Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Januari 25, 2007

JAKARTA BERWAJAH "PANAS"!

JAKARTA BERWAJAH “PANAS”!
Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!

Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.

Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.

“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.

Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.

Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.

Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.

Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!

Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.

Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.

Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.

Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.

Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger