Oleh Pormadi Simbolon
Baru-baru ini sebuah video berdurasi 1 menit 19 detik beredar melalui media sosial Whatsapp. Dalam video tersebut, mantan presiden RI, Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa kita adalah warga negara bersama. Kita ini sedang mencari pemimpin pemerintahan, bukan mencari pemimpin agama. Ia berharap warga tidak mempergunakan isu SARA dalam pemilihan kepala daerah putaran kedua di Provinsi DKI Jakarta.
Pernyataan Presiden ke-5 RI tersebut amat jelas membedakan pemimpin pemerintahan dengan pemimpin agama. Dalam pernyataan tersebut tersirat bahwa pemimpin ideal bagi kita sebagai warga negara adalah pemimpin pemerintahan. Hal ini sangat relevan dalam konteks Negara Indonesia yang memiliki Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila dan semboyannya adalah Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A UUD 1945). Itulah sebabnya, Megawati Soekarnoputri yang juga merupakan ketua PDI-P tersebut mengajak warga DKI Jakarta mencari pemimpin pemerintahan dan bukan mencari pemimpin agama.
Pemimpin pemerintahan melaksanakan tugasnya sesuai dengan Konstitusi yang disepakati para pendahulu atau pendiri bangsa, berdasarkan fakta kemajemukan dan nilai-nilai kearifan lokal warga bangsa Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal (termasuk nilai-nilai agama) sudah dipadatkan dalam nilai-nilai yang terdapat dalam lima sila Pancasila. Sedangkan pemimpin agama berdasarkan aturan dan ajaran agama tertentu saja, yaitu agama yang dianutnya.
Pemimpin pemerintahan dipilih oleh warga negara yang beranekaragam suku, agama, ras dan golongan. Sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama maka pemimpin pemerintahan sejatinya melayani semua warga negara tanpa memandang ras dan agama (Marshall, 1950).
Gambaran seorang pemimpin pemerintahan "tidak mengenal" agama mirip dengan gambaran pemimpin yang digambarkan oleh Sokrates. Dalam dialog antara Socrates dengan Thrasymacus dalam buku Republic tentang pemimpin yang baik "Orang-orang baik tidak akan mau memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah dan disebut bekerja demi uang, juga tidak ingin secara rahasia memetik manfaat saat memerintah dan disebut sebagai para pencuri. Demikian pula, mereka tidak ingin memerintah demi kehormatan karena mereka bukanlah pecinta kehormatan" dikutip dari buku,"Political Theory: Kajian klasik dan Kontemporer: Edisi Kedua karya Joseph Losco & Leonard Williams (2005). Pemimpin pemerintahan ideal adalah orang yang bijaksana, yang melayani secara jujur, tulus, bersih dan sungguh-sunguh sesuai dengan hakekat tugas pemimpin, bukan pencuri, bukan demi uang dan kehormatan.
Bulan April ini, warga DKI Jakarta sedang mempersiapkan diri melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta putaran kedua, pada 19 April 2017. Sejak masa kampanye putaran pertama hingga putaran kedua ini, tidak jarang isu suku, agama, ras dan antar golongan ditampilkan ke publik melalui spanduk yang beredar di ranah umum. Isu SARA melahirkan tensi politik tinggi dan menghabiskan energi dan tenaga yang tidak sedikit.
Paling tidak 2 alasan bahwa warga seyogiyanya mencari pemimpin pemerintahan yang ideal, dan bukan pemimpin agama. Pertama, masyarakat warga DKI Jakarta bukan homogen, tapi terdiri dari bermacam suku, agama, ras atau golongan. Masyarakat yang beraneka ragam membutuhkan pemimpin yang melindungi dan menjaga kehidupan masyarakat yang beraneka ragam. Negara hadir melalui pemimpin pemerintahan untuk menyelamatkan semua. Hal ini sesuai dengan amanat konstisusi kita (Pembukaan UUD 1945) bahwa negara dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jika ada calon pemimpin dalam rekam jejaknya diskriminatif terhadap suku, agama, golongan tertentu, maka sangat sulit diharapkan dia mampu melindungi semua.
Alasan kedua, Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum (bonum commune) dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan amanat tersebut, dibutuhkan pemimpin yang yang memperhatikan kesejahteraan umum dan pendidikan yang mencerdaskan. Barangkali untuk alasan amanat konstitusi ini pulalah, para pendahulu atau pendiri bangsa ini mendirikan Kementerian Agama memiliki pembangunan di bidang agama. Semua agama yang diakui negara dan penganut aliran kepercayaan difasilitasi dan dilayani.
Bukan mencari pemimpin agama
Mencari pemimpin pemerintahan berbeda dengan mencari pemimpin agama. Mencari pemimpin agama sudah diatur sesuai aturan lembaga agama yang ada, entah itu dipilih melalui penunjukan otoritas agama atau melalui pemungutan suara di kalangan internal agama sesuai dengan aturan dan dalil agama yang berangkutan. Sudah pastilah, bahwa tugas dan fungsi pemimpin agama melayani kepentingan dan masa depan keberadaan agama itu sendiri. Untuk konteks hidup bernegara dan bermasyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia, kita bukan mencari pemimpin agama, tapi pemimpin pemerintahan.
Sejatinya, semua pemimpin di negeri ini, mulai dari tingkat tertinggi sampai pada tingkat terendah "tidak mengenal" agama, dalam arti ia adalah pemimpin bagi warga yang beraneka ragam suku, agama, ras dan golongaan. Ia menganut suatu agama, tapi ia melayani semua sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan yang berlaku, sejauh pengetahuan penulis, tidak bertentangan dengan ajaran agama. Karena tugasnya sebagai pemimpin untuk semua maka ia harus merangkul dan melindungi semua. Mulai dari ketua RT, Kepala Lurah/Desa, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur hingga Presiden terpilih hadir untuk semua, karena konstitusi kita mengamatkan itu. Pemimpin yang terpilih itu juga hadir sebagai pemimpin bagi warga beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu dan semua penganut kepercayaan yang ada.
Amat tidak adil dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila misalnya, jika seorang Menteri Agama yang beragama Islam, hanya memperhatikan umat Islam. Seorang Menteri Agama adalah juga menteri yang melayani agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha dan lain sebagainya. Menteri Agama memfasilitasi semua agama dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan mamajukan pembangunan bidang agama untuk semua agama yang diakui negara.
Bila konflik antara warga dengan pemerintah kerap terjadi di daerah-derah tertentu, patut dipertanyakan, apakah pemimpin-pemimpin di sana merupakan pemimpin pemerintahan atau pemimpin yang berpihak pada kelompok tertentu saja.
Pemilihan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta putaran kedua ini merupakan barometer bagi daerah lainnya dalam memilih pemimpin pemerintahan ideal. Provinsi DKI Jakarta dimana ibukota negara ada di dalamnya, juga merupakan cermin terdepan dan sorotan dunia internasional dalam melaksanakan pesta demokrasi.
Sejatinya, kita mencari pemimpin pemerintahan yang melayani semua, kepentingan semua, kesejahteraan umum, bukan pemimpin agama yang hadir hanya untuk agama tertentu dengan aturan dan ajaran agama yang bersangkutan. Mari kita mencari dan memilih pemimpin pemerintahan yang melayani semua dan untuk kemajuan semua. Semoga.
Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widyasasana Malang
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.