foto: amazon.co.uk |
Pengantar
Leninisme
merupakan tokoh kunci dalam sosok ideologis komunisme di seluruh dunia. Dalam
perjalanan sejarahnya, komunisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu masyarakat
yang anggota-anggotanya sama-sama bebas, sama-sama sejahtera, sama-sama
terhormat dan solider satu sama lain. Namun cita-cita ini runtuh akibat
perilaku para penguasa komunis sendiri, yang tidak konsisten pada ideologi dan
tidak mempunyai etika politik. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengapa
komunisme runtuh. Pokok bahasan ini dipilih dengan maksud mengambil pelajaran
berharga dari sejarah ambruknya komunisme. Pembahasan ini dimulai sejarah
singkat pemikiran Karl Marx, Marxisme-Leninisme, mengapa komunisme
internasional ambruk dan pelajaran berharga untuk jaman sekarang.
Dasar
Pemikiran Karl Marx (1818-1883)[1]
Konteks dasar yang menentukan arah perkembangan
(pemikiran) Karl Marx sesudah
menyelesaikan sekolah gymnasium
adalah situasi politik represif di Prussia (negara yang menguasai sebagian
besar Jerman Utara, salah satu dari puluhan negara berdaulat di tanah Jerman
waktu itu) yang telah menghapus kembali hampir semua kebebasan yang
diperjuangkan oleh rakyat dalam perang melawan Napoleon. Di Universitas Berlin,
Marx segera terpesona pemikiran oleh filsafat Gerog Wilhelm Fridriech Hegel
(1770-1831). Dari Hegel, ia mencari jawaban atas pertanyaan yang
menggerakkannya: bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik
reaksioner (pemikiran tahap I)?
Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenalan dengan filsafat Ludwig Feuerbah (1804-1872). Sekarang Marx memaknai ciri reaksioner negara
Prussia sebagai ungkapan keterasingan manusia dari dirinya sendiri (pemikiran tahap 2). Yang menjadi
pertanyaan Marx adalah di mana ia harus mencari sumber keterasingan itu.
Jawabannya ditemukan sesudah berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris. Di
Paris Marx menjadi yakin bahwa
keterasingan paling dasar berlangsung dalam proses pekerjaan manusia. Sebenarnya
pekerjaan adalah kegiatan di mana manusia justru menemukan identitasnya, tetapi
sistem hak milik pribadi kapitalis menjungkirbalikkan makna pekerjaan menjadi
sarana eksploitasi. Melalui pekerjaan, manusia tidak menemukan, melainkan
mengasingkan diri. Hal itu terjadi karena sistem hak milik pribadi membagi
masyarakat ke dalam para pemilik modal dan para pekerja yang tereksploitasi.
Manusia hanya dapat dibebaskan apabila hak milik pribadi atas alat-alat
produksi dihapus melalui revolusi kaum buruh, dengan demikian, Marx sampai pada
posisi pemikiran klasik sosialisme (pemikiran
tahap 3).
Karena itu, Marx semakin memusatkan perhatiannya pada
syarat-syarat penghapusan hak milik pribadi. Ia mengklaim bahwa sosialismenya
adalah sosialisme ilmiah yang tidak hanya didorong oleh cita-cita moral,
melainkan berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan
masyarakat . Dengan demikian pendekatan
Marx berubah dari yang bersifat murni filosofis menjadi semakin
sosiologis. Sosialisme ilmiah itu disebut Marx sebagai “paham sejarah yang
materialistis”: sejarah dimengerti sebagai dialektika antara perkembangan
ekonomi di satu pihak dan struktur kelas-kelas sosial di pihak lain. Marx
sampai pendapat yang akan menjadi dasar ajarannya, bahwa faktor yang menentukan
sejarah bukanlah politik atau ideologi, melainkan ekonomi. Perkembangan dalam
cara produksi lama-kelamaan akan membuat
struktur-struktur hak milik lama menjadi hambatan kemajuan. Dalam situasi ini
akan timbul revolusi sosial yang melahirkan bentuk masyarakat yang lebih tinggi
(pemikira tahap 4).
Persoalannya apakah pernah akan lahir masyarakat di mana hak milik pribadi sama sekali
terhapus? Jadi, apakah komunisme, masyarakat tanpa hak milik pribadi dan tanpa
kelas-kelas sosial itu, pernah akan terwujud? Karena faktor yang menentukan
perkembangan masyarakat adalah bidang ekonomi, pertanyaan itu harus dijawab
melalui analisis dinamika ekonomi tertinggi, yang sudah dihasilkan oleh
sejarah, kapitalisme. Itulah sebabnya, Marx makin lama makin memusatkan
studinya pada ilmu ekonomi, khususnya ekonomi kapitalistis. Studi itu membawa
Marx pada kesimpulan bahwa ekonomi kapitalisme niscaya akan menghasilkan
kehancurannya sendiri, karena kapitalisme seluruhnya terarah pada keuntungan
pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan pengisapan manusia pekerja,
dan karena itu, akan terjadi pertentangan kelas paling tajam.
Karena itu produksi kapitalisme semakin tidak terjual
karena semakin tak terbeli oleh massa buruh yang sebenarnya membutuhkannya. Kontradiksi
internal sistem produksi kapitalis itulah akhirnya niscaya akan melahirkan
revolusi kelas buruh yang akan menghapus hak milik pribadi atas alat-alat
produksi dan mewujudkan masyarakat sosialis tanpa kelas (pemikiran tahap 5).
Pemikiran Marx mengalami tahap perkembangan dan
kesinambungan. Para ahli mengelompokkan tahap 1-3 sebagai pemikiran Marx Muda,
dan tahap 4 dan 5 sebagai pemikiran Marx tua.
Marxisme
Leninisme dan Ideologi Komunisme[2]
Ajaran Karl Marx mempengaruhi Vladimir Ilyic Lenin (1870-1924).
Lenin mempelajari dan merealisasikan ajaran dan gagaran Marx seturut
pemahamannya dengan tujuan pembebasan kelompok tertindas. Dengan Lenin, ajaran
Marx semakin banyak dibahas dan dipelajari di dunia internasional.
Belum lama Lenin meninggal, Josef Vissarionovich, alias Stalin
(1878-1953) sudah membakukan ajaran-ajarannya sebagai “Leninisme”. Sebagai
bagian Marxisme-Leninisme, Leninisme
dengan demikian menjadi unsur kunci dalam sosok ideologis komunisme di
seluruh dunia. Tidak berlebihan dikatakan bahwa hanya karena “Leninisme”,
Marxisme menjadi alat perjuangan sebagian besar dari gerakan-gerakan
revolusioner abad ke-20. Karena Lenin juga, komunisme menjadi salah satu
kekuatan politik yang paling ditakuti di abad ke-20.
Pertanyaan mengenai bagaimana sampai pemikiran seorang
Lenin, yang mengerahkan seluruh hidupnya demi pembebasan kelas-kelas tertindas
bisa menjadi bagian dari sebuah ideologi yang menjadi legitimasi beberapa
kejahatan paling mengerikan dalam sejarah manusia.
Konsepsi Lenin tentang partai kader membuat pengertian
kunci Marx (muda) tentang kesatuan antara teori dan praxis pada akarnya. Bagi
Marx, pemikiran filosofis merupakan bagian dalam dialektika perjuangan yang
memotori sejarah. Teori Marx bukan produk pemikiran orang pintaryang kemudian
dipakai untuk mengarahkan perjuangan proletariat, melainkan ungkapan teoritis
perjuangan itu sendiri. Apa yang nyata-nyata dirasakan proletariat dalam
kedudukannya sebagai kelas tertindas, dirumuskan dalam dimensi teori oleh Karl
Marx untuk dikembalikan ke proletariat yang mengenalnya sebagai ungkapan
konsepsional realitasnya sendiri. “Tujuan dan tindakan historis proletariat
(apa yang dirumuskan dalam teori Marx tentang sosialisme, buku Franz Magnis-Suseno) sudah digariskan secara indrawi, tak
terbantah dalam situasi kehidupannya maupun dalam seluruh organisasi masyarakat
borjuis sejarang” (seperti dikutip Franz
Magnis-Suseno). Dalam konsepsi ini kesadaran proletariat tentang sosialisme
hanya dapat, dan memang akan, tumbuh dari perjuangannya. Begitu kesadaran
sosialis-revolusioneer dipisahkan dari perjuangan buruh sendiri dan menjadi
sesuatu yang harus dipompakan ke dalamnya dari luar, seluruh gagasan inti Marx
tentang emansipasi manusia menguap. Manusia tetap terasing dari dirinya
sendiri, “kekuatan-kekuatan hakikatnya” tetap “terpecah-belah” dan buruh, dari pada
memiliki diri dan mengalami revolusi sosialis sebagai realisasi keutuhan
dirinya, tetap tergantung dari kekuatan luarnya. Dari perspektif Marx muda,
konsepsi Lenin menanamkan kembali di inti teorinya apa yang mau dihapus
dengannya, yaitu ketergantungan dan ketertindasan baru.
Masalahnya tidak sesederhana itu. Marx sendiri tidak
mempertahankan keterkaitan dialektis teorinya dengan praxis revolusionernya
proletariat secara konsisten. Marx dalam obsesinya untuk membedakan
pemikirannya dari apa yang disebutnya “sosialisme utopis”, semakin memahaminya
sebagai teori “ilmiah”. Sosialismenya adalah “sosialisme ilmiah”, hasil
penemuannya tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat objektif, yang oleh Friedrich
Engels (1820-1938), dengan persetujuan Marx sendiri, diperbandingkan dengan
teori evolusi Charles Darwin. Teori objektif
semacam itu tidak mempunyai kaitan internal dengan perjuangan kelas.
Menurut Jurgen Habermas, Marx jatuh ke dalam “salah paham positivistik”
terhadap teorinya sendiri. Akhirnya, “materiaslieme sejarah”, nama resmi teori
Marx, menjadi “pandangan dunia ilmiah proletariat”. Teori itu bukan lagi teori
proletariat sendiri, melainkan “demi proletariat” yang lalu harus disosialisasikan
dulu ke dalamnya.
Dalam kenyataan, seluruh Marxisme pasca-Marx, dan bukan
hanya Lenin, sama sekali lupa akan konsepsi Marx muda. Penegasan Marx tentang
kaitan antara teori tentang revolusi sosialis dan perjuangan praktis
proletariat sudah lama ditinggalkan. Pengertian Marxisme sebagai “teori yang
sudah benar tentang hukum-hukum perkembangan kapitalisme” pada akhir abad ke-19 menimbulkan perbedaan serius di
kalangan kaumm Marxis: Bagaimana kenyataan yang semakin tidak terbantah ini
harus dijelaskan, yaitu bahwa kapitalisme dunia bukannya semakin rapuh
sebagaimana diramalkan oleh Marxisme, melainkan semakin jaya. Berhadapan dengan
masalah ini muncul berbagai posisi. Salah satu posisi tersebut adalah Lenin.
Lenin yang sependapat dengan Luxemburg bahwa
tidak ada revolusi tanpa kesadaran revolusioner kelas buruh, tetapi menyangkal
anggapan Luxemburg bahwa kesadaran revolusioner kaum buruh akan berkembang
secara spontan sebagai naif. Dengan sendirinya kelas buruh tidak bisa melampuai
“kesadaran serikat buruh”. Hanya di bawah pimpinan sebuah partai kader
revolusioner kelas buruh dapat membentuk kesadaran teoritis benar yang akan
membuat mereka melaksanakan revolusi sosialis. Bertolak dari perlunya revolusi,
Lenin menggagaskan sebuah partai
revolusioner yang bertugas menggiring kaum buruh yang sebenarnya, tidak
revolusioner. Bagi Lenin, revolusi bukan lagi hal yang tak terelakkan, revolusi
tergantung dari adanya kehendak revolusioner. Karena itu, Marxisme Lenin
bersifat voluntaristik. Lenin menghendaki revolusi. Konsepsi Lenin yang sangat
jauh dari Karl Marx ini akhirnya mendai kenyataan dalam sejarah dan ia menjadi
bidan Komunisme.
Penyimpangan lainnya dari ajaran Karl Marx adalah soal
kediktatoran proletariat. Marx tidak pernah memikirkan kediktatoran proletariat
sebagai keadaan semi permanen yang bisa berjalan selama berpuluh-puluh tahun
sebagaimana diantisipasi Lenin. Pengandaian Marx dan Lenin sama sekali berbeda.
Menurut Marx, revolusi sosialis baru mungkin dilaksanakan apabila bagian
terbesar masyarakat terdiri dari proletariat
yang berhadapat dengan segelintir pemilik modal. Proletariat memang
untuk sementara waktu harus menjalankan kediktatoran keras untuk menindas usaha
dari sisa-sisa kaum kapitalis untuk bangkit sekali lagi. Tetapi, begitu usaha
itu ditumpas, masyarakat yang seluruhnya terdiri atas pekerja tidak mempunyai
“musuh kelas” lagi dan karena itu aparat penindas negara tidak diperlukan lagi.
