atau di pidato-pidato presiden di layar kaca, namun sebenarnya rakyat diperlakukan nyaris seperti hamba, bukan sebagai “saudara” dalam kebersamaan sejati.
Pasca lengsernya Soeharto, karakter kebersamaan tersebut semakin hilang ditelan krisis politik berkepanjangan. Akibatnya berbagai konflik seperti konflik etnis dan religius yang serius dialami bangsa Indonesia. Keadaan realistis Indonesia nyaris kembali pada situasi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) dalam istilah Hobbes. Hingga pada pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) krisis politik itu masih berlanjut. Situasi bangsa Indonesia mulai relatif stabil pada kurang lebih dua dan tiga tahun terakhir, yaitu pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
PRINSIP kebersamaan berhembus kembali melalui suara Calon Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono yang hampir pasti sebagai Presiden Indonesia untuk lima tahun yang akan datang. Sebuah angin penyejuk bukan angin ketakutan bagi semua komponen bangsa, terlebih bagi golongan minoritas atau mereka yang menjadi korban konflik etnis dan religius selama lima sampai tujuh tahun yang lalu.
Pudarnya prinsip kebersamaan itu karena realitas kehidupan polis di Indonesia terjebak pada skema atau citra pengkotak-kotakan bangsa. Pengkotak-kotakan tersebut tampak di saat munculnya isu-isu jawa-luar jawa, pribumi-nonpribumi, mayoritas-minoritas, dan seterunya.
Sudah saatnya pengkotak-kotakan tersebut dilenyapkan dan dihapuskan dari khazanah pikiran kita. Yang ada sekarang adalah kebersamaan sebagai sebuah keluarga, ialah kekeluargaan dalam negara dan bangsa Indonesia.
Menghilangkan pengkotak-kotakan, bukan berarti menghilangkan keberbedaan dalam kehidupan sebagai bangsa. Penghilangan tersebut bukan berarti pula peredusiran pada sistematisasi keseragaman dalam kehidupan berbangsa (dalam konsep modernisme), tetapi pada konsep keanekaragaman (dalam konsep postmodernisme).
Pluralisme atau multikultural (kemajemukan) bangsa tetap eksis di dalam kebersamaan untuk menggapai the good life bangsa Indonesia. Harapan untuk merajut kembali kebersamaan tersebut semakin urgen untuk diprakarsai oleh Pemimpin Nasional yang akan datang.
Kebersamaan itu memang sudah mulai terwujud ketika kita berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung. Pada titik ini, kita mengawali prinsip kebersamaan yang sukses. Kita mendapat pujian dari dunia internasional. Harapan kita, kebersamaan ini akan berlangsung dalam pemerintahan eksekutif, terutama kebersamaan dengan lembaga legislatif dan judikatif untuk menggapai Indonesia Baru yang demokratis. Hasil akhir dari kebersamaan tersebut akan kasat mata ketika hidup rakyat menjadi lebih baik, kesejahteraan umum dirasakan bersama dan di mata Internasional, Indonesia semakin dihargai dan disegani.
Dalam merajut kembali kebersamaan dalam membangun Indonesia, Pemimpin Nasional sebaiknya tidak jatuh pada konsep ‘asal aman, asal sejahtera, asal damai’ padahal realitas sejatinya tidaklah demikian. Pemerintah yang akan datang mestinya menanamkan pada khazanah pikirannya bahwa mereka duduk di pemerintahan karena konvensi rakyat (convention of the people). Artinya, rakyat bersepakat memilih mereka sebagai pemimpin nasional dan sebagai wakil rakyat, karena mampu membawa dan mewujudkan kebaikan atau kesejahteraan bersama (bonum commune).
Pada titik inilah, pemimpin nasional penting mengedepankan nilai-nilai universal kemanusiaan, tanpa mengesampingkan apa yang merupakan karakter khas/ partikular/ lokal dari tata hidup bersama. Semoga motto: “Bersama Kita Bisa” akan terwujud.
Oleh: Pormadi Simbolon
Alumnus STFT Widya Sasana Malang
Tinggal di Jakarta
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Kamis, April 06, 2006
BUDAYA MALU YANG PALSU
Budaya Malu yang Palsu
SUARA PEMBARUAN DAILY, 05 APRIL 2006
Oleh Liong Kwei Cun
ulianti, seorang warga Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, yang diduga terjangkit flu burung disembunyikan keluarga. Namun, Yulianti hingga Sabtu (11/3) tidak diketahui keberadaannya. Dia dicurigai menderita flu burung karena menderita demam dan batuk mirip dengan gejala penyakit mematikan itu (lih. www.sctv.co.id)
Oleh Liong Kwei Cun
ulianti, seorang warga Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, yang diduga terjangkit flu burung disembunyikan keluarga. Namun, Yulianti hingga Sabtu (11/3) tidak diketahui keberadaannya. Dia dicurigai menderita flu burung karena menderita demam dan batuk mirip dengan gejala penyakit mematikan itu (lih. www.sctv.co.id)
Namun, sampai sekarang belum diketahui entah kenapa pihak keluarga menyembunyikannya. Bocah 11 tahun ini merupakan adik Wahidi, pasien flu burung yang kini tengah diisolasi di Ruang Cempaka RSPI. Sang kakak sebelumnya sempat kabur dari rumah sakit itu, Jumat silam (10/3).
Bisa dua kemungkinan alasan mengapa keluarga menyembunyikan Yulianti. Kemungkinan pertama adalah karena rasa malu tidak memiliki uang untuk biaya pengobatan. Kemungkinan kedua adalah rasa malu terhadap tetangga karena penyakit flu burung.
Rasa Malu
Apapun alasannya, keluarga tersebut menyembunyikan anak yang sedang menderita sakit flu burung dan jelas keluarga jatuh pada himpitan rasa malu entah karena tidak punya uang atau karena takut dicemoohkan tetangga. Inilah budaya malu yang palsu alias rasa malu tidak sehat.
Demikian pula, kalau benar pendapat Wakil Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat (NTB) dr Komang Gerudug tahun lalu tentang busung lapar dan kurang gizi di daerahnya, maka semakin menegaskan bahwa budaya malu yang palsu dipaksakan untuk menutupi kemiskinan.
Menurutnya, munculnya kasus busung lapar dan kurang gizi di NTB karena ada budaya malu di kalangan orang tua untuk membawa bayi mereka yang kurus kering atau malah sudah busung lapar ke puskesmas (seperti dikemukakan Mahlil Ruby).
Berbeda halnya dengan budaya rasa malu yang ditampilkan oleh para wakil rakyat di Senayan. Mereka merasa malu bila publik mengetahui bahwa penghasilan mereka dinaikkan. Rasa malu mereka semakin terasa diusik bila ada suara-suara publik yang memrotes atau menolaknya karena alasan rakyat sedang dijerat kemiskinan dan kelaparan. Konon kabarnya, kinerja para wakil rakyat akan semakin bermutu dan optimal bila penghasilan mereka dinaikkan, tetapi nyatanya tidaklah demikian. Mereka merasa malu tetapi kebijakan kenaikan penghasilan para wakil rakyat rencananya tetap dijalankan.
Fenomena budaya malu yang palsu sebenarnya sudah lama menyeruak di tengah masyarakat. Dengan amat jelas, budaya malu yang palsu itu sungguh membuat kita yang berakal budi sehat menjadi malu.
Sekelompok calon kepala daerah merasa malu bila harus menerima kekalahan dalam kompetisi pemilihan kepala daerah tahun lalu. Pada pribadi yang tidak bisa menerima kekalahan, budaya malu itu ditampakkan wujudnya dalam bentuk kekerasan dan dan perilaku curang alias ketidakjujuran tampil ke permukaan.
Begitu pula, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa beberapa pejabat publik akan merasa malu bila belum memiliki rumah dan mobil mewah, harta bergerak dan tidak bergerak entah di pusat entah di daerah selama memegang jabatan di suatu instansi pemerintahan.
Bila jujur diakui, budaya malu yang palsu mengafirmasikan suatu sikap hidup tidak jujur. Sebuah ketidakjujuran terhadap eksistensi dan kehidupan manusia sebagai insan yang kodratnya harus memasyarakat. Ketidakjujuran terhadap kebutuhan akan keadilan dan kesejahteraan bersama sebagai makhluk sosial.
Bukankah manusia semakin memanusiawi bila hidup bersama dengan orang lain atau dengan kata lain manusia hanya bisa hidup bersama orang lain bila ada kejujuran mengakui adanya saling ketergantungan akan kebutuhan hidup?
Dampak Era Mondialisasi
Fenomena budaya malu yang palsu semakin bermunculan di era mondialisasi dan bisa jadi merupakan dampak dari era mondialisasi itu sendiri.
Era mondialisasi ikut ambil bagian menciptakan budaya malu yang palsu alias ketidakjujuran pada kenyataan hidup.
Di satu sisi, era mondialisasi selain membawa dampak kemiskinan, marjinalisasi dan ketertinggalan bagi negara yang lemah di bidang strategi ekonomi dan politik, tetapi juga mendorong orang mengikuti gaya hidup di negara maju yang karena ketidakjujurannya bisa terjerumus pada pola dan perikehidupan serba tanda (simbol) dan gaya, pola hidup konsumtif, fenomena jalan pintas, pergi ke mall dan aneka macam kesempatan dan lompatan sukses serba cepat.
Di sisi lain, era mondialisasi menantang kebanyakan orang untuk mengejar kemajuan dan kemakmuran dengan persaingan yang semakin ketat dan keras. Kompetisi tersebut terjadi antara negara-negara maju dengan negara-negara sedang berkembang, antara individu-individu yang memiliki kecakapan dengan mereka yang kurang mampu (baik skill maupun ekonomi).
Situasi persaingan ketat dan butuh kerja keras tersebut dapat mencondongkan sekelompok orang melakukan kecurangan dan menciptakan budaya malu yang palsu. Nilai kerja keras dan perjuangan terabaikan demi meniru pola hidup berbau mon- dialisasi.
Tren hidup dengan pola dan perilaku serba tanda dan lahiriah, pola hidup konsumtif dan fenomena jalan pintas sebenarnya merupakan dampak mondialisasi. Kecenderungan mengikuti pola hidup demikian logisnya akan mendorong perilaku menuju tindak korupsi, kolusi dan nepotisme untuk mengejar kesuksesan dan kekayaan secara instan. Tren tersebutlah tampaknya sedang melanda warga Indonesia.
Sebagian orang merasa malu bila hidup dalam kemiskinan, kelaparan dan menderita suatu penyakit, terlebih lagi bila hal itu diketahui orang banyak, karena dipandang sebagai aib dan memalukan di tengah hamparan panggung kehidupan.
Rasa malu yang palsu itu semakin menebal ketika pemikiran publik dikuasai cara pandang keliru terhadap mereka yang hidup dalam kemiskinan, yang menderita busung lapar dan penyakit flu burung (dan aneka penyakit lainnya).
Budaya malu yang palsu dapat pula kita saksikan pada kehidupan sekelompok pejabat publik. Pada dasarnya mereka sudah hidup berkecukupan dan dibiayai negara, tetapi masih tega-teganya melakukan tindak korupsi demi penumpukan harta kekayaan guna mengikuti tren hidup era mondialisasi.
Mereka merasa malu dan tertinggal bila tidak bisa mengikuti tren dan gaya hidup berbau mondialisasi seperti warga negara maju, yang memang sudah mampu dan maju dalam arti sejatinya.
