TIDAK MENCAP SESAT, TAPI MENYAPA. MUNGKINKAH?
Oleh Pormadi Simbolon
Dalam beberapa waktu lalu (Kompas 31/08/2005), Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan fatwanya yang pernah dikeluarkan beberapa waktu lalu kepada DPR. Dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya sebagai orang murtad (keluar dari Islam).
Aliran Ahmadiyah dicap sesat karena mengajarkan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yakni Mirza Ghulam Ahmad dan lalu dianggap telah keluar dari Islam. MUI juga menyerukan kepada para pengikut aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan Al-Quran dan Hadist.
Hal mengeluarkan fatwa atau “Surat Gembala” mencap sesat bahkan mengutuk kelompok keyakinan lain yang berbeda penafsiran alkitabiah atau ajaran juga pernah terjadi dalam sejarah Gereja Katolik sekitar abad ketujuhbelas. Bahkan pada masa yang sama terjadi propaganda dalam Gereja Katolik bahwa “Di luar Gereja tiada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus).
Bila kita coba lihat dari perspektif kebebasan beragama, yang patut direnungkan secara lebih mendalam adalah apakah kita berhak mencap bahkan mengutuk orang lain yang berbeda agama/ keyakinan sesat dan menyesatkan? Yang lebih membuat rasa kemanusiaan kita terusik adalah bila “Surat Gembala” atau Fatwa itu menebarkan benih tindak kekerasan untuk memaksa mengubah apa yang diyakini orang lain seturut hati nuraninya? Bukankah cap sesat dan tindak kekerasan yang menyertainya konfrontatif dengan iman yang kita miliki? Tidakkah kita lebih baik menyapa, merangkul alias berdialog dengan mereka yang berbeda keyakinan dengan kita?
Bertentangan Dengan Ungkapan Iman Sendiri?
Bila kita sependapat, entah agama apa pun yang kita anut, pada dasarnya agama mengajarkan bahwa kasih sayang (cinta kasih) kepada Allah dan sesama manusia (relasi vertikal dan horisontal), maka kita akan sependapat pula bahwa tindakan mencap keberagamaan/ keyakinan orang lain yang berbeda agama dengan kita sesat dan menyesatkan adalah tindakan yang bertentangan dengan iman kita sendiri. Terlebih lagi bila stigma sesat dan menyesatkan itu disertai tindakan kekerasan baik secara fisik maupun secara psikologis.
Perkenankan penulis memberi contoh pengalaman sejarah Gereja Katolik (karena penulis berlatarbelakang Katolik). Dalam Gereja Katolik, kelompok Yansenisme pada abad XVII pernah mempropagandakan bahwa di luar Gereja tiada keselamatan (extra ecclesia nulla salus). Pada dasarnya propaganda yang berasal dari Santo Cyprianus (abad III) ini merupakan sikap apologetis dan eksklusif. Gereja bersikap demikian karena mengalami ketakutan eksistensial karena pertemuannya dengan agama-agama/ keyakinan di luar dirinya.
Selanjutnya dalam perjalanan sejarah, Gereja Katolik sadar akan penting masa depan eksistensinya dan kenyataan pluralitas agama dan budaya lalu ia belajar dari pengalaman anggotanya yang minoritas di Asia dan Timur Tengah atau belahan dunia lainnya. Di tempat minoritas, umat Katolik harus belajar hidup berdampingan dengan umat beragama di luar dirinya yang mungkin menjadi mayoritas seperti di Asia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.
Kesadaran inilah yang menjadi salah satu pendorong dan penguat Gereja Katolik untuk mengadakan pembaruan dan perubahan wajah Gereja dalam sidang Konsili Vatikan II, dan mengeluarkan Konstitusi Lumen Gentium) yang berisi sikap terhadap umat beragama yang bukan Katolik. Sikap Gereja tidak lagi apologetis dan eksklusif melainkan mengajak agama non-Katolik dan Ateis sekalipun untuk duduk berbicara bersama. Ia menyadari bahwa mengutuk atau mencap sesat agama/ keyakinan yang lain justru bertentangan dengan ungkapan imannya yang seyogiyanya menyapa, merangkul dan berjalan bersama-sama dengan semua orang yang berkehendak baik untuk membangun dunia.
Keberbedaan keyakinan (pluralitas agama dan budaya) adalah kenyataan yang menjadi keharusan dan ia berkembang seturut perkembangan pemikiran, penghayatan dan pengalaman iman manusia atas realitas hidupnya. Keberbedaan itu seyogiyanya menjadi kekayaan tak ternilai dan pula tidak saling mengurangi kehormatan dan kebenaran masing-masing agama.
Penulis yakin bahwa hidup keberagamaan kita tidak dibatasi atau berhenti pada ritus keagamaan di gedung masjid, gereja atau tempat ibadah lainnya dan juga tidak hanya pada hari Jum’at siang atau Minggu pagi melainkan dalam segala dimensi kehidupan kita sebagai umat beragama.
Artinya penghayatan dan pengamalan ajaran agama harus diterapkan dalam praksis kehidupan sehingga membuahkan kedamaian dan persahabatan. Penerapan itu tidak terbatas pada umat seagama atau yang lain yang sudah beragama tetapi pada umat manusia pada umumnya, bahkan kepada penganut ateis sekalipun.
Lebih Baik Menyapa atau Berdialog
Berangkat dari kenyataan realitas yang pluri-agama dan pluri-budaya kehidupan, adanya mayoritas dan minoritas penganut agama di belahan dunia yang berbeda, semua agama harus belajar untuk hidup berdampingan, saling menyapa alias berdialog, maka akan tercipta perdamaian dan persahabatan antar umat beragama khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Itu bukan berarti mengurangi kebenaran iman agama-agama masing-masing, tetapi justru mendorong untuk saling menghormati di antara mereka dan dengan tulus berani untuk berkata, “Kami yakin bahwa hanya agama kami yang benar (entah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dll), namun kami juga tidak menolak mengakui dengan penuh hormat nilai-nilai rohani dan moral dari agama/ kepercayaan di luar diri kami”.
Untuk mencapai sikap terbuka dan saling menyapa atau dialogis demikian membutuhkan beberapa syarat. Syarat pertama, kejelasan tentang apa yang mau didialogkan atau disampaikan. Syarat kedua, perlunya kelembutan hati. Artinya, kecongkakan hati, saling menyerang dan semacamnya harus ditanggalkan lalu berani untuk saling mendengarkan dengan lembut dan rendah hati. Syarat ketiga adalah kepercayaan. Kepercayaanlah yang menumbuhkan persahabatan yang semakin akrab. Lalu keempat adalah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, persahabatan antar penganut agama yang berbeda akan semakin diteguhkan (bdk. Armada Riyanto, 1995:37).
Melihat era mondialisasi dewasa ini, semua penganut agama sudah seyogiyanya membangun rasa satu dunia, dialogis dan terbuka melihat keanekaragaman agama dan budaya. Alam semesta ini pula diciptakan untuk umat manusia pada umumnya, bukan untuk umat beragama tertentu saja.
Keyakinan bahwa setiap orang berhak hidup atas kebenaran sebagaimana diyakini suara hatinya dan menampilkannya dalam hidup yang baik atau menghasilkan buah-buah kebaikan, kedamaian dan persahabatan, maka dengan keyakinan itu pula para penganut agama yang berbeda akan dapat saling menyapa dan berdialog dan lalu membangun dunia secara bersama-sama, tapi tidak lagi saling mengutuk atau memberi stigma sesat. Tapi apakah itu mungkin?
Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar