Oleh Pormadi Simbolon
Jangan lupakan Pancasila |
Sampai saat ini, masalah memperoleh IMB rumah ibadah masih menjadi menjadi
persoalan rumit bagi kaum minoritas. Padahal proses pendirian rumah ibadah sudah
melalui Peraturan Bersama Menteri Nomor 9/8 tahun 2006 yang salah satu di
dalamnya diatur bagaimana memperoleh IMB rumah ibadat.
Sebuat saja contoh, gereja GKI Yasmin, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 127/PK/TUN/2009 pada 9 Desember 2009 telah memenangkan GKI Yasmin, namun Pemerintah Kota Bogor tidak melaksanakan putusan MA, malah mencabut IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011.
Pertanyaannya, apakah sosialisasi PBM belum terlaksana dengan baik atau bagaimana sikap dasar kita terhadap PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006?
Sebuat saja contoh, gereja GKI Yasmin, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 127/PK/TUN/2009 pada 9 Desember 2009 telah memenangkan GKI Yasmin, namun Pemerintah Kota Bogor tidak melaksanakan putusan MA, malah mencabut IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011.
Pertanyaannya, apakah sosialisasi PBM belum terlaksana dengan baik atau bagaimana sikap dasar kita terhadap PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006?
Pendirian Rumah Ibadat
Masalah pendirian rumah
ibadat sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama
(Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian
Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006.
PBM tersebut dalam seluruh
prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh
semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf
awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Baru-baru ini seminar dalam
rangka memperingati 7 tahun PBM tersebut diadakan oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Jakarta, Kamis
(21/3).
Menurut Kepala Badan Litbang
dan Diklat, Prof. Dr. Machasin, implementasi PBM tersebut kurang dipahami oleh
pemegang kekuasaan di daerah, meski Kemendagri telah melakukan sosialisasi ke
seluruh perangkat daerah.
Implementasi dan Problematika
PBM
Selama 7 tahun, keberadaan
PBM masih menimbulkan masalah dalam membangun kerukunan umat beragama secara
nasional. Masalah pendirian rumah ibadat masih masalah dominan.
Dalam seminar tersebut aturan
dalam PBM diakui belum menyelesaikan
masalah dalam mendirikan rumah ibadah. Ada yang berpendapat agar PBM dicabut
karena menjadi alat penguasa di daerah untuk melarang pembangunan rumah ibadah.
Pada konteks tertentu PBM ini dipakai kelompok tertentu yang tidak memiliki
kewenangannya untuk menolak keberadaan rumah ibadah tertentu.
Sejatinya, PBM ini ada untuk
kepentingan pembangunan kerukunan umat beragama karena PBM ini mengedepankan “roh”
kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama,
berbangsa dan bermasyarakat.
Kerukunan Umat Beragama
Masalah pendirian rumah ibadah
dan kebebasan beragama terkait langsung dengan pembangunan kerukunan umat
beragama.
Pengertian kerukunan umat
beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal
1, poin 1).
Definisi tersebut
mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto
berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha
membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang
lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena
itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai
agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap
kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan
bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima
peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).
Pencapaian kerukunan umat
beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan
penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua
komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat
beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Semangat membangun kerukunan
umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam
kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif
dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya.
Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama
harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau
pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi
sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana
nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan
dalam kebersamaan.
Demikian pula sebagai
fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/
walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan
menumbuhkembangkan suasana kondusif untuk keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian
suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil,
demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.
Mengubah Sikap Dasar
Mengapa aturan-aturan PBM
belum mampu maksimal mengatasi masalah konflik pendirian rumah ibadah?
Jawabannya adalah sikap dasar semua pihak terhadap PBM. Kesulitan dalam pendirian rumah ibadah di
lapangan pada umumnya bukan pada soal
persetujuan warga setempat, tetapi ada faktor lain yang lebih besar dari luar
warga setempat, seperti kepentingan sesaat (politik dan ekonomi) kelompok tertentu.
Untuk itu perlu sosialisasi
PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 secara bersahaja dan mengedepankan roh kerukunan yang berangkat
dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan
nasional. Roh kerukunan menjadi sikap dasar dalam mewujudkan perbaikan keadaan bangsa dan negara yang
dicap terkorup dan hampir gagal menuju
Indonesia baru dengan keadaban baru. Roh kerukunan nasional menjadi awal
kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Mensosialisasikan PBM, berarti
mensosialisasikan kerukunan umat beragama.
Sosialisasi juga tidak
didasarkan sikap arogan dan mengedepankan pandangan mayoritas dan minoritas.
Sikap dasarnya adalah semangat kebersamaan dan kebersatuan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Di sinilah peran pejabat pemerintah sebagai
fasilitator dan tugas FKUB dalam sosialisasi PBM.
Berhasil tidaknya pelaksanaan
sosialisasi PBM ini ada pada peran Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri
sebagai leading sector di bidang kehidupan beragama dan bernegara.
Sasaran utama sosialisasi ini
diprioritaskan kepada para elit pejabat pusat dan daerah agar lebih memahami
roh PBM ini. Para pejabat publik atau
politisi tidak memperalat agama sebagai jargon untuk kepentingan sesaat. Sebaliknya,
agama menjadi inspirasi dalam kehidupan bersama dan menjadi moralitas publik.
Selain itu ada Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Tugas FKUB adalah menjadi mediasi antara
masyarakat dan pemerintah. Tidak sebaliknya, anggota FKUB menjadi bagian dari
masalah kerukunan itu sendiri karena sikap dasarnya untuk memperhatikan kepentingan
kelompoknya sepihak, bukannya kepentingan yang lebih besar.
Selain memberi rekomendasi,
FKUB juga menjadi mediator dalam menyelesaikan masalah, mensosialisasikan
kebijakan di bidang kerukunan, karena kerukunan umat beragama merupakan syarat
tercapainya kesejahteraan nasional.
FKUB juga perlu memberikan
pencerahan kepada RT/RW sehingga roh PBM ini menjadi cakrawala baru dalam cara
pandang, cara pikir dan cara berelasi. Karena itulah FKUB pertama-tama
didirikan oleh masyarakat dan bukan oleh pemerintah.
Program FKUB juga adalah
bagaimana menjaga dan memelihara kerukunan, sampai pada mempengaruhi kebijakan
untuk menyejahterakan masyarakat. Maka FKUB menjadi partner pemerintah dalam
merumuskan perlindungan rakyat minoritas.
Sosialiasi PBM yang didasari
sikap dan roh kerukunan umat
beragama akan mengurangi konflik dalam
pendirian rumah ibadat.
Pada tataran nasional, untuk
implementasi dan mengatasi problematika PBM dibutuhkan peran fasilitator yaitu
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang berperan besar dalam membangun kerukunan
umat beragama sebab leading sector pembinan ada pada fasilitator. Pemerintah
harus menindak tegas orang atau kelompok yang tidak memiliki kewenangan
melarang pendirian rumah ibadah di daerah tertentu. Pemerintah tidak terkesan
melakukan pembiaran.