Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Sabtu, Maret 28, 2020

Meneropong Budaya Birokrasi di Nusantara

Foto: pemerintah.net

I.          Pendahuluan
            Budaya birokrasi di Indonesia mengalami proses pembentukan melalui sejarah yang panjang. Proses itu dimulai dari kerajaan-kerajaan tradisional, dilanjutkan dengan zaman colonial, zaman pergerakan nasional, hingga zaman kemerdekaan. Dari perjalanan sejarah budaya birokrasi tersebut terdapat satu pola budaya yang masih tetap dan tidak berubah hingga sekarang. Budaya birokrasi belum berorientasi pelayanan publik, tapi masih feodal. Pola tersebut masih mempengaruhi budaya birokrasi di Indonesia hingga sekarang. Pola birokrasi dewasa ini merupakan warisan sistem birokrasi tradisional.
            Dalam paper ini, penulis mencoba meneropong budaya birokrasi nusantara melalui penelitian kepustakaan yang diawali dengan budaya birokrasi kerajaan, masa kolonial, sampai dengan pasca kemerdekaan Indonesia.

II.          Budaya Birokrasi Kerajaan
a)      Kerajaan Mataram
       Budaya Birokrasi yang menonjol dapat dilihat pada pemerintahan kerajaan Mataran kuno (Hindu-Buddha) da modern (masa Islam). Kerajaan ini merupakan representasi dari sistem pemerintahan di Jawa, bahkan di Nusantara (Setianto, 169). Masuk akal, karena pusat kerajaan berkarakter Hindu-Buddha dan Islam pada umumnya dan mayoritas berada di pulau Jawa.
       Kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia pada umumnya terbagi dalam dua kategori, yaitu kategori maritim dan kerajaan pedalaman atau agraris. Dalam  kerajaan maritim birokrasi ditujukan untuk melayani sebuah ekonomi perdagangan, sedangkan kerajaan agraris memfokuskan ekonomi pada pertanian.
       Pada masa kerajaan, birokrasi memainkan peranan utama dalam warisan kerajaan-kerajaan agraris. Bergerak dari lingkungan kekuasaan pusat, pegawai negeri – sebagaimana para pendahulunya dari zaman kuno – berperan memancarkan kekuasaan sampai ke propinsi yang jauh-jauh. “Aparat Negara” itu lazim disebut pamong prajai, dan merupakan miniature penguasa. Ia adalah pancaran sang raja, dan seperti halnya raja, dia pun harus menjamin keselarasan di bagian dunia (mikrokosmos) yang telah dipercayakan kepadanya. Ia merupakan “anak buah” atau “orang kepercayaan” dari atasannya, yang menguasai suatu ruang  (mikrokosmos) yang lebih besar, dan yang telah mengangkatnya secara pribadi. “Pegawai” bertugas menjaga ketertiban dengan cara apapun dan dalam bidang apapun. Dia tidak mendapat gaji tetap sedikir pun, seperti halnya raja yang tidak mempunyai anggaran rumah tangga. Ia hanya mendapat hasil bumi atau imbalan yang sejenis. Idealnya, pegawai itu hidup dari daerah kekuasaannya, seperti halnya raja yang hidup dari kerajaannya. (Lombard, 71-71).

b)      Birokrasi Pemerintahan Kerajaan
       Birokrasi pemerintahan kerajaan memikiki ciri-ciri, seperti berikut ini: (1) penguasa menganggap dan menggunakan administrasi public sebagai urusan pribadi; (2) administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya; (3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja; (4) ‘gaji’ dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan (5) para pejabat kerajaan dapat bertindak  sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja (Mohtar, 45)
       Pada era kerajaan, tidak terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang diterapkan baik di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, merupakan wilayah kerajaan Mataram. Wilayah kerajaan Mataram meliputi hampir seluruh pulau Jawa, bahkan sampai ke Bali dan Lombok. Dalam menjalankan pemerintahan, birokrasi kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yakni birokrasi pemerintahan pusat (kraton) dan birokrasi pemerintahan daerah di luar kraton (mancanegara). Birokrasi pemerintahan pusat dipimpin langsung oleh raja yang berkuasa berdasarkan pada garis kekuasaan kharismatik-tradisional.
       Wilayah kekuasaan birokrasi pemerintahan daerah meliputi daerah-daerah di luar kraton dan daerah-daerah pesisir. Menurut Suwarno (Nur Hasan, 1076), pada masa kerajaan Mataram hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat  dekonsentrasi atau bahkan sentralistis. Raja berusaha menguasai birokrat (pejabat-pejabat daerah) dengan sangat ketat melalui penangkatan para keluarga kerajaan, termasuk menempatkan pejabat pengawas yang dikoordinasi oleh Wedana, bupati untuk menjamin loyalitas para pejabat di daerah kepada pemerintahan pusat.
       Pengembangan aparat kerajaan dilakukan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (kraton), urusan pemerintahan diserahkan kepada  empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh pejabat setingkat Menteri Koordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdi dalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar Kraton, seperti daerah pantai (pesisiran) raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati tersebut biasanya merupakan bupati lama yang ditaklukkan raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri. Pengawasan terhadap kinerja bupati dilakukan oleh pejabat tinggi pengawas (wedana) yang ditunjuk oleh raja. Tindakan pengawasan tersebut dilakukan karena posisi bupati memiliki bawahan, yang pola hubungannya dikembangkan sama seperti hubungan antara raja dan para bawahannya (Nur Hasan, 1076).
       Setelah perjanjian Gianti tahun 1755, kerajaan Mataram terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sistem birokrasi  pemerintahan Kesultanan Yogyakarta masih melanjutkan sistem pemerintahan kerajaan Mataram. Sultan Hamengkubuwono I mengangkat seorang pejabat setingkat perdana menteri (pepatih dalem) dalam mengurusi pemerintahan sehari-hari, sedangkan pejabat pengawas para bupati di daerah tetap dipertahankan untuk mengkoordinasi daerah kekuasaan di luar kraton (mancanegara). Susunan birokrasi pemerintahan tradisional masih diikuti oleh birokrasi kesultanan, yakni dengan membagi urusan dalam kerajaan dan urusan luar kerajaan.
       Masalah internal kerajaan diurus oleh lebaga-lembaga yang dibentuk yaitu lembaga-lembaga kementerian (kanayakan), seperti kementerian yang mengurusi yayasan dan pekerjaan umum (Kanayakan Keparak Kiwo dan Kanayakan Keparak Tangen).  Lembaga yang mengurusi penghasilan dan keuangan kerajaan dilakukan oleh Kanayakan Gedhong Kiwo dan Kanayakan Ghedong Tangen. Masalah eksternal kerajaan diurus oleh lembaga kementerian yang mengurusi tanah dan pemerintahan (praja) yaitu: Kanayakan Siti Sewu  dan Kanayakan Bumijo, sedangkan Kanayakan Penumping dan Kanayakan Numbakanyar menguasai masalah pertahanan kerajaan Kedelapan kementerian tersebut merupakan dewan menteri yang diketuai oleh pepatih dalem yang dapat disebut sebagai Perdana Menteri.Para pejabat yang memimpin kementerian  (kanayakan) disebut nayaka, dan diberikan fungsi militer. Para pejabat  pimpinan kementerian masing-masing menjadi panglima perang yang memiliki prajurit sendiri dan sewaktu-waktu dapat maju ke medan perang ketika diperlukan (Nur Hasan, 1077).
      
III.          Budaya Birokrasi Masa Kolonial
a)      Sistem paternalistik
            Budaya birokrasi pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung sebelumnya, yaitu sistem pemerintahan kerajaan. Kedatangan penguasa colonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan administrasi yang berlaku di Indonesia. Sistem birokrasi pemerintahan yang dikembangkan pemerintah colonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola paternalistic yang telah menjiawai budaya birokrasi pada era kerajaan.
            Sistem birokrasi yang ada tidak begitu saja dihapus oleh pemerintah colonial Belanda. Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah bumi nusantara, baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial sepenuhnya menyadari keberadaannya tidak selalu aman. Pemerintah colonial kemudian menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat. Motif utama pemerintah Belanda untuk menjalin hubungan politik adalah dalam rangka berupaya menanamkan pengaruh politiknya terhadap elit politik kerajaan. (Nur Hasan, 1088).
            Setelah perang Jawa (1825-1830), Orang Belanda menentang sistem tradisional, dengan menerapkan sistem administrasi kolonial yang berdampingan dengan administrasi kerajaan. Di daerah-daerah dengan administrasi langsung, terutama yang meliputi bagian terbesar Tanah Jawa, pembentukan pemerintah colonial Belanda menimbulkan perubahan yang sangat penting. Para pegawai terputus dari segala bentuk kekuasaan raja, dengan demikian terbentuklah semacam aristokrasi otonom: sistem strategi perkawinan terus berlangsung, tetapi tidak mengacu kepada tokoh raja lagi. Terputusnya kelangsungan kekuasaan raja tradisional tidak begitu dirasakan, sebab para raja tetap berada di tampuk pemerintahan dan bahkan diijinkan memiliki tentara, meskipun kebanyakan hanya bersifat simbolis (Lombard, 76)
    
b)      Sistem Pengawasan
            Sistem pemerintahan pada masa kolonial dijalankan dengan dua sistem: administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) dan sistem administrasi tradisional (Inheemsche Bestuur). Birokrasi pemerintahan kolonial  disusun secara hirarki yang puncaknya pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di negara-negara jajahan, termasuk di Indonesia, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah negara jajahan yang dikuasainya.
            Gubernur Jenderal di negara jajahan memiliki posisi yang sangat berkuasa atas segala sesuatu urusan di wilayah jajahan. Ia dibantu oleh gubernur dan residen dalam melaksanakan tugasnya. Gubernur merupakan wakil pemerintahan pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat  kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas (controleur). Keberadaan asisten residen dan pengawas diangkat oleh gubernur jenderal untuk membantu mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Sistem tersebut menjadi pembeda perilaku birokrasi daerah sebelum pemerintah kolonial Belanda berkuasa. Pada jaman kerajaan, peran bupati sebagai kepala daerah diangkat dari kalangan pribumi yang mempunyai kekuasaan otonom dalam menjalankan pemerintahan, tanpa ada pengawasan dari sultan. Pengawasann dari raja hanya ditujukan pada momen-momen politik tertentu saja, seperti tradisi menghadap raja (paseban) setiap tahun disertai dengan mengirim upeti kepada raja. Kondisi tersebut berubah pada masa pemerintahan kolonial Belanda berkuasa. Wewenang bupati dalam memerintah daerahnya tidak lagi otonom, melainkan telah dibatasi undang-undang dengan mendapat control dari pengawas yang ditunjuk oleh pemerintah pusat (Nur Hasan, 1079).
            Pemerintahan kcolonial Belanda juga melakukan pembaharuan manajemen keuangan birokrasi pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1915, dengan mulai pemberlakuan kas keuangan kesultanan yang terlepas dari keuangan pribadi sultan. Kas kesultanan setiap tahunnya menyusun anggaran untuk membiayai jawatan-jawatan yang mengurus kepentingan umum. Anggaran belanja untuk rumah tangga istana sultan diperoleh dari uang ganti rugi yang diberikan pemerintah kolonial  yang disebut “daftar sipil” dan ditentukan dalam kontrak politik yang harus ditandatangani oleh sultan menjelang penobatannya. Dengan adanya kebijakan tersebut, praktis pengaruh sultan sendiri semakin tersingkir dari pemerintahan umum. Sultan masih tetap berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan urusan pemerintah dalam kraton, yang masih sarat dengan adat istiadat. (Nur Hasan, 1079).
            Perubahan birokrasi pemerintahan tersebut mendorong pemerintahan colonial Belanda untuk mengadakan pula perubahan hal pemakaian tanah rakyat. Pada tahun 1918 Pemerintah kolonial mengadakan perubahan hak pemakaian tanah. Petani yang semula mempunyai hak pakai tanah secara komunal, diubah menjadi hak pakai perseorangan dan dapat diwariskan atau dijual. Keberadaan tanah lunggu dan kebekelan (tanah pemberian kepada pejabat sebagai pengganti gaji, dapat digunakan untuk hidupnya, tapi tidak dapat dijual).dan yang mengelola tanah tersebut juga turut dihapuskan. Pemerintah kolonial  kemudian membentuk kelurahan dan pengaturan pemungutan pajak, Kontrak politik tahun 1921 yang ditandatangani Sultan Hmengku Buwono VIII mengatus pemisahan secara mutlak antara penghasilan kesultanan dan penghasilan sultan yang disebut “daftar sipil” untuk membiayai rumah tangga istana (Nur Hasan, 1080).

c)      Pemerintahan sentralistik
Kebijakan pembaharuan birokrasi yang dilakukan pemeintahan kolonial tersebut merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan Belanda untuk tetap mengontrol dan mengurangi birokrasi tradisional. Kebijakan tersebut sangat menguntungkan pemerintahan kolonial. Sultan sebagai pusat kekuasaan dalam birokrasi kerajaan menjadi tidak berpengaruh secara formal politik sebagai pimpinan birokrasi kerajaan.
Meskipun terjadi pembaharuan sistem birokrasi pada masa pemerintahan kolonial, secara substansial sebenarnya tidak mengubah budaya atau corak birokrasi pemerintah dalam berhubungan dengan public. Sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi masih tetap sangat dominan dalam praktik penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Pembuatan berbagai keputusan dan kebijakan public oleh birokrasi pemerintah tidak pernah bergeser dari penggunaan pola top-down. Kecenderungan semakin tingginya peran pemerintah pusat dalam proses formulasi kebijakan pemerintah masih sangat mewarnai sistem pemerintahan yang terbentuk. Inisiatif dan peran dari pemerintah lokal tidak banyak berfungsi, semua inisiatif kebijakan dan otoritas formal berasal dari pemerintah pusat. Hirarki kekuasaan sangat kentara pada semua tingkat komunikasi kebijaka dalam birokrasi yang berlaku. Unit-unit yang ada dalam birokrasi di daerah secara hirarkis-formal bertanggungjawab kepada pimpinan puncak birokrasi yaitu Gubernur Jenderal Belanda. Secara politik, birokrasi di Indonesia tidak pernah diperkenalkan pada konsep dan komitmen politik untuk bertanggung jawab kepada public, sebagai cerminan akuntabilitas public dari birokrasoi pemerintah.

IV.          Budaya Birokrasi Pasca-Kemerdekaan
a)      Awal Kemerdekaan
            Sistem pemerintahan pasca kemerdekaan adalah sistem pemerintahan kolonial bersamaan dengan gerakan nasional melalui  partai nasional Indonesia, dimana para penggeraknya adalah  para intelektual, jurnalis, profesional, dokter, pengacara, guru, pegawai negeri, dan murid. Mereka menaklukkan pemerintahan kolonial dan menjadikan negara kolonial sebagai milik mereka (Priyono, 27)
            Pasca kemerdekaan, pemerintahan Indonesia menerima warisan pemerintahan kolonial Belanda. Para peawainya tidak mempunyai ikatan lagi dengan kerajaan, kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat mereka paling tidak secara teoritis tetap berada di bawah wewenang Sultan. Sebagian diantaranya tertarik dengan PNI, yaitu partai Soekarno, Presiden negara yang baru merdeka. Golongan pegawai itu tidak hanyta terdiri dari orang Jawad dan Sunda dengan sistem mutasinya yang sangat bermanfaat untuk mendorong pembauran etnis dan membina kesadaran nasional. Karena etnis Jawa yang paling dominan, terjadilah pemindahan pegawai ke luar Jawa. (Lombard, 77).
            Yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan spesialisasi yang sudah dimulai pada dasawarsa-dasawarsa terakhir jaman colonial. Sesudah Indonesia merdeka, pegawai dibedakan menurut kementerian, seperti kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan. Selain itu perlu dicatat bahwa pembentukan suatu hirarki militer yang sejajar dengan pegawa negeri sipil. Kaum militer menganggap dirinya sebagai kaum priyayi lama dan menuntut hak istimewa, yang tampak dalam “dwifungsi” artinya militer melibatkan tugas selain di bidang keamanan, tetapi juga di bidang  pengelolaan perusahaan atau administrasi territorial (Lombard, 77,80).

b)      Era Sentralistik (Orde Baru)
            Pola pemerintahan masa Orde Baru masih mengadopsi sistem pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk memperkuat wewenang negara sampai ke desa-desa, serta meningkatkan keterampilan pegawai negeri, pemerintahan Orde Baru mengambil alih konsep “dwifungsi” dengan menyerahkan kepada pihak militer sejumlah jabatan penting yang sampai saat itu masih diduduki oleh kaum sipil. Pada masa Orde Baru juga program “ABRI masuk Desa” dilaksanakan di daerah pedesaan guna membantu pengawasan keamanan dan ketertiban (Lombard, 80).
            Pada Orde Baru, peranann hubungan anta-individu dan terutama jaringan-jaringan klien mewarnai hubungan pegawai negeri dengan atasan maupun dengan bawahannya. Salah satu kunci sistem kepegawaian itu adalah apa yang disebut dengan asas kekeluargaan. Setiap bagian administrasi dilihat secara kekeluargaan, dan hubungan-hubungannya mencontoh hubungan ayah-anak.
            Selain itu, perllu dicatat menurut Lombard (Lombard, 81) kebiasaan korupsi pegawai sebetulnya merupakan warisan masa lampau, karena para pegawai tidak memperoleh ggaji yang tetap. Karena gaji yang tetap rendah, sekalipun diadakan kenaikan-kenaikan oleh pemerintahan Orde Baru, boleh dikatakan bahwa orang masih perlu melakukan korupsi. Bahkan kadang-kadang korupsi dikatakan “agak bermoral”, karena uang pelicinnya amat bervariasi tergantung besar-kecilnya nilai proyek yang bersangkutan.
            Korupsi secara structural juga dapat diakibatkanoleh adanya faktor dominannya posisi birokrasi pemerintah sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Dominasi negara yang mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini public. Hal ini juga disebabkan adanya ketimpangan antara birokrat dan rakyat dalam hal status, pendidikan, dan kepemilikan informasi (Nur Hasan, 1086).

c)      Era Desentralisasi
Budaya birokrasi di Indonesia mengalami perubahan dengan pemberian otonomi kepada penguasa lokal. Tetapi polanya sama, birokrasi melayani kepentingan pusat. Pemberian otonomi kepada penguasa lokal bukan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi kepada masyarakat, melainkan lebih atas dasar kepentingan politik kekuasaan. Para pejabat birokrasi lokal bagaikan raja-raja kecil yang mempunyai kekuasaan dan kedaulatan wilayah, serta dapat memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Tindakan apapun yang dilakukan pejabat birokrasi lokal terhadap rakyatnya tidak pernah mendapat teguran dari pemerintahan pusat, sepanjang pemerintah lokal memenuhi kewajibannya untuk loyal kepada pemerintahan pusat seperti upeti atau pajak secara teratur.
Berkaca pada pemerintahan kolonial, peran dan kedudukan  bupati misalnya, menjadi abdi pemerintah Belanda, bupati mementingkan kepentingan pemerintah pusat. Para bupati juga berfungsi sebagai agen bagi pemenuhan ambisi politik dan kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Berkembangnya sikap feodalisme di dalam birokrasi kolonial, membawa berbagai konsekuensi terhadap penyelenggaraan pelayanan public. Akuntabilitas birokrasi hanya ditujukan kepada pejabat atasnya, bukannya kepada public. Demikian pula loyalitas dan pertanggungjawaban aparat di tingkat bawah semata-mata hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya. Prestasi kerja seorang aparat birokrasi di mata pimpinan hanya dilihat dari kriteria seberapa loyalitasnya kepada pimpinan. Aparat birokrasi di tingkat bawah hanya berupaya selalu menjaga kepuasan pimpinan sehingga memunculkan budaya kerja yang selalu menyenangkan pimpinan seperti membuat laporan kerja yang cenderung menyenangkan pimpinan tanpa berdasarkan fakta, berlomba-lomba menghormati pimpinan secara berlebihan guna mengambil hati pimpinan dan lain sebagainya Nur Hasan, 1084)
Pembentukan etos kerja juga mengalami feodalisasi, seperti dalam penyelesaian tugas hanya berorientasi pada petunjuk pimpinan, tumbuhnya image bahwa pimpinan selalu bertindak benar, pimpinan tidak dapat disalahkan, tetapi sebaliknya seorang bawahan yang dianggap tidak mampu menerjemahkan kehendak pimpinan, dan berbagai sikap yang memperlihatkan adanya kultur marjinalisme di kalangan aparat birokasi bawah, dengan gampang disalahkan. Demikian juga, aparat bawah yang berbeda pendapat dengan pimpinan tidak mendapat tempat di mata pimpinan.
            Faktor kultural dalam maayarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya korupsi, seperti adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat pemerintah. Tindakan tersebut bagi masyarakat Eropa atau Amerika dianggap sebagai tindak korupsi, tetapi bagi masyarakat di Asia, seperti Indonesia, Korea Selatan, atau Thailand dianggap bukan merupakan tindakan korupsi. Bahkan dalam kultur Jawa pemebrian tersebut dianggap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh bawahan (kawula) kepada rajanya (Gusti). Akar kultur pada masyarakat Indonesia yang nepotism juga telah memberikan dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya sangat mementingkan kelluarga besar atau keturunan. Seorang pejabat yang mendapat desakan dari saudaranya untuk memberikan dispensasi atau kemudahan akses pelayanan akan sangat sulit menolaknya. Penolakan dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional (Nur Hasan, 1085).
d)      Era Reformasi
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan akibat buruk budaya birokrasi pemerintahan sebagai warisan kolonial, ada tuntutan dan kebutuhan untuk melakukan Reformasi Birokrasi secara nasional. Tuntutan reformasi birokrasi dilatarbelakangi rendahnya budaya birokrasi yang tidak berorientasi pelayan publik.
Sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, reformasi birokrasi menjadi agenda pembangunan yang penting. Kebijakan tentang cetak biru manajemen birokrasi yang modern, bersih, dan profesional lahir pada masa kepresidenannya. SBY getol mendorong lahirnya rupa-rupa regulasi administrasi tata pemerintahan dan kepegawaian negara.
Ada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang berisi prinsip pengembangan dan tata kelola birokrasi modern dan berintegritas. Ada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang memagari kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pegawai negeri sipil. Ada juga Desain Besar Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang masih relevan hingga hari ini.
Pada hakekatnya negara Indonesia mempunyai tujuan seperti diatur dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa serta menjaga ketertiban dunia.. Dalam mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan birokrasi dan aparatnya yang baik agar terjadi efisiensi dan efektivitas pemerintahan.  

V.          Catatan Penutup    
       Budaya birokrasi kerajaan dan birokrasi pemerintahan kolonial, merupakan warisan budaya birokrasi Indonesia. Sistem birokrasi pada era kerajaan masih menjiwai era pemerintaha kolonial Belanda. Meskipun terjadi pembaharuan sistem birokrasi pada masa kolonial, secara substansial sebenarnya tidak mengubah budaya birokrasi pemerintah dalam hubungannya dengan public. Sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi masih tetap dominan dala praktik penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Pembuatan berbagai keputusan dan kebijakan publik oleh pemerintah tidak pernah bergeser dari penggunaan pola top-down. Substansi dari persoalan korupsi dalam birokrasi pada dasarnya masih merupakan bagian dari feodalisme yang terus dipelihara dalam sistem birokrasi.
       Ada sebuah harapan, yaitu pelaksanaan reformasi birokrasi guna mewujudkan pemerintahan berbasis pelayanan publik yang berintegritas, profesional dan  inovatif. Reformasi Birokrasi yang sudah berjalan merupakan proses yang lama guna mencapai tujuan yang diharapkan. Perlu keseriusan pemerintah dan dukungan masyarakat dalam mewujudkan reformasi birokrasi pemerintahan. Semoga.

***

Daftar Pustaka
Denys Lombard, Nusa Jawa:  Silang Budaya – Warisan Kerajan-Kerajaan Konsentris, Buku 3, Gramedia Pustaka Utama, 2005
B. Herry-Priyono, The Dutch Colonial State and the Rise of Nationalist Movement in Indonesia, London, 1996
Hasan, Nur, Corak Budaya Birokrasi pada Masa Kerajaan, Kolonial Belanda Hingga di Era Desentralisasi dalam Pelayanan Hukum, Jurnal Hukum, Vol. XXVIII, No. 2 Desember 2012, Unissula  Semarang, 2012
Setianto, Yudi, Birokrasi Tradisional di Jawa dalam Perspekif Sejarah, Jurnal Paramita Vol.20 No. 2 – Juli 2010,Hal. 169-177
Mas’oed, Mohtar, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1994

Powered By Blogger