Situasi Lenin sama sekali lain. Di Rusia, kelas buruh
industry yang merebut kekuasaan dalam Revolusi Oktober merupakan minoritas
kecil di antara kelas-kelas lain (kelas tani, borjuasi, dan kaum feudal).
Kelas-kelas itu, mayoritas besar bangsa Rusia, menentang mati-matian monopoli
kekuasaan Bolshevik dan pemaksaan sosialisme. Jelaslah dalam situasi itu
hanyalah penindasan tanpa ampun, kediktatoran tanpa kompromi, yang dapat
menyelamatkan sosialisme. Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui
tindakan-tindakan dikatoris, sosialisme akan dapat dibangun dan kelas-kelas
yang berbeda lama kelamaan dileburkan menjadi satu kelas pekerja. Mengingat
keterbelakangan Rusia, pembangunan sosialisme, dan karena itu kediktatoran
proletariat yang dilaksanakan partai komunis, akann berlangsung berpuluh-puluh
tahun lamanya.
Argumentasi ini tidak dapat dibantah. Yang menjadi
masalah adalah apakah masuk akal memaksanakan sosialisme apabila prasyarat yang
dianggap menentukan oleh Marx, yaitu proletarisasi seluruh masyarakat, sama
seali belum terwujud? Itulah sudut balik voluntarisme Lenin yang menggantikan
dialetika keharusan sejarah dengan tekad revolusioner partai. Kesalahan Lenin
adalah memaksakan sosialisme dalam situasi dimana sebagian besar masyarakat
belum siap.
Komunisme
Internasional
Pada tahun 1919 di Moskow didirikan KOMINTERN,
Internasionale Komunis”, dengan tujuan untuk memperjuangakan “dengan segala
cara yang tersedia, termasuk kekuatan bersenjata, penggulingan borjuasi
internasional dan penciptaan republik Soviet internasional sebagai transisi ke
tahap penghapusan total negara. Komintern mengorordinasikan kebijakan komunis
di seluruh dunia. Moskow menjadi pusat komunisme inter nasional. Uni Soviet
menjadi tanah air sosialisme radikal, menjadi tempat dan sumber arahan dan
bantuan.
Pragmatisme
Kekuasaan[3]
Para tokoh ajaran komunisme, seperti Lenin, Trotsky, dan
semua tokoh Bolshevik, dan kemudian semua penguasa partai komunisme sadar betul
bahwa revolusi tidak bisa lahir secara spontan dalam rangka penghacuran kaum kapitalis. Oleh karena itu,
fokus mereka akhirnya selalu tertuju pada kekuasaan. Demi sosialisme yang
diyakininya, akhirnya Lenin, hanya mengenal satu sasaran: merebut kekuasaan dan
pemakaiannya untuk memaksakan
pembentukan masyarakat sosialis. Akibatnya, ideologi komunisme pun,
apalagi sesudah pembakuannya oleh Stalin, merosot menjadi sarana untuk
membenarkan kekuasaan total di tangan pimpinan partai komunis. Cita-cita
sosialis merosot menjadi pragmatisme kekuasaan.
Demi sosialisme, perbuatan apapun dapat dibenarkan. Upaya
menciptakan sosialisme diserahkan kepada partai sebagai pelaksana. Melalui
tangan besinya, partai boleh menumpas semua perlawanan dan memaksa semua
buruh untuk menerima kebijakan-kebijakan
partai. Prinsip legitimasi mereka adalah membenarkan segala perbuatan apapun
demi kemantapan kekuasaan di tangan komunis.
Tanpa
Moralitas, Hukum dan Penghormatan HAM
Pragmatisme kekuasaan Leninistik ini dengan sendirinya
menyingkirkan kemungkinan untuk mengadakan pertimbangan etis atau moral.
Marxisme ortodoks, sesuai pemikiran Marx dan Hegel, memang selalu meremehkan moral sebagai tipuan ideologis.
Pragmatisme kekuasaan ini semakin menyingkirkan pertimbangan moral maupun
etika. Pragmatisme kekuasaan menjadi tempat persemayaman benih-benih
totalitarianisme. Karena itu partai meremehkan jatuhnya korban demi “membangun
sosialisme”: darah ditumpahkan, pengritik dikubur dalam kam-kam kerja, proses
hukum dikesampingkan, pertanggungjawaban demokratis dan hormat terhadap hak-hak
asasi manusia ditertawakan.
Bagi partai komunis, stabilitas kekuasaan tidak bisa
diganggu. Mengkritik kediktatoran aparat partai dengan mengacu pada moralitas
dan bahkan cita-cita Marxisme sendiri mengancam stabilitas kekuasaan partai,
dan karena itu harus ditindas. Itulah juga sebabnya, sampai pada tahun 1970-an,
partai-partai komunis melarang semua diskurus-diskursus dalam partai tentang
Marxisme. Pemikir-pemikir Marxisme
Leninis, seperti Lukaks, Korsch, dan Tan Malaka tidak bisa dibiarkan.
Dalam kurun waktu hanya 74 tahun, dari revolusi Oktober
sampai 1991, rezim-rezim komunis sedunia membunuh sekurang-kurangnya 60 juta
orang, suatu angka yang mengerikan. Angka ini berlum termasuk jumlah sekitar 65
juta orang terbunuh selama perjuangan Komunis di Tiongkok.
Sosialisme
Eropa Melepaskan Marxisme
Akibat dari cara-cara
partai komunis yant tidak manusiawi tersebut, mayoritas kaum sosialis di
Eropa menolak kekerasan dan teror. Bagi sosialis Eropa, pada hakekatnya
sosialieme merupakan sesuatu yang etis dan karena itu, sosialisme hanya dapat
diperjuangkan dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntutan etika dan
kemanusiaan. Lama-kelamaan, sosialisme
Eropa melepaskan Marxisme sebagai ideologi perjuangan dan menggantikannya dengan
sosialisme demokratis. Perkembangan ini dianggap sebagai kemenangan
revisionism. Karl Kautsky dan banyak tokoh-tokoh ortodoks ajaran Marx lainnya
menolak kebijakan terror Lenin.
Sampai
tahun 1975, kekuasaan komunis memuncak. Sepertiga umat manusia hidup dalam
negara-negara yang dikuasai oleh partai Komunis. Pada tahun yang sama, tahun
ini juga sekaligus merupakan titik
balik. Persatuan dunia komunis mulai retak. Pada tahun 1989, akhirnya komunisme
internasional berakhir. Rezim-rezim komunis di Eropa Timur kolaps, partai-partai komunis
melepaskan kekuasaan, dan terbukalah pintu untuk demokrasi. Dengan sendirinya
Pakta Warsawa (aliansi negara Komunis/blok Timur, pimpinan Uni Soviet, sebagai tandingan NATO dan SEATO (blok Barat,
pimpinan Amerika Serikat) ambruk.
Pada akhir tahun 1991, Uni Soviet, negara adikuasa kedua,
pecah menjadi 14 Republik independen. Hanya di Cina, Korea Utara, Vietnam, Laos
dan Kuba rezim-rezim komunis masih berhasil berpegang pada kekuasaan. Namun
mereka pun berhadapan dengan pilihan dilematis: mengubah perekonomian menjadi
ekonomi pasar dan dengan demikian
melepaskan sosialisme, atau ketinggalan zaman mirip fosil dari Jurassik Park.
Penutup
Pragmatisme
kekuasaan yang menggunakan segala cara
dan kediktatoran melalui Partai Komunis (baik pada tingkat nasional maupun
tingkat internasional) demi mewujudkan sosialisme yang dicita-citakan sejak awal, terbukti
tidak berhasil karena mengabaikan ideologi, etika, penghormatan hak asasi
manusia serta kesejahteraan masyarakat. Pelajaran berharga bagi penguasa-penguasa dan politisi jaman
sekarang adalah bahwa suatu ideologi hanya dapat dan mungkin berhasil
diwujudkan bila sistem kekuasaannya diterima dan dibenarkan oleh masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis-Suseno, Franz,
1999, Pemikiran Karl Marx, Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia
---------------------------, 2003, Dalam
Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme Dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta:
Gramedia
----------------------------, 2013, Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat
Marxis Pasca-Lenin, Jakarta: Gramedia
[1]
Pemikiran Marx diambil dari Buku Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia: Jakarta, 1999, halaman 8-11.
[2] Diambil
dari buku Franz Magnis-Suseno, Dalam
Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka,
Gramedia, Jakarta: 2003, Hl. 42-50.
[3]
Referensi dari buku Diambil dari buku Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayang-Bayang Lenin, Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai
Tan Malaka, Gramedia, Jakarta: 2003, Halaman. 234-238.