MENGAPA SULIT MEMBUKTIKAN TINDAK KORUPSI?
Oleh Pormadi Simbolon*
Banyak tindak korupsi yang dilakukan pejabat negara dan atau pegawai negeri pada birokrasi selama ini dan sebagian menjadi sorotan media publik. Dari sekian kasus yang dipublikasikan, ternyata hanya sedikit kasus tindak korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu mengapa pihak berwenang sulit membuktikan tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan atau pegawai negeri?
Kesulitan pembuktian tersebut juga diakui oleh pejabat KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean ketika Komisi III DPR mengkritik kinerjanya. Kinerja KPK dinilai mengendur dalam tahun 2006 karena pemberantasan korupsi tidak sehebat di 2005 lalu (Kompas, 28/2).
Sejauh pengamatan penulis, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah karena tindak korupsi dilakukan secara bersama-sama atau terpaksa bersama-sama dalam konteks tata hubungan atasan (selanjutnya baca: umumnya pejabat Eselon I dan II) dengan bawahan (selanjutnya baca: umumnya pejabat Eselon III, IV dan staf/ karyawan) di lingkungan birokrasi negara.
Kerja Bersama-sama Berkorupsi
Kesulitan pembuktian tindak korupsi tersebut dapat dijelaskan dalam dua kasus beserta masing-masing contoh berikut ini.
Pertama, adanya “spirit” money oriented baik pada atasan maupun bawahan. Karena spiritnya sama, maka Surat Keputusan (SK) sebuah proyek atau program akan cepat keluar dari atasan kepada bawahan. Mengapa? Sebab keduanya sudah terlebih dahulu berencana membagi-bagi “jatah” atau persenan dari total anggaran proyek/ program di luar ketentuan yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan.
Misalnya, sebuah proyek/ program mempunyai total anggaran 100 juta rupiah. Atasan dan bawahan sudah antisipasi dan melakukan kesepakatan besarnya jatah masing-masing. Jatah atasan umumnya selalu lebih besar, umpamanya 20%, sedangkan bawahan mendapat 10%, maka sisa yang harus direalisasikan untuk pelaksanaan proyek atau program tinggal 70%. Sisa tersebut masih harus dibagi lagi sebagai peruntukannya untuk tunjangan dan honor pelindung, penasehat, pengelola dan panitia pelaksana proyek. Ketika tiba saat pemeriksaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan proyek/ program tiba, maka baik atasan maupun bawahan sudah pasti dengan spirit yang sama mengatakan bahwa proyek/ program dapat berjalan dengan baik. Tindak korupsi semacam ini sulit dibuktikan, sebab bukti fisik dan tertulis memang ada serta jadwal dan foto-foto pelaksanaan program dengan jelas dilampirkan. Dari laporan pertanggungjawaban tersebut kelihatan tidak tampak tindak korupsi.
Kedua, adanya keterpaksaan bawahan melakukan tindak korupsi demi memenuhi “pesanan atasan”, sekali lagi masih berupa jatah di luar ketentuan yang berlaku, dan biasanya tuntutan seperti ini jumlahnya lebih besar tergantung pada besarnya total anggaran program/ proyek. Bawahan terpaksa mengikuti kemauan sang atasan karena jika tidak, hal itu pasti akan merugikan nasib karir bawahan dalam unit kerjanya.
Contoh, sebuah proyek/ program pada sebuah unit kerja bernilai 500 juta rupiah. Dengan jumlah yang cukup besar seturut ukuran sebuah unit kerja tersebut, atasan biasanya meminta jatah sebesar 100 juta. Kalau bawahan tidak menyetujui untuk memenuhinya, maka SK program/ proyek tidak akan segera ditandatangani, lalu program/ proyek unit kerja menjadi macet. Pada akhirnya bawahan terpaksa melakukan segala upaya bagaimana memenuhi keinginan atasan sekaligus demi lancarnya proyek/ program unit kerja.
Tidak bisa tidak, bawahan harus menekan dan memotong honor panitia dan anggota-anggotanya, mengurangi hari dan jam pelaksanaan program dan mutu barang (jika itu menyangkut pengadaan barang) dan bentuk upaya-upaya lain yang mungkin, bahkan merogoh koceknya sendiripun terpaksa dilakukan demi atasan dan kelangsungan jenjang profesinya.
Sama halnya dengan kasus dan contoh pertama tadi, tindak korupsi semacam ini tidak bisa dibuktikan. Bukti fisik dan tertulis tetap ada. Foto-foto tempat dan proses berlangsungnya program/ proyek tetap bisa ditunjukkan. Tindak korupsi tetap tidak bisa dilacak sama sekali.
Solusi
Sulitnya pembuktian tindak korupsi baik yang dilakukan bersama-sama maupun karena keterpaksaan pada dasarnya karena ada ikatan atau hubungan atasan-bawahan secara administratif dan birokratis. Bawahan pasti tidak mau melaporkan tindak korupsi tersebut, apalagi kalau harus dituntut menjadi saksinya. Bawahan berada pada posisi atau dilema serba sulit. Karena itu korupsi tetap berjalan dengan “aman dan tertib”.
Untuk mengatasi hal ini, penulis amat setuju dengan usulan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufiequrachman Ruki, yaitu adanya kewajiban bagi pejabat negara dan pegawai negeri untuk melaporkan dan menyatakan harta kekayaan di bawah sumpah atau dikenal dengan statutory declaration (Koran Tempo, 25/2).
Seorang bawahan takut menjadi saksi berhubung belum terjaminnya perlindungan saksi dan keselamatan nyawa dan profesi dalam jenjang karirnya.
Mnurut Taufiequrachman Ruki, statutory declaration adalah sebuah sistem atau perangkat hukum yang mewajibkan setiap pejabat negara dan pegawai negeri melaporkan harta kekayaannya, baik atas nama sendiri maupun yang dimiliki atas nama kerabat atau keluarganya, sepanjang perolehannya, baik sebagian maupun seluruhnya, berasal dari harta kekayaan pegawai negeri dan pejabat yang bersangkutan. Keluarga atau kerabat yang dimaksud mencakup orang tua/ mertua, istri/ suami, anak/ menantu dan cucu.
Usulan solusi tersebut di atas akan mampu membuat jera para oknum pejabat negara untuk berpikir berkali-kali sebelum melakukan tindak korupsi. Dengan demikian tindak korupsi pejabat negara atau pegawai negeri dalam konteks relasi atasa-bawahan seperti di atas dapat dikurangi, yang pada akhirnya secara pelan-pelan akan dapat menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
* Penulis adalah pengamat masalah birokrasi,
alumnus STFT Widya Sasana Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar