Hati Nurani vs Perkara Perut
Oleh Pormadi Simbolon
Baru-baru ini Satijipto Rahardjo Guru Besar sosiologi Universitas Diponegoro, menggolongkan ribuan para hakim di negeri ini menjadi dua kategori. Kategori pertama hakim yang berpikir dengan hati nurani. Kategori kedua adalah hakim yang bertanya dulu kepada perut baru kemudian mencari pasal-pasalnya (Kompas, 21/09/05).
Pengkategorian tersebut dikemukakannya terkait dengan pemberantasan korupsi yang mengecewakan masyarakat banyak di republik tercinta.
Yang menarik diutarakan adalah ungkapan berpikir dengan nurani dan bertanya kepada perut. Barangkali kegagalan pemberantasan korupsi dan banyaknya persoalan bangsa lainnya atau krisis multidimensi belum teratasi karena perkara hati nurani dan perut tersebut.
Hati Nurani Sebagai Inti Manusia
Kata ‘hati nurani’ dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, Sinar Harapan, 2001) diartikan perasaan yang dalam, batin. Makna yang sama dengan term tersebut digambarkan Harimurti Kridalaksana (Nusa Indah, 1974) sebagai perasaan hati yang murni, kata hati, hati kecil, batin, sanubari. Intinya hati nurani merupakan ungkapan terdalam yang datang dari hati yang murni dan terkait erat dengan hubungan manusia dengan ajaran Tuhan dan kehidupan lingkungannya.
Di dalam lubuk hati setiap insan hati nurani bekerja dan berbisik. Pada waktu tertentu ia memberi perintah untuk melakukan yang baik dan menyuarakan keadilan. Pada saat lain ia memberi perintah untuk mengelakkan yang jahat dan salah. Hati nurani menjadi pengontrol moralitas individu.
Hati nurani bekerja aktif karena ia dipertajam dengan pemaknaan atas pengalaman hidup, pendidikan, keluarga dan masyarakat lingkungannya. Artinya prinsip hati nurani adalah hasil kolaborasi keputusan akal budi dengan pengalaman hidup.
J.H. Newman dalam suratnya kepada Pangeran Norfolk V mengatakan hati nurani adalah ‘hukum roh’ dan juga ‘bisikan langsung’, di dalamnya terdapat gagasan pertanggungjawaban, kewajiban, ancaman dan janji… Jadi hati nurani terletak di dalam hati yang terdalam. Ia tidak dapat didengar bila si manusia tidak mau mendengarkan dan menanggapinya.
Jadi hati nurani merupakan petunjuk dan keputusan akhir dalam interaksinya dengan akal budi manusia dalam berhadapan dengan dirinya, orang lain dan Tuhannya. Atas dasar peran dan posisinya yang penting, para pemimpin Gereja Katolik merumuskan “hati nurani sebagai inti yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya” (Dokumen Konsili Vatikan II, GS 16).
Perkara Perut
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (idem) ‘perut’ diartikan bagian tubuh sebelah depan antara dada dengan kemaluan’. Fungsinya sebagai wadah yang mula-mula menampung makanan yang masuk ke dalam tubuh. Jadi perut tampak kasat mata, bersifat lahiriah, dapat diraba, digerakkan oleh nafsu terhadap apa saja yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Dengan kata lain soal perut adalah perkara menjaga dan memelihara keselamatan, kebutuhan, dan keamanan tubuh.
Perut menjadi kelaparan bila semua isinya sudah mengalami proses pembakaran dalam tubuh. Lalu ia menuntut lagi makanan atau rezeki. Ia digerakkan oleh keinginan untuk mencari makanan.
Namun perut menjadi kegendutan bila diisi dengan terlalu banyak makanan dan minuman. Perut menjadi kelebihan muatan sebab si manusia memaksa masuk aneka makanan dan minuman. Perut kekenyangan dan lalu menjadi gendut dan akhirnya dapat menjadi sumber kecelakaan, kemalasan dan penyakit.
Tidak jarang banyak orang kaya mati karena kekenyangan, sedangkan orang miskin harus mati karena kelaparan dan gizi buruk yang mereka derita. Barangkali, Orang kaya yang kekenyangan mempunyai duit untuk berobat, namun orang miskin harus menerima nasibnya sebagai orang yang kelaparan, kecil melarat dan miskin.
Benar, semua orang memiliki perut. Semua orang pula harus mengisi perutnya dengan makanan yang sehat, secukupnya dan sesuai dengan volumenya. Benar pula manusia harus mengisi perut untuk hidup, bukan hidup untuk perut. Jadi hidup ini bukan perkara perut saja … Bung!
Menggunakan Hati Nurani atau Perut?
Warga bangsa ini sudah banyak disuguhi oleh media massa aneka persoalan bangsa. Krisis multidimensi negeri ini terjadi lebih merupakan akibat dari manusia yang menggunakan perut daripada hati nurani. Kehidupan di negeri ini begitu sulit, namun masih banyak oknum aparatur pemerintah masih lebih dahulu bertanya pada perut dalam pelayanannya kepada publik.
Tak heran bila pemberantasan korupsi mengecewakan masyarakat. Banyak dari para hakim memutuskan perkara di pengadilan setelah bertanya lebih dulu pada perut lalu mencari pasal-pasal. Sedangkan hakim yang memutuskan perkara korupsi dengan hati nurani, dalam hitungan minggu atau bulanan bisa jadi sudah hilang, tewas ditembak atau diracun.
Suap-menyuap dan korupsi gagal diberantas karena memang perkara perutlah yang menjadi dasarnya. Bila para penegak hukum bertanya pada perut, demikian juga para pelaku korupsi, maka kloplah keduanya dan terjadilah penggendutan perut. Gagallah pemberantasan korupsi.
Lihat saja kenyataan kehidupan bermasyarakat di lapangan. Karena menggunakan perut, banyak dari warga bangsa ini memunculkan aneka perilaku negatif: mudah tersinggung, bengis, beringas, main hakim sendiri, fanatik berlebihan dan gampang mengamuk. Sebagian warga terpaksa protes dan marah karena urusan perut mereka diganggu dan dipersulit karena memang sudah kelaparan dan merupakan tuntutan kebutuhan hidup. Namun sebagian warga masih asyik berpesta pora, berbagi jatah proyek, berpraktek calo untuk mengenyangkan perut yang sudah gendut.
Ketika terjadi busung lapar, malah pejabat berkomentar “busung lapar itu kecelakaan” (Kompas, 27/05/05). Pembelaan diri ini timbul karena perkara perut. Jika hati nurani yang berbicara maka yang muncul adalah penyesalan dan pernyataan konstruktif untuk mengatasi busung lapar.
Ketika terjadi penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di empat Kabupaten Cianjur, seorang pejabat keamanan malah mengatakan “penyebab terjadinya perusakan terhadap masjid, madrasah dan rumah warga adalah akibat kelalaian pemerintah setempat (Suara Pembaruan, 21/09/05). Apakah ia menggunakan hati nurani atau perut? Anda sendiri yang menyimpulkan.
“Hari Begini Ngomong Hati Nurani?”
Sedikit saja orang yang sungguh-sungguh menggunakan hati nurani dalam soal kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di negeri ini. Sebab hati nurani itu barangkali sudah klasik dan tidak sesuai lagi dengan trend yang ada di tengah masyarakat. Barangkali orang jaman ini akan berkata “Hari gini ngomong hati nurani, pengabdian, dan gotong-royong? Emangnya gue pikirin, so what begitu loh! Masa bodoh. Isi dulu perutmu, begitu loooh!! Hati nurani terkalahkan oleh perkara perut.
Hati nurani di negeri ini kerapkali terselimuti oleh kabut, selubung, kepentingan dan minat egoistik yang ujun-ujungnya adalah perkara perut, duit dan kenikmatan. Jangan-jangan perkara perut sudah menaklukkan dan menguasai hati nurani bangsa ini. Ah… mengenai hal ini saya pun tidak tahu persis…mari kita tanyakan hati nurani terdalam kita.
Hati nurani yang disebut J.H. Newman sebagai hukum roh dan bisikan langsung dalam diri manusia terdalam memuat gagasan pertanggungjawaban, kewajiban, ancaman dan janji. Bila manusia mendengarkan hati nuraninya maka kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan batin akan datang menghampirinya. Namun bila manusia melulu mendengarkan perut maka ancaman dan hukuman dari hati nuraninya sendiri dan lingkungan sekitarnya akan menggerogotinya. Mendengarkan hati nurani atau bertanya pada perut sendiri memang keputusan setiap insan yang hidup di dunia ini. Persoalannya kita berada dan hidup dalam tata hidup bersama menuju kesejahteraan bersama pula.
*Penulis adalah warga biasa, tinggal di Jakarta.