foto: brasilwire.com |
Tanggapan pada
Ajaran Pendidikan Menurut Paulo Freire[1]
I.
Pendahuluhan
Paulo Freire mendorak sistem
pendidikan lama di Brazilia dan menolak gaya pendidikan berpola pikir Eropa dan
Amerika Serikat. Sebagai alternatif, Paulo Freire menawarkan gagasan pendidikan
dengan metode dialog, dimana guru dan murid mempunyai peran yang sama-sama
sebagai subjek dan mempelajari objek yang sama. Dalam paper ini, penulis
memberikan beberapa pemikiran dan ajaran Paulo Freire tentang pendidikan, dan
mengakhirinya dengan sebuah tanggapan.
Kata
kunci: paulo freire, pendidikan, metode
dialog, praxis
II.
Ajaran Paulo Freire (1921-1997) tentang Pendidikan
Paulo Freire yang lahir
di Recipe Brazil dikenal sebagai pejuang pendidikan bagi kaum tertindas.
Menurut Professor Richard Shaull dalam pangantar terbitan bahasa Inggeris buku Pendidikan Kaum Tertindas mengungkapkan
bahwa pengalaman yang mendalam akan kelaparan sewaktu Freire masih anak kecil,
telah menyebabkan ia bersumpah untuk mengabdikan kehidupannya kepada perjuangan
melawan kelaparan agar anak-anak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yng
tengah dialaminya itu. Ia juga banyak membaca karya-karya Maritain, Bernanos
dan Mounier, Jena Paul Sartre, Eric Fromm, Louis Althusser, Ortega Y Gasset,
Mao Zedong, Martin Luther King, Che Guevara, Unamuno dan Herbert Marcuse.
Bukunya
yang cukup penting berisi tentang pendidikan berjudul Educaçao como Practicaa dan Liberdade (Pendidikan sebagai
Pelaksanaan Pembebasan) diterbitkan tahun 1967. Terjemahannya dalam bahasa
Inggeris baru muncul pada 1973, yaitu Education
as the Practice of Freedom, yang bersama-sama dengan tulisannya Extension of Communication di bawah judul
Education for Critical Consciousness. Buku lainnya yang paling terkenal adalah Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas) muncul tahun 1970. Buku ini mendapat perhatian
dunia.
Dalam
perjalanan waktu, Freire mengkritisi sistem
pendidikan tradisional di Brazil yang bersifat hafalan dan menggurui.
Selain itu, kaum cendekiawan Brazil banyak membahas dan membicarakan pendidikan
berdasarkan kacamata Eropa dan Amerika Serikat, yang mana pasti didasari oleh
ideologi tertentu dan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka yang
berkuasa.
Jalan
pikiran Paulo Freire tentang pendidikan dapat dilihat dalam bukuya Pendidikan Kaum Tertindas. Bab pertama dari buku Freire berisi tentang
pentingnya pendidikan sebagai suatu kebutuhan bagi kaum tertindas. Persoalan
mendasar yang diangkat adalah masalah humanisasi. Humanisasi adalah tugas
manusia memanusiakan manusia. Dehumanisasi seperti ketidakadilan, eksploitasi
dan kekerasan harus disingkirkan dari kehidupan manusia melalui proses
penyadaran. Dalam perjuangan humanisasi ini, kaum tertindas menjadi inisiator pembebasan
dan agar tidak berbalik tidak menjadi kaum penindas, demikian juga perlunya
pembebasan kaum penindas dari tindakan menindas. Pendidikan kaum tertindas
harus merupakan perjuangan melawan penindasan dalam situasi di mana dunia dan manusia
berada dalam interaksi. Dalam perjuangan ini diperluan praxis, yang merupakan proses interaksi antara refleksi dan aksi,
antara aksi dan refleksi yang tiada habisnya seraya membangun perkembangan
kesadaran atau konsientisasi.
Usaha
pembebasan ini akan menimbulkan krisis dalam diri kaum tertindas. Untuk itu,
pendidikan kaum tertindas harus diciptakan dengan dan bukan untuk kaum
tertindas, dalam perjuangan memulihkan kemanusiaan dengan melawan penindasan
dalam situasi di mana dunia dan manusia dalam interaksi.
Bab
Kedua, Freire membahas bagaimana proses pendidikan kaum tertindas. Dalam bab
ini dia mengkritik metode pendidikan lama sebagai pendidikan dengan “sistem
bank”. Dalam sistem ini, guru yang memiliki pengetahuan mengisi murid. Murid
diperlakukan sebagai wadah atau tempat deposito belaka. Murid dijadikan sebagai
objek. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan sebagai membentuk
masyarakat yang tunduk pada yang berkuasa. Menolak pendidikan sistem bank
tersebut, Freire menggagas sebuah sistem
pendidikan yang disebutnya “problem-posing
education” yang memungkinkan konsientisasi. Dalam sistem ini, guru dan
murid bersama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama. Mereka
berpikir bersama. Pengetahuan yang sejati menuntut penemuan dan penemuan
kembali melalui penyelidikan terus menerus atas dunia, dengan dunia dan dengan
sesama. Guru dan murid harus serentak menjadi murid dan guru melalui dialog
dalam pembelajaran bersama. Guru belajar dari murid, dan murid belajar dari
guru.
Kemudian
dalam bab ketiga, Freire menguraikan bahwa dialog merupakan unsur penting
pendidikan. Dialog pada dasarnya adalah interaksi yang memiliki inti yaitu kata. Kata mempunyai dua dimensi yaitu refleksi dan aksi. Tanpa refleksi yang terjadi aktivisme, tanpa aksi yang
terjadi verbalisme. Dialog terjadi ketika ada kesetaraan, cinta kasih,
keberanian, dan kerendahan hati, dan
kepercayaan. Pada saat yang sama, dialog harus berdasarkan pada kepekaan
terhadap kemampuan-kemampuan bawaan di dalam sertiap manusia untuk menemukan
dirinya.
Dalam
bab keempat atau bab terakhir, Freire menunjukkan bahwa teori pendidikan
dialogis bertentangan dengan teori pendidikan antidialogis. Pendidikan dialogis
berarti pendidikan kooperatif dalam usaha memacu proses pembebasan. Tindakan
dialogis mengarah pada sintese budaya yang dicapai dengan dialog terus menerus
antara pemimpin dan masyarakat, sehingga mereka mampu menciptakan pedoman atau
kesepakatn bersama. Sedangkan tindakan antidialogis ditandai tindakan
mendominasi manusia lain, membuat tunduk, pasif dan tetap tinggal tertindas
dengan tujuan menjajah dan memaksakan pendapat kepada yang lemah.
III.
Tanggapan
Paulo Freire
menggagas suatu kritisisme atas sistem pendidikan yang sedang berlangsung di
jamannya. Pendidikan tradisional bersifat hafalan atau menggurui bukanlah
pendidikan sejati yang membebaskan manusia dari ketidahuannya. Ia menyadari
bahwa rakyat yang tertindas akan tetap
tertindas jika menggunakan sistem pendidikan tradisional.
Paulo Freire juga mengkritisi sistem pendidikan bermodelkan pendidikan
modernisme yang berlangsung di Eropa dan Amerika Serikat. Pendidikan model
modernisme yang kerap dilatari persetruan ideologi komunisme dan liberalisme
memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kepentingan hegemoni blok tertentu
seperti blok Barat atau Blok Timur.
Dalam bukunya Pendidikan Kaum
Tertindas, Paulo Freire menuliskan ajarannya tentang pendidikan termasuk
kritik atas pendidikan lama di Brazilia. Kritik Paulo Freire diimbangi dengan
gagasannya sendiri yang menawarkan suatu alternatif sistem pendidikan dengan
metode dialogik dalam pendidikan melalui
suatu . Guru dan murid sama-sama sebagai subjek dan membahas objek yang sama. Guru
dan murid saling belajar dan memperkaya. Metode dialog ini menciptakan
komunikasi dan relasi yang manusiawi antara guru dan peserta didik. Guru dan
peserta didik belajar menemukan penyadaran akan dunia, dirinya dan kehidupan
bersama melalui sistem problem-posing
education. Alternatif sistem
pendidikan yang ditawarkan sangat tepat dalam menjawabi kebutuhan masyarakat di
jamannya.
Sistem pendidikan Dialog masih tetap relevan dengan situasi jaman
pendidikan sekarang di Indonesia. Menurut penulis, banyak sistem pendidikan di
Indonesia masih menggunakan pola lama, yaitu menghafal dan menggurui. Metode
dialog yang ditawarkan Paulo Freire tersebut masih layak diadopsi, tetapi
dengan menambah kemajuan sarana informasi dan teknologi digital di era Revolusi Industri Keempat (4.0).
Sumber Pustaka
Bahan Kuliah
oleh Romo Alex Lanur, Bab VIII: Abad XX: Pendidikan di Dunia Ketiga, STF
Driyarkara, 2019, Halaman 69-77.
[1] Presentasi ini bersumber
dari Bahan Kuliah oleh Romo Alex
Lanur, Bab VIII: Abad XX: Pendidikan di Dunia Ketiga, STF Driyarkara, 2019,
Halaman 69-77.