Foto: pemerintah.net |
I.
Pendahuluan
Budaya birokrasi di Indonesia mengalami
proses pembentukan melalui sejarah yang panjang. Proses itu dimulai dari
kerajaan-kerajaan tradisional, dilanjutkan dengan zaman colonial, zaman
pergerakan nasional, hingga zaman kemerdekaan. Dari perjalanan sejarah budaya
birokrasi tersebut terdapat satu pola budaya yang masih tetap dan tidak berubah
hingga sekarang. Budaya birokrasi belum berorientasi pelayanan publik, tapi
masih feodal. Pola tersebut masih mempengaruhi budaya birokrasi di Indonesia hingga
sekarang. Pola birokrasi dewasa ini merupakan warisan sistem birokrasi
tradisional.
Dalam
paper ini, penulis mencoba meneropong budaya birokrasi nusantara melalui penelitian kepustakaan yang diawali dengan
budaya birokrasi kerajaan, masa kolonial, sampai dengan pasca kemerdekaan Indonesia.
II.
Budaya Birokrasi Kerajaan
a) Kerajaan Mataram
Budaya Birokrasi
yang menonjol dapat dilihat pada pemerintahan kerajaan Mataran kuno
(Hindu-Buddha) da modern (masa Islam). Kerajaan ini merupakan representasi dari
sistem pemerintahan di Jawa, bahkan di Nusantara (Setianto, 169). Masuk akal,
karena pusat kerajaan berkarakter Hindu-Buddha dan Islam pada umumnya dan
mayoritas berada di pulau Jawa.
Kerajaan-kerajaan
tradisional di Indonesia pada umumnya terbagi dalam dua kategori, yaitu
kategori maritim dan kerajaan pedalaman atau agraris. Dalam kerajaan maritim birokrasi ditujukan untuk
melayani sebuah ekonomi perdagangan, sedangkan kerajaan agraris memfokuskan
ekonomi pada pertanian.
Pada masa
kerajaan, birokrasi memainkan peranan utama dalam warisan kerajaan-kerajaan
agraris. Bergerak dari lingkungan kekuasaan pusat, pegawai negeri – sebagaimana
para pendahulunya dari zaman kuno – berperan memancarkan kekuasaan sampai ke
propinsi yang jauh-jauh. “Aparat Negara” itu lazim disebut pamong prajai, dan merupakan miniature penguasa. Ia adalah pancaran
sang raja, dan seperti halnya raja, dia pun harus menjamin keselarasan di
bagian dunia (mikrokosmos) yang telah dipercayakan kepadanya. Ia merupakan
“anak buah” atau “orang kepercayaan” dari atasannya, yang menguasai suatu
ruang (mikrokosmos) yang lebih besar,
dan yang telah mengangkatnya secara pribadi. “Pegawai” bertugas menjaga
ketertiban dengan cara apapun dan dalam bidang apapun. Dia tidak mendapat gaji
tetap sedikir pun, seperti halnya raja yang tidak mempunyai anggaran rumah
tangga. Ia hanya mendapat hasil bumi atau imbalan yang sejenis. Idealnya,
pegawai itu hidup dari daerah kekuasaannya, seperti halnya raja yang hidup dari
kerajaannya. (Lombard, 71-71).
b) Birokrasi Pemerintahan Kerajaan
Birokrasi pemerintahan
kerajaan memikiki ciri-ciri, seperti berikut ini: (1) penguasa menganggap dan
menggunakan administrasi public sebagai urusan pribadi; (2) administrasi adalah
perluasan rumah tangga istananya; (3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi
sang raja; (4) ‘gaji’ dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah
anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan (5) para
pejabat kerajaan dapat bertindak
sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh
raja (Mohtar, 45)
Pada era
kerajaan, tidak terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang diterapkan baik di
Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Daerah
Istimewa Yogyakarta, misalnya, merupakan wilayah kerajaan Mataram. Wilayah
kerajaan Mataram meliputi hampir seluruh pulau Jawa, bahkan sampai ke Bali dan
Lombok. Dalam menjalankan pemerintahan, birokrasi kerajaan Mataram dibagi
menjadi dua bagian, yakni birokrasi pemerintahan pusat (kraton) dan birokrasi
pemerintahan daerah di luar kraton (mancanegara). Birokrasi pemerintahan pusat
dipimpin langsung oleh raja yang berkuasa berdasarkan pada garis kekuasaan
kharismatik-tradisional.
