GENERASI MUDA: BANGKIT DAN BERGERAKLAH!
Oleh: Pormadi Simbolon
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa berbudaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang tinggi, bermoral merosot, dan lingkungannya rusak serta nyawa warganya gampang melayang. Sementara teriakan sekelompok kecil penentang kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut tak ampuh menghentikan arus besar “gerakan” koruptor, maling dan tokoh-tokoh busuk yang ada di republik ini. Barangkali seruan Gymnastiar (Aa Gim) untuk mengurangi kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut adalah generasi muda harus memulai dari dirinya sendiri dan dari hal kecil untuk membangun keadaban publik yang bermartabat dan terhormat.
Dewasa ini, banyak orang membahas dan meneriakkan pemberantasan KKN, namun budaya busuk dan tidak beradab tersebut tetap merajalela mulai dari birokrasi tingkat paling tinggi hingga birokrasi tingkat paling rendah. Mengapa, ternyata sejulah pejabat publik yang kita kenal publik di permukaan dan meneriakkan pemberantasan korupsi, ternyata sudah menjadi tahanan polisi karena tindakan korupsi. Ternyata ada maling teriak maling. Tidak heran, Indonesia semakin kehilangan kepercayaan dari mata dunia internasional. Sampai sekarang kebiasaan maling dan rakus masih dipertontonkan di hadapan publik bangsa dan dunia.
Betapa merosotnya moral bangsa ketika kesibukan para pejabat publik memikirkan diri, kelompok atau golongan terbatas dan pengejaran cita-cita sektarian. Mereka melalaikan cita-cita hakiki bangsa ini ketika didirikan yaitu mengejar kemaslahatan segenap rakyat Indonesia. Akibatnya, banyak rakyat kecil semakin menderita dan miskin sementara para pejabat busuk menikmati uang negara secara haram.
Egoisme dan sektarianisme para maling juga tidak mempedulikan keselamatan lingkungan. Para maling dan tokoh busuk merusak lingkungan secara sewenang-wenang dengan melakukan perusakan hutan. Baru-baru ini kita digemparkan dengan kasus illegal logging terbesar yang terjadi di Papua dan Kalimantan. Kasus tersebut sudah berlangsung selama puluhan tahun dan merugikan negara sampai triliunan rupiah. Nyatanya pencurian kayu tersebut sudah membiasa bagi para cukong jahat dan pejabat publik bermoral busuk di rebublik ini.
Di saat gerakan pemberantasan korupsi sedang berjalan, pada saat yang sama pula sejumlah pejabat publik melakukan korupsi dengan membagi-bagikan uang negara. Ingat kasus KPU yang sedang marak sekarang ini. Ini sungguh menunjukkan betapa merosotnya keadaban sejumlah pejabat publik.
Yang lebih menakutkan lagi, sekelompok anak-anak bangsa ini memiliki niat menghilangkan nyawa orang-orang tidak bersalah. Niat jahat tersebut diwujudkan dengan melakukan peledakan bom dan provokasi di tengah masyarakat. Lagi, kecurigaan yang tergesa-gesa terhadap sesama dan kegampangan tersinggung alias marah ikut mempertebal niat untuk mengorbankan nyawa sesamanya.
Kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut belum bisa di tangani pemerintah , apalagi oleh teriakan sekelompok pejuang keadilan dan kepentingan segenap rakyat. Segelintir orang saja yang berani mencoba menentang arus budaya maling dan biadab yang sudah kasat mata.
Keberanian itu amat mahal harganya. Almarhum Baharuddin Lopa harus wafat ketika ia berencana memanggil koruptor ke pengadilan. Ia kehilangan nyawanya karena kehendaknya menegakkan keadilan.
Jaksa Agung saat ini, Abdurahhman Saleh merupakan harapan publik untuk mengadili para koruptor secara transparan. Selain karena latar belakangnya yang bersih dan jujur, ia juga merupakan tokoh yang berani menentang pembebasan Akbar Tanjung sebagai tersangka koruptor. Namun sayang, ia cepat naik pitam dan marah ketika seorang anggota DPR, Anhar menyebutnya “bagai ustadz di kampung maling”. Mestinya, kritikan tersebut memacu dirinya mengadili para koruptor dan maling harta negara.
Sekarang semakin jelas di hadapan kita, bahwa tidak sedikit pejabat dan pengelola badan publik di negeri ini mempertontonkan kebiasaan busuk dan tidak beradab yaitu KKN, tindakan amoral dan “asusila”. Masalah serius yang sedang mengancam nasib bangsa menjadi penyebab rusaknya keadaban publik. Seyogiyanya, masalah tersebut menjadi keprihatinan generasi bangsa ini.
Salah satu usaha terbaik, menurut Aa Gym adalah semua orang yang berkehendak baik berpartisipasi memperbaiki keadaban publik bangsa dengan berani memulai kebiasaan beradab, bermartabat dan terhormat dari diri individu dan dari hal kecil.
Sejak Orde Baru hingga “Orde Reformasi” generasi muda bangsa ini kesulitan mencari tokoh-tokoh yang dapat dijadikan model atau teladan bagi mereka. Tak heran kebanyakan generasi muda kerap kali menjadikan para tokoh bangsa jaman pra-Orde Baru saja menjadi model. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan Mohammad Roem.
Jika kita cermati riwayat hidup, pergulatan dan perjuangannya, keluar-masuk penjara, dibuang dan diasingkan, maka kita akan sadar betapa susahnya menggapai keberhasilan secara beradab, bermartabat dan terhormat. Keunggulan individu dari tokoh-tokoh tersebut persepsi dan praksis mereka memilih hidup berjuang serba susah namun terhormat dan bermartabat demi suatu keberhasilan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Ada baiknya juga, jika segenap kaum muda bangsa ini, terutama di saat merenungkan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei tahun ini, mau belajar dari para tokoh bangsa di negeri ini.
Tak salah juga jika belajar dari tokoh dunia seperti Benjamin Franklin, mantan presiden Amerika Serikat. Ia membangun keadaban individu dari dirinya sendiri. Mari wahai generasi muda bangsaku, bangkit dan bergeraklah dari tidurmu untuk membangun keadaban bangsa secara bermartabat dan terhormat seperti yang diteladankan para tokoh bangsa dan dunia.
Benjamin Franklin mempelajari dan mempraktekkan budaya jujur, adil, ugahari, diam (tidak gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang, teguh hati, hemat, rajin, moderat, bersih (sehat), hidup murni dan rendah hari. Ketigabelas budaya beradab tersebut dipraktekkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri menjadi insan beradab, bermartabat dan terhormat. Ia tidak terkecoh dengan budaya curang rekan-rekannya.
Setiap satu dari keadaban ini dipraktekkannya dalam satu minggu. Lalu pada setiap akhir minggu, perjuangan tersebut dievaluasinya. Bila gagal dalam minggu ini, ia melanjutkannya di Minggu berikutnya. Demikian seterusnya hingga ia berhasil menjadi insan beradab.
Keadaban jujur dijalankannya untuk menjauhi tipu muslihat yang menyakitkan hati, untuk berpikir bersih dan adil serta belajar berbicara tentang apa yang benar alias tidak berbohong. Antara kata-kata dengan tindakan serasi.
Sedangkan keadaban adil dipelajarinya agar ia tidak gampang menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang merugikan orang lain atau melalaikan hal-hal yang menjadi kewajibannya.
Begitu pula keadaban ugahari didalaminya dengan belajar makan dan hidup yang cukup. Ia tidak makan dan minum terlalu banyak sehingga kelak ia tahu diri dan tidak memikirkan perutnya sendiri atau kelompoknya.
Demikian seterusnya untuk keadaban-keadaban bermartabat lainnya, digulatinya untuk membentuk diri menjadi insan beradab. Tak heran ia dipilih rakyat menjadi presiden, dan menjadi teladan bagi generasi muda bangsanya.
Generasi muda bangsa menjadi tonggak harapan perubahan keadaban bangsa yang rusak dan merosot. Kaum muda seyogiyanya berani memulai dari dirinya sendiri. Memulai dari diri sendiri memang bukan pekerjaan yang mudah. Usaha ini butuh motivasi dan kerendahan hati yaitu berangkat dari keprihatinan mendalam akan keadaban sejumlah pejabat pengelola publik di negeri ini. Upaya tersebut juga butuh kesediaan dan kerelaan secara bebas dan sadar akan susah-payah dan jatuh-bangun seperti yang ditunjukkan pengalaman Benjamin Franklin, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan Tokoh lainnya.
Tidak ada kata mundur bagi para insan beradab. Bagi mereka, usaha dan kerja keraslah yang membuat mereka menang secara terhormat. Mereka tidak picik. Mereka menghimbau ketabahannya. Memang mudah sekali untuk berhenti, namun untuk tetap tabah, itulah yang sulit. Meskipun mereka keluar dari pergulatan meletihkan dengan babak belur, patah dan takut, namun mereka tetap meneruskan perjuangannya.
Baru-baru ini, forum diskusi “Menembus Batas Nalar” yang diselenggarakan oleh Group Kompas dan Yayasan Mahardhika, mengemukakan bahwa bangsa ini perlu melakukan rekonstruksi peradaban (Kompas, 24/02/05). Rekonstruksi tersebut dibutuhkan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah dalam kondisi kritis yang amat gawat.
Menurut hemat penulis, membangun keadaban individu dari diri sendiri atau dari keluarga sendiri menjadi salah satu kunci untuk menciptakan kedaban publik yang memperhatikan keseimbangan moral dan nalar bangsa. Akhirnya tiada lagi pepatah-petitih “bagai ustadz di kampung maling” atau bila dibalik “bagai maling di kampung ustadz”. Semoga.
Pormadi Simbolon, SS, Alumnus STFT Widya Sasana Malang,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar