"Cutting Culture" Uang Rakyat versus Budaya Unggul
Oleh Pormadi Simbolon
Kereta Api Gumarang jurusan Jakarta-Surabaya, Minggu (12/8), anjlok di Dusun Kramat, Desa Mangunsari, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Penyebab anjloknya kereta api tersebut adalah pemotongan rel sepanjang 5,4 meter oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Peristiwa kecelakaan itu amat memprihatinkan bagi insan-insan yang masih berakal sehat. Pemotongan rel tersebut tentu mengakibatkan celaka dan kerugian bagi publik dan teristimewa bagi pemerintah. Sarana publik dirusak tanpa motif yang jelas.
Siapa pelakunya? Mengapa melakukannya? Yang jelas pelakunya bukan aparat perkeretaapian. Pelakunya pastilah dari warga biasa. Bisa jadi motif pelaku adalah kekecewaan pada pemerintah karena penderitaan hidup yang dideritanya. Bisa jadi pula, motifnya untuk meneror aparat negara. Bisa jadi pula pelaku ikut-ikutan trend budaya memotong (istilah penulis: cutting culture) yang dilakukan sebagian aparat penyelenggara negara terhadap dana anggaran pembangunan di negara ini, yang mengakibatkan kesulitan hidup bagi warga biasa. Yang jelas, pelakunya mempraktekkan budaya memotong yang berujung pada kerugian negara, seperti perilaku sebagian pejabat negeri ini,yang melakukan pemotongan dana anggaran perbaikan kehidupan publik.
“Cutting Culture” Membudaya
Bila ditelusuri perilaku memotong tersebut menjadi cermin kebanyakan perilaku warga di republik ini, khususnya para pejabat publik. Budaya potong-memotong sudah biasa kita dengar dalam kehidupan birokrasi di negeri tercinta ini.
Ada aparat desa yang melakukan pemotongan anggaran perbaikan kampung sehingga kampung tetap tertinggal dari perkampungan lainnya. Sebagian lagi memotong anggaran pembangunan jembatan sehingga jembatannya gampang runtuh. Ada oknum apara pendidikan memotong anggaran perbaikan pembangunan gedung sekolah SD sehingga bangunannya tidak bermutu dan mudah roboh serta menelan korban.
Di tempat lain, ada lagi aparat pemerintah daerah memotong dana anggaran pembangunan provinsi untuk keperluan istri dan anaknya. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan warga masyarakatnya, disalahgunakan untuk mencicil rumah anaknya, untuk membeli handphone istrinya, untuk membayar kredit mobil anak, dan untuk berekreasi ke Bali. Rakyatnya kelaparan, sementara ia dan keluarganya hidup mewah. Rakyat menangis, ia tertawa menikmati duit negara yang dikumpulkan dari rakyat..
Budaya memotong itu terjadi hampir di semua sektor pelayanan publik, seperti yang pernah terjadi di Balai Kota Jakarta pra-Pilkada yang lalu. Ketika hendak mencairkan dana alokasi umum (DAU), seorang petugas menghadapi pemotongan di setiap proses pencairan. Ujung-ujungnya jumlah anggaran bisa menciut menjadi 40% dari jumlah anggaran yang ada.
Belum lama ini pula, hal pemotongan terjadi pada dana alokasi biaya operasional sekolah (BOS) di lingkungan pendidikan dan bantuan langsung tunai (BLT) dalam rangka penanggulangan kemiskinan.
Budaya memotong sudah mengakar dalam budaya bangsa ini. Bila ditelisik di semua lingkup birokrasi baik pemerintah maupun swasta, budaya memotong lebih unggul dan lebih hebat. Budaya memotong terjadi mulai dari aparat negara dari level bawah hingga level atas. Kalau negara lain seperti India dan Cina memiliki keunggulan di bidang pembangunan teknologi dan ekonomi, maka Indonesia terkenal sebagai bangsa yang berbudaya unggul dalam hal memotong (cutting culture).
Budaya Unggul
Sebanarnya secara individu, kepintaran dan kompetensi manusia Indonesia dengan manusia Cina dan India tidak kalah. Ada beberapa individu dari siswa-siswi dari warga bangsa ini berhasil mengalahkan siswa-siswa sederajat dari mancanegara dalam ajang olimpiade internasional bidang matematika dan fisika. Tetapi secara global, mengapa negara India dan China bisa lebih unggul di berbagai bidang?
Perjalanan peradaban Indonesia mengalami stagnasi. Indonesia dipandang tidak unggul di berbagai bidang sebagai akibat dari mental serakah alias budaya memotong para elit politik dari kebanyakan pemimpinnya yang menetes kepada warganya. Faktor utama penghambatnya adalah budaya memotong alias rakus alias mementingkan ego diri dan keluarganya dan mengabaikan raison d’être-nya menjadi aparat negara atau pejabat publik. Faktor lainnya adalah akibat dari budaya memotong tersebut, kepintaran dan kompetensi sebagian warga bangsa ini tergerogoti dan ternafikan. Kerja keras dan kreativitas tersingkirkan oleh budaya korupsi. Proyek pembangunan gedung sekolah, perbaikan kampung, perbaikan jembatan tidak menghasilkan mutu yang diharapkan karena adanya budaya memotong tadi.
Sudah saatnya kita mempersiapkan budaya unggul dengan memulainya dari lingkungan keluarga kita. Budaya unggul adalah budaya elegan, budaya menang, budaya kuat, pandai dan awet terhadap bangsa lain. Budaya unggul mengedepankan sportifitas dan profesionalitas. Kita mempunyai mimpi dan nyali besar untuk menjadi lima besar negara maju di tahun 2030 (the big five). Itulah visi Indonesia tahun 2030. Untuk menwujudkan Indonesia menjadi negara unggul tersebut, maka pemerintah dan masyarakat wajib membangun dan memacu budaya unggul.
Untuk mencapai hal itu, lembaga keluarga dan pemerintah