Fenomena budaya malu yang palsu yang ditampilkan sebagian masyarakat miskin merupakan bentuk penghinaan dan penegasian nilai kejujuran dan kerja keras. Padahal, bila mereka jujur dan menyatakan situasi dan keadaan sebenarnya, pasti masih banyak orang yang berhati nurani sehat dan lurus, yang datang baik secara perorangan maupun lembaga guna menolong dan mengurangi penderitaan mereka.
Berbeda dengan fenomena rasa malu yang palsu yang dipertontonkan sekelompok oknum pejabat elite di negara ini. Mereka malu bukan karena melihat banyak rakyatnya yang miskin, lapar dan sakit-sakitan, melainkan karena nilai-nilai yang mereka kejar adalah nilai-nilai hidup yang superfisial, dangkal, dan penuh dengan kepalsuan dan kemunafikan. Inilah fenomena budaya malu yang palsu para koruptor.
Memang begitu pahit bila kita coba menjalani hidup dengan penuh kejujuran dalam arti sejatinya di era mondialisasi sekarang. Kita bisa rugi sendiri dan disingkirkan dari pergaulan masyarakat banyak.
Selain itu nilai kejujuran dan kerja keras semakin tertindas oleh pemikiran kolektif yang keliru. Hanya dengan keberanian dan bantuan kekuatan adikorati (doa pada Tuhan), sekelompok masyarakat dan pada umumnya individu-individulah yang mampu mendobrak pikiran kolektif yang keliru, seperti yang dilakukan Sokrates atau para Nabi di jamannya.
Penulis adalah seorang karyawati swasta tinggal di Jakarta
Last modified: 5/4/06
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
NKRI, KONFLIK AGAMA DAN SUMPAH SETIA PADA PANCASILA DAN UUD 1945
NKRI, KONFLIK AGAMA
DAN SUMPAH SETIA PADA PANCASILA DAN UUD 1945
Oleh Pormadi Simbolon*
Konflik antar pemeluk agama, khususnya antar pemeluk agama Islam – Kristen dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seyogiyanya tidak berlarut-larut terjadi hingga dewasa ini bila aparatur negara dan masyarakat sungguh-sungguh setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila dan UUD 1945. Sebab Pancasila dan UUD 1945 memang dimaksudkan para pendiri bangsa (the founding fathers) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari aneka ancaman dan gangguan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Para pendiri bangsa kita yang telah melahirkan dan membentuk negara ini dengan pemikiran arif dan bijaksana, dan dengan pandangan yang jauh ke depan telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan teguh di atas nama negara ini dapat tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berbhinneka tunggal ika.
NKRI
Adapun prinsip dasar yang diletakkan adalah negara kesatuan yang bersifat integralistik dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang ditetapkan dalam rumusan UUD 1945 dan Pancasila. Itu berarti hakekat kebangsaan kita adalah memberikan ruang dan kesempatan kewilayaan/ kedaerahan, golongan, keagamaan yang semakin dewasa dan mandiri dan tidak bisa tidak harus bertolak dari fakta bahwa memang wilayah negara ini sangat luas, yang di dalamnya hidup masyarakat yang terdiri berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya.
Berangkat dari prinsip dasar NKRI tersebut, the founding fathers menetapkan tujuan-tujuan yang harus dijalankan oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Salah satu tujuan tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk melindungi dari ancaman dan gangguan terhadap para pemeluk agama.
Tujuan tersebut merupakan hasil konsensus nasional dan pemikiran inklusif dan cerdas para pendiri bangsa. Segenap bangsa Indonesia harus dilindungi. Artinya negara menaungi (agar tidak kepanasan), mengalangi (agar tidak dikenai tembakan dan pengrusakan) dan menjaga (agar selamat). Tentu semua itu dalam korridor hukum.
Pelaksana utama dan terutama dalam melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia tersebut adalah aparat negara yaitu pelaksana tugas pemerintahan. Aparatur negara adalah perangkat pemerintahan meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Semua lembaga tersebut saling terkait dan bekerja bersama-sama sesuai dengan bidangnya dalam menggapai tujuan NKRI yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia termasuk melindungi pemeluk agama-agama yang ada di dalamnya.
Konflik Agama Islam-Kristen
Konflik antar pemeluk agama khususnya Islam – Kristen terjadi tidak hanya di Indonesia. Namun dalam konteks NKRI, negara dalam hal ini pemerintah merupakan tameng perlindungan bagi segenap bangsa terutama warga pemeluk agama yang tertindas dan teraniaya.
Kenyataan menunjukkan, negara yang diwakili oleh pemerintah NKRI, relatif belum berhasil melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Hal ini terlihat dari perjalanan bangsa dimana konflik antara agama Islam – Kristen menimbulkan korban ketidakadilan.
Pada masa Orde Lama, konflik Islam – Kristen ditandai dengan pemberontakan DI/ TII/ NII, perdebatan konstituante, dan masalah penyiaran agama. Ada keinginan sebagian pemeluk agama untuk membentuk nusantara menjadi negara agama.
Pada masa Orde Baru, konflik agama diindikasikan dengan kebijakan pemerintah yang memutuskan SKB No 1/ 1969 tentang pembangunan rumah ibadah, RUU Perkawinan 1973, perkawinan beda agama, RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, serta rangkaian kerusuhan dan pengrusakan gereja. Konflik tersebut menimbulkan korban baik secara fisik maupun batiniah bagi pemeluk agama yang tertindas.
Dewasa ini, di era “reformasi” konflik agama Islam – Kristen ditandai dengan rangkaian kerusuhan di Kupang, Poso, Ambon-Maluku, Kalimantan, rangkaian ledakan bom di beberapa gereja, isu Piagam Jakarta dan amandemen UUD 1945, UU Pendidikan Nasional 2003, Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, liberalisme dan sekularisme dan terakhir penutupan paksa sejumlah bangunan gereja dan perumahan yang digunakan sebagai tempat ibadah. Konflik Islam – Kristen tetap terjadi secara terselubung dan bahkan secara terang-terangan dengan berbagai jalur yang memungkinkan.
Barangkali konflik agama antara pemeluk agama Islam dan Kristen tidak akan pernah berakhir (?), namun tugas negara tetap melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia terlepas dari apapun agama atau kepercayaannya.
Sepanjang sejarah, penanganan konflik antar pemeluk agama Islam – Kristen berada di tangan negara. Seturut era “reformasi”, kewenangan pembangunan bangsa di bidang agama tetap berada di tangan pemerintah pusat. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan pemerintah provinsi sebagai daerah otonom. Pemerintah Pusat disebutkan mempunyai kewenangan di bidang agama dan kewenangan itu tidak diserahkan ke pemerintah daerah. Tentu kebijakan ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Juga jelas sekali kalau kita mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, aparatur pemerintah pusat lewat kantor wilayah dan bawahannya seyogiyanya melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari segala bentuk penganiayaan dan penindasan. Sebab perlindungan tersebut adalah panggilan pemerintah sebagai aparat negara NKRI.
Sumpah Setia
Kita semua tahu, bahwa semua warga masyarakat NKRI harus setia dan taat dan teristimewa aparat negara (pegawai negeri sipil, TNI dan Polisi RI) harus mengangkat sumpah setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945. Juga mereka bersumpah bahwa mereka mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan dan diri sendiri (PP No 32 Tahun 1980).
NKRI sudah 60 tahun merdeka. Enam puluh tahun pula kita semua membacakan dan mendengarkan Pancasila dan UUD 1945 ketika Upacara Bendera pada hari-hari besar negara. Yang lebih istimewa adalah aparat negara selalu diangkat sumpah untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya banyak aparatur negara masih berada pada tataran bersumpah setia “tentang” Pancasila dan UUD 1945 di mulut, namun belum “benar-benar” bersumpah setia dalam pelaksanaan tugas.
Ketidaksetiaan pada Pancasila dan UUD 1945dalam hidup bernegara, berbangsa dan bernegara terlihat dari adanya pemeluk agama yang tertindas, dan rumah ibadahnya dirusak dan dibakar, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme, ketidakadilan pemerataan pendapatan negara dan penegakan hukum yang relatif belum berjalan.
Jika kita tetap demikian maka tantangan terbesar adalah kelangsungan dan keutuhan negeri ini sebagai NKRI. Ancaman disintegrasi, dan terpecah-belah oleh konflik karena latar belakang perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan akan selalu mengerogoti kita.
Namun bila kita masih menghendaki kelangsungan dan keutuhan NKRI maka tidak bisa tidak pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan taumpah darah Indonesia dari ancaman kekerasan, penganiayaan, pengrusakan, pembakaran, pemanipulasian, pembodohan dan ancaman-ancaman lainnya. Untuk itu pewujudnyataan sumpah setia pada Pancasila dan UUD 1945 masih harus tetap diusahakan bersama. Semoga.
*Penulis adalah pemerhati NKRI
DAN SUMPAH SETIA PADA PANCASILA DAN UUD 1945
Oleh Pormadi Simbolon*
Konflik antar pemeluk agama, khususnya antar pemeluk agama Islam – Kristen dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seyogiyanya tidak berlarut-larut terjadi hingga dewasa ini bila aparatur negara dan masyarakat sungguh-sungguh setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila dan UUD 1945. Sebab Pancasila dan UUD 1945 memang dimaksudkan para pendiri bangsa (the founding fathers) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari aneka ancaman dan gangguan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Para pendiri bangsa kita yang telah melahirkan dan membentuk negara ini dengan pemikiran arif dan bijaksana, dan dengan pandangan yang jauh ke depan telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan teguh di atas nama negara ini dapat tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berbhinneka tunggal ika.
NKRI
Adapun prinsip dasar yang diletakkan adalah negara kesatuan yang bersifat integralistik dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang ditetapkan dalam rumusan UUD 1945 dan Pancasila. Itu berarti hakekat kebangsaan kita adalah memberikan ruang dan kesempatan kewilayaan/ kedaerahan, golongan, keagamaan yang semakin dewasa dan mandiri dan tidak bisa tidak harus bertolak dari fakta bahwa memang wilayah negara ini sangat luas, yang di dalamnya hidup masyarakat yang terdiri berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya.
Berangkat dari prinsip dasar NKRI tersebut, the founding fathers menetapkan tujuan-tujuan yang harus dijalankan oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Salah satu tujuan tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk melindungi dari ancaman dan gangguan terhadap para pemeluk agama.
Tujuan tersebut merupakan hasil konsensus nasional dan pemikiran inklusif dan cerdas para pendiri bangsa. Segenap bangsa Indonesia harus dilindungi. Artinya negara menaungi (agar tidak kepanasan), mengalangi (agar tidak dikenai tembakan dan pengrusakan) dan menjaga (agar selamat). Tentu semua itu dalam korridor hukum.
Pelaksana utama dan terutama dalam melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia tersebut adalah aparat negara yaitu pelaksana tugas pemerintahan. Aparatur negara adalah perangkat pemerintahan meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Semua lembaga tersebut saling terkait dan bekerja bersama-sama sesuai dengan bidangnya dalam menggapai tujuan NKRI yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia termasuk melindungi pemeluk agama-agama yang ada di dalamnya.
Konflik Agama Islam-Kristen
Konflik antar pemeluk agama khususnya Islam – Kristen terjadi tidak hanya di Indonesia. Namun dalam konteks NKRI, negara dalam hal ini pemerintah merupakan tameng perlindungan bagi segenap bangsa terutama warga pemeluk agama yang tertindas dan teraniaya.
Kenyataan menunjukkan, negara yang diwakili oleh pemerintah NKRI, relatif belum berhasil melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Hal ini terlihat dari perjalanan bangsa dimana konflik antara agama Islam – Kristen menimbulkan korban ketidakadilan.
Pada masa Orde Lama, konflik Islam – Kristen ditandai dengan pemberontakan DI/ TII/ NII, perdebatan konstituante, dan masalah penyiaran agama. Ada keinginan sebagian pemeluk agama untuk membentuk nusantara menjadi negara agama.
Pada masa Orde Baru, konflik agama diindikasikan dengan kebijakan pemerintah yang memutuskan SKB No 1/ 1969 tentang pembangunan rumah ibadah, RUU Perkawinan 1973, perkawinan beda agama, RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, serta rangkaian kerusuhan dan pengrusakan gereja. Konflik tersebut menimbulkan korban baik secara fisik maupun batiniah bagi pemeluk agama yang tertindas.
Dewasa ini, di era “reformasi” konflik agama Islam – Kristen ditandai dengan rangkaian kerusuhan di Kupang, Poso, Ambon-Maluku, Kalimantan, rangkaian ledakan bom di beberapa gereja, isu Piagam Jakarta dan amandemen UUD 1945, UU Pendidikan Nasional 2003, Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, liberalisme dan sekularisme dan terakhir penutupan paksa sejumlah bangunan gereja dan perumahan yang digunakan sebagai tempat ibadah. Konflik Islam – Kristen tetap terjadi secara terselubung dan bahkan secara terang-terangan dengan berbagai jalur yang memungkinkan.
Barangkali konflik agama antara pemeluk agama Islam dan Kristen tidak akan pernah berakhir (?), namun tugas negara tetap melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia terlepas dari apapun agama atau kepercayaannya.
Sepanjang sejarah, penanganan konflik antar pemeluk agama Islam – Kristen berada di tangan negara. Seturut era “reformasi”, kewenangan pembangunan bangsa di bidang agama tetap berada di tangan pemerintah pusat. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan pemerintah provinsi sebagai daerah otonom. Pemerintah Pusat disebutkan mempunyai kewenangan di bidang agama dan kewenangan itu tidak diserahkan ke pemerintah daerah. Tentu kebijakan ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Juga jelas sekali kalau kita mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, aparatur pemerintah pusat lewat kantor wilayah dan bawahannya seyogiyanya melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari segala bentuk penganiayaan dan penindasan. Sebab perlindungan tersebut adalah panggilan pemerintah sebagai aparat negara NKRI.
Sumpah Setia
Kita semua tahu, bahwa semua warga masyarakat NKRI harus setia dan taat dan teristimewa aparat negara (pegawai negeri sipil, TNI dan Polisi RI) harus mengangkat sumpah setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945. Juga mereka bersumpah bahwa mereka mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan dan diri sendiri (PP No 32 Tahun 1980).
NKRI sudah 60 tahun merdeka. Enam puluh tahun pula kita semua membacakan dan mendengarkan Pancasila dan UUD 1945 ketika Upacara Bendera pada hari-hari besar negara. Yang lebih istimewa adalah aparat negara selalu diangkat sumpah untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya banyak aparatur negara masih berada pada tataran bersumpah setia “tentang” Pancasila dan UUD 1945 di mulut, namun belum “benar-benar” bersumpah setia dalam pelaksanaan tugas.
Ketidaksetiaan pada Pancasila dan UUD 1945dalam hidup bernegara, berbangsa dan bernegara terlihat dari adanya pemeluk agama yang tertindas, dan rumah ibadahnya dirusak dan dibakar, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme, ketidakadilan pemerataan pendapatan negara dan penegakan hukum yang relatif belum berjalan.
Jika kita tetap demikian maka tantangan terbesar adalah kelangsungan dan keutuhan negeri ini sebagai NKRI. Ancaman disintegrasi, dan terpecah-belah oleh konflik karena latar belakang perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan akan selalu mengerogoti kita.
Namun bila kita masih menghendaki kelangsungan dan keutuhan NKRI maka tidak bisa tidak pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan taumpah darah Indonesia dari ancaman kekerasan, penganiayaan, pengrusakan, pembakaran, pemanipulasian, pembodohan dan ancaman-ancaman lainnya. Untuk itu pewujudnyataan sumpah setia pada Pancasila dan UUD 1945 masih harus tetap diusahakan bersama. Semoga.
*Penulis adalah pemerhati NKRI
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Mandala: “Dari Medan Menuju Jakarta”
(sebuah pemaknaan)
(sebuah pemaknaan)
Baru saja kita menyaksikan bersama, pesawat Mandala Boeing737-RI 091 mengalami kecelakaan (05/09/2005) yang menewaskan ratusan penumpang ditambah dengan sejumlah penduduk akibat tertimpa pesawat. Kecelakaan terjadi akibat gagal melakukan take-off, lalu jatuh, meledak, dan hancur berkeping-keping.
Konon, pesawat tersebut hendak mengadakan perjalanan dari Medan menuju Jakarta. Amat bermakna jika kita coba merenungkan tragedi pesawat Mandala: “dari Medan menuju Jakarta.
Tragedi Mandala
Barangkali ada baiknya pemaknaan tragedi Mandala kita awali dengan mencermati unsur-unsur berikut ini: mulai dari pesawat Mandala, para penumpang, pilot dan para pembantunya dan akhirnya perjalanan dari Medan menuju Jakarta.
Pesawat Mandala merupakan suatu alat transportasi yang sedianya diharapkan dapat membawa penumpang dari Medan menuju Jakarta. Namun karena pesawat “tidak sehat” alias mengalami ketidakberesan maka pesawat gagal take-off dan berujung pada kehancuran. Artinya pesawat yang tidak layak terbang semestinya direparasi atau diperbaiki lebih dulu atau barangkalu perlu diganti dengan yang baru.
Lalu para penumpang pesawat, mereka adalah insan-insan yang beraneka ragam dilihat dari suku, agama, ras dan antargolongan. Kenyataan demikian nyata kita saksikan lewat media televisi dan surat kabar ketika berita kecelakaan pesawat tersebut dilaporkan.
Kalau kita mencermati dari segi etnologis para penumpang Mandala tersebut, maka kita akan tahu bahwa mereka terdiri dari etnis Batak, Jawa, Tionghoa, Aceh dan barangkali masih ada suku lainnya.
Yang lebih berkesan lagi, para penumpang memeluk agama yang berbeda antara lain agama Islam, Katolik, Kristen, Budha dan agama lainnya. Hal ini kita saksikan ketika televisi baik milik pemerintah maupun swasta menyiarkan dan menampilkan pemakaman para korban yang tewas. Para korban tewas beragama Islam dimakamkan seturut ajaran Islam. Demikian pula pemakaman korban tewas beragama Katolik atau Kristen dimakamkan secara Kristiani. Pemandangan mengharukan lewat televisi tersebut menunjukkan kemajemukan dan keberbedaan yang indah.
Lalu, pilot bersama para pembantunya merupakan insan-insan kepercayaan pemilik Mandala dan otomatis oleh para penumpang pula. Para penumpang memercayakan keselamatan dan keamanan diri mereka sepenuhnya kepada pilot dan para pembantunya selama dalam perjalanan menuju tempat tujuan. Pilot menjadi tokoh kunci dan penting selama dalam perjalanan. Ia mengendalikan pesawat seturut ilmu penerbangan yang ia pelajari. Ia juga sadar bahwa pencapaian tujuan bersama tercapai dengan baik bila penumpang mau bekerja sama dengan dirinya. Misalnya para penumpang harus mematikan alat-alat elektronik selama perjalanan seperti Handphone (telepon selular) agar perjalanan pesawat tidak terganggu.
Selanjutnya unsur perjalanan dari Medan menuju Jakarta. Medan merupakan titik keberangkatan. Jakarta menjadi titik tujuan. Perjalanan dari Medan menuju Jakarta ditempuh dengan pesawat. Gambaran perjalanan dari Medan menuju Jakarta adalah sebuah pergerakan dari satu menuju titik lain, dari suatu keadaan menuju keadaan lain, dari keadaan lama menuju suatu keadaan baru. Pencapaian tujuan dapat tercapai dengan baik bila pilot dan para pembantunya memastikan dan menjamin bahwa pesawat akan dapat terbang dan atau siap mengadakan perjalanan. Namun bila pilot dan para pembantunya sembrono dan para penumpang keras kepala misalnya, maka pesawat akan gagal take-off, lalu jatuh dan meledak, akhirnya hancur berkeping-keping.
Dari Medan Menuju Jakarta
Setelah mencermati beberapa unsur peristiwa tragedi Mandala tersebut, saya melihat ada kesamaan antara perjalanan Mandala yang berangkat dari Medan menuju Jakarta dengan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berangkat dari suatu keadaan ketertinggalan dan sedang kiris multidimensi menuju suatu keadaan kemajuan negara yang demokratis, adil dan sejahtera.
Pesawat Mandala itu adalah negara kita. Para penumpang yang majemuk dan pluralis merupakan kenyataan warga NKRI. Pilot dan para pembantunya mewakili para pemimpin kita bersama para pembantunya. Perjalanan dari Medan menuju Jakarta adalah perjalanan NKRI dari keadaan miskin menuju keadaan makmur.
Dalam perjalanan tersebut para warga negara telah memercayakan keselamatan dan keamanan diri mereka kepada pemerintah bersama aparatur lainnya. Itu berarti para warga negara menyerahkan hak untuk pemeliharaan dan pengayoman kepada penyelenggara pemerintahan yang mereka percayai.
Selain itu, para warga NKRI harus mendukung pemerintah dalam melaksanakan programnya dalam kerangka pencapaian tujuan bersama. Artinya ada kerjasama antara warga NKRI dengan pemerintahnya.
Sebaliknya pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan seyogiyanya memastikan “kesehatan” negara sebelum mengadakan perjalanan. Pemerintah semestinya memastikan apakah semua warga NKRI sudah terjamin keselamatan dan keamanannya.
Siapapun yang menjadi “pilot” NKRI, ia harus menjamin keselamatan dan keamanan warga negara, seturut dasar dan konstitusinya (Pancasila dan UUD 1945). Ketetapan itu dirumuskan para bapa bangsa (the founding fathers) untuk memastikan “kesehatan” NKRI.
Menjadi relevan apa yang pernah dikatakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa kita tidak usah takut akan siapa yang menjadi “pilot” atau peminpin negeri ini, asal ia memelihara dan menjamin kebebasan pers, kebebasan akademik, kebebasan berkumpul dan berserikat, (bdk. Saydan, 1999: 3) termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Tentulah, tak seorangpun dari warga ini menginginkan NKRI mengalami tragedi Mandala. Pesawat Mandala tidak sampai ke tujuan karena pesawat “tidak sehat” alias dalam keadaan tidak layak terbang. Harapan kita sebagai warga, semoga perjalanan NKRI “dari Medan menuju Jakarta” berhasil dengan selamat sehingga negara yang demokratis, adil dan sejahtera terwujud.
Penulis adalah alumnus STFT Malang
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL
PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL
Oleh Pormadi Simbolon
Baru-baru ini Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dalam pidato politiknya saat peringatan ulang tahun ke-41 Partai Golkar, 26 Nopember 2005 yang lalu,, mewacanakan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjun ke kancah perpolitikan nasional. Latar belakang wacana tersebut rasional karena PNS yang rata-rata memiliki SDM (sumber daya manusia) yang lebih baik daripada kalangan swasta harus diberi kesempatan berkiprah dalam dunia politik.
Selain itu, banyak intelektual di jajaran birokrasi yang sangat layak untuk terjun dalam percaturan politik praktis. Pengalaman kebirokrasian, pendidikan dan pelatihan yang tertata secara sistematis menjadi kelebihan tersendiri bagi para insan PNS.
Pernyataan Jusuf Kalla yang adalah Ketua Umum Golkar itu menuai protes. Wacana yang berciri Orde Baru itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
PNS dan Kedudukannya
PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian).
Dalam Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa PNS bekedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
Dalam sejarahnya, PNS membentuk organisasi KORPRI bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasinya. Namun wadah tersebut pernah digunakan sebagai alat atau kendaraan politik untuk meraih kemenangan suara dalam Pemilu pada masa Oede Baru yang lalu.
Dari pengalaman masa lalu yang mencoreng nama baik KORPRI itu, para insan PNS menyadari perlunya kembali ke jati diri dan semangat awalnya yaitu sebagai abdi negara dan masyarakat tanpa diskriminasi. Hal itu dirumuskan dalam Panca Prasetya KORPRI dalam Munas yang diadakan pada tahun 1999, yang berbunyi: (1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. (3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia dan 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas.
Pelayan Semua, bukan Pelayan Parpol
Bila dilihat dari jati bdirinya, para insan PNS adalah pelayan untuk semua warga negara sesuai dengan bidang masing-masing tanpa diskriminasi atas suku, agama, ras dan golongan. Pegawai Negeri yang terdiri dari Pegawai Sipil, anggota TNI dan POLRI, akhir-akhir ini kembali diajak untuk terjun ke lautan politik praktis.
Berangkat dari pengalaman sejarah, ajakan kembali para PNS memasuki dunia politik tidak berlebihan bila disebut sebagai langkah mundur dan sebuah strategi yang tidak populis dan tidak menjanjikan lagi.
Memperhatikan kenyataan pada masa Orde Baru, KORPRI sebagai pemersatu insan PNS malah mengalami eksistensi yang tidak menguntungkan karena fungsi dan tujuan semula sebagai wadah mempersatukan anggotanya dan menyukseskan program pembangunan nasional serta mewujudkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pegawai Republik Indonesia berubah menjadi alat atau kendaraan politik Golongan Karya demi meraih kemenangan dalam Pemilu pada waktu itu. KORPRI menjadi milik sekelompok masyarakat dengan aspirasi politik tertentu saja, dan lalu mengakibatkan pelayanan publiknya menjadi diskriminatif. Apakah KORPRI mau kembali jatuh kepada pengalaman masa lalu?
PNS yang berjumlah kira-kira 3,7 juta orang dan bergerak di birokrasi tersebut memang merupakan aset SDM yang patut diperhitungkan Parpol dalam merebut suara rakyat dan berkampanye dalam Pemilu. Namun PNS bisa menjadi batu sandungan alias penghambat pelayanan publik secara adil dan merata bila terjun kembali ke dunia politik.
Ajakan kembali PNS terjun ke dunia politik jelas tidak relevan lagi. Hukum positif yang sudah ada yaitu UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 jelas-jelas melarang PNS menjadi anggota Parpol atau pengurus Parpol dan justru dengan tegas mau menarik diri dari dunia politik praktis.
Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2002 dikatakan bila ada PNS yang ingin menjadi anggota Parpol harus keluar dari PNS.
Sangat ironis dan tidak relevan memang, bila wacana penarikan PNS untuk terjun ke kancah perpolitikan nasional digulirkan kembali di era reformasi dan pasca reformasi. Sejak tahun 1998 sudah dikumandangkan bahwa PNS harus menjadi insan pelayan publik dan abdi negara, bukan mendua di tengah kepentingan umum dan kepentingan partai politik.
Semangat reformasi yang begitu indah didengar dan digembar-gemborkan belum lagi terwujud sepenuhnya selama 7-8 tahun terakhir, suatu ajakan untuk kembali ke “semangat” Orde Baru datang menggoda. Di tengah proses perwujudan semangat reformasi dan upaya pemerintah mereformasi birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, melakukan pelayanan publik secara prima tanpa diskriminasi, membangun sikap netral dalam politik demi mengayomi bangsa Indonesia, di situ pulalah muncul sebuah semangat lama yang ditentang insan-insan reformis. Ialah semangat penarikan kembali para insan PNS terjun ke dunia politik dan jelas-jelas tidak sehat bagi instansi birokrasi dan pemerintahan.
Citra PNS yang sering diidentikkan sebagian orang sebagai pelaku tindak korupsi harta negara secara pelan-pelan sedang proses menuju perubahan ke citra PNS yang bersih dan berwibawa, di saat itu pulalah PNS hendak dibawa kembali kepada keadaan yang semakin memperburuk citra PNS itu sendiri. Dengan masuknya para insan PNS ke dunia politik, itu berarti mereka harus berperan ganda dimana dua kepentingan yang saling berbeda harus mereka lakoni.
Yang paling mendasar dari jati diri para insan PNS adalah kedudukannya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang hanya menjalankan kebijakan dan keputusan yang ditetapkan dalam undang-undang kenegaraan yang sah, entah siapapun pimpinan pemerintahan yang sah pula dan pengganti-penggantinya. Jadi para insan PNS beserta wadahnya KORPRI, bukanlah pelayan Parpol tertentu atau Golongan Karya versi Orde Baru tetapi pelayan semua dan diperuntukkan bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.
Penulis adalah insan PNS, tinggal di Jakarta
Oleh Pormadi Simbolon
Baru-baru ini Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dalam pidato politiknya saat peringatan ulang tahun ke-41 Partai Golkar, 26 Nopember 2005 yang lalu,, mewacanakan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjun ke kancah perpolitikan nasional. Latar belakang wacana tersebut rasional karena PNS yang rata-rata memiliki SDM (sumber daya manusia) yang lebih baik daripada kalangan swasta harus diberi kesempatan berkiprah dalam dunia politik.
Selain itu, banyak intelektual di jajaran birokrasi yang sangat layak untuk terjun dalam percaturan politik praktis. Pengalaman kebirokrasian, pendidikan dan pelatihan yang tertata secara sistematis menjadi kelebihan tersendiri bagi para insan PNS.
Pernyataan Jusuf Kalla yang adalah Ketua Umum Golkar itu menuai protes. Wacana yang berciri Orde Baru itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
PNS dan Kedudukannya
PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian).
Dalam Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa PNS bekedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
Dalam sejarahnya, PNS membentuk organisasi KORPRI bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasinya. Namun wadah tersebut pernah digunakan sebagai alat atau kendaraan politik untuk meraih kemenangan suara dalam Pemilu pada masa Oede Baru yang lalu.
Dari pengalaman masa lalu yang mencoreng nama baik KORPRI itu, para insan PNS menyadari perlunya kembali ke jati diri dan semangat awalnya yaitu sebagai abdi negara dan masyarakat tanpa diskriminasi. Hal itu dirumuskan dalam Panca Prasetya KORPRI dalam Munas yang diadakan pada tahun 1999, yang berbunyi: (1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. (3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia dan 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas.
Pelayan Semua, bukan Pelayan Parpol
Bila dilihat dari jati bdirinya, para insan PNS adalah pelayan untuk semua warga negara sesuai dengan bidang masing-masing tanpa diskriminasi atas suku, agama, ras dan golongan. Pegawai Negeri yang terdiri dari Pegawai Sipil, anggota TNI dan POLRI, akhir-akhir ini kembali diajak untuk terjun ke lautan politik praktis.
Berangkat dari pengalaman sejarah, ajakan kembali para PNS memasuki dunia politik tidak berlebihan bila disebut sebagai langkah mundur dan sebuah strategi yang tidak populis dan tidak menjanjikan lagi.
Memperhatikan kenyataan pada masa Orde Baru, KORPRI sebagai pemersatu insan PNS malah mengalami eksistensi yang tidak menguntungkan karena fungsi dan tujuan semula sebagai wadah mempersatukan anggotanya dan menyukseskan program pembangunan nasional serta mewujudkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pegawai Republik Indonesia berubah menjadi alat atau kendaraan politik Golongan Karya demi meraih kemenangan dalam Pemilu pada waktu itu. KORPRI menjadi milik sekelompok masyarakat dengan aspirasi politik tertentu saja, dan lalu mengakibatkan pelayanan publiknya menjadi diskriminatif. Apakah KORPRI mau kembali jatuh kepada pengalaman masa lalu?
PNS yang berjumlah kira-kira 3,7 juta orang dan bergerak di birokrasi tersebut memang merupakan aset SDM yang patut diperhitungkan Parpol dalam merebut suara rakyat dan berkampanye dalam Pemilu. Namun PNS bisa menjadi batu sandungan alias penghambat pelayanan publik secara adil dan merata bila terjun kembali ke dunia politik.
Ajakan kembali PNS terjun ke dunia politik jelas tidak relevan lagi. Hukum positif yang sudah ada yaitu UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 jelas-jelas melarang PNS menjadi anggota Parpol atau pengurus Parpol dan justru dengan tegas mau menarik diri dari dunia politik praktis.
Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2002 dikatakan bila ada PNS yang ingin menjadi anggota Parpol harus keluar dari PNS.
Sangat ironis dan tidak relevan memang, bila wacana penarikan PNS untuk terjun ke kancah perpolitikan nasional digulirkan kembali di era reformasi dan pasca reformasi. Sejak tahun 1998 sudah dikumandangkan bahwa PNS harus menjadi insan pelayan publik dan abdi negara, bukan mendua di tengah kepentingan umum dan kepentingan partai politik.
Semangat reformasi yang begitu indah didengar dan digembar-gemborkan belum lagi terwujud sepenuhnya selama 7-8 tahun terakhir, suatu ajakan untuk kembali ke “semangat” Orde Baru datang menggoda. Di tengah proses perwujudan semangat reformasi dan upaya pemerintah mereformasi birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, melakukan pelayanan publik secara prima tanpa diskriminasi, membangun sikap netral dalam politik demi mengayomi bangsa Indonesia, di situ pulalah muncul sebuah semangat lama yang ditentang insan-insan reformis. Ialah semangat penarikan kembali para insan PNS terjun ke dunia politik dan jelas-jelas tidak sehat bagi instansi birokrasi dan pemerintahan.
Citra PNS yang sering diidentikkan sebagian orang sebagai pelaku tindak korupsi harta negara secara pelan-pelan sedang proses menuju perubahan ke citra PNS yang bersih dan berwibawa, di saat itu pulalah PNS hendak dibawa kembali kepada keadaan yang semakin memperburuk citra PNS itu sendiri. Dengan masuknya para insan PNS ke dunia politik, itu berarti mereka harus berperan ganda dimana dua kepentingan yang saling berbeda harus mereka lakoni.
Yang paling mendasar dari jati diri para insan PNS adalah kedudukannya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang hanya menjalankan kebijakan dan keputusan yang ditetapkan dalam undang-undang kenegaraan yang sah, entah siapapun pimpinan pemerintahan yang sah pula dan pengganti-penggantinya. Jadi para insan PNS beserta wadahnya KORPRI, bukanlah pelayan Parpol tertentu atau Golongan Karya versi Orde Baru tetapi pelayan semua dan diperuntukkan bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.
Penulis adalah insan PNS, tinggal di Jakarta
Label:
berita,
kinerja PNS,
pegawai negeri sipil,
politik
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Langganan:
Postingan (Atom)