Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, Maret 17, 2006

LEMBAGA PERADILAN DI MATA WONG CILIK

LEMBAGA PERADILAN DI MATA WONG CILIK

Oleh Pormadi Simbolon

Keberpihakan lembaga peradilan beserta sejumlah aparatur penegak hukum terhadap wong berduit, oknum pejabat, penguasa dan pengusaha semakin jelas dengan terbongkarnya dugaan suap-menyuap yang melibatkan pegawai Makhamah Agung di dalamnya. Terbongkarnya dugaan kasus tersebut pula semakin mempertegas bahwa kebenaran hukum tampaknya semakin menjauh dari wong cilik.

Lembaga peradilan kita sedang mengalami krisis identitas ketika disinyalir ada drama suap-menyuap dan jual-beli praktek perkara yang dilakukan Harini Wijoso – advokat Probosutedjo – dengan beberapa pegawai MA, dan diduga melibatkan Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim. Sebagian orang menyebut kasus ini sebagai tindak mafia peradilan yang melibatkan semua aparat hukum: hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera dan pegawai peradilan.

Tidak Terkejut

Kebanyakan insan praktisi hukum sebenarnya tidak terkejut mendengar mafia peradilan yang ada. Persoalannya aneka kasus tindak korupsi yang sampai ke lembaga peradilan pasca Orde Baru hingga sekarang seringkali berujung pada bebasnya para pelaku atau hanya mendapat hukuman ringan.

Sebagai orang yang awam tentang hukum, penulis dengan mata hati dan akal sehat melihat wajah lembaga peradilan telah tercoreng dan kredibilitasnya semakin merosot ke titik terendah.

Ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, lembaga peradilan pada hakekatnya menjadi ukuran standar tentang apa yang benar dan adil yang berlaku di negara hukum, kini kehilangan dayanya (strength).

Kedua, lembaga peradilan seyogiyanya menjadi tempat pengaduan, pengungsian dan benteng pertahanan wong cilik atau warga bangsa yang terzalimi, tertindas dan teraniaya, kini kehilangan kepercayaan dari orang banyak (credibility).

Ukuran Kebenaran Hukum

Melihat kenyataan yang ada di lapangan, lembaga peradilan tampaknya bukan lagi diperuntukkan bagi semua warga negara, tetapi bagi sekelompok oknum penguasa, pengusaha atau penegak hukum sendiri. Lembaga peradilan yang semestinya milik semua warga negara, namun menjadi alat pemerkayaan diri para oknum. Ia adalah ukuran atas apa yang benar, adil, dan benar menurut hukum, namun diperalat untuk kepentingan egoistik.

Juga betapa ironisnya, oknum aparatur lembaga peradilan yang dipercaya warga negara sebagai penegak jaminan ukuran kebenaran hukum ternyata menjadi alat “pembebasan” dan “pembenaran” sekelompok orang saja. Ia menjadi partner segelintir orang dalam memuluskan suatu “titipan” vonis kasus korupsi oknum pengusaha dan penguasa, bukannya menjadi sarana penegakan hukum itu sendiri.

Di lapangan, kolusi antara hakim dan petugas pengadilan sudah terjadi sejak era Orde Baru. Gagalnya persidangan kasus penggelapan dana yayasan pimpinan mantan Presiden Suharto merupakan salah satu contoh. Kegagalan ini telah menegaskan bahwa sudah lama hukum sebagai ukuran kebenaran hukum rentan, rapuh dan lemah.

Yang lebih menyempurnakan reputasi jelek lembaga peradilan adalah ketika semua lembaga pemerintahan bangsa ini sedang gencar-gencarnya menggapai the good and clean governance tiba-tiba dikejutkan dengan adanya dugaan suap-menyuap dan jual beli praktek perkara yang melibatkan hampir semua aparat penegak hukum, teristimewa aparat makhamah agung.

Benteng Wong Tertindas

Lembaga peradilan sudah lama relatif tidak bisa diandalkan sebagai benteng wong tertindas, teraniaya, tersiksa, miskin/ melarat, cilik, lemah. Hal ini bisa dibuktikan di lapangan.

Ketika terjadi penyerangan sekelompok orang anti-Ahmadiyah terhadap rumah ibadah dan warga jemaat Ahmadiyah di empat kebupaten Cianjur, tak seorang pun pelaku tindakan anarkhis yang diadili atau ditindak secara hukum.

Ketika rakyat memrotes keberadaan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bojong, Jawa Barat, aparat penegak hukum tanpa pikir panjang juga tanpa pandang bulu menembaki mereka.

Tidak heran, hilangnya kepercayaan pada lembaga peradilan sebagai benteng wong tertindas mendorong Suciwati menyandarkan harapan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menegakkan keadilan atas kematian suaminya, almarhum Munir, pejuang hak asasi manusia. Kasus tersebut pun belum tuntas hingga sekarang.

Rakyat Hanya Bisa Mengigit Jari

Skeptisisme rakyat terhadap aparat penegak hukum selama ini tampaknya terjelma dalam aneka perilaku negatif mereka. Banyak rakyat terpaksa melakukan tindakan anarkhis karena benteng pengaduan mereka tidak meperhatikan nasib mereka.

Bagi sebagian rakyat yang tertindas, teraniaya dan termarjinalkan hanya bisa menggigit jari dan menerima nasib apa adanya sebagai wong cilik. Suara mereka tidak terdengar, tetapi jeritan batin mereka sesungguhnya rindu dan haus akan kebenaran dan keadilan. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Hukum sebagai tempat jaminan atas apa yang benar dan adil bukan diperuntukkan bagi mereka.

Apakah negeri ini menjadi tempat yang baik bagi mereka untuk hidup, itulah yang selalu menjadi pertanyaan dalam batin mereka. Mereka menginginkan sebuah negeri yang bisa melindungi hak-hak asasi mereka sebagai warga negara. Kelihatannya negeri ini bukan tempat baik sebagai tanah air mereka. Semestinya, seperti ungkapan lama dalam bahasa Perancis, dimana orang dapat hidup dengan baik, sebenarnya tempat itulah tanah air mereka (Où l’on est bien, là est la patrie).

Menjadi relevan apa yang pernah dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, Guru Besar Sosiologi Universitas Diponegoro tentang penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi. Ia mengkategorikan ribuan aparat hakim di negeri ini menjadi dua kategori. Kategori pertama hakim yang berpikir dengan hati nurani. Kategori kedua hakim yang bertanya dulu kepada perut baru kemudian mencari pasal-pasalnya. (Kompas, 21/09)

Lembaga peradilan kita tampaknya tidak berpihak pada the poors (kaum miskin dan lemah) melainkan pada the haves (kaum kaya dan kuat). Lembaga peradilan pada hakekatnya merupakan tempat seni menegakkan apa yang benar dan adil (le droit est l’art du bien et du juste), tampaknya seringkali melenceng lebih menjadi tempat seni mengumpulkan harta kekayaan dan penggendutan perut.

*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang,

tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger