Foto: riseuptimes.org |
Postmodernisme
mengkritisi asumsi dan bahasa modernisme terkait dengan pendidikan
umum. Modernisme menekankan pendidikan yang mengacu pada cita-cita Era
Pencerahan, postmodernisme menekankan
pendidikan yang menghargai otherness
(keberlainan). Dalam tulisan ini, penulis mencoba meihat postmodernisme dan wacana
kritisisme pendidikan berdasarkan tulisan Henry A. Giroux berjudul Postmodernism and The Discourse of
Educational Criticism (Aronowitz, Stanley, dan, Henry A. Giroux, 1997).
Henry A. Giroux memaparkan bahwa pedagogi menuntut para pendidik agar
mengelaborasi nilai-nilai modernisme
dengan teori perlawanan postmodernisme
yang menghargai Otherness.
Terlepas dari kegagalan teoritisnya, postmodernisme menawarkan sejumlah wawasan
penting sebagai bagian dari teori pendidikan dan pedagogi kritis. Dalam tulisan ini, kami mengikuti sistematika artikel Giroux dimulai
pembahasan
tentang krisis modernisme di era postmodernisme, makna postmodernisme, lalu
dilanjutkan dengan pembahasan problematika postmodern meliputi krisis totalitas,
fondasionalisme, budaya, Otherness,
krisis bahasa, dan kami tambahkan catatan
penutup.
Kata
kunci: postmodernisme, modernisme,
pedagogi kritis, pendidikan
II.
Postmodernisme dan Wacana Kritisisme
Pendidikan
A.
Krisis Modernisme di Era Postmodernisme
Teori
dan praktek pendidikan selalu dikaitkan dengan
kata dan asumsi modernisme. Beragam tokoh
pendidik seperti John Dewey (1916), Ralph Tyler (1950), Herb Gintis (Bowles dan
Gintis, 1976), John Goodlad (1984), dan Martin Carnoy (Carnoy dan Levin, 1985)
mengungkanpan pandangannya bahwa pendidikan modernis menekankan kapasitas
individu untuk berpikir kritis, untuk menjalankan tanggung jawab sosial, dan
untuk membangun dunia sesuai cita-cita Era Pencerahan yaitu akal budi dan
kebebasan.
Postmodernisme
mempersoalkan prinsip-prinsip paling dasar modernitas (model
budaya dan peradaban Eropa). Hal itu berarti postmodernisme perlu mendefinisikan
kembali makna sekolah, dan juga mempertanyakan dasar sejarah, budaya, dan
segala manifestasi serta ekspresi dalam kehidupan publik. Mengkritik modernisme
berarti menggambar ulang dan memetakan kembali sifat dari geografi sosial,
politik, dan budaya. Karena alasan ini saja tantangan yang diajukan oleh
berbagai wacana postmodernis perlu diangkat dan diperiksa secara kritis oleh
para pendidik.
Giroux berpendapat bahwa tantangan postmodernisme penting
bagi para pendidik karena mengkritisi aspek hegemonik modernisme dan mempengaruhi
makna dan dinamika sekolah masa kini. Kritik postmodern penting karena
menggambar ulang batas-batas politik, sosial, dan budaya, sementara secara
bersamaan menegaskan politik perbedaan ras, gender, dan etnis. Pedagogi kritis tidak dapat dikembangkan
atas dasar pilihan antara modernisme dan postmodernisme tapi dapat membuat pedagogi kritis yang mengacu pada
kekuatan masing-masing.
B.
Makna Postmodernisme
Paling tidak ada dua dua pandangan tentang
postmodernisme seperti yang
diartikulasikan oleh dua ahli teori terkemuka, Jean-Francois Lyotard (1984) dan
Fredric Jameson (1984).
Lyotard menggambarkan postmodernisme sebagai penolakan
terhadap narasi besar, filosofi metafisik, dan pemikiran totalisasi lainnya. Baginya,
makna postmodernisme terkait erat dengan perubahan kondisi pengetahuan dan
teknologi yang menghasilkan bentuk organisasi sosial yang merusak kebiasaan
lama, ikatan, dan praktik sosial modernitas.
Tulisan Fredric Jameson (1984, 1988) tentang
postmodernisme, mendefinisikan postmodernisme sebagai
"logika budaya" yang mewakili tahap besar ketiga dari kapitalisme
akhir, serta budaya baru dominan pada zaman di masyarakat Barat. Baginya,
postmodernisme adalah perubahan besar yang mengingatkan kita pada pemetaan
kembali ruang sosial saat ini dan penciptaan formasi sosial baru.
Terlepas dari perbedaan politik dan analisis yang
disajikan, sebagian ahli teori pendidikan mengakui bahwa kita hidup di era
transisi perubahan menuju ke abad kedua puluh satu. Kita perlu memahami lebih jelas perubahan apa yang terjadi di berbagai
bidang artistik, intelektual, dan akademis mengenai produksi, distribusi, dan
penerimaan berbagai teori dan wacana.
C.
Problematika Postmodern
Giroux berpendapat bahwa berbagai teori dan praktik yang bernuansa postmodern mewakili apa yang sebenarnya dapat disebut problematika
postmodern: krisis totalitas, foundasionalisme, budaya dan problematika keberlainan (otherness), krisis bahasa dan
subjektivitas..
1)
Postmodernisme, Krisis Totalitas, dan
Foundasionalisme
Lyotard mengartikulasikan antagonisme yang telah menjadi
fitur utama dari wacana postmodernis. Yaitu, postmodernisme menolak aspek-aspek
Pencerahan dan tradisi filosofis Barat yang mengandalkan narasi utama.
Kritik postmodern terhadap totalitas juga merupakan
penolakan terhadap klaim-klaim mendasar yang membungkus diri dengan sains,
objektivitas, netralitas, dan ketidaktertarikan ilmiah. Dalam kasus ini, wacana
postmodern menolak, misalnya, teori total Marxisme, Hegelianisme, Kristen, dan
filosofi sejarah lainnya berdasarkan pada gagasan sebab akibat dan resolusi
global yang mencakup semua tentang nasib manusia.
Perlawanan
postmodern pada totalitas dan narasi utama
perlu ditafsirkan secara dialektik jika ingin berkontribusi pada teori radikal
pendidikan dan politik budaya. Pada satu sisi,
kritik narasi utama penting karena membuat kita memperhatikan unsur-unsur
fondasionalisme. Di sisi lain, menolak semua gagasan tentang
totalitas berarti menghadapi risiko terperangkap dalam teori-teori
partikularistik yang tidak dapat menjelaskan bagaimana berbagai hubungan yang
berbeda yang membentuk sistem sosial, politik, dan global yang lebih besar
saling terkait atau saling menentukan dan membatasi satu sama lain.
2)
Postmodernisme, Budaya dan Problematika
Otherness (keberlainan)
Selain penolakan gagasan
totalitas, perhatian utama postmodernisme lainnya adalah
pengembangan politik yang membahas budaya populer sebagai objek serius kritik
estetika dan budaya, di satu sisi, dan memberi sinyal dan menegaskan pentingnya
budaya minoritas sebagai bentuk produksi budaya spesifik secara historis di sisi lain.
Demikian pula, postmodernisme telah menyediakan kondisi yang diperlukan untuk
mengeksplorasi dan memulihkan tradisi dari berbagai bentuk otherness (keberlainan)
sebagai dimensi fundamental dari lingkup budaya dan sosial-politik.
Contoh
yang paling tepat terkait posisi Barat yang dikritik terdapat dalam
dalam karya liberal postmodernis Richard Rorty (1979, 1985). Postmodernisme
Rorty berupaya memberikan ruang bagi beragam suara kelompok-kelompok yang
terpinggirkan dengan memasukkan mereka dalam percakapan yang memperluas gagasan
solidaritas dan komunitas manusia. Wacana postmodern ingin mengenali dan
mengistimewakan kaum marjinal tanpa melibatkan isu penting seperti kondisi dan
kesiapan menjalankan bentuk pemberdayaan diri dan
sosial. Dengan cara yang sama, apa yang perlu ditangani dalam wacana
postmodernis mengenai problematika otherness
adalah bagaimana kelompok-kelompok subordinat dapat memperjuangkan
suara dan visi mereka sendiri untuk mengubah kondisi sosial dan material yang
telah menindas mereka.
3)
Postmodernisme dan Krisis Bahasa dan Subjektivitas.
Fitur
terpenting postmodernisme adalah bahasa dan subjektivitas sebagai bidang baru dalam
memikirkan kembali masalah makna, identitas, dan politik. Wacana postmodern
menteoretisasi
kembali (retheorized) sifat bahasa
sebagai sistem tanda-tanda yang terstruktur dalam permainan perbedaan yang tak
terbatas, dan dengan demikian telah merusak gagasan positivis dominan tentang
bahasa sebagai media transparan untuk mentransmisikan ide dan makna. Jacques
Derrida (1976), khususnya, telah memainkan peran utama dalam me-retheorizing
bahasa melalui prinsip apa yang disebutnya differance.
Pandangan ini menunjukkan bahwa makna adalah produk dari bahasa yang dibangun
dari dan tunduk pada permainan perbedaan yang tak ada habisnya antara penanda.
Apa yang merupakan arti dari penanda ditentukan oleh pergeseran, perubahan
hubungan perbedaan yang menjadi ciri permainan referensial bahasa.
Resistensi
postmodern pada sentralitas wacana modernisme menghasilkan pemikiran tentang gagasan
subjektivitas didasarkan pada kesadaran yang bersatu,
rasional, dan menentukan nasib sendiri. Dalam pandangan ini, subjek individu
adalah sumber pengetahuan diri, dan pandangannya tentang dunia dibentuk melalui
penerapan cara pemahaman dan pengetahuan yang rasional dan otonom.
III.
Kesimpulan
Terlepas dari beberapa kegagalan teoretisnya,
postmodernisme menawarkan kepada para pendidik sejumlah wawasan penting yang
dapat diambil sebagai bagian dari teori pendidikan (sekolah) yang lebih luas
dan sebagai
pedagogi kritis.
Bagi para pendidik,
postmodernisme menawarkan alat teoretis baru untuk memikirkan ulang
konteks luas dan spesifik di mana makna otoritas didefinisikan; ia menawarkan
apa yang oleh Richard Bernstein disebut sebagai "kecurigaan yang sehat
terhadap semua melalui perbaikan
batas-batas dan cara-cara tersembunyi (Bernstein, 1988.267). Postmodernisme
juga menawarkan para pendidik berbagai wacana, yaitu (1) untuk
menyelidiki ketergantungan modernisme pada teori totalisasi yang berdasarkan
kepastian dan yang absolut; (2) untuk melibatkan pentingnya yang kontinjen,
spesifik, dan historis sebagai aspek sentral dari pedagogi yang membebaskan dan
memberdayakan.
Berbicara tentang kehidupan publik
berarti berbicara tentang wacana pluralitas dan kewarganegaraan kritis. Gagasan
ini tidak bertentangan dengan gagasan demokrasi yang menekankan keadilan,
kebebasan, dan kehidupan yang baik. Bagi para pendidik, perhatian kaum modernis
pada subjek yang tercerahkan, dan pandangan
kaum postmodernis yang menekankan pada keragaman, kontingensi, dan
pluralisme budaya, memiliki arti bahwa siswa dididik menjadi warga negara kritis
sekaligus membangun kehidupan yang demokratis yang menghargai
perbedaan dalam budaya yang lain (otherness).
IV.
Catatan Penutup
Henry
A. Giroux berpendapat bahwa pedagogi kritis tidak dapat dikembangkan atas dasar
pilihan antara modernisme dan postmodernisme. Baik modernism maupun
postmodernisme, masing-masing mengandung unsur kelebihan. Untuk itu, para
pendidik diberi
kesempatan membuat pedagogi kritis yang mengacu
pada kelebihan masing-masing. Modernisme menekankan pendidikan subjek
tercerahkan dan demokrasi, dan postmodernisme menekankan pendidikan berbasis
kehidupan dalam keberagamanan dan kesetaraan. Untuk itu pendidik perlu
mengintegrasikan wacana pendidikan modernisme dan postmodernisme agar tercipta
peserta didik menjadi warga negara kritis, tercerahkan, demokratis serta
menghargai otherness (keberlainan)
dalam kehidupan publik. (*)
Sumber Pustaka
Aronowitz, Stanley, dan, Henry A.
Giroux, Postmodernism and The Discourse
of Educational Criticism, dalam buku Postmodern
Education, Politics, Culture, and Social Criticism, Uniersity of Minnesota
Press Minneapolis-London, 1997