Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Selasa, Juli 30, 2019

Tanggapan pada Ajaran Pendidikan Menurut Paulo Freire



foto: brasilwire.com
Tanggapan pada Ajaran Pendidikan Menurut Paulo Freire[1]

I.          Pendahuluhan
Paulo Freire mendorak sistem pendidikan lama di Brazilia dan menolak gaya pendidikan berpola pikir Eropa dan Amerika Serikat. Sebagai alternatif, Paulo Freire menawarkan gagasan pendidikan dengan metode dialog, dimana guru dan murid mempunyai peran yang sama-sama sebagai subjek dan mempelajari objek yang sama. Dalam paper ini, penulis memberikan beberapa pemikiran dan ajaran Paulo Freire tentang pendidikan, dan mengakhirinya dengan sebuah tanggapan.

Kata kunci: paulo freire, pendidikan, metode dialog, praxis
           
II.       Ajaran Paulo Freire (1921-1997) tentang Pendidikan
 Paulo Freire yang lahir di Recipe Brazil dikenal sebagai pejuang pendidikan bagi kaum tertindas. Menurut Professor Richard Shaull dalam pangantar terbitan bahasa Inggeris buku Pendidikan Kaum Tertindas mengungkapkan bahwa pengalaman yang mendalam akan kelaparan sewaktu Freire masih anak kecil, telah menyebabkan ia bersumpah untuk mengabdikan kehidupannya kepada perjuangan melawan kelaparan agar anak-anak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yng tengah dialaminya itu. Ia juga banyak membaca karya-karya Maritain, Bernanos dan Mounier, Jena Paul Sartre, Eric Fromm, Louis Althusser, Ortega Y Gasset, Mao Zedong, Martin Luther King, Che Guevara, Unamuno dan Herbert Marcuse.
Bukunya yang cukup penting berisi tentang pendidikan berjudul Educaçao como Practicaa dan Liberdade (Pendidikan sebagai Pelaksanaan Pembebasan) diterbitkan tahun 1967. Terjemahannya dalam bahasa Inggeris baru muncul pada 1973, yaitu Education as the Practice of Freedom, yang bersama-sama dengan tulisannya Extension of Communication di bawah judul Education for Critical Consciousness.  Buku lainnya yang paling terkenal adalah Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas) muncul tahun 1970. Buku ini mendapat perhatian dunia.
Dalam perjalanan waktu, Freire mengkritisi sistem  pendidikan tradisional di Brazil yang bersifat hafalan dan menggurui. Selain itu, kaum cendekiawan Brazil banyak membahas dan membicarakan pendidikan berdasarkan kacamata Eropa dan Amerika Serikat, yang mana pasti didasari oleh ideologi tertentu dan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa.
Jalan pikiran Paulo Freire tentang pendidikan dapat dilihat dalam bukuya Pendidikan Kaum Tertindas.  Bab pertama dari buku Freire berisi tentang pentingnya pendidikan sebagai suatu kebutuhan bagi kaum tertindas. Persoalan mendasar yang diangkat adalah masalah humanisasi. Humanisasi adalah tugas manusia memanusiakan manusia. Dehumanisasi seperti ketidakadilan, eksploitasi dan kekerasan harus disingkirkan dari kehidupan manusia melalui proses penyadaran. Dalam perjuangan humanisasi ini, kaum tertindas menjadi inisiator pembebasan dan agar tidak berbalik tidak menjadi kaum penindas, demikian juga perlunya pembebasan kaum penindas dari tindakan menindas. Pendidikan kaum tertindas harus merupakan perjuangan melawan penindasan dalam situasi di mana dunia dan manusia berada dalam interaksi. Dalam perjuangan ini diperluan praxis, yang merupakan proses interaksi antara refleksi dan aksi, antara aksi dan refleksi yang tiada habisnya seraya membangun perkembangan kesadaran atau konsientisasi.
Usaha pembebasan ini akan menimbulkan krisis dalam diri kaum tertindas. Untuk itu, pendidikan kaum tertindas harus diciptakan dengan dan bukan untuk kaum tertindas, dalam perjuangan memulihkan kemanusiaan dengan melawan penindasan dalam situasi di mana dunia dan manusia dalam interaksi.
Bab Kedua, Freire membahas bagaimana proses pendidikan kaum tertindas. Dalam bab ini dia mengkritik metode pendidikan lama sebagai pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam sistem ini, guru yang memiliki pengetahuan mengisi murid. Murid diperlakukan sebagai wadah atau tempat deposito belaka. Murid dijadikan sebagai objek. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan sebagai membentuk masyarakat yang tunduk pada yang berkuasa. Menolak pendidikan sistem bank tersebut,  Freire menggagas sebuah sistem pendidikan yang disebutnya “problem-posing education” yang memungkinkan konsientisasi. Dalam sistem ini, guru dan murid bersama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama. Mereka berpikir bersama. Pengetahuan yang sejati menuntut penemuan dan penemuan kembali melalui penyelidikan terus menerus atas dunia, dengan dunia dan dengan sesama. Guru dan murid harus serentak menjadi murid dan guru melalui dialog dalam pembelajaran bersama. Guru belajar dari murid, dan murid belajar dari guru.
Kemudian dalam bab ketiga, Freire menguraikan bahwa dialog merupakan unsur penting pendidikan. Dialog pada dasarnya adalah interaksi yang memiliki inti yaitu kata. Kata mempunyai dua dimensi yaitu refleksi dan aksi. Tanpa refleksi yang terjadi aktivisme, tanpa aksi yang terjadi verbalisme. Dialog terjadi ketika ada kesetaraan, cinta kasih, keberanian, dan kerendahan hati,  dan kepercayaan. Pada saat yang sama, dialog harus berdasarkan pada kepekaan terhadap kemampuan-kemampuan bawaan di dalam sertiap manusia untuk menemukan dirinya.
Dalam bab keempat atau bab terakhir, Freire menunjukkan bahwa teori pendidikan dialogis bertentangan dengan teori pendidikan antidialogis. Pendidikan dialogis berarti pendidikan kooperatif dalam usaha memacu proses pembebasan. Tindakan dialogis mengarah pada sintese budaya yang dicapai dengan dialog terus menerus antara pemimpin dan masyarakat, sehingga mereka mampu menciptakan pedoman atau kesepakatn bersama. Sedangkan tindakan antidialogis ditandai tindakan mendominasi manusia lain, membuat tunduk, pasif dan tetap tinggal tertindas dengan tujuan menjajah dan memaksakan pendapat kepada yang lemah.


III.        Tanggapan
 Paulo Freire menggagas suatu kritisisme atas sistem pendidikan yang sedang berlangsung di jamannya. Pendidikan tradisional bersifat hafalan atau menggurui bukanlah pendidikan sejati yang membebaskan manusia dari ketidahuannya. Ia menyadari bahwa rakyat yang tertindas  akan tetap tertindas jika menggunakan sistem pendidikan tradisional.
Paulo Freire juga mengkritisi sistem pendidikan bermodelkan pendidikan modernisme yang berlangsung di Eropa dan Amerika Serikat. Pendidikan model modernisme yang kerap dilatari persetruan ideologi komunisme dan liberalisme memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kepentingan hegemoni blok tertentu seperti blok Barat atau Blok Timur.
Dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire menuliskan ajarannya tentang pendidikan termasuk kritik atas pendidikan lama di Brazilia. Kritik Paulo Freire diimbangi dengan gagasannya sendiri yang menawarkan suatu alternatif sistem pendidikan dengan metode  dialogik dalam pendidikan melalui suatu . Guru dan murid sama-sama sebagai subjek dan membahas objek yang sama. Guru dan murid saling belajar dan memperkaya. Metode dialog ini menciptakan komunikasi dan relasi yang manusiawi antara guru dan peserta didik. Guru dan peserta didik belajar menemukan penyadaran akan dunia, dirinya dan kehidupan bersama melalui sistem problem-posing education. Alternatif sistem pendidikan yang ditawarkan sangat tepat dalam menjawabi kebutuhan masyarakat di jamannya.
Sistem pendidikan Dialog masih tetap relevan dengan situasi jaman pendidikan sekarang di Indonesia. Menurut penulis, banyak sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan pola lama, yaitu menghafal dan menggurui. Metode dialog yang ditawarkan Paulo Freire tersebut masih layak diadopsi, tetapi dengan menambah kemajuan sarana informasi dan teknologi digital di  era Revolusi Industri Keempat (4.0). 


Sumber Pustaka

Bahan Kuliah oleh Romo Alex Lanur, Bab VIII: Abad XX: Pendidikan di Dunia Ketiga, STF Driyarkara, 2019, Halaman 69-77.


[1] Presentasi ini bersumber dari Bahan Kuliah oleh Romo Alex Lanur, Bab VIII: Abad XX: Pendidikan di Dunia Ketiga, STF Driyarkara, 2019, Halaman 69-77.

Senin, Juli 29, 2019

Memori, Ruang dan Lupa (Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur)


Memori, Ruang dan Lupa (Oblivion)[1]
(Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur)
I.         Pendahuluan
                        Dalam tulisannya berjudul Memory, Space, and Oblivion, Luis António Umbelino membahas implikasi filosofis dari klaim Ricoeur bahwa ada sesuatu seperti hubungan rahasia antara waktu dan ruang dalam memori. Lalu bagaimana kita bisa mendekati memori dari sisi ruang? Jawabannya, menurut Ricoeur, dapat ditemukan dalam deskripsi fenomenologis spasial tubuh, tetapi juga dalam pendekatan hermeneutis terhadap pertanyaan tentang bagaimana narasi menawarkan model berpikir waktu dan ruang manusia. Pembahasan dalam paper ini diawali dengan pembahasan tempat, pendekatan fenomenologi, tahap hermeneutika, hubungan memori, materialitas, sejarah, dan diakhiri tanggapan penutup.

Kata Kunci:  Spasi - Memori - Arsitektur - Sejarah - Oblivion

II.      Pembahasan: Memori, Ruang dan Lupa
(1) Tempat
Luis António Umbelino mulai membahas tema ini dengan kutipan dari buku Ricoeur, Memory, History, Forgetting: “Seseorang tidak hanya mengingat diri sendiri, melihat, mengalami, belajar; melainkan seseorang mengingat situasi di dunia di mana orang telah melihat, mengalami, belajar” (Ricoeur, Paul 2004: 36). Dengan kata lain, ada sesuatu seperti ruang (spasialitas) lingkungan yang melekat pada pembangkitan memori (Ricoeur, Paul 2004:148), semacam spasial yang bukan sesuatu yang ditambahkan pada ingatan tentang sesuatu, tetapi tampaknya untuk menjadi bagian dari apa yang diingat. Karena itu Ricoeur, filsuf waktu, tidak mengabaikan hubungan rahasia antara waktu dan ruang dalam ingatan. Bukan saja dia tidak mengabaikan sisi spasial dari ingatan, tetapi dia juga memberikan perhatian yang perlu pada pertanyaan mengetahui bagaimana sesuatu yang material - sebuah bangunan, jalan, kota, objek - dapat menjaga dan memelihara memori kita.

(2)     Pendekatan Fenomenologi
Menurut Ricoeur, untuk mendekati memori "dari sisi ruang", kita harus mulai dari fenomenologi tempat seperti yang dikembangkan oleh Edward Casey (Ricoeur, Paul 2004:149). Pendekatan fenomenologis perlu menangguhkan sikap alami (prasangka-prasangka).  Penangguhan ini dengan demikian membawa kita kembali ke perspektif radikal tentang ruang. Perspektif seperti itu dijelaskan dengan pendekatan fenomenologis terhadap spasial tubuh yang terbentang, seperti yang dikatakan Merleau-Ponty dalam Phénoménologie de la Perception, tubuh yang mentransmisikan "ruang yang sudah ditempati" (Merleau-Ponty 1945: 293). "Tempat" adalah kualitatif, relasional, mencakup semua, intim dan penyedia orientasi. Itulah sebabnya kita dapat benar-benar tinggal di dalamnya. Tempat-tempat itu bisa dikatakan menjaga ingatan kita.
Dalam konteks ini, deskripsi fenomenologis Merleau-Ponty tentang bagaimana ruang muncul dalam motilitas (pergerakan) tubuh masih menentukan. Menjadi bagian dari dunia sebagai ada berarti berada di tempat, ruang yang dihuni, ruang yang selalu sudah "berorientasi" dan "disatukan". Dalam pandangan ini, to-be-in-the-world berarti "mempunyai" memori spasial tubuh, artinya "menjadi" ingatan sebagai tubuh bagi dunia.
Merleau-Ponty menemukan konfirmasi tentang kemungkinan ini dalam fenomena kebiasaan (mengingatkan kita pada pembedaan terkenal yang dibuat oleh Bergson antara mémoire-habitude (memori kebiasaan) dan mémoire-souvenir (memori kenangan). Bahkan, untuk memperoleh kebiasaan melakukan sesuatu adalah membuat diri kita sendiri menjadi terbiasa dalam hal tertentu. Misalnya, mengetik tanpa mengetahui dengan jari yang mana kita mengetik setiap tombol. Namun tubuh "tahu" tempat tombol-tombol mesin tik atau keyboard. Jika seseorang bertanya jari mana yang mengetik huruf tertentu, kita harus meniru gerakan dan ritme mengetik untuk menemukan jawaban yang benar. Memori tubuh ini merupakan sketsa awal memori: pertama-tama, kita ingat bagaimana ruang bersatu dengan tubuh.
Tetapi jika ini masalahnya, bukankah perlu untuk membayangkan transisi memori tubuh ke memori tempat dan benda? Masalahnya adalah, seperti diakui oleh Merleau-Ponty, beberapa tempat dan benda tampaknya menyimpan jejak keberadaan saya serta jejak keberadaan yang bukan saya. Objek, “rute, perkebunan, desa, jalan, perkakas, tanduk, sendok, pipa” (Merleau-Ponty 1945: 399) yang ada di sekitar saya pada saat ini, saat tubuh menggabungkannya, tampak memegang dan membuka ”ingatan mereka sendiri: ingatan akan kehidupan lain, tentang sejarah lain, tentang hubungan yang tidak diketahui dengan hal-hal, cara menangani alat, jalan-jalan latihan suatu kota - seolah-olah rasa masa lalu orang lain tetap diingat secara spasial atas benda-benda itu, jalan dan kota. Tetapi jika ini masalahnya, transisi yang diperlukan ini memunculkan pertanyaan besar yang harus diatasi dengan pendekatan fenomenologis yang ketat. Persoalannya berkaitan dengan apakah hubungan antara memori dan tempat sebenarnya dapat didekati "tanpa bantuan dari kategori campuran yang menggabungkan waktu dan ruang hidup dengan waktu objektif dan ruang geometris, yang secara metodologis telah mengesampingkan (mengurungkan) manfaat dari fenomenologi "murni". (Ricoeur, Paul 2004: 42).

(3)     Tahap Hermeneutika
Untuk sampai ke analisis tentang "sisi spasial" memori, Ricoeur berpendapat bahwa kita harus melampaui non-implikasi antara ruang hidup dan ruang geometrik. Seperti yang dikatakan oleh Ricoeur, "tempat-tempat yang berkesan" tidak akan dapat menjalankan "fungsi memorial"nya, jika mereka juga bukan merupakan "situs-situs terkemuka" (Ricoeur, Paul 2004:43). Ini agak berbeda dari apa yang dikatakan Casey. Bagi Casey, eksistensi menyatu terbuka ke tempat dan “memang mengambil tempat dalam tempat, jadi ingatan kita tentang apa yang kita alami di tempat juga merupakan tempat yang spesifik” (Casey 1987: 182). Dibandingkan dengan tempat, menurut Casey, sebuah situs belaka memiliki kualitas negatif: ketidakpedulian, kekosongan, eksteriornya dan abstraksi geometris, keanehannya yang gersang cenderung menghapus kekuatan tempat dan kemungkinan memori (karena selalu ditempatkan). Bagi Ricoeur, sebaliknya, kita tidak boleh melupakan ambiguitas, campuran, antara keintiman tempat dan eksterior situs. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa fenomenologi tempat membutuhkan tahap hermeneutika untuk melampaui perbedaan yang saling eksklusif - mirip dengan waktu - yang cenderung menentang dan saling mengecualikan konsepsi "ruang geometrik" dari konsepsi "ruang hidup ”. Melalui tahap hermeneutik ini, Ricoeur berpendapat bahwa kita dapat menemukan makna "ruang manusia" - ruang yang hanya terletak pada titik putus dan titik sambung  antara ruang hidup dan ruang geometris.
Muncul pertanyaan, bagaimana menemukan titik putus dan sambung ini. Di sini argumen Ricoeur sangat sederhana namun mendalam: hanya konstruksi arsitektur dan perkotaan yang dapat menyingkap dan mengungkapkan titik ini. Ricoeur mengatakan bahwa arsitektur dan urbanisme adalah "ruang dan waktu  narasi" (Ricoeur 1998: 44): arsitektur dan urbanisme adalah cara untuk mengakses ruang manusia melalui semacam plot narasi (Ricoeur 1998: 48).
Arsitektur dan urbanisme mengembangkan "mimesis rangkap tiga" ruang yang sebanding dengan yang dikembangkan narasi berkenaan dengan waktu (Ricoeur 1983: 85 dst.). Narasi meminjamkan "temporalitasnya pada tindakan membangun, ke konfigurasi ruang", dan arsitektur memberikan ruang keragaan contohnya pada tindakan menceritakan waktu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Ricoeur, rasa masa lalu masih melekat pada cara ruang manusia yang dibangun bersatu dengan memori dan narasi.
Tetapi bagaimana tepatnya ruang yang dibangun dapat membuka memori? Bagaimana itu bisa menjaga dan melindungi memori? Ricoeur menawarkan jawaban penting atas pertanyaan-pertanyaan ini ketika dia menghadapi kompleksitas artikulasi antara memori, materialitas, dan sejarah.

(4)     Memori, Materialitas dan Sejarah
Memiliki sesuatu dari masa lalu adalah selalu memiliki perasaan tentang kondisi-kondisi di mana saat ini dan masa depan diorganisir menjadi sebuah "sejarah", dengan plot yang hanya dapat diartikulasikan melalui interaksi dengan objek, individu lain dan berbagai situasi yang dilibatkan dan ditempatkan secara jasmani (Malpa 1999: 180). Tetapi pertanyaannya tetap: bagaimana ruang manusia membuka dan menjaga ingatan individu dan kolektif kita? Untuk menemukan jawaban, kita harus kembali ke konsep "refigurasi" atau mimesis III Ricoeur dan mempertimbangkannya dari "sisi ruang".
Dalam Time and Narrative, konsep "refiguration" menandai gagasan bahwa tindakan naratif "configuration" hanya dapat dicapai sepenuhnya jika itu dipasang kembali dalam "waktu bertindak dan penderitaan" (Silva 2005: 67), mengikuti model perjumpaan antara dunia teks dan dunia pembaca (Ricoeur 1983: 109) dibangun melalui tindakan membaca (Ricoeur 1986: 170). Menurut Ricoeur, sesuatu yang mirip dapat dikatakan tentang narasi arsitektur ruang, karena ia juga membuka dirinya untuk semacam "refiguration", untuk membaca orang-orang yang menghuni setiap proyek arsitektur. Signifikansi proyek-proyek ini tidak dapat ditemukan dalam literalitas dari apa yang dibangun, tetapi dalam apropriasi formatifnya (Ricoeur 1986: 170). Hidup di ruang manusia berarti membaca dan membaca ulang berbagai cara hidup yang diekspresikan oleh bangunan dan proyek urbanistik. Inilah tesis penting: pemahaman tentang diri sendiri dimungkinkan melalui interpretasi teks dan juga (Ricoeur 1998: 51) melalui interpretasi penuh perhatian atas ruang-ruang yang dibangun. Ruang-ruang memberikan kemungkinan alternatif untuk memberi makna pada tindakan kita dengan sintesis yang heterogen, dengan menyelaraskan apa yang sumbang, dengan mengusulkan dunia makna alternatif di mana kita dapat memulihkan - dan, dengan cara, benar-benar dan aktif mengingat - kemanusiaan kita sendiri dengan cara yang lebih bermakna dan otentik.
Berkenaan dengan "sisi ruang manusia" ini, Ricoeur menemukan contoh-contoh yang baik dan demonstrasi dari pendekatan baru terhadap ingatan: sebuah pendekatan yang memperlakukannya tidak hanya sebagai "matriks sejarah", tetapi seperti yang diperintahkan dan dirusak oleh sejarah. Dengan kata lain, didekati sebagai pencarian tentang “reapropriasi” dari sejarah masa lalu di bawah model bacaan (baik teks maupun ruang buatan manusia), di bawah cakrawala tugas mengenang, dan di bawah metafora hutang. Ricoeur menyatakan dalam sebuah esai yang merujuk pada beberapa kesimpulan dari Memory, History, Forgetting,  "Apa yang saya usulkan hari ini adalah perubahan dalam sudut pandang yang berlaku, perubahan dari menulis ke membaca, atau, dalam istilah-istilah lebih luas, dari penjabaran literatur karya sejarah hingga penerimaannya, baik pribadi maupun publik, di sepanjang garis hermeneutika penerimaan” (Ricoeur 2003).
Untuk menggambarkan cara berpikir baru tentang hubungan antara ruang manusia, sejarah dan memori yang disampaikan, Umbelino memberikan dua contoh berbeda: tempat kamp konsentrasi Auschwitz, dan lokasi Ground Zero di New York.
Dewasa ini, Auschwitz bukan museum, bahkan jika ada beberapa yang mengira itu adalah museum; itu bukan kuburan, bahkan jika itu bisa menjadi kuburan; itu bukan situs untuk pariwisata, bahkan jika dikunjungi oleh ribuan orang (Pereira 1999:199). Apa yang tersisa dari kamp (materialitas dari apa yang dibangun dan masih tersisa, dari apa yang direkonstruksi, dari reruntuhan, ruang kosong), saat ini, lebih dari sekedar ruang di mana ingatan mendapat tempat. Pertama-tama, apa yang tersisa dari kamp tampaknya menyalakan hubungan yang mendalam dan menentukan antara keheningan dan memori. Kedua, Auschwitz mempertahankan "rasa sekarang (sense of the now)" yang terus diliputi tentang sesuatu yang dulu pernah terjadi. Akhirnya, Auschwitz tetap menjadi contoh ruang menjadi cara untuk melawan, baik secara individu maupun secara kolektif. Jadi waktu yang dinarasikan dan ruang yang dibangun telah “bertukar makna” (Ricoeur 1998: 49).
Contoh kedua yaitu Ground Zero di New York. Di ruang kota itu ada peringatan di mana nama-nama para korban 9/11, serangan terhadap World Trade Center pada tahun 1993, dituliskan. Nama-nama para korban tertulis di tujuh puluh enam lempengan perunggu yang melekat pada dinding tembok pembatas yang membentuk tepi dua danau segi empat buatan yang sangat besar. Danau-danau ini sendiri tertulis di lanskap seolah-olah mereka adalah dua jejak kaki raksasa yang ditinggalkan oleh menara kembar. Mengunjungi situs ini orang dapat mengatakan bahwa batu dan proyek baru mencoba menjaga ketiadaan dan kehampaan yang ditinggalkan serangan teroris - dan mencoba untuk melakukannya dalam ruang dan dengan cara yang memungkinkan untuk narasi.
Ruang memberikan semacam plot tentang ketiadaan apa yang pernah terjadi, tetapi juga tentang apa yang masih tetap harus diceritakan. Proyek-proyek seperti pangkalan peringatan Ground Zero melestarikan memori karena memungkinkan rekapitulasi dan apropriasi masa lalu yang menyediakan tempat untuk melakukan reorganisasi yang lama supaya memberikan ruang untuk yang baru (Ricoeur 1998: 51). Dalam "refiguration" ruang-ruang yang dibangun, kita dapat dengan demikian menemukan peluang narasi untuk memutus lingkaran ingatan dan kebencian yang tersumbat, dan untuk menemukan sesuatu seperti hal memori: kemungkinan untuk sekali lagi menceritakan kisah tentang apa yang tidak bisa kita lupakan, bahkan jika kita semua berkehendak melupakan.
Dalam suatu pengertian, ruang yang dibangun merupakan sumber daya kritis memori yang adalah batu kunci kerentanan dan kerapuhan sejarah manusia di bawah sejarah manusia yang dangkal. Ketika ruang-ruang tersebut membuka kemungkinan refiguration kritis lewat model membaca, ruang-ruang manusia dengan demikian membantu kita melawan keadaan lupa, melawan amnesia historis dan budaya, melawan pelupa aktif, melawan bahaya pengulangan obsesif.

III.   Tanggapan dan Penutup
Umbelino membahas konsep hermeneutika Ricoeur bertitik tolak dari buku Ricoeur dengan sangat mendalam merefleksikan hubungan ruang dan waktu dalam memori. Ricoeur mendekati memori dari sisi ruang, melalui deskripsi fenomenologis spasial tubuh, dan melalui pendekatan hermeneutis terhadap narasi yang menawarkan model berpikir tentang waktu dan ruang manusia melalui mimesis (prefiguration-configuration-refiguration).
Dalam konsep hermeneutika Ricoeur, hubungan ruang dan memori dibaca dan dikritisi, lalu diapropriasi. Dalam hal ini, ruang-ruang yang digambarkan melalui ruang yang besar yang dibangun (seperti museum, teater, tugu, dan lain sebagainya) dapat berkontribusi dalam perjuangan melawan keadaan lupa (oblivion), tidak hanya karena ruang-ruang dapat melestarikan jejak masa lalu, tetapi terutama karena mereka dapat menentang upaya untuk menghapus memori. Ruang-ruang tersebut mempunyai tugas untuk mengingat (devoir de mémoire) dan menyerukan keadilan bagi para korban sepanjang masa
Contoh bagaimana hubungan rahasia antara ruang dan waktu dalam memori adalah peristiwa tragedi dan penderitaan manusia di masa lalu, adalah Kamp Auschwitz dan bangunan Ground Zero di New York. Melalui kedua bangunan tersebut, orang dipanggil untuk tidak melupakan penderitaan dan peristiwa tragis masa lalu, dan kemudian membangun suatu narasi baru yang bermakna, yang layak dikisahkan, baik oleh individu maupun publik.
Pertanyaannya, apa yang akan menjadi pelajaran dari rekonstruksi memori tanpa semua ruang tempat memori tersimpan? Untuk itulah perlu suatu ruang yang berfungsi menjaga memori, karena pada hakekatnya manusia adalah pelupa.
***
Sumber Bahasan:
Umbelino, Luis Antonio,  Memory, Space, Oblivion, dalam Buku   Scott  Davidson Marc Antoine Vallée    Editors, Hermeneutics and Phenomenology in Paul Ricoeur Between Text and Phenomenon, Springer International Publishing Switzerland   2016


[1] Paper ini merupakan ringkasan dari tulisan Luis Antonio Umbelino, Universidade de Coimbra, Coimbra – Portugas berjudul Memory, Space, Oblivion dalam buku Scott Davidson Marc-Antoine Vallée    Editors, Hermeneutics and Phenomenology in Paul Ricoeur Between Text and Phenomenon, Springer International Publishing Switzerland   2016
Powered By Blogger