Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label hak asasi manusia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hak asasi manusia. Tampilkan semua postingan

Minggu, Desember 18, 2022

Penyadaran Maskulinitas Menuju Kesetaraan Gender

 

Philips Gibbs bersama orang Papua Nugini
Philips Gibbs bersama orang PNG, (Google.com)

Pormadi Simbolon

Menarik melihat makna maskulinitas dalam budaya Afrika dan di Papua Nugini. Ada kesamaan makna, bahwa maskulinitas atau kejantanan bergantung pada kekuasaan laki-laki mengendalikan feminitas. Sebuah penelitian di Papua Nugini menunjukkan bahwa identitas maskulinitas dapat diubah melalui penyadaran. Penyadaran tersebut membawa semangat egaliter dan kehidupan harmonis. Penelitian tersebut dapat menjadi inspirasi dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.

Terwujudnya kesetaraan gender dalam perspektif hak asasi manusia merupakan cita-cita dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Pria dan perempuan memiliki hak asasi untuk diakui dan dihargai. Posisi laki-laki dan perempuan bukan lagi relasi dominasi atau ketundukan perempuan kepada laki-laki, tetapi dalam kesetaraan gender. Identitas maskulinitas yang masih dominan dalam berbagai budaya masyarakat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ternyata dapat diubah atau dikonstruksi. Tulisan ini mencoba memaparkan studi kasus (Gibss, 2016, p.127-158) yang ditulis Philip Gibbs, sosiolog, dan rohaniwan SVD yang berkarya di Keuskupan Daru-Kiunga, Papua Nugini. Konstruksi gender ini berangkat dari perspektif laki-laki.

Implementasi maskulinitas (kejantanan) kerap terwujud dalam dan melalui bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan dan dipandang lumrah dalam berbagai kebudayaan dunia. Maskulinitas dicapai bila berhasil menundukkan atau mengendalikan lawan jenis atau sesama jenis lewat kekerasan. Sebut saja capaian maskulinitas seperti itu ditemukan dalam kebudayaan di Afrika Selatan (Gear, 2010, p.316) dan pandangan senada juga terdapat di Papua Nugini (Gibbs, 2016, p.127).

 

Maskulinitas dalam konteks budaya

Di Afrika Selatan, budaya kekerasan terhadap sesama jenis di penjara pria lumrah terjadi. Pelaku kekerasan merasa lebih maskulin jika dapat menunjukkan kejantananannya dengan memperkosa laki-laki sesama jenis. Kejantanannya dicapai melalui kekerasan seksual. Korban perkosaannya dijadikan sebagai ‘istri’ atau ‘teman perempuan’nya layaknya hubungan suami istri di luar (Gear, 2010 p.317).

Menurut Gear, gagasan kuat tentang maskulinitas dan seksualitas terkait dengan sejarah Afrika Selatan yang berjuang melawan kaum apartheid (Gear, 2010, p.316). Pemuda Afrika berjuang dengan kekerasan melawan perlakuan diskriminasi kulit putih.

Dalam kebudayaan masyarakat Papua Nugini terdapat pandangan yang sama. Maskulinitas pria bergantung pada kemampuan pria mengendalikan kaum perempuan. Maskulinitas tercapai bila penundukan perempuan oleh laki-laki berhasil. Kejantanan tersebut dicapai lewat kekerasan baik fisik maupun verbal. Kekerasan-kekerasan ini lumrah terjadi dalam menyelesaikan konflik dan mengungkapkan kemarahan dalam masyarakat Papua Nugini.

 

Maskulinitas dan kekerasan

Mengapa maskulinitas dikaitkan dengan kekerasan? Maskulinitas hadir dan terbentuk dalam kebudayaan. Dari literatur yang ada, kekerasan menjadi lumrah karena praktik atau habitus tercipta dengan sendirinya di Penjara Pria Afrika dan Provinsi Western, Papua Nugini. Kejantanan dimaknai dan mewujudnyata dalam dominasi atau penundukan kaum perempuan oleh laki-laki, yang jamak terjadi lewat jalan kekerasan.

Dari penelitian Gear (p.317), penetrasi seksual dipaksakan kepada korbannya yang selanjutnya dipandang sebagai ‘istri’-nya untuk menunjukkan dan menguatkan identitas maskulinitas pelaku. Dalam hal ini, gender digabungkan dengan peran seks yang direalisasikan melalui kekerasan seksual.

 

Studi kasus penyadaran gender di Keuskupan Daru-Kiunga

Apakah identitas maskulinitas ini bisa diubah dan diangkat ke dalam perspektif kesetaraan gender? Apakah konstruksi ‘kebudayaan’ ini dapat dikonstruksi menjadi sebuah kesadaran akan kesetaraan gender? Philips Gibbs melakukan penelitian lewat studi kasus dalam Kelompok Pria (39 orang dari 12 Paroki) di Keuskupan Daru-Kiunga, Provinsi Western Papua Nugini. Kelompok Pria ini terbentuk atas inisiatif para pria dalam rangka merefleksikan identitas dan peran mereka dalam menghadapi masalah terutama kemajuan masyarakat yang pesat dan dampak industri pertambangan dan penebangan kayu di Papua Nugini (Gibbs, 2010, p.130).

Kelompok Pria melakukan pertemuan-pertemuan selama bertahun-tahun di Kiunga, mulai dari tahun 2006 hingga 2009. Mereka membahas dan merefleksikan berbagai tema antara lain, identitas dan peran sebagai pria, kekerasan, bahasa dan nilai-nlai berbasis hak, ketidaksetaraan gender, ketimpangan kekuasaan antara pria dan Wanita, ‘suasana batin’ pria, dampak lingkungan-sosial industri pertambangan, penyebaran HIV-AIDS dan sihir atau sanguma. Pada tahun 2012, kelompok pria melalui tim inti berjumlah 12  orang bertemu bersama di Kiunga. Mereka Kembali berdiskusi tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan dan menjadikan hak asasi manusia menjadi program kesadaran laki-laki terkait peran dan tanggung jawab mereka di tengah masyarakat.

Mekanisme pertemuan lokakarya dilaksanakan dalam bentuk presentasi, diskusi bebas, dan dramatisasi. Fasilitator memberikan pengantar dan pengenalan singkat tentang tema-tema yang akan dibahas, kemudian peserta diajak berdiskusi dan sharing pengalaman secara kelompok. Hasil diskusi diplenokan baik secara lisan, tertulis, grafik maupun dalam bentuk drama.

Malalui pertemuan pleno ini, para peserta memunculkan pertanyaan dan masalah yang menjadi bahan diskusi dalam kelompok besar. Fasilitator membuat catatan rinci dari diskusi dan memberikan umpan balik. Setiap malam peserta melakukan rapat evaluasi untuk mencari cara terbaik untuk melanjutkan lokakarya di hari berikutnya. Kisah-kisah pertemuan ini direkam dan menjadi bahan penting.

 

Kesadaran kesetaraan gender

Dari catatan Gibbs, pertemuan lokakarya selama bertahun-tahun tersebut pelan-pe;an dari waktu ke waktu dapat meningkatkan kesadaran, dan membentuk kelompok Gerakan Pria. Ditemukan ada tiga poin penting terkait hubungan laki-laki dan perempuan, yaitu: (1) peran dan tugas tidak eksklusif milik laki-laki; (2) kesetaraan dalam wacana perbedaan, dan (3) terjadinya pergeseran dari model kontrol hierarkis ke kontrol egaliter dalam masyarakat.

Kesadaran akan kesetaraan peran dan tugas laki-laki tidak datang begitu saja. Di masa lalu, anak laki-laki dipisahkan dari ibu dan saudara perempuannya dengan tujuan agar tidak terjadi kontak yang tidak pantas yang mengganggu perumbuhan mereka. Tradisi lainnya, anak laki-laki akan pergi untuk waktu yang lama ke dalam hutan untuk belajar merdeka atau mandiri. Nilai kemandirian ini dicapai dengan tinggal berbulan-bulan di hutan. Lalu bagaimana pandangan tradisional ini diterjemahkan dengan bahasa di era sekarang?

Konsep seperti ini harus diterjemahkan dengan ungkapan yang aktual dan relevan. Ditemukan ada tiga peran maskulinitas yang relevan, yaitu pria sebagai penyedia (provider), pelindung (protector), dan pemimpin (leader). Sebagai penyedia, pria bertugas menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi keluarga dan komunitasnya. Sebagai pelindung, pria bertugas melindungi keluarga dan kelompoknya. Sebagai pemimpin, pria mengambil keputusan yang bijaksana dan membimbing keluarganya agar tidak terombang-ambing tanpa kemudi di tengah lautan. Tiga peran laki-laki ini sangat cocok dengan pemahaman tradisional sebagai pemburu, pelindung dalam peperangan dan pemimpin di desa.

Dalam salah satu lokakarya juga muncul kesadaran bahwa orang dapat mengubah budaya yang diwariskan. Kebudayaan itu bukanlah sesuatu seperti batu yang tidak dapat diubah. Para leleuhur juga adalah manusia biasa. Untuk itu, kebudayaan yang baik dapat dilestarikan, sedangkan kebudayaan yang tidak relevan dapat dibuang seperti praktik sihir atau sanguma. Peran sebagai penyedia, pelindung dan pemimpin sangat tepat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda.

Ketiga peran laki-laki tersebut di atas tidak ekslusif dimiliki laki-laki. Peran tersebut juga dimiliki perempuan dengan wacana dan pengungkapan yang berbeda-beda. Sebagai penyedia, perempuan menyediakan makanan untuk anak-anak dan suami. Sebagai pelindung, Wanita membela dan melindungi suami ketika dalam masalah, misalnya di sidang pengadilan. Sebagai pemimpin, perempuan melatih anak-anak agar berdisiplin dalam waktu. Anak-anak diberi batasan dalam bermain dengan teman-teman sebayanya. Inilah sebuah kesetaraan dalam perbedaan.

Pergeseran dari model kontrol hierarkis ke kontrol egaliter juga menjadi kesadaran para pria sebagai hasil dari pertemuan-pertemuan bersama. Uskup Côté mengakui bahwa Gereja Katolik cenderung patriarkal, kurang mengakui feminin. Gereja di Keuskupannya sedang bergumul mencari solusi agar pria dan wanita berpartisipasi bersama dalam komunitas dan kerja tim.

Perpindahan pemahaman tentang model kontrol dari hierarkis ke egaliter lebih dipengaruhi oleh ajaran kristiani. Sekurang-kurangnya perubahan pemahaman itu diilhami ayat Kitab Suci tentang penciptaan. Pertama, Allah menciptakan pria dan wanita secitra dengan Allah. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej. 1:27). Para pria melihat bahwa pria dan wanita sama di hadapan Allah, meskipun berbeda-beda secara fisik.

Kedua, perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Para pria dalam lokakarya menafsirkan bahwa perempuan dibentuk dari bagian tulang rusuk pria (dekat di hatinya) untuk menjadi pendamping di sisinya. Pemahaman ini membawa kesadaran bahwa pria dan wanita adalah setara dan sejajar, tidak lagi laki-laki mensubordinasi perempuan, tetapi dalam posisi berdampingan.

 

Dukungan otoritas

Inisiatif dan program gerakan pria ini sangat didukung oleh Uskup Gilles Côté, pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Daru-Kiunga, Papua Nugini. Uskup Keuskupan Daru-Kiunga ini menjadi fasilitator, dan Gibbs menjadi penasehat dalam program Kelompok Pria ini. Uskup Gilles Côté berharap Kelompok Pria atau Papa Grup ini menjadi sebuah gerakan yang membuat para pria dapat menghadapi dunia modern dan termasuk dapat membangun relasi yang sehat dengan istri dan keluarganya.

Gerakan pria ini merasakan bahwa kesadaran akan hak asasi manusia dalam perpektif gender adalah hal yang positif. Kesadaran hak asasi seperti ini lebih merupakan pengaruh ajaran kristiani, bukan seperti dipahami berdaarkan pandangan sekuler seperti di Amerika Serikat atau di Australia. Tim inti gerakan ini berencana melanjutkan program penyadaran ini dalam komunitas basis kristiani melalui tiga level strategi, yaitu: (1) penyadaran, (2) pelatihan keterampilan, dan (3) perubahan organisasi.

Untuk program penyadaran, kelompok akan menerbitkan buletin sebagai wadah penyampaian sekaligus penyadaran ide atau gagasan-gagasan positif. Pelatihan keterampilan diwujudkan dalam bidang komunikasi efektif, pendidikan seks, pembekalan perkawinan, penanganan alkohol dan narkoba. Perubahan organisasi dimaksudkan penyesuaian (integrasi) dengan rencana pastoral keuskupan berbasis komunitas basis kristiani.

 

Penutup

Kekerasan dalam relasi maskulinitas-feminitas yang terjadi Afrika Selatan dan Papua Nugini bisa jadi terjadi juga dalam lingkup penjara dan budaya nusantara. Pandangan maskulinitas berbasis kekerasan yang sudah terbentuk dalam budaya tersebut bukan tidak mungkin untuk diubah atau didekonstruksi. Namun, hal ini tidak mudah. Perubahan itu mungkin, jika didukung otoritas (pemerintah, pemuka agam dan masyarakat) dan lingkungan yang kondusif. Perubahan itu bisa diwujudkan dengan dengan melakukan penyadaran terus-menerus melalui berbagai wadah (lokakarya) dan media massa baik cetak maupun non cetak.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta

Kamis, Januari 26, 2017

Perijinan 11 Rumah Ibadat Non Muslim di Aceh Singkil Dilanjutkan


Para Narasumber. foto: pormadi 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menegaskan bahwa proses perijinan 11 rumah ibadat yang disepakati sejak Oktober 2015 menggunakan Peraturan Gubernus Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Demikian salah satu penegasan hasil Lokakarya tentang Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diselenggarakan Komnas HAM RI selama dua hari, Kamis dan Jumat (19-20 /01/2017) di Subulussalam, Aceh.

Dalam lokakarya tersebut, ketua Komnas HAM RI, Dr. Imdadun Rahmat menegaskan, “Sesuai kesepakatan dan pembicaraan resmi dengan Plt. Bupati Aceh Singkil, pada 18 Januari 2017 di rumah dinas Bupati, pukul 21.00-22.00 WIB bahwa proses perizinan pendirian 11 gereja tetap berdasarkan pada Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007, mengingat proses perizinan 11 gereja telah dikeluarkan sejak Oktober 2015 sebelum Qanun (Red. Qanun nomor 4 Tahun 2016). Ini harus dipegang bersama”.

Hal itu dikatakan Ketua Komnas HAM, yang juga sekaligus menjadi pembicara, ketika ada pertanyaan dari peserta lokakarya yang berasal dari seorang pejabat setingkat eselon III di jajaran pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.

Lebih lanjut Imdadun Rahmat menjelaskan bahwa ada hak-hak internum setiap individu, yang tidak bisa dikurangi, yaitu hak untuk mengimani dan memilih satu agama (non derogable rights). Selain hak-hak internum, adapula hak-hak yang bida sa dibatasi (ditangguhkan) atau diatur cara menikmati dan melaksananakannya, tetapi tidak bisa dihilangkan secara keseluruhan. Sifat hak asasi manusia secara keseluruhan adalah tidak boleh dihilangkan.

Terkait hak untuk mengimani dan memilih satu agama, menurut Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh dan juga Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang juga menjadi pembicara pembicara pada lokakarya tersebut sepakat bahwa hak atas KBB tidak bertentangan dengan Syariat Islam, bahkan nilai-nilai dan sejarah peradaban Islam mendukung pelaksanaan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan itu. Kepala Dinas Syariat Islam tersebut mengapresiasi dan memberikan penghargaan kepada Komnas HAM atas pertemuan ini untuk saling berdiskusi, mendengar, dan membicarakan tentang sisi normatif dan praktik Syariat Islam di Aceh dalam kaitannya dengan kebebasan beragama.



Tiga Masalah Ditemukan Komnas HAM

Koordinator KBB Komnas HAM, Dr. Jayadi Damanik, yang menjadi pembicara berikutnya, mengemukakan bahwa Komnas HAM menemukan tiga permasalahan kebebasan beragama yang telah muncul di Aceh Singkil, yaitu pendirian rumah ibadah, pendidikan agama peserta didik di sekolah, dan hak-hak penghayat kepercayaan, antara lain Parmalim (Pambi).

Dari materi dan pemantauannya di Kabupaten Aceh Singkil, Koordinator KBB Komnas HAM, merekomendasikan beberapa hal, antara lain berikut ini: (1) pendirian rumah ibadah Non Muslim di Aceh Singkil, termasuk untuk kelanjutan pendirian rumah ibadat di Aceh Singkil yang telah memperoleh Rekeomendasi Kemenag dan FKUB setempat, merujuk pada PBM No.9/8 Tahun 2006, setidaknya merujuk pada Pergub No. 25/2007; (2) Qanun Nomor 4 Tahun 2016 tidak dapat diterapkan sebagai dasar hukum pendirian rumah ibadat non muslim di Aceh, termasuk di Aceh Singkil; (3) bila hendak mengatur secara khusus pendirian Rumah Ibadah Muslim di Aceh, maka pengaturannya dapat dengan Qanun, tetapi Qanun tidak dapat mengatur pendirian rumah ibadah non muslim, sebab pengaturan (pembatasan) hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan undang-undang (bdk. Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945).

Salah satu peserta dari Kementerian Agama RI, Direktur Urusan Agama Katolik, Sihar Petrus Simbolon menyampaikan ucapan terimakasih kepada Komnas HAM RI yang mengikutsertakan Ditjen Bimas Katolik dalam lokakarya ini.

“Saya mengucapkan terimakasih kepada Komnas HAM, karena kami diikutsertakan. Saya banyak belajar dari lokakarya ini. Kesan saya, seluruh peserta yang hadir, baik pejabat pemerintah dari Pusat mau[pun dari Daerah punya rasa cinta dan keadilan, bertekad menyelesaikan persoalan di Aceh Singkil. Persoalan di Aceh SIngkil perlu kita selesaikan, agar umat beragama dapat beribadat dengan tenang dan aman. Sebagai Direktur Urusan Agama Katolik, saya berdoa dan memohon agar tekad kita, umat beragama di Aceh Singkil segera mendapat ijin 11 rumah ibadat sesudah PILKADA serentak 2017”, katanya penuh harap.

Pada akhir pertemuan, peserta lokakarya memberikan masukan dan penegasan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh agar (1) melanjutkan proses penerbitan IMB pendirian rumah ibadat untuk 11 rumah ibadat segera setelah Pilkada di Aceh Singkil berdasarkan Pergub. Nomor 25 Tahun 2006; (2) berupaya memfasilitasi guru agama selain Islam di sekolah-sekolah Negeri atau setidaknya tidak memaksakan pendidikan agama Islam kepada anak-anak yang menganut agama lain; (3) memberikan jaminan hak atas identitas kependudukan, termasuk dokumen kependudukan lainnya dan layanan publik, bagi penganut penghayat kepercayaan di Aceh Singkil. Panitia Lokakarya yang mengundang peserta dari berbagai unsur terkait dari jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil (Kodim, Polsek, KakanKemenag), Pemerintah Provinsi Aceh, dan Kementerian terkait (Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Agama RI) bertujuan untuk memperkuat pemahaman hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan mendorong peranserta aktif semua stakeholder, termasuk Pemerintah Daerah dalam pemenuhan dan perlindungan hak atas KBB di Aceh secara umum dan di Aceh Singkil secara khusus. (sudah pernah ditayangkan di bimaskatolik.kemenag.go.id, Pormadi, liputan dari Aceh)

Selasa, Februari 07, 2012

Saya Menghormati Iman Anda, tapi Hormati jugalah Imanku

Saya mengikuti beberapa milis bernuansa lintas keagamaan, antara lain mailing list "islam-kristen" dan "hakekat_ku". Di sana banyak anggota milis saling menyerang/mendebat. Yang muslim menyerang/mendebat iman kristiani, sebaliknya yang kristiani menyerang/mendebat iman muslim.

Perdebatan itu pastilah tidak menemukan titik temu, karena memang berrbeda pandangan teologisnya. Akhirnya, timbul sikap merendahkan iman yang lain.

Menurut saya, bagi yang beriman kepada Tuhan menurut agama Islam, biarkanlah mereka menghidupi imannya. Demikian juga, bagi yang beriman kristiani, biarkanlah mereka menghidupi imannya.

Jadi prinsipnya, saya menghormati iman anda, tapi hormati jugalah imanku.

Menurut saya, milis baik digunakan berdialog pengalaman hidup iman kita masing-masing dalam hidup sehari-hari, baik menurut Islam maupun kristiani. Kita tidak perlu mendebat, cukup menghormati dan mengapresiasinya.

Dengan demikian, kita makin menemukan hakekat kita sebagai manusia yang manusiawi, menghargai kemanusiaan kita. Semoga. Amin
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, Mei 01, 2009

PENINGKATAN KDRT DAN PERMASALAHANNYA

Catatan Komisi Nasional Perempuan menyebutkan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama tahun 2007 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 tercatat 17.772 kasus kekerasan terhadap istri, sedangkan tahun 2006 hanya 1.348 kasus.

Peningkatan KDRT ini antara lain karena berhasilnya sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Sosialisasi yang dilaksanakan melalui berbagai media ini mampu menyadarkan perempuan korban kekerasan untuk melapor karena ada “senjata” hukum yang melindungi.

Di tengah keberhasilan penyadaran para korban KDRT tersebut, timbul berbagai persoalan antara lain soal KDRT yang dipandang sebagai persoalan pribadi (domestik rumah tangga). Persoalan lain adalah implementasi KDRT di lapangan, di tengah masyarakat.

Dari Ranah Pribadi ke Ranah Publik

Sejak dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pemerintah telah berani mengambil alih wilayah hukum yang sebelumnya termasuk ranah domestik kini menjadi ranah publik.

Selama ini ditemukan adanya pandangan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan, istri, dan anak-anak dipandang sebagai sesuatu yang wajar dan hal itu disikapi sebagai konflik rumah tangga semata.

Pandangan tersebut diperparah lagi oleh adanya mitor-mitos yang merendahkan martabat istri, perempuan dan anak-anak, sebaliknya ayah yang dominan terhadap anggota keluarga dalam rumah tangga dengan sikap yang berlebihan sebagai relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang timpang berlangsung di dalam rumah tangga, bahkan diterima sebagai sesuatu kondisi yang benar yang melanggengkan KDRT.

Hambatan-hambatan di Lapangan

UU PKDRT merupakan implementasi UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak serta bentuk diskriminasi merupakan suatu isu global sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang wajib diselesaikan oleh Negara dan masyarakat luas. Dengan adanya PKDRT tersebut, kini segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga menjadi tindak kriminal.

Salah satu dampak dari penerapan KDRT itu adalah terjadinya kesadaran publik atas KDRT. Tidak sedikit masyarakat semakin berani melapor kasus-kasus kekerasan karena adanya perlindungan korban KDRT. Di samping itu, timbul pula berbagai persoalan dalam menyelesaikan proses hukum KDRT, sekaligus sebagai kekurangan yang perlu diperhatikan pemerintah, LSM dan masyarakat luas.

Penerapan UU PKDRT di lapangan menghadapi berbagai kendala dan reaksi dari pelaku KDRT. Pertama, ditemukan bahwa aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim memiliki pemahaman yang beragam tentang kekerasan dalam rumah tangga. Ada aparat hukum menganggap kekerasan fisik berat jika korban tidak dapat menjalankan aktivitas rutinnya, sehingga korban yang masih dapat beraktivitas secara rutin dianggap sebagai kekerasan fisik ringan.

Kedua, aparat penegak hukum khususnya polisi dan hakim kesulitan menerapkan ketentuan UU PKDRT tentang perlindungan sementara dan penetapan perlindungan. Tidak adanya acuan atau petunjuk teknis pelaksanaan menjadi alasan mengapa perlindungan sementara belum ditempuh.

Ketiga, adanya status perkawinan yang hanya dilaksanakan di gereja atau secara adat dan tidak tercatat di kantor catatan sipil atau KUA seperti yang terjadi di berbagai daerah seperti di Medan, Semarang dan Yogyakarta. Hal ini menyulitkan penindaklanjutan proses hukum KDRT.

Keempat, kesulitan pembuktian kasus KDRT. Sulitnya pembuktian kekerasan pada perempuan adalah sekitar 70 persen perbuatan kekerasan dilakukan oleh orang terdekat korban seperti pacar, suami, orang tua, saudara atau orang terdekat lainnya. Tempat kejadiannya pun membuat sulit orang lain ikut campur seperti rumah, sekolah dan tempat-tempat pribadi.

Publik Ikut Bertanggung Jawab

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 5 dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mencakup kekerasan fisik, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal6).

Kekerasan psikis dipandang sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga dan terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu. Penelantaran rumah tangga dimengerti sebagai tindakan mengabaikan tanggung jawab untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang yang berada dalam tanggung jawabnya. Tindakan lain adalah yang mengakibatkan “ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan /atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. (Pasal 6-9).

Pengertian kekerasan dan jenis-jenis di atas diharapkan segera tersosialisasi ke publik. Dengan peraturan PKDRT tersebut pula segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi menjadi ranah internal keluarga tetapi menjadi ranah publik.

Untuk itu publik atau masyarakat luas, menurut Undang-Undang KDRT tersebut wajib melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan kemampuannya antara lain: (1) mencegah berlangsungnya tindak pidana, misalnya kekerasan atau bahkan sampai pada pembunuhan; (2) memberikan perlindungan kepada korban; (3) memberikan pertolongan darurat; dan (4) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungannya.

Keluarga Tanpa Kekerasan

Melihat pentingnya penghapusan KDRT, maka pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam mewujudkan kehidupan rumah tanggga tanpa kekerasan. Berbagai upaya masih harus diperhatikan dan dilakukan pemerintah dengan berkolaborasi dengan masyarakat peduli KDRT.

Pertama, perlu adanya kesamaan persepsi tentang kekerasan fisik entah berat atau ringan di kalangan aparat penegak hukum.

Kedua, diadakannya kerangka acuan atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan perlindungan sementara dan penetapan perlindungan bagi KDRT.

Ketiga, pentingnya sosialisasi pencatatan perkawinan entah di kantor catatan sipil atau KUA. Dengan demikian proses hukum dan perlindungan korban kekerasan makin dipermudah.

Keempat, pentingya kampanye keluarga bahagia hidup tanpa kekerasan. Kampanye ini selain berlaku di tengah publik, para pemuka agama diharapkan menyuarakan hidup keluarga menjadi bahagia tanpa kekerasan. Hidup keluarga tanpa kekerasan merupakan nilai-nilai yang pasti diajarkan oleh semua agama.

UU PKDRT sudah disosialisasikan. Masyarakat luas semakin sadar bahwa KDRT bukan lagi melulu ranah pribadi tetapi sudah menjadi ranah publik KDRT sudah disikapi masyarakat sebagai isu global dan pelanggaran hak asasi manusia. Kita mensyukuri atas upaya negara dalam mewujudkan hidup keluarga tanpa kekerasan. Namun masih banyak tugas dan tanggung jawab baik pemerintah maupun publik dalam mewujudkan cita-cita bersama dan publik yaitu hidup keluarga tanpa kekerasan. Inilah tanggung jawab kita bersama. Mari kita bertanggung jawab dan peduli pada kehidupan keluarga tanpa kekerasan di rumah dan di sekitar kita.
(Disadur dari bulletin Bimas Katolik)

Selasa, April 01, 2008

BILA RAKYAT HIDUP TANPA NEGARA

Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini, rakyat memunculkan dan menggelar pengadilan versi mereka di Desa Keboromo, Jawa Tengah. Saat rakyaT desa mengetahui sejumlah pamong desa korupsi dengan “menggelapkan” hasil penjualan tanah desa untuk pelebaran jalan, rakyat membawa mereka ke meja hijau hasil buatan mereka sendiri.


Proses sidang rakyat tersebut berlangsung sembilan jam, pertanda seriusnya pelaksanaan pengadilan. Para pamong pun menyerah dan bersedia mengembalikan uang korupsi ke kas desa. Sidang berlangsung tanpa hukum acara, tanpa hukum pidana, tanpa jaksa penuntut umum, tanpa hakim negara, di luar pengadilan, dan syukurlah dapat berhasil baik.

Ada fenomena bahwa rakyat dapat hidup tanpa negara. Rakyat memproses dan memperbaiki ketidakberesan yang mengganggu kesejahteraan bersama. Apakah mungkin rakyat dapat hidup sekurang-kurangnya berkecukupan tanpa negara?

Fenomena Hidup Tanpa Negara

Para petani di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan tidak bisa menikmati kenaikan harga beberapa komoditas seperti harga karet di pasar internasional. Harga karet pada Maret ini malahan turun lebih rendah daripada sebelumnya di atas Rp 12.000,- per kilogram menjadi Rp 11.000,-. (Kompas 24/03).

Nasib kebanyakan korban bencana alam di negeri ini kerap kali kurang mendapat perhatian serius dari negara seperti mereka yang menjadi korban lumpur Lapindo di Jawa Timur.

Kalau pendapat para pakar ekonomi seperti diberitakan media massa, pertumbuhan perekonomian nasional cukup baik, 6,3 persen. Namun realitas perikehidupan rakyat semakin digerogoti ancaman gizi buruk dan kelaparan karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok berlomba-lomba melonjak tinggi. Selain kenaikan harga kebutuhan pokok, kelangkaan beberapa bahan pokok seperti minyak tanah dan kedelai ikut menambah stres rakyat banyak.

Di tengah kehidupan rakyat yang demikian pemerintah dan DPR masih belum menemukan kesepakatan siapa calon gubernur Bank Indonesia yang disepakati bersama, yang konon turut menentukan kebijakan ekonomi negara. Padahal rakyat sudah mendesak untuk diperhatikan dan diperbaiki nasibnya.

Negara Ada karena Rakyat

Dalam sistem dan kehidupan demokrasi seperti Indonesia sekarang, kesejahteraan dan perbaikan kehidupan bersama menjadi prioritas kebijakan pengelola negara. Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan hasil pilihan alias kesepakatan rakyat banyak. Itu artinya kepemimpinan mereka atas negara menjadi legitim.

Bisa dikatakan, negara sebagai entitas politik itu sendiri ada karena rakyat ada. Oleh karena itu otoritas negara atas warganya berlaku sejauh otoritas itu meningkatkan kesejahteraan umum.

Thomas Hobbes (1588-1679) dalam bukunya Leviathan mengatakan bahwa kodrat manusia-manusia yang utama adalah sama alias sederajat. Oleh karena itu sang pemimpin negara hanya menjadi mungkin apabila ada persetujuan (consent) dari manusia-manusia yang bersangkutan. Instansi yang memerintah hanya terjadi apabila masing-masing individu melakukan konvensi. Konvensi bisa tercapai apabila pemerintah tersebut mampu mencapai tujuan bersama yaitu mengatasi the state of nature atau keterancaman hidup manusia karena manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Untuk itu, pemerintah yang disepakati individu-individu untuk memerintah seyogiyanya memperhatikan nasib dan kehidupan mereka yang semakin terancam dari “serigala-serigala” yang semakin merajalela.

Gagalkah Pengelola Negara kita?

Melihat realitas kehidupan rakyat banyak dalam sistem dan kehidupan demokrasi Indonesia saat ini, apakah pengelola negara sudah berkompeten mengatur dan memperjuangkan kehidupan rakyat yang sejahtera, damai, adil dan makmur?

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa pengelola negara baik nasional maupun lokal sebaiknya berlatar belakang pebisnis (Kompas 22/11/2006). Butet Kartarejasa mengajukan bahwa pemimpin negara itu sebaiknya berlatar belakang seniman. Para Filosof seperti Plato dan Aristoteles mengajukan bahwa pemimpin negara yang baik adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan alias para filosof. Lain lagi dengan Machiavellian, seorang pemimpin sejati adalah adalah politikus sejati yang tahu merengkuh dan mempertahankan takhta kekuasaannya.
Siapapun pemerintah yang tepat dan berkompeten serta berlatar belakang apa pun dia, yang paling utama adalah mengenal raison d’être-nya negara Indonesia yang sudah digagas the founding fathers terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: “membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Apapun alasannya, rakyat tidak bisa mencapai kesejahteraan bersama bila tidak ada otoritas negara yang mengatur kehidupan mereka entah secara eksekutif, legislatif maupun judikatif. Bila tidak, maka “serigala-serigala” akan memangsa manusia-manusia lainnya.

Bila kita melihat ada fenomena negara tidak memperhatikan dan mengutamakan kebaikan rakyat banyak, maka saat itulah terjadi pelalaiaan raison d’être sekaligus visi dan misi pembentukan negara Indonesia. Bukan tidak mungkin, terpicu oleh keterancaman dan menderitanya kehidupan harian, rakyat akan “mencabut” kesepakatan atau pelegitimasian terhadap mereka mengelola negara.


Penulis adalah pemerihati sosial, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Powered By Blogger