Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label PANCASILA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PANCASILA. Tampilkan semua postingan

Senin, September 23, 2019

Menggali Nilai-Nilai Lokal Nusantara


foto: pormadi
Buku ini berisi nilai-nilai kebijaksanaan lokal yang sudah lama tertanam dalam alam pikiran dan jiwa bangsa Indonesia. Menurut Soekarno, Pancasila adalah Philosophische Grondslag yaitu fundamen yang sedalam-dalamnya. Dia juga jiwa, hasrat yang sedalamdalamnya tempat didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi (hal14).

Makna “sedalamdalamnya” dikembangkan dalam buku ini. Kedalaman hasrat, jiwa, dan filsafat bangsa inilah yang menjadi fondasi Indonesia merdeka sehingga lestari sepanjang masa.

Buku Kearifan Lokal-Pancasila, Butir-butir Filsafat Keindonesiaan salah satu kontribusi dan harapan sebagai pemicu untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai lokalitas dan kedaerahan diangkat untuk mengayakan, meluaskan, dan mengaktualisasikan cakrawala pengertian nilai-nilai Pancasila. Kearifan lokal digali dari budaya Nusantara, sehingga menampakkan “konsep filsafat keindonesiaan”.

Butirbutir kebijaksanan, antara lain berasal dari Jawa, Batak Toba, Manggarai, Minahasa, Sunda, Dayak, Bali, Toraja, dan Papua. Kearifan lokal tersebut selaras dengan Pancasila sebagai perekat bangsa yang digali Soekarno. Ini mulai dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebersatuan, musyawarah, demokrasi serta tata keadilan. Itulah butir-butir emas filsafat keindonesiaan.

Ambil contoh kearifan lokal dari Papua: Pandangan tentang Alam/ Tanah. Bagi orang Papua, alam atau tanah dilihat sebagai supermal tempat mengambil hasil alam demi kelangsungan hidup. Tanah dipandang sebagai tempat berkebun dan mencuci. Tanah juga sebagai ibu yang melahirkan, membesarkan serta sebagai identitas diri. Maka, lingkungan alam harus dijaga dan dirawat (hal 496).

Kearifan lainnya, penyelesaian sengketa melalui bakar batu untuk harmoni dan keadilan. Sengketa bahkan peperangan menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengalaman hidup harian orang Papua. Ada siklus: berkelahi, membayar denda, berdamai, bakar batu, lalu makan bersama. Masalah sudah selesai.

Denda dilihat sebagai ganti rugi atas penderitaan korban. Nilai yang digali harmoni, etos kesederajatan dan keadilan sebagai sesama manusia (hal 498). Para penulis kebanyakan berlatar belakang pendidikan filsafat, sehingga dalam pencarian akan kebijaksanaan lokal tidak diragukan. Belum seluruh kearifan lokal Indonesia bisa dijangkau buku ini karena keterbatasan ruang dan jangkauan.

Ada pesan tersirat ke depan yang menantang pembaca untuk mencari dan menggali kearifankearifan lokal yang masih tersebar di Nusantara untuk ditampilkan ke hadapan publik. Buku merupakan kontribusi para penulis dalam rangka memperkaya dan memperluas cakrawala pemahaman nilai-nilai Pancasila.

Buku ini perlu dibaca warga yang berkehendak baik agar Indonesia tetap berdiri di atas Pancasila sebagai dasar negara.

Diresensi Pormadi Simbolon, mahasiswa pascasarjana STF Driyarkara Jakarta

Kamis, September 05, 2019

Mendukung Program Moderasi Beragama

Foto: Republika Online
Beberapa tahun belakangan ini, sekelompok kecil warga negara menampilkan cara hidup beragama secara berlebihan. Mereka kelompok kecil, tapi karena media sosial, suara mereka menjadi "besar". Mereka kerapkali mengatasnamakan gagasan agama untuk menebarkan berita bohong (hoaks), caci-maki, amarah, fitnah, sikap permusuhan, dan ujaran kebencian dan pemecah-belah bangsa.

Mereka juga kelompok yang berkeinginan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Anggota atau simpatisan kelompok ini seperti dilansir dari media massa tersebar di berbagai lembaga, baik di Kementerian/ lembaga pemerintah maupun lembaga yang didirikan masyarakat sipil. Yang tidak habis pikir, kejadian terakhir adalah viralnya video tokoh agama terkenal berisi dugaan penghinaan simbol agama lain. Dalam tulisan ini, penulis mendukung Pemerintah menggagas suatu kebijakan atau program moderasi beragama melawan ekstrimisme dan radikalisme.

Moderasi Beragama
Bertitik tolak dari keadaan yang terjadi di berbagai lini publik, maka Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Agama mencetuskan program atau kebijakan yaitu program moderasi beragama sesuai dengan tugas pokoknya.

Bahkan dalam Rencana Strategis 2020-2024, moderasi beragama menjadi salah satu program unggulannya. Tahun ini, semakin digaungkan Menteri Agama sebagai salah satu upaya mengurangi cara hidup beragama secara berlebihan atau eksesif.

Program moderasi beragama bermakna sebagai program menempatkan cara hidup beragama berjalan di tengah, tidak ekstrim ke kiri atau ekstrim ke kanan, tidak jatuh pada radikalisme atau liberalisme. Para pemeluk agama dapat mengamalkan ajaran agama berada di jalurnya.

Kementerian Agama sudah membentuk kelompok kerja dan menyusun buku pedoman moderasi beragama. Buku tersebut menjadi pegangan dalam mengimplementasikan program moderasi beragama baik di lembaga pendidikan formal maupun non formal.

Publik sudah sepatutnya mengapresiasi program Kementerian Agama tersebut. Semua yang berkehendak baik, patut mendukung gagasan moderasi beragama. Pada hakekatnya agama hadir untuk memanusiakan manusia, membawa misi damai dan keselamatan, serta mengakui dan menghargai kemajemukan agama dan budaya masyarakat Indonesia.

Peran Negara

Kehadiran negara, dalam hal ini melalui Kementerian Agama sangat dibutuhkan. Kementerian Agama bersama jajarannya bertugas memantau dan mengontrol agar agama tidak jatuh ke dalam tindakan yang berlebihan, seperti radikalisme, karena klaim kebenaran tunggal agamanya, dan hendak meniadakan agama lain. Memang tidak mudah.

Agar optimal dalam pelaksanaan program tersebut, Pemerintah amat tepat bila melibatkan masyarakat sipil, tokoh dan aktivis keagamaan berhaluan moderat, selain sebagai kewajiban bagi semua jajaran ASN Kementerian Agama dari Pusat sampai ke Daerah. Melalui program moderasi beragama, masyarakat dilibatkan melawan segala bentuk penyebaran berita bohong (hoaks), caci-maki, amarah, fitnah, ujaran pemecah-belah bangsa, ujaran menghina simbol agama lain, dan termasuk melawan ide mengganti ideologi negara.

Tugas dan peran negara tersebut bercermin pada dasar negara (Pancasila) dan pilar kebangsaan lainnya yaitu: Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undan-Undang Dasar 1945.

Pancasila sebagai Titik Temu

Pancasila sebagai dasar negara merupakan kesepakatan para pendiri bangsa. Ia menjadi fundamen Indonesia merdeka, di atasnya berdiri Indonesia. Ia adalah falsafah hidup berbangsa dan bernegara yang digali dari alam pikiran dan jiwa bangsa Indonesia. Ideologi Pancasila menjadi pegangan utama Pemerintah.

Sebagai filsafat hidup bangsa, Pancasila menjunjung tinggi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah/mufakat dan keadilan sosial. Hak asasi manusia dihormati. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (demokrasi) diterapkan sebagai perwujudan tata hidup bersama berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, ia menjadi titik temu bagi warganya yang berbeda agama, suku, ras dan golongan dalam tata hidup bersama.


Penyadaran

Bercermin pada nilai-nilai Pancasila tersebut, cara hidup beragama moderat di tengah masyarakat bisa diwujudkan dan dipantau. Melalui langkah tersebut, hidup beragama ekstrim dan radikal segera dapat dideteksi sejak dini, agar tidak sempat merusak kebersamaan (harmoni) sebagai warga bangsa. Kelompok ekstrim atau radikal di berbagai negara seperti Suriah dan Afganistan sudah membuktikannya.

Masalahnya, berdasarkan berbagai pengalaman sejarah seperti di Afganistan, cara hidup beragama ekstrim itu melahirkan tindakan tidak berperikemanusiaan. Cara hidup ekstrim tersebut dapat membahayakan hidup manusia lain dan mengganggu kebersamaan terutama jika dalam pikiran atau ceramah keagamaannya sibuk memberi label/ cap negatif (misalnya: kafir, musuh, dan lain-lain) pada pemeluk agama lain, yang notabene sesama manusia konkrit ciptaan Allah.

Untuk itu, pemeluk agama ekstrim semacam itu, perlu mendapatkan penyadaran (conscientization) bahwa kerukunan hanya dapat diwujudkan ketika ada sikap saling menghargai dan menghormati. Harkat dan martabat manusia yang berbeda agama mesti dihargai dalam kesetaraan dan kesederajatan.

Pemeluk agama ekstrim atau radikalis perlu diawasi. Dalam konteks program moderasi beragama, mereka yang terpapar radikalisme perlu dibina dan disadarkan (deradikalisasi) agar memiliki sikap empatik dalam hidup bersama. Sekedar contoh, kaum minoritas bisa merasakan apa yang dirasakan kaum mayoritas, dan yang mayoritas bisa merasakan apa yang dirasakan yang minoritas.

Contoh lain, penyadaran lebih lanjut, bisa jadi di tempat tertentu agama A bisa jadi mayoritas, tetapi agama B bisa jadi minoritas, sebaliknya di daerah tertentu, agama B bisa jadi mayoritas, tetapi agama A bisa jadi minoritas. Maka tiap umat beragama yang berbeda perlu saling beradaptasi, saling mengerti baik rasa kemayoritasannya maupun keminoritasannya.

Penyadaran tersebut membawa pemeluk agama menjadi moderat. Ia berpikiran terbuka. Pikiran terbuka bermakna tiap pemeluk agama mau mendengarkan, memiliki sikap empatik, menghargai manusia lain, bersikap rendah hati, inklusif (merangkul), dan adaptif (tanpa kehilangan makna agamanya).

Untuk melawan sikap ekstrim dan radikal, program moderasi beragama pantas dan wajib didukung. Moderasi beragama bermakna membangun tata hidup bersama yang rukun, maju, adil, sejahtera dan damai. (PS)

Senin, September 02, 2019

Mendukung Revolusi Pancasila

Tak habis pikir, kita terkejut dengan beberapa peristiwa memprihatinkan bagi Indonesia. Di tengah perayaan HUT kemerdekaannya yang ke-74 tahun ini, viral sebuah video (Ustad Abdul Somad - UAS) diduga berisi ceramah tentang penghinaan simbol agama Nasrani. Disusul dengan merebaknya isu rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Suasana kebersamaan kita terganggu.

Peristiwa tersebut mengajarkan bahwa kita masih harus belajar dan merefleksikan nilai-nilai Pancasila dalam konteks tata hidup bersama bangsa, agar ia menjadi milik dan mempribadi dalam diri warga Indonesia.

Dalam tulisan ini, penulis menelisik perjalanan historisitas Pancasila dalam konteks penghayatan di tengah masyarakat dan kemudian mendukung gerakan revolusi Pancasila.


Belajar dari sejarah

Dalam pidato, yang dalam sejarah dipatenkan sebagai pidato kelahiran Pancasila, tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indoesia), Sukarno menyebut Pancasila adalah Philosophische Grondslag. Pancasila adalah dasar negara.

Refleksi atas Pancasila sebagai dasar negara dalam perjalanan sejarah bangsa melahirkan sebuah pelajaran berharga, yaitu tidak ingin jatuh dalam kesalahan yang sama. Historisitas Pancasila dapat dibagi ke dalam empat era perjalanan bangsa Indonesia yaitu (1) era Philosophische Grondslag; (2) Pancasila di era perumusan dan zaman revolusi; (3) Pancasila di era Orde Baru; dan (4) Pancasila era Reformasi dan Pascareformasi (Armada Riyanto: 2015) dengan ciri khasnya sendiri.

Pada era awali yaitu era kebutuhan akan suatu Philosophische Grondslag, keberadaan Pancasila dipandang sebagai sebuah keharusan bagi bangsa Indonesia.

Masa berikutnya adalah Pancasila di era perumusan dan zaman revolusi (hingga 1965). Dalam perumusannya dan penjelasannya, Pancasila sebagai dasar negara kerapkali masih diperdebatkan. Pada era ini terjadi pergolakan ideologis. Untuk meyakinkan semua pihak, Bung Karno berupaya memberikan kuliah umum atau kursus singkat baik di Istana negara maupun di Universitas Gajah Mada untuk menjelaskan mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara.

Lalu, Pancasila di era Orde Baru mendapat warna baru. Orde Baru hendak menguatkan Pancasila melalui penataran-penataran tentang Pancasila kepada para murid, mahasiswa, pejabat-pejabat negara dan masyarakat umum.

Di lain pihak, Pancasila bagi penguasa Orde Baru digunakan tameng untuk menolak ideologi-ideologi lainnya seperti komunisme dan liberalisme. Namun tanpa disadari, Pancasila menjadi benteng pertahanan kekuasaan Orde Baru, yang berujung pada munculnya perlawanan dari gerakan mahasiswa dan masyarakat. Pada era ini Pancasila tampil sebagai alat, dan berada di luar diri bangsa Indonesia, alias di atas kertas dan bagian formalitas birokrasi. Orde Baru membawa bangsa Indonesia pada kemerosotan di banyak bidang kehidupan bangsa.

Terakhir, Pancasila pada era Reformasi dan Pascareformasi. Pada era reformasi, ada dorongan agar Pancasila direvitalisasi sehingga kesatuan Indonesia (suku, agama, ras, antargolongan) beserta kedaulatan wilayahnya dapat dipertahankan, meskipun Timor Timur akhirnya melepaskan diri. Lebih lanjut, pada era pascareformasi, studi historis-hermenutis tentang Pancasila mendapat tempat dan ruang leluasa. Nilai-nilai lokalitas dimaknai sebagai pengayaan dan pengaktualisasian nilai-nilai Pancasila. Bahkan pemerintah mendirikan sebuah badan yang bertugas untuk merumuskan pembinaan dan penguatan Pancasila bagi warganya.

Dilihat dari historisitasnya, meski belum membatin dalam diri bangsa Indonesia, Pancasila kokoh berhadapan dengan ideologi komunisme dan liberalisme. Upaya mengganti ideologi Pancasila terbukti gagal. Mayoritas rakyat Indonesia tidak menerima ideologi agama yang dijual selama masa kampanye. Ideologi komunis hancur. Ideologi Pancasila masih yang terbaik bagi mayoritas rakyat. Sebagian besar elemen masyarakat Indonesia (kaum nasionalis, ormas keagamaan terbesar seperti NU dan Muhammadiyah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama dan adat) mengakui dan menerima Pancasila terbaik.


Sebagai Kebenaran Bersama
Dalam Pancasila, Indonesia memiliki nilai-nilai luhur nenek moyangnya seperti konsep ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Dalam nilai-nilai tersebut, konsep demokrasi, kebebasan yang bertanggung jawab, etika, hak asasi manusia sudah tercakup. Nilai-nilai luhur tersebut dipandang sebagai “kebenaran bersama” alias konsensus final. Nilai-nilai tersebut sudah lama dihidupi dalam pikiran dan jiwa bangsa Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana cara agar nilai-nilai Pancasila tersebut dapat menjadi milik dan dihayati warga Indonesia? Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila, Pemerintah dan segenap lapisan masyarakat perlu melakukan gerakan revolusi Pancasila (Yudi Latif, 2015). Menurut hemat penulis, gerakan revolusi Pancasila sangat mendesak dilakukan.

Revolusi harus dimulai dari lingkungan Pendidikan. Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebaiknya dihidupkan lagi dengan metode relevan. Sekolah dengan label negeri tidak pas lagi memaksakan atribut agama tertentu kepada peserta didik. Tenaga dosen dan guru yang direkrut adalah warga yang Pancasilais. Para Aparatur Sipil Negara, termasuk pejabat dan penyelenggara Negara harus bersih dari racun ideologi anti-Pancasila. Semua organisasi anti-Pancasila yang kerap mengganggu harus dibubarkan. Yang lebih penting, Pemerintah bersama semua lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab, hasrat dan komitmen bersama untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi perekat dan penjamin persatuan bangsa. Semua yang bertetangan dengan Pancasila (penyebaran hoaks, penghinaan simbol agama, rasisme, dan lain sebagainya) menjadi musuh bersama (PS)

Rabu, Februari 26, 2014

Memilih Pemimpin Pancasilais

Oleh Pormadi Simbolon

Pemilu 2014
(ilustrasi: kpu.go.id)
Tahun ini merupakan tahun politik. Kita akan mengikuti pesta demokrasi memilih para pemimpin yang duduk di parlemen dan presiden dan wakilnya. Saatnya kita memilih para pemimpin yang mengusung perubahan menuju Indonesia menjadi lebih demokratis, adil, rukun, bersatu dan sejahtera. Itu berarti kita harus memilih pemimpin Pancasilais sesuai dengan visi para Bapak Pendiri Bangsa.

Alasan mendasarnya sebagaimana dikemukan oleh Soekarno dalam sidang Zyunbi Tyosakai pada tanggal 1 Juni 1945 bahwa yang dibutuhkan Indonesia merdeka adalah Philosofische Grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal, dan abadi (Otto GUsti Madung, Lahirnya Pancasila, Jakarta: Inti Idayu Press, 1986, Hlm.133).



Pengalaman Masa Lalu

Bila lihat ke belakang sejarah perjalanan bangsa dapat dengan mudah ditelusuri mulai dari rejim Orde Lama, Orde Baru, pada awalnya rejim-rejim selalu bertekad melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Namun dalam perjalanannya rejim-rejim tersebut tumbang karena memanipulasi Pancasila untuk kepentingan kekuasaan.

Pada masa Orde Lama, Pemimpin memberlakukan Pancasila hanya sebagai retorika politik daninstrumen untuk menggalang kekuasaan dan ternyata berlanjut pada masa Orde Baru. Hanya bedanya, pada masa Orde Lama, Pancasila dimanipulasi menjadi kekuatan politik dalam bentuk bersatunya tiga kekuatan yang bersumber dari tiga aliran yaitu: nasionalisme, agama dan komunisme; pada Orde Baru, Pancasila disalahgunakan sebagai ‘ideologi’ penguasa untuk memasung pluralisme dan mengekang kebebasan berpendapat dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa demokrasi terpimpin, ancaman bangsa dan Negara adalah neo-kolonialisme,padajaman Orde Baru ancaman bangsa dan Negara adalah komunisme.

Baik jaman Orde Lama maupun JamanOrde Baru, keduanya sama dan sebangun yaitu menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai instrumen penguasa agar kekuasaan dapat dipusatkan kepada seorang pemimpin. Hasilnya, pada masa Orde Lama kekuasaan memusat di tangan Pemimpin Besar Revolusi, sementara itu pada Jaman Orde Baru otoritas politik sepenuhnya di tangan Bapak Pembangunan. Kekuasaan yang semakin akumulatif dan monopolistik di tangan seorang pemimpin menjadikan mereka juga berkuasa menentukan apa yang dianggap benar dan apa dianggap salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal itu sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya. Karena Orde Baru tidak dapat belajar dari pengalaman sejarah rejim sebelumnya, akhirnya kekuasaannya pada tahun 1990-an runtuh oleh kekuatan masyarakat.

Pasca-Orde Baru lahir “Orde Reformasi” sebagai tuntutan masyarakat banyak. Orde Reformasi hadir membawa berkah sekaligus musibah. Pengalaman selama belasan tahun masa Reformasi, menujukkan demokratisasi telah dimanipulasi oleh elit politik. Pengejaran kekuasaan sarat dengan berbagai kepentingan dan egosisme pribadi dan atau kelompoknya. Ranah politik sarat dengan jual beli pasal kekuasaan, jual beli keadilan di ranah hokum. 

Masyarakat mendapat berkah kebebasan,tetapi sebagian masyarakat mempergunakan kebebasan dengan tidak mengindahkan kepentingan atau kebebasan orang lain. Kita masih ingat musibah Cikeusik dan Temanggung beberapa tahun lalu. Betapa ironisnya, kehadiran Pemimpin belum benar-benar dirasakan masyarakat sebagai bagian dari warga Negara Republik ini yang harus dilindungi. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang memiliki roh dan jiwa Pancasilais, yang mengedepankan pengabdian pada kesejahteraan masyarakat, pencerdasan bangsa dan pengayoman bagi segenap warga Negara.



Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila

Gema Pancasila pada masa reformasi ini semakin redup, bahkan nilai-nilai Pancasila semakin terlupakan di ranah publik dan politik, padahal Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara merupakan puncak kesepakatan nasional, yang harus ditegakkan dan diwujudkan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.

Nilai-nilai Pancasila perlu dihidupkan dan disosialisasikan kembali. Pasalnya, kita ini bangsa yang gampang lupa. Lupa akan pengalaman pahit sejarah masa lalu. Padahal nilai-nilai Pancasila sudah menjamin eksistensinya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Makna yang terkandung dalam sila-sila Pancasila seyogiyanya dilestarikan siapapun yang menjadi warga negara.

Dari sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa mengandung makna bahwa kita percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. 

Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung makna: mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia, saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa,tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, bekerjasama dan saling menghormati dengan bangsa lain.

Sila Persatuan Indonesia bermakna: menempatkan persatuan, kesatuan di atas kepentingan pribadi dangolongan, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, cinta tanah air dan bangsa, bangga sebagai bangsa Indonesia dan ber-tanah air Indonesia dan memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna: mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Terakhir, yakni sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh Indonesia bermakna: mengembangkan kegotong-royongan, bersikap adil, menghormati hak-hak orang lain, bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Dari sila pertama sampai dengan sila kelima, dapat dilihat bahwa nilai-nilai tersebut semakin langka ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dibutuhkan para pemimpin yang memiliki komitmen untuk menerapkan Pancasila secara tegas dan konstitusional.



Harus memilih pemimpin Pancasilais

Pada tanggal 9 April nanti, rakyat Indonesia akan memilih calon-calon legislatif (caleg) yang akan memperjuangakan nasib dan kesejahteraan masyarakat banyak. Disinyalir, mayoritas sosok anggota DPR RI/DPRD/DPD berwajah lama, kembali menjadi caleg untuk periode 2014-2019. Padahal, anggota dewan terhormat tersebut dikenal tidak berkinerja baik, bahkan sering bolos. Akhirnya, masyarakatlah yang harus cerdas mempertimbangkan untuk memilih para caleg sesuai hati nuraninya agar kinerjanya benar-benar memperbaiki kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Juga pada bulan Juli nanti, kita akan kita akan memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Banyak figur-figur calon pemimpin yang mulai disuarakan publik seperti Joko Widodo, Prabowo Subiyanto, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Bupati Bojonegoro Suyoto, dan mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rustriningsih dan lain-lain. 

Dari tokoh-tokoh tersebut, masyarakat bisa menilai siapa yang memiliki reputasi, rekam jejak, kompetensi dan terutama kepribadiannya yang “menjiwai” nilai-nilai Pancasila. Masyarakat bisa mempertimbangkan untuk memilih para capres dan cawapres yang benar-benar untuk mengabdi dan melayani masyarakat, dan tidak memilih mereka yang bertujuan untuk “mencari pekerjaan” sebagai penguasa. 

Memilih Pemimpin yang tegas dan berkomitmen menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ke depan merupakan keharusan. Alasannya, agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap eksis dan hidup dan benar-benar menjadi Indonesia Raya (Megawati Soekarnoputri), jika tidak maka Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila hanya ada di atas kertas, sebagai wacana dan retorika yang pada akhirnya bisa hilang. 

Franz Magnis Suseno, dosen STF Driyarkara, pernah berkata bahwa Pancasila merupakan eksistensi negara dan bangsa Indonesia. Melepaskan, mengebiri, mengubah, mencairkan Pancasila adalah sama dengan pembatalan kesepakatan bangsa Nusantara untuk bersama-sama mendirikan Republik ini. Sentuhlah Pancasila dan Anda menyentuh eksistensi negara dan bangsa Indonesia (Magnis Suseno: 2011). Semoga

Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang
Powered By Blogger