Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Selasa, Juli 30, 2019

Tanggapan pada Ajaran Pendidikan Menurut Paulo Freire



foto: brasilwire.com
Tanggapan pada Ajaran Pendidikan Menurut Paulo Freire[1]

I.          Pendahuluhan
Paulo Freire mendorak sistem pendidikan lama di Brazilia dan menolak gaya pendidikan berpola pikir Eropa dan Amerika Serikat. Sebagai alternatif, Paulo Freire menawarkan gagasan pendidikan dengan metode dialog, dimana guru dan murid mempunyai peran yang sama-sama sebagai subjek dan mempelajari objek yang sama. Dalam paper ini, penulis memberikan beberapa pemikiran dan ajaran Paulo Freire tentang pendidikan, dan mengakhirinya dengan sebuah tanggapan.

Kata kunci: paulo freire, pendidikan, metode dialog, praxis
           
II.       Ajaran Paulo Freire (1921-1997) tentang Pendidikan
 Paulo Freire yang lahir di Recipe Brazil dikenal sebagai pejuang pendidikan bagi kaum tertindas. Menurut Professor Richard Shaull dalam pangantar terbitan bahasa Inggeris buku Pendidikan Kaum Tertindas mengungkapkan bahwa pengalaman yang mendalam akan kelaparan sewaktu Freire masih anak kecil, telah menyebabkan ia bersumpah untuk mengabdikan kehidupannya kepada perjuangan melawan kelaparan agar anak-anak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yng tengah dialaminya itu. Ia juga banyak membaca karya-karya Maritain, Bernanos dan Mounier, Jena Paul Sartre, Eric Fromm, Louis Althusser, Ortega Y Gasset, Mao Zedong, Martin Luther King, Che Guevara, Unamuno dan Herbert Marcuse.
Bukunya yang cukup penting berisi tentang pendidikan berjudul Educaçao como Practicaa dan Liberdade (Pendidikan sebagai Pelaksanaan Pembebasan) diterbitkan tahun 1967. Terjemahannya dalam bahasa Inggeris baru muncul pada 1973, yaitu Education as the Practice of Freedom, yang bersama-sama dengan tulisannya Extension of Communication di bawah judul Education for Critical Consciousness.  Buku lainnya yang paling terkenal adalah Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas) muncul tahun 1970. Buku ini mendapat perhatian dunia.
Dalam perjalanan waktu, Freire mengkritisi sistem  pendidikan tradisional di Brazil yang bersifat hafalan dan menggurui. Selain itu, kaum cendekiawan Brazil banyak membahas dan membicarakan pendidikan berdasarkan kacamata Eropa dan Amerika Serikat, yang mana pasti didasari oleh ideologi tertentu dan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa.
Jalan pikiran Paulo Freire tentang pendidikan dapat dilihat dalam bukuya Pendidikan Kaum Tertindas.  Bab pertama dari buku Freire berisi tentang pentingnya pendidikan sebagai suatu kebutuhan bagi kaum tertindas. Persoalan mendasar yang diangkat adalah masalah humanisasi. Humanisasi adalah tugas manusia memanusiakan manusia. Dehumanisasi seperti ketidakadilan, eksploitasi dan kekerasan harus disingkirkan dari kehidupan manusia melalui proses penyadaran. Dalam perjuangan humanisasi ini, kaum tertindas menjadi inisiator pembebasan dan agar tidak berbalik tidak menjadi kaum penindas, demikian juga perlunya pembebasan kaum penindas dari tindakan menindas. Pendidikan kaum tertindas harus merupakan perjuangan melawan penindasan dalam situasi di mana dunia dan manusia berada dalam interaksi. Dalam perjuangan ini diperluan praxis, yang merupakan proses interaksi antara refleksi dan aksi, antara aksi dan refleksi yang tiada habisnya seraya membangun perkembangan kesadaran atau konsientisasi.
Usaha pembebasan ini akan menimbulkan krisis dalam diri kaum tertindas. Untuk itu, pendidikan kaum tertindas harus diciptakan dengan dan bukan untuk kaum tertindas, dalam perjuangan memulihkan kemanusiaan dengan melawan penindasan dalam situasi di mana dunia dan manusia dalam interaksi.
Bab Kedua, Freire membahas bagaimana proses pendidikan kaum tertindas. Dalam bab ini dia mengkritik metode pendidikan lama sebagai pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam sistem ini, guru yang memiliki pengetahuan mengisi murid. Murid diperlakukan sebagai wadah atau tempat deposito belaka. Murid dijadikan sebagai objek. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan sebagai membentuk masyarakat yang tunduk pada yang berkuasa. Menolak pendidikan sistem bank tersebut,  Freire menggagas sebuah sistem pendidikan yang disebutnya “problem-posing education” yang memungkinkan konsientisasi. Dalam sistem ini, guru dan murid bersama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama. Mereka berpikir bersama. Pengetahuan yang sejati menuntut penemuan dan penemuan kembali melalui penyelidikan terus menerus atas dunia, dengan dunia dan dengan sesama. Guru dan murid harus serentak menjadi murid dan guru melalui dialog dalam pembelajaran bersama. Guru belajar dari murid, dan murid belajar dari guru.
Kemudian dalam bab ketiga, Freire menguraikan bahwa dialog merupakan unsur penting pendidikan. Dialog pada dasarnya adalah interaksi yang memiliki inti yaitu kata. Kata mempunyai dua dimensi yaitu refleksi dan aksi. Tanpa refleksi yang terjadi aktivisme, tanpa aksi yang terjadi verbalisme. Dialog terjadi ketika ada kesetaraan, cinta kasih, keberanian, dan kerendahan hati,  dan kepercayaan. Pada saat yang sama, dialog harus berdasarkan pada kepekaan terhadap kemampuan-kemampuan bawaan di dalam sertiap manusia untuk menemukan dirinya.
Dalam bab keempat atau bab terakhir, Freire menunjukkan bahwa teori pendidikan dialogis bertentangan dengan teori pendidikan antidialogis. Pendidikan dialogis berarti pendidikan kooperatif dalam usaha memacu proses pembebasan. Tindakan dialogis mengarah pada sintese budaya yang dicapai dengan dialog terus menerus antara pemimpin dan masyarakat, sehingga mereka mampu menciptakan pedoman atau kesepakatn bersama. Sedangkan tindakan antidialogis ditandai tindakan mendominasi manusia lain, membuat tunduk, pasif dan tetap tinggal tertindas dengan tujuan menjajah dan memaksakan pendapat kepada yang lemah.


III.        Tanggapan
 Paulo Freire menggagas suatu kritisisme atas sistem pendidikan yang sedang berlangsung di jamannya. Pendidikan tradisional bersifat hafalan atau menggurui bukanlah pendidikan sejati yang membebaskan manusia dari ketidahuannya. Ia menyadari bahwa rakyat yang tertindas  akan tetap tertindas jika menggunakan sistem pendidikan tradisional.
Paulo Freire juga mengkritisi sistem pendidikan bermodelkan pendidikan modernisme yang berlangsung di Eropa dan Amerika Serikat. Pendidikan model modernisme yang kerap dilatari persetruan ideologi komunisme dan liberalisme memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kepentingan hegemoni blok tertentu seperti blok Barat atau Blok Timur.
Dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire menuliskan ajarannya tentang pendidikan termasuk kritik atas pendidikan lama di Brazilia. Kritik Paulo Freire diimbangi dengan gagasannya sendiri yang menawarkan suatu alternatif sistem pendidikan dengan metode  dialogik dalam pendidikan melalui suatu . Guru dan murid sama-sama sebagai subjek dan membahas objek yang sama. Guru dan murid saling belajar dan memperkaya. Metode dialog ini menciptakan komunikasi dan relasi yang manusiawi antara guru dan peserta didik. Guru dan peserta didik belajar menemukan penyadaran akan dunia, dirinya dan kehidupan bersama melalui sistem problem-posing education. Alternatif sistem pendidikan yang ditawarkan sangat tepat dalam menjawabi kebutuhan masyarakat di jamannya.
Sistem pendidikan Dialog masih tetap relevan dengan situasi jaman pendidikan sekarang di Indonesia. Menurut penulis, banyak sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan pola lama, yaitu menghafal dan menggurui. Metode dialog yang ditawarkan Paulo Freire tersebut masih layak diadopsi, tetapi dengan menambah kemajuan sarana informasi dan teknologi digital di  era Revolusi Industri Keempat (4.0). 


Sumber Pustaka

Bahan Kuliah oleh Romo Alex Lanur, Bab VIII: Abad XX: Pendidikan di Dunia Ketiga, STF Driyarkara, 2019, Halaman 69-77.


[1] Presentasi ini bersumber dari Bahan Kuliah oleh Romo Alex Lanur, Bab VIII: Abad XX: Pendidikan di Dunia Ketiga, STF Driyarkara, 2019, Halaman 69-77.
Powered By Blogger