Foto: aminoapp.com |
I.
Pendahuluan
Sebagai
cabang ilmu filsafat yang mengkaji secara evaluatif, normatif dan kritis,
filsafat ilmu pengetahuan atau epistemologi menimbulkan kontroversi di antara
para ilmuwan. Para filosof ilmu pengetahuan juga memberikan tanggapan. Lalu,
apakah epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan masih relevan dan aktua,
itulah alasan makalah ini. Dalam paper
ini, akan dibahas, apakah filsafat ilmu pengetahuan, dimensinya, sikap para
ilmuwan, sikap para filosof, manfaatnya dan diakhiri dengan catatan atau
tanggapan.
Keyword: filsafat ilmu pengetahuan, Karl Popper, Thomas Kuhn
II.
Filsafat
ilmu pengetahuan dan kontroversinya
a.
Apakah Ilmu
Pengetahuan?
Kemajuan
di bidang teknologi tak dapat dilepaskan dari ilmu pengetahuan (science). Hasil kemajuan
teresebut membantu mempermudah kelancaran kehidupan manusia. Hasil kemajuan teknologi yang boleh kita nikmati merupakan hasil perkembangan ilmu
pengetahuan yang berangkat dari
suatu teori dan metode yang diperoleh melalui ilmu pengetahuan. Melalui teori
dan metode ilmiah memungkinkan penemuan perangkat elektronik, pesawat ruang angkasa, bedah mikro, senjata atau bom
nuklir. Kita dapat menggunakan telepon genggam terbaru dan berkomunikasi dengan
anggota keluarga kita di kampung, kita dapat melihat foto-foto planet di luar angkasa;
kita dapat menggunakan komputer;
kita dapat menonton televisi, dan
masih banyak kemajuan lainnya. Produk ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kemudahan
bagi kehidupan manusia.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut memunculkan pertanyaan reflektif bagi
para filosof. Pertanyaan dasarnya adalah “Apakah ilmu pengetahuan itu?” Pertanyaan ini sangat penting untuk memberikan
jawaban pertanyaan tentang klaim kebenaran ilmiah. Berbicara ilmu pengetahuan pada hakekatnya berbicara soal metode atau serangkaian
metode ilmiah. Inilah pusat perhatian filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu
pengetahuan adalah ilmu yang
mempelajari tentang metode ilmiah (metodologi ilmu)[1].
Filsafat ilmu
pengetahuan adalah bagian atau kerapkali disamakan dengan epistemologi.
Sebagai salah satu cabang dalam ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji
dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu? Bagaimana
pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya?
Filsafat ilmu pengetahuan atau epistemologi bermaksud
secara kritis mengkaji pengetahuan pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat
logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi
pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Maka,
epistemologi merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif
dan kritis[2].
Selain
membuat telaah cara kerja sains, filsafat ilmu pengetahuan kemudian juga merefleksikan secara kritis ciri-ciri
hakiki sains beserta arti dan nilainya bagi kehidupan manusia secara
keseluruhan. Sains dan teknologi sebagai wujud penerapannya, yang dalam
masyarakat modern semakin menjadi bentuk pengetahuan yang dominan, dicoba untuk
secara kritis dinilai dan ditempatkan dalam peta pengetahuan dan pemahaman
menyeluruh tentang kenyataan[3].
Apak maksudnya karakteristik atau
sifat filsafat ilmu pengetahuan evaluatif, normatif dan kritis? Evaluatif
berarti ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori
pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya atau memiliki dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma,
tolok ukur, dan dalam hal ini tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.
Kritis berarti mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan
manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik asumsi-asumsi, cara kerja
atau pendekatan yang diambil, maupun kesimpulan yang ditarik dalam pelbagai
kegiatan kognitif manusia.
b. Dimensi filsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu
pengetahuan mencoba mengggambarkan
bagaimana ilmu pengetahuan bekerja. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu kegiatan komunal yang
paling kompleks, jadi pantas ingin didalami dan dipertanyakan secara
filosofis. Untuk menemukan
cara kerja sains, dibutuhkan kerjasama ilmuwan untuk menggambarkan cara kerja mereka. Tentu saja tidak semudah itu. Ada celah besar antara
apa yang bisa dilakukan orang, dan apa yang bisa mereka gambarkan. Menjadi ilmuwan yang baik
adalah satu hal, namun adalah sesuatu yang sangat berbeda untuk menjadi pandai
memberikan gambaran umum (kajian) tentang apa yang dilakukan para ilmuwan. Ternyata sangat
sulit untuk memberikan deskripsi umum yang benar tentang aspek paling sederhana
penelitian ilmiah. Sebagai contoh, para filosof ilmu pengetahuan telah bekerja keras untuk memberikan penjelasan umum tentang
perbedaan tiga bagian (tripartit) yang sederhana: data yang mendukung hipotesis, data yang menentangnya dan data yang
tidak relevan.
Peter
Lipton dalam makalahnya melakukan kajian terkait dimensi filsafat ilmu
pengetahuan berhadapan dengan para ilmuwan. Dimensi tersebut adalah dimensi
deskriptif, dimensi normatif dan dimensi sikap para ilmuwan terhadap keberadaan
filsafat ilmu pengetahuan [4].
Dimensi deskriptif – upaya untuk menggambarkan kebenaran sains –
sebagai karakteristik filosof ilmu pengetahuan tidak memadai. Pertama-tama, filosof ilmu
pengetahuan harus benar-benar
terlibat dalam rincian penelitian ilmiah. Misalnya, orang harus melihat
beberapa pekerjaan teknis dasar-dasar fisika. Dalam keterlibatan itu, kerap
ditemukan berbagai anomali dalam ilmu itu sendiri. Teori-teori ilmiah paling
terkenal pun mungkin saja
dapat membuat kesalahan prediksi, kurangnya ketelitian
matematis, menghasilkan inkuitas atau singularitas, gagal menyesuaikan diri
dengan teori-teori lain, atau menggunakan konsep-konsep yang tidak tepat, dan
ini beserta kesulitan internal lainnya kerapkali menarik perhatian secara rinci
bagi filosof.
Dimensi
kedua filsafat ilmu pengetahuan yaitu dimensi normatif. Para filosof secara
adil sangat peduli dengan apa yang sudah ada, tetapi juga peduli tentang apa
yang seharusnya ada. Ada sejumlah pertanyaan filsafat ilmu pengetahuan terkait
penelitian ilmiah yang tepat: bagaimana penggunaan sumber daya ilmiah dan
penerapan sains yang sah, bagaimana sains kerja dan apa yang dicapainya.
Sikap
para ilmuwan terhadap fisafat ilmu pengetahuan
Selain dimensi di atas, Lipton juga
membahas sikap-sikap para ilmuwan terhadap filsafat ilmu pengetahuan. Ada
ilmuwan yang menyambut baik filsafat ilmu pengetahuan seperti Peter Medawar.
Peter Medawar, ahli imunologi terkenal sangat menaruh minat terhadap filsafat ilmu
pengetahuan. Medawar (1982) yang banyak dipengaruhi Karl Popper menulis secara
luas, elegan, dan mendalam tentang metode ilmu pengetahuan. Medawar menjelaskan
posisi dan argumennya melampaui Karl Popper sendiri[5].
Tidak sedikit juga ilmuwan yang
memusuhi filsafat ilmu pengetahuan. Para ilmuwan memusuhinya dengan beberapa
alasan, antara lain: ia menyalahkan
sains, ia tidak berguna, dan ia merusak
sains.
Untuk alasan yang pertama, filsafat ilmu
pengetahuan dipandang menyalahkan sains, ada benarnya. Kerapkali kajian atau
deskripsi filosofis tentang ilmu pengetahuan amat dangkal dan primitif
dibandingkan khasanah ilmu pengetahuan. Kajian filosofis tersebut secara serius
salah menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi dalam komunitas ilmiah. Hal ini
tidak mengejutkan, mengingat kompleksitas yang sangat besar dan keburaman (opacity) praktik ilmiah. Meskipun
demikian, seharusnya kelemahan kajian filosofis tersebut tidak boleh dipandang
harga mati, dan bukan alasan untuk meremehkan filsafat ilmu pengetahuan. Menurut
Lipton, kelemahan kajian filsafat ilmu pengetahuan tersebut bukanlah asalan
yang baik untuk menolak filsafat ilmu pengetahuan.
Alasan keberatan kedua adalah
filsafat ilmu pentahuan itu tidak berguna. Ada benarnya memang jika kriteria
yang digunakan adalah agar filsafat ilmu pengetahuan secara langsung membantu
meningkatkan praktik ilmiah. Banyak ilmuwan yang kecewa, karena filsafat ilmu
pengetahuan tidak secara langsung membantu praktik ilmiah, terutama karena
kelemahan catatan deskriptif tentang praktik ilmiah. Mungkin harus dibedakan
antara “melakukan” dan “menggambarkan”. Seperti dikutip Lipton[6], bahwa Thomas Kuhn
menekankan para ilmuwan dilatih dalam praktik mereka dengan mulai mengajarkan
solusi masalah yang patut dicontoh di lapangan, bukan dengan memberikan aturan
umum penelitian (Kuhn 1970).
Alasan keberatan ketiga, lebih parah
yaitu filsafat ilmu pengetahuan itu merusak. Mungkin salah satu titik
berangkatnya adalah kelemaham kajian filsafat ilmu pengetahuan atas praktik
ilmiah. Lebih jauh, ada yang khawatir bahwa seorang ilmuwan salah arah ketika
mencoba melakukan penelitian dengan mengikuti beberapa prinsip kajian filosofis
akan berisiko melemahkan praktik ilmiahnya.
Tanggapan yang benar di sini adalah bukanlah menolak filsafat ilmu
pengetahuan, tetapi penerapannya yang salah.
Sikap
para filosof ilmu pengetahuan
Terhadap pandangan yang mengatakan
filsafat ilmu pengetahuan tidak berguna, atau tidak membantu meningkatkan
praktik ilmiah, ada dua sikap para filosof ilmu pengetahuan: sikap kompromi dan sikap tanpa kompromi.
Yang bersikap kompromistis, mereka mengakui ada beberapa aspek filsafat ilmu
pengetahuan yang sebenarnya benar dan bermanfaat bagi para ilmuwan. Mereka
memberikan perhatian terhadap masalah-masalah filsafat ilmu pengetahuan yang
dapat menguntungkan para ilmuwan.
Namun bagi yang menolak tanpa
kompromi, filsafat ilmu pengetahuan seharusnya tidak berguna. Seseorang dapat
membenarkan keberadaan filsafat ilmu pengetahuan tanpa harus membantu meningkatkan
perilaku ilmiah. Ilmu pengetahuan adalah bagian penting dalam kehidupan manusia,
sehingga bermanfaat untuk mencoba memahami cara kerjanya, memahami dirinya
sendiri, bukan demi utilitas yang diperlukan.
Terkait sikap para ilmuwan terhadap
filsafat ilmu pengetahuan, dua filosof ilmu pengetahuan abad ke-20, Karl Popper
dan Thomas Kuhn memberikan pandangan dan kasus-kasus khusus yang mencerahkan dalam
mempertimbangkan sikap ilmuwan.
Karl
Popper (1902-1994)
Karl Popper adalah seorang realis.
Gagasan besarnya adalah kekuatan bukti negatif (the power of negative evidence). Titik dasarnya adalah, tidak ada
jumlah, misalnya, angsa putih, yang dapat membuktikan bahwa semua angsa
berwarna putih (karena mungkin selalu ada yang hitam, bersembunyi dalam
kerumunan); satu angsa non-putih itu membantah hipotesis tersebut. Sekalipun
setiap angsa, dari dulu, sekarang dan di masa depan, berwarna putih, pernyataan
bahwa semua angsa itu putih pasti salah. Popper mempertahankan bahwa bukti
positif tidak memiliki nilai probatif apa pun dan bahwa bukti negatif harus
sering diberlakukan sebagai bukti penyangkalan. Terkait klaim ilmiah, itu hanya
jika ada data yang mungkin bertentangan dengannya, dan penelitian ilmiah
bertujuan menghasilkan hipotesis umum, kemudian berusaha menyanggahnya.
Penolakan Popper untuk memberi bobot
pada bukti positif tampaknya tidak sesuai dengan realisme, karena jika tidak
ada yang namanya bukti positif, maka tidak ada alasan untuk mengklaim hipotesis
tertentu sebagai benar atau mendekati kebenaran. Namun Popper menemukan cara
untuk mempertahankan versi realismenya yang agak heterodoks. Dia menegaskan
bahwa tujuan sains adalah kebenaran dan dia berpendapat bahwa penelitian ilmiah
dapat diperlihatkan sebagai aktivitas rasional untuk tujuan kebenaran. Menurut Popper, kita tidak pernah memiliki
alasan untuk mengatakan suatu teori itu benar, tapi masih ada teori-teori lain,
di mana salah satu ari mereka telah terbantahkan, maka kita mempunyai alasan
untuk memilih teori yang lain. Tentu saja, untuk sementara, teori pertama bisa
salah, sedangkan yang kedua benar, jadi sangat rasional kemudian untuk memilih
teori kedua, mengingat tujuannya adalah mencari kebenaran.
Terkait dengan harapan ilmuwan dari
filosof ilmu pengetahuan, Popper adalah salah satu filosof yang bisa memberikan
resep. Resep utamanya adalah sangat sederhana: jangan mencari bukti yang mendukung hipotesis terbaru anda, tapi
mencari lebih banyak bukti yang akan membantahnya. Saran Popper in
tampaknya bermanfaat.
Thomas
Kuhn (1922-1996)
Gagasan besarnya adalah pentingnya
‘paradigma’. Sayangnya, makna ‘paradigma’ agak kabur karena banyak digunakan
dalam bidang lain. Namun istilah yang pengertian tentang dunia yang relatif
jelas, yaitu ‘contoh’ (exemplar):
suatu solusi masalah konkrit dalam sains yang memandu penelitian. Dalam dunia
ilmiah, ada kecenderungan untuk setuju tentang teori dan data, melanjutkan
penelitian dengan cara yang sama, mengikuti prosedur standar yang ditetapkan.
Menurut Kuhn, komunitas ilmiah harus memberikan contoh dalam penelitiannya,
bukan hanya aturan. Dalam konten, aturan dan contoh sangat berbeda: aturan pada
dasarnya bersifat umum, sedangkan contoh adalah solusi masalah tertentu dalam
spesialisasi tertentu. Namun dalam fungsinya, menurut Khun, contoh itu mirip
aturan. “Contoh” yang diterima bersama menjelaskan langkah dalam penelitian
bersama, karena peneliti akan menyelesaikan masalah baru, dengan belajar masalah
yang mirip dari contoh tadi[7].
Mekanisme ‘contoh’ Kuhn masuk akal.
Karena setiap guru dan siswa sains harus tahu, fungsi dan seperangkat (set) masalah bukanlah untuk menguji
tetapi untuk menanamkan pemahaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa prestasi masa
lalu dalam disiplin ilmu sangat mempengaruuhi pilihan peneliti atas masalah
baru dan teknik yang digunakan dalam menyelesaikannya. Kuhn memanfaatkan
mekanisme contoh ini dalam sosiologi, semantik dan metafisika sains. Secara
sosiologis, ia menggunakan mekanisme contoh untuk membedakan berbagai periode perkembanan
ilmiah. Suatu periode di mana komunitas ilmiah berbagi sekumpulan contoh dan
dapat menjalankan fungsinya dengan
sukses – disebut periode ilmu
pengetahuan yang umum atau normal. Perilaku komuitas ilmiah terlihat sangat
berbeda disebut periode ‘pra-paradigma’, masa sebelum ditemukannya mekanisme
contoh yang efektif. Pada periode krisis tersebut, contoh-contoh terus
memunculkan masalah tetapi berhenti mendukung solusi yang memadai, dan menurut
Kuhn, selama periode revolusi ilmiah satu perangkat contoh dibuang untuk yang
lain.
Secara semantik, Kuhn berpendapat
bahwa contoh yang digabungkan dengan struktur teori merupakan hal yang
memberikan makna istilah-istilah baru yang diperkenalkan oleh teori ilmiah,
sehingga sesudah revolusi ilmiah, perubahan dari teori dan mekanisme contoh,
perubahan makna istilah sangat luas,
teori-teori yang bersaing ‘tidak dapat dibandingkan’. Klaim satu teori bahkan
tidak dapat secara tepat dinyatakan dalam istilah lain, dan perbandingan antara
teori-teori yang bersaing menjadi masalah yang jauh lebih rumit dan berantakan
daripada yang secara tradisional seperti diduga oleh para filosof ilmu
pengetahuan.
Secara metafisik, ada klaim Kuhn
terkenal, setelah revolusi ilmiah, “dunia berubah”. Apa artinya? Yang dimaksud
Kuhn adalah tergantung pada proyeksi (projectivism)
yang didukungnya, yaitu pandangan bahwa pokok bahasan sains bukanlah dunia yang
sepenuhnya independen dari kita, tetapi hanya dunia yang terstruktur oleh kita.
Dunia terstruktur dengan demikian adalah semacam produk gabungan hal-hal dalam
dirinya dan aktivitas penataan deskripsi ilmiah.
Ketika Kuhn mengatakan bahwa dunia
berubah, klaimnya adalah bahwa dunia terstruktur ini – bukan hanya kepercayaan
dan bukan dunia itu sendiri – yang berubah. Ini bukan pandangan aneh: karena
dunia terstruktur sebagian didasari oleh kepercayaan ilmiah, perubahan radikal
dalam kepercayaan bisa mengubah dunia. Ini merupakan klaim radikal, karena Kuhn
menegaskan bahwa dunia yang berubah ini adalah satu-satunya yang dapat
dijelaskan oleh sains. Dengan demikian Kuhn seperti Kant dalam mengandaikan
bahwa pengetahuan kita hanya dapat meluas ke deskripsi dunia yang sebagian
dibentuk oleh pengetahuan kita; di sisi lain Kant berpikir bahwa hanya ada satu
bentuk yang dapat diambil sebagai kontribusi manusia terhadap dunia yang
terstruktur ini. Kuhn berpendapat bahwa kontribusi tersebut berubah di
sepanjang revolusi ilmiah (Lipton, 1264-1265).
Para ilmuwan menanggapi Kuhn secara
beragam. Di satu sisi, beberapa ilmuwan sosial terkesan dan melihat ada
“paspor” menuju status lebih tinggi, sebagaiaman dinikmati para ilmuwan fisik.
Menurut mereka, yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan paradigma. Menurut
Kuhn, ilmu-ilmu sosial masih dalam priode pra-paradigma, dan hanya waktu yang
menentukan, kapan berubah.
Reaksi lain, reaksi bermusuhan datang
dari para ilmuwan fisik. Para ilmuwan fisik melihat Kuhn sebagai salah satu
yang merendahkan ilmu pengetahuan. Menurut Lipton, permusuhan ini didasari
kesalahpahaman. Kuhn tentu saja tidak memberikan segala sesuatu yang ingin
dimiliki oleh seorang pendukung realisme. Masih menurut Lipton, bukan kebetulan
bahwa catatan Kuhn pada dasarnya internalis. Agar mekanisme contoh bekerja
secara efektif, para ilmuwan harus bebas untuk memilih masalah mereka sendiri,
dibimbing oleh “contoh-contoh”, daripada memiliki masalah yang dipaksakan dari
luar. Kuhn sendiri mengakui hal ini di kesempatan lain, menunjukkan bahwa
struktur penelitian harus berbeda dalam rekayasa, dimana masalah umumnya
berasal dari sumber eksternal (Kuhn 1977).
Kuhn juga tidak berpendapat bahwa
‘mungkin membuat benar’ dalam komunitas ilmiah. Aktivitas ilmiah tentu saja sangat
dibatasi oleh dunia: data bukanlah apa pun yang anda inginkan. Memang bagi
Kuhn, aktivitas sentral sains normal adalah upaya untuk menghadapi anomali
teori ilmiah. Contoh, perbedaan antara ekspektasi teoritis dan hasil empiris.
Itu bukan berarti bahwa Kuhn menyangkal tugas sains mendeskripsikan dunia. Itu
merupakan pekerjaan sains, meskipun menurut Kuhn bahwa satu-satunya dunia yang
dapat dideskripsikan adalah dunia yang sebagian terstruktur oleh para ilmuwan
itu sendiri dan struktur-struktur itu telah berubah sepanjang sejarah.
Bukan hanya para ilmuwan yang
memusuhi Kuhn, tapi juga banyak filosof ilmu pengetahuan tidak setuju. Dalam
banyak kasus, ketidaksetujuan ini didasarkan pada kesalahpahaman yang sama,
yang memprovokasi para ilmuwan, meskipun itu jauh lebih umum sekarang daripada
20 tahun pertama setelah publikasi bukunya Structure
of the Scientific Revolution (1970). Menurut Lipton, cukup umum di kalangan
filosof ilmu pengetahuan yang menghubungkan Kuhn dengan pandangan tentang
teori-teori bersaing tidak dapat dibandingkan, dan karenanya perubahan ilmiah merupakan
kegiatan tidak rasional. Memang Kuhn sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa
teori-teori yang tidak dibandingkan bukan berarti tidak ada bandingannya,
tetapi sebaliknya bahwa perbandingan itu, meskipun penting, tapi rumit dan
terkadang tidak dapat disimpulkan. Kuhn juga mengatakan bahwa sains adalah
model rasionalitas kognitif.
Mesklipun demikian, tidak semua
kritik filosofis terhadap Kuhn didasarkan pada kesalahpahaman. Sebagai contoh,
seseorang dapat mendapat masukan penting dari Kuhn, misalnya mekanisme contoh,
yang berguna dalam mengorganisir tradisi penelitian. Metodologi berbasis contoh
cocok dengan realisme yaitu bahwa sains dapat menggambarkan aspek-aspek dunia
sebagaimana ‘dalam dirinya sendiri’.
c.
Bagaimana
hubungan filosof ilmu pengetahuan dengan para ilmuwan?
Bagaimana hubungan antara para
ilmuwan dan filsafat ilmu pengetahuan? Menurut Lipton, masalah hubungan mereka
bukanlah bahwa para filosof ilmu pengetahuan menjatuhkan sains, juga bukan
karena para filosof gagal memberikan kajian langsung dan praktis. Masalah
sebenarnya adalah para filosof ilmu pengetahuan tidak pernah menyelesaikan
argumen mereka sendiri dan argumennya tidak berdampak, membuat para ilmuwan
agnostis. Sesungguhnya ada juga orang yang khawatir bahwa seandainya filsafat ilmu
pengetahuan benar-benar berdampak bagi para ilmuwan, itu akan merusak komitmen
dan keyakinan yang menjadi sandaran praktik para ilmuwan.
Menurut
Lipton, apa yang dibutuhkan sains adalah keandalan de facto metode yang digunakan, bukan pemahaman tentang cara kerja
metode atau demosntrasi keandalan. Jika praktik-praktik ilmiah membawa kita
kepada kebenaran, maka ia akan menghasilkan pengetahuan tentang dunia yang
bebas pikiran juga tidak tergantung pada catatan filosofis atau pembenaran
apapun, dan jika praktik-praktik itu tidak membawa kita kepada kebenaran,
situasi itu tidak akan dibalik oleh filsafat.
Menurut Lipton, filsafat ilmu
pengetahuan itu bermanfaat bagi pada ilmuwan. Filsafat sains membantu
mengungkapkan kemungkinan dalam praktik ilmiah seperti keharusan-keharusan
dalam praktik ilmiah itu sendiri. Kuhn benar bahwa berbagai bentuk dogmatis
jangka waktu terbatas penting bagi pengembangan ilmiah, tetapi ia (dan di sini
Popper akan setuju) juga benar bahwa banyak kepastian memiliki masa berlaku
yang terbatas.
d. Mengapa perlu mempelajari epistemologi
atau ilmu pengetahuan?
Berangkat
dari kontroversi para ilmuwan dan filosof, kita dapat mengambil catatan bahwa
filsafat ilmu pengetahuan pada dasarnya bermanfaat dipelajari. Menurut A.M.W.
Pranarko, seperti dikutip oleh Sudarminta, sekurang-kurangnya ada tiga alasan
mengapa epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan perlu dipelajari, yaitu
alasan perimbangan strategis, pertimbangan kebudayaan dan pertimbangan
pendidikan[8].
Berdasarkan pertimbangan strategis kajian epistemologis perlu karena
pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi manusia.
Strategi berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya kekuatan yang
ada sehingga tujuan tercapai. Pengetahuan pada dasarnya adalah kekuatan atau
daya kekuatan, knowledge is power, sudah
didengungkan sejak Francis Bacon (1561-1626).
Alasan
kedua, yakni berdasarkan pertimbangan kebudayaan. Penjelasan yang pokok
adalah kenyataan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan.
Memang kebudayaan mempunyai unsur-unsur penting lain seperti kemasyarakatan,
sistem religi, sistem bahasa, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem symbol
serta pemaknaannya dan lain sebagainya. Akan tetapi, pengetahuan memegangperan
penting dalam kesemuanya itu. Pengetahuan dapat dikatakan merupakan penggerak
kebudayaan. Revolusi pengetahuan membawa gejolak dalam perkembagnan kebudayaan.
Alasan
ketiga, mempelajari epistemologi sangat bermanfaat bagi pendidikan.
Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangakan
pandangan hidup, sikap dan keterampilan hidup, tidak dapat lepas dari pengetahuan.
Proses belajar-mengajar dalam konteks pendidikan selalu memuat unsur
penyampaian pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai. Pentingnya pengetahuan
bagi pendidikan semakin ditegaskan mengingat betapa pengetahuan itu merupakan
faktor strategis serta amat menentukan dalam perkembangan kebudayaan dan
peradapan.
III. Catatan dan tanggapan Penutup
Filsafat ilmu pengetahuan merupakan
kajian filosofis bersifat evaluatif, normatif dan kritis terkait cara kerja
ilmu pengetahuan dan kemajuan-kemajuan yang dicapainya. Tidak jarang,
keberadaan filsafat ilmu pengetahuan menjadi kontroversial, karena sifatnyat
tersebut. Tidak sedikit yang memusuhinya karena dianggap merusak dan
merendahkan ilmu pengetahuan. Namun ada juga yang menerima filsafat ilmu
pengetahuan yang ‘menyehatkan’ ilmu pengetahuan bagi kehidupan dunia dan alam
semesta.
Berangkat dari uraian pengertiannya,
dimensi dan kontroversi di atas,
epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan sebagai salah satu cabang disiplin ilmu
filsafat masih tetap relevan dan aktual, mengingat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin pesat di era digital ini. Menurut kami, ilmu
pengetahuan dan perkembangannya perlu dikaji secara evaluatif, normatif dapn kritis
agar tidak merusak kemanusiaan dan lingkungan alam semesta, tetapi membawa
kehidupan manusia dan lingkungan alam menjadi lebih sehat, baik dan bijaksana.
Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Ladyman,
James. Understanding Philosophy of
Science. London: Routledge, 2002
Lipton,
P. “The Truth about Science”. The Medawar
Lecture 20014. Philosophical Transactions of Royal Society B 360 (2005):
1259-1269.
[1] Ladyman,
James. Understanding Philosophy of
Science. London: Routledge, 2002 Halaman 1-5.
[2] Sudarminta, J, Epistemologi Dasar. Pengantar Filsafat
Pengetahuan, Kanisius: Yogyakarta, 2002, halaman 18
[3]
Sudarminta, J, Ibid, halaman 3
[5] Lipton,
P. Ibid, Halaman 1260
[6] Lipton,
P. Ibid, Halaman 1260
[7]
Lipton, P. Ibid, Halaman 1264
[8]
Sudarminta, J, Ibid Halaman 26