Wilayah kekuasaan birokrasi pemerintahan daerah meliputi
daerah-daerah di luar kraton dan daerah-daerah pesisir. Menurut Suwarno (Nur
Hasan, 1076), pada masa kerajaan Mataram hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah bersifat dekonsentrasi atau
bahkan sentralistis. Raja berusaha menguasai birokrat (pejabat-pejabat daerah)
dengan sangat ketat melalui penangkatan para keluarga kerajaan, termasuk
menempatkan pejabat pengawas yang dikoordinasi oleh Wedana, bupati untuk menjamin loyalitas para pejabat di daerah
kepada pemerintahan pusat.
Pengembangan
aparat kerajaan dilakukan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam
pemerintahan pusat (kraton), urusan pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh
pejabat setingkat Menteri Koordinator (pepatih
lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdi dalem) yang jumlahnya cukup banyak.
Daerah di luar Kraton, seperti daerah pantai (pesisiran) raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk
menjadi penguasa daerah. Para bupati tersebut biasanya merupakan bupati lama
yang ditaklukkan raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.
Pengawasan terhadap kinerja bupati dilakukan oleh pejabat tinggi pengawas (wedana) yang ditunjuk oleh raja.
Tindakan pengawasan tersebut dilakukan karena posisi bupati memiliki bawahan,
yang pola hubungannya dikembangkan sama seperti hubungan antara raja dan para
bawahannya (Nur Hasan, 1076).
Setelah
perjanjian Gianti tahun 1755, kerajaan Mataram terpecah menjadi Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sistem birokrasi pemerintahan Kesultanan Yogyakarta masih
melanjutkan sistem pemerintahan kerajaan Mataram. Sultan Hamengkubuwono I
mengangkat seorang pejabat setingkat perdana menteri (pepatih dalem) dalam mengurusi pemerintahan sehari-hari, sedangkan
pejabat pengawas para bupati di daerah tetap dipertahankan untuk mengkoordinasi
daerah kekuasaan di luar kraton (mancanegara). Susunan birokrasi pemerintahan
tradisional masih diikuti oleh birokrasi kesultanan, yakni dengan membagi
urusan dalam kerajaan dan urusan luar kerajaan.
Masalah internal
kerajaan diurus oleh lebaga-lembaga yang dibentuk yaitu lembaga-lembaga
kementerian (kanayakan), seperti
kementerian yang mengurusi yayasan dan pekerjaan umum (Kanayakan Keparak Kiwo dan Kanayakan
Keparak Tangen). Lembaga yang
mengurusi penghasilan dan keuangan kerajaan dilakukan oleh Kanayakan Gedhong Kiwo dan Kanayakan
Ghedong Tangen. Masalah eksternal kerajaan diurus oleh lembaga kementerian
yang mengurusi tanah dan pemerintahan (praja)
yaitu: Kanayakan Siti Sewu dan Kanayakan
Bumijo, sedangkan Kanayakan Penumping
dan Kanayakan Numbakanyar
menguasai masalah pertahanan kerajaan Kedelapan kementerian tersebut merupakan
dewan menteri yang diketuai oleh pepatih
dalem yang dapat disebut sebagai Perdana Menteri.Para pejabat yang memimpin
kementerian (kanayakan) disebut nayaka,
dan diberikan fungsi militer. Para pejabat
pimpinan kementerian masing-masing menjadi panglima perang yang memiliki
prajurit sendiri dan sewaktu-waktu dapat maju ke medan perang ketika diperlukan
(Nur Hasan, 1077).
III.
Budaya Birokrasi Masa Kolonial
a) Sistem paternalistik
Budaya
birokrasi pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi
pemerintahan yang berlangsung sebelumnya, yaitu sistem pemerintahan kerajaan.
Kedatangan penguasa colonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan
administrasi yang berlaku di Indonesia. Sistem birokrasi pemerintahan yang
dikembangkan pemerintah colonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung
semakin berkembangnya pola paternalistic yang telah menjiawai budaya birokrasi
pada era kerajaan.
Sistem
birokrasi yang ada tidak begitu saja dihapus oleh pemerintah colonial Belanda.
Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah bumi nusantara, baik
secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial sepenuhnya menyadari
keberadaannya tidak selalu aman. Pemerintah colonial kemudian menjalin hubungan
politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat. Motif
utama pemerintah Belanda untuk menjalin hubungan politik adalah dalam rangka
berupaya menanamkan pengaruh politiknya terhadap elit politik kerajaan. (Nur
Hasan, 1088).
Setelah perang Jawa (1825-1830), Orang
Belanda menentang sistem tradisional, dengan menerapkan sistem administrasi kolonial yang berdampingan dengan administrasi kerajaan.
Di daerah-daerah dengan administrasi langsung, terutama yang meliputi bagian
terbesar Tanah Jawa, pembentukan pemerintah colonial Belanda menimbulkan
perubahan yang sangat penting. Para pegawai terputus dari segala bentuk
kekuasaan raja, dengan demikian terbentuklah semacam aristokrasi otonom: sistem
strategi perkawinan terus berlangsung, tetapi tidak mengacu kepada tokoh raja
lagi. Terputusnya kelangsungan kekuasaan raja tradisional tidak begitu
dirasakan, sebab para raja tetap berada di tampuk pemerintahan dan bahkan
diijinkan memiliki tentara, meskipun kebanyakan hanya bersifat simbolis
(Lombard, 76)
b)
Sistem Pengawasan
Sistem
pemerintahan pada masa kolonial dijalankan dengan dua sistem: administrasi
kolonial (Binnenlandsche Bestuur) dan
sistem administrasi tradisional (Inheemsche
Bestuur). Birokrasi pemerintahan kolonial
disusun secara hirarki yang puncaknya pada Raja Belanda. Dalam
mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di negara-negara jajahan, termasuk
di Indonesia, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur
jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan
politik di wilayah negara jajahan yang dikuasainya.
Gubernur
Jenderal di negara jajahan memiliki posisi yang sangat berkuasa atas segala
sesuatu urusan di wilayah jajahan. Ia dibantu oleh gubernur dan residen dalam
melaksanakan tugasnya. Gubernur merupakan wakil pemerintahan pusat yang
berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten terdapat asisten residen dan
pengawas (controleur). Keberadaan
asisten residen dan pengawas diangkat oleh gubernur jenderal untuk membantu
mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Sistem
tersebut menjadi pembeda perilaku birokrasi daerah sebelum pemerintah kolonial
Belanda berkuasa. Pada jaman kerajaan, peran bupati sebagai kepala daerah
diangkat dari kalangan pribumi yang mempunyai kekuasaan otonom dalam
menjalankan pemerintahan, tanpa ada pengawasan dari sultan. Pengawasann dari raja
hanya ditujukan pada momen-momen politik tertentu saja, seperti tradisi
menghadap raja (paseban) setiap tahun disertai dengan mengirim upeti kepada
raja. Kondisi tersebut berubah pada masa pemerintahan kolonial Belanda
berkuasa. Wewenang bupati dalam memerintah daerahnya tidak lagi otonom,
melainkan telah dibatasi undang-undang dengan mendapat control dari pengawas
yang ditunjuk oleh pemerintah pusat (Nur Hasan, 1079).
Pemerintahan
kcolonial Belanda juga melakukan pembaharuan manajemen keuangan birokrasi
pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1915, dengan mulai
pemberlakuan kas keuangan kesultanan yang terlepas dari keuangan pribadi
sultan. Kas kesultanan setiap tahunnya menyusun anggaran untuk membiayai
jawatan-jawatan yang mengurus kepentingan umum. Anggaran belanja untuk rumah
tangga istana sultan diperoleh dari uang ganti rugi yang diberikan pemerintah
kolonial yang disebut “daftar sipil” dan
ditentukan dalam kontrak politik yang harus ditandatangani oleh sultan
menjelang penobatannya. Dengan adanya kebijakan tersebut, praktis pengaruh
sultan sendiri semakin tersingkir dari pemerintahan umum. Sultan masih tetap
berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan urusan
pemerintah dalam kraton, yang masih sarat dengan adat istiadat. (Nur Hasan,
1079).
Perubahan
birokrasi pemerintahan tersebut mendorong pemerintahan colonial Belanda untuk
mengadakan pula perubahan hal pemakaian tanah rakyat. Pada tahun 1918
Pemerintah kolonial mengadakan perubahan hak pemakaian tanah. Petani yang
semula mempunyai hak pakai tanah secara komunal, diubah menjadi hak pakai
perseorangan dan dapat diwariskan atau dijual. Keberadaan tanah lunggu dan kebekelan (tanah pemberian kepada pejabat sebagai pengganti gaji,
dapat digunakan untuk hidupnya, tapi tidak dapat dijual).dan yang mengelola
tanah tersebut juga turut dihapuskan. Pemerintah kolonial kemudian membentuk kelurahan dan pengaturan
pemungutan pajak, Kontrak politik tahun 1921 yang ditandatangani Sultan Hmengku
Buwono VIII mengatus pemisahan secara mutlak antara penghasilan kesultanan dan
penghasilan sultan yang disebut “daftar sipil” untuk membiayai rumah tangga
istana (Nur Hasan, 1080).
c)
Pemerintahan sentralistik
Kebijakan pembaharuan birokrasi yang dilakukan
pemeintahan kolonial tersebut merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan
Belanda untuk tetap mengontrol dan mengurangi birokrasi tradisional. Kebijakan
tersebut sangat menguntungkan pemerintahan kolonial. Sultan sebagai pusat
kekuasaan dalam birokrasi kerajaan menjadi tidak berpengaruh secara formal
politik sebagai pimpinan birokrasi kerajaan.
Meskipun terjadi pembaharuan sistem birokrasi pada masa
pemerintahan kolonial, secara substansial sebenarnya tidak mengubah budaya atau
corak birokrasi pemerintah dalam berhubungan dengan public. Sentralisasi
kekuasaan dalam birokrasi masih tetap sangat dominan dalam praktik
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Pembuatan berbagai keputusan dan
kebijakan public oleh birokrasi pemerintah tidak pernah bergeser dari
penggunaan pola top-down.
Kecenderungan semakin tingginya peran pemerintah pusat dalam proses formulasi
kebijakan pemerintah masih sangat mewarnai sistem pemerintahan yang terbentuk.
Inisiatif dan peran dari pemerintah lokal tidak banyak berfungsi, semua
inisiatif kebijakan dan otoritas formal berasal dari pemerintah pusat. Hirarki
kekuasaan sangat kentara pada semua tingkat komunikasi kebijaka dalam birokrasi
yang berlaku. Unit-unit yang ada dalam birokrasi di daerah secara
hirarkis-formal bertanggungjawab kepada pimpinan puncak birokrasi yaitu
Gubernur Jenderal Belanda. Secara politik, birokrasi di Indonesia tidak pernah
diperkenalkan pada konsep dan komitmen politik untuk bertanggung jawab kepada public,
sebagai cerminan akuntabilitas public dari birokrasoi pemerintah.
IV.
Budaya Birokrasi Pasca-Kemerdekaan
a) Awal Kemerdekaan
Sistem
pemerintahan pasca kemerdekaan adalah sistem pemerintahan kolonial bersamaan
dengan gerakan nasional melalui partai
nasional Indonesia, dimana para penggeraknya
adalah para intelektual, jurnalis,
profesional, dokter, pengacara, guru, pegawai negeri, dan murid. Mereka
menaklukkan pemerintahan kolonial dan menjadikan negara kolonial sebagai milik
mereka (Priyono, 27)
Pasca kemerdekaan, pemerintahan
Indonesia menerima warisan pemerintahan kolonial Belanda. Para peawainya tidak
mempunyai ikatan lagi dengan kerajaan, kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta,
tempat mereka paling tidak secara teoritis tetap berada di bawah wewenang
Sultan. Sebagian diantaranya tertarik dengan PNI, yaitu partai Soekarno,
Presiden negara yang baru merdeka. Golongan pegawai itu tidak hanyta terdiri
dari orang Jawad dan Sunda dengan sistem mutasinya yang sangat bermanfaat untuk
mendorong pembauran etnis dan membina kesadaran nasional. Karena etnis Jawa
yang paling dominan, terjadilah pemindahan pegawai ke luar Jawa. (Lombard, 77).
Yang
tidak kalah pentingnya adalah peningkatan spesialisasi yang sudah dimulai pada
dasawarsa-dasawarsa terakhir jaman colonial. Sesudah Indonesia merdeka, pegawai
dibedakan menurut kementerian, seperti kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan. Selain itu
perlu dicatat bahwa pembentukan suatu hirarki militer yang sejajar dengan
pegawa negeri sipil. Kaum militer menganggap dirinya sebagai kaum priyayi lama
dan menuntut hak istimewa, yang tampak dalam “dwifungsi” artinya militer
melibatkan tugas selain di bidang keamanan, tetapi juga di bidang pengelolaan perusahaan atau administrasi
territorial (Lombard, 77,80).
b)
Era
Sentralistik (Orde Baru)
Pola
pemerintahan masa Orde Baru masih mengadopsi sistem pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk memperkuat wewenang negara sampai ke desa-desa,
serta meningkatkan keterampilan pegawai negeri, pemerintahan Orde Baru
mengambil alih konsep “dwifungsi” dengan menyerahkan kepada pihak militer
sejumlah jabatan penting yang sampai saat itu masih diduduki oleh kaum sipil.
Pada masa Orde Baru juga program “ABRI masuk Desa” dilaksanakan di daerah
pedesaan guna membantu pengawasan keamanan dan ketertiban (Lombard, 80).
Pada
Orde Baru, peranann hubungan anta-individu dan terutama jaringan-jaringan klien
mewarnai hubungan pegawai negeri dengan atasan maupun dengan bawahannya. Salah
satu kunci sistem kepegawaian itu adalah apa yang disebut dengan asas
kekeluargaan. Setiap bagian administrasi dilihat secara kekeluargaan, dan
hubungan-hubungannya mencontoh hubungan ayah-anak.
Selain
itu, perllu dicatat menurut Lombard (Lombard, 81) kebiasaan korupsi pegawai
sebetulnya merupakan warisan masa lampau, karena para pegawai tidak memperoleh
ggaji yang tetap. Karena gaji yang tetap rendah, sekalipun diadakan
kenaikan-kenaikan oleh pemerintahan Orde Baru, boleh dikatakan bahwa orang
masih perlu melakukan korupsi. Bahkan kadang-kadang korupsi dikatakan “agak
bermoral”, karena uang pelicinnya amat bervariasi tergantung besar-kecilnya
nilai proyek yang bersangkutan.
Korupsi
secara structural juga dapat diakibatkanoleh adanya faktor dominannya posisi
birokrasi pemerintah sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan
kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Dominasi negara yang mengerdilkan
kekuatan lain dalam masyarakat menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar
informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini public. Hal ini juga disebabkan
adanya ketimpangan antara birokrat dan rakyat dalam hal status, pendidikan, dan
kepemilikan informasi (Nur Hasan, 1086).
c)
Era Desentralisasi
Budaya birokrasi di
Indonesia mengalami perubahan dengan pemberian otonomi kepada penguasa lokal.
Tetapi polanya sama, birokrasi melayani kepentingan pusat. Pemberian otonomi
kepada penguasa lokal bukan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi
kepada masyarakat, melainkan lebih atas dasar kepentingan politik kekuasaan.
Para pejabat birokrasi lokal bagaikan raja-raja kecil yang mempunyai kekuasaan
dan kedaulatan wilayah, serta dapat memaksakan kehendaknya kepada masyarakat.
Tindakan apapun yang dilakukan pejabat birokrasi lokal terhadap rakyatnya tidak
pernah mendapat teguran dari pemerintahan pusat, sepanjang pemerintah lokal
memenuhi kewajibannya untuk loyal kepada pemerintahan pusat seperti upeti atau
pajak secara teratur.
Berkaca pada pemerintahan
kolonial, peran dan kedudukan bupati
misalnya, menjadi abdi pemerintah Belanda, bupati mementingkan kepentingan
pemerintah pusat. Para bupati juga berfungsi sebagai agen bagi pemenuhan ambisi
politik dan kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Berkembangnya sikap feodalisme di dalam birokrasi
kolonial, membawa berbagai konsekuensi terhadap penyelenggaraan pelayanan
public. Akuntabilitas birokrasi hanya ditujukan kepada pejabat atasnya,
bukannya kepada public. Demikian pula loyalitas dan pertanggungjawaban aparat
di tingkat bawah semata-mata hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya.
Prestasi kerja seorang aparat birokrasi di mata pimpinan hanya dilihat dari
kriteria seberapa loyalitasnya kepada pimpinan. Aparat birokrasi di tingkat
bawah hanya berupaya selalu menjaga kepuasan pimpinan sehingga memunculkan
budaya kerja yang selalu menyenangkan pimpinan seperti membuat laporan kerja
yang cenderung menyenangkan pimpinan tanpa berdasarkan fakta, berlomba-lomba
menghormati pimpinan secara berlebihan guna mengambil hati pimpinan dan lain
sebagainya Nur Hasan, 1084)
Pembentukan etos
kerja juga mengalami feodalisasi, seperti dalam penyelesaian tugas hanya
berorientasi pada petunjuk pimpinan, tumbuhnya image bahwa pimpinan selalu bertindak benar, pimpinan tidak dapat
disalahkan, tetapi sebaliknya seorang bawahan yang dianggap tidak mampu
menerjemahkan kehendak pimpinan, dan berbagai sikap yang memperlihatkan adanya
kultur marjinalisme di kalangan aparat birokasi bawah, dengan gampang
disalahkan. Demikian juga, aparat bawah yang berbeda pendapat dengan pimpinan
tidak mendapat tempat di mata pimpinan.
Faktor kultural dalam maayarakat
Indonesia pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya korupsi,
seperti adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat pemerintah. Tindakan
tersebut bagi masyarakat Eropa atau Amerika dianggap sebagai tindak korupsi,
tetapi bagi masyarakat di Asia, seperti Indonesia, Korea Selatan, atau Thailand
dianggap bukan merupakan tindakan korupsi. Bahkan dalam kultur Jawa pemebrian
tersebut dianggap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh bawahan (kawula) kepada rajanya (Gusti). Akar kultur pada masyarakat
Indonesia yang nepotism juga telah memberikan dorongan bagi terjadinya tindak
korupsi. Masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya sangat mementingkan
kelluarga besar atau keturunan. Seorang pejabat yang mendapat desakan dari saudaranya
untuk memberikan dispensasi atau kemudahan akses pelayanan akan sangat sulit
menolaknya. Penolakan dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban
tradisional (Nur Hasan, 1085).
d)
Era Reformasi
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan akibat buruk budaya
birokrasi pemerintahan sebagai warisan kolonial, ada tuntutan dan kebutuhan
untuk melakukan Reformasi Birokrasi secara nasional. Tuntutan reformasi
birokrasi dilatarbelakangi rendahnya budaya birokrasi yang tidak berorientasi
pelayan publik.
Sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono,
reformasi birokrasi menjadi agenda pembangunan yang penting. Kebijakan tentang
cetak biru manajemen birokrasi yang modern, bersih, dan profesional lahir pada
masa kepresidenannya. SBY getol mendorong lahirnya rupa-rupa regulasi
administrasi tata pemerintahan dan kepegawaian negara.
Ada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU
ASN) yang berisi prinsip pengembangan dan tata kelola birokrasi modern dan
berintegritas. Ada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang
memagari kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pegawai negeri sipil. Ada
juga Desain Besar Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang masih relevan hingga hari
ini.
Pada hakekatnya
negara Indonesia mempunyai tujuan seperti diatur dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
bangsa serta menjaga ketertiban dunia.. Dalam mewujudkan tujuan tersebut
dibutuhkan birokrasi dan aparatnya yang baik agar terjadi efisiensi dan efektivitas
pemerintahan.
V.
Catatan Penutup
Budaya birokrasi kerajaan dan birokrasi pemerintahan
kolonial, merupakan warisan budaya birokrasi Indonesia. Sistem birokrasi pada
era kerajaan masih menjiwai era pemerintaha kolonial Belanda. Meskipun terjadi
pembaharuan sistem birokrasi pada masa kolonial, secara substansial sebenarnya
tidak mengubah budaya birokrasi pemerintah dalam hubungannya dengan public.
Sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi masih tetap dominan dala praktik
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Pembuatan berbagai keputusan dan kebijakan
publik oleh pemerintah tidak pernah bergeser dari penggunaan pola top-down. Substansi dari persoalan
korupsi dalam birokrasi pada dasarnya masih merupakan bagian dari feodalisme
yang terus dipelihara dalam sistem birokrasi.
Ada sebuah
harapan, yaitu pelaksanaan reformasi birokrasi guna mewujudkan pemerintahan
berbasis pelayanan publik yang berintegritas, profesional dan inovatif. Reformasi Birokrasi yang sudah
berjalan merupakan proses yang lama guna mencapai tujuan yang diharapkan. Perlu
keseriusan pemerintah dan dukungan masyarakat dalam mewujudkan reformasi
birokrasi pemerintahan. Semoga.
***
Daftar Pustaka
Denys Lombard,
Nusa Jawa: Silang Budaya – Warisan Kerajan-Kerajaan
Konsentris, Buku 3, Gramedia Pustaka Utama, 2005
B.
Herry-Priyono, The Dutch Colonial State
and the Rise of Nationalist Movement in Indonesia, London, 1996
Hasan, Nur, Corak Budaya Birokrasi pada Masa Kerajaan,
Kolonial Belanda Hingga di Era Desentralisasi dalam Pelayanan Hukum, Jurnal
Hukum, Vol. XXVIII, No. 2 Desember 2012, Unissula Semarang, 2012
Setianto,
Yudi, Birokrasi Tradisional di Jawa dalam
Perspekif Sejarah, Jurnal Paramita Vol.20 No. 2 – Juli 2010,Hal. 169-177
Mas’oed,
Mohtar, Politik, Birokrasi dan
Pembangunan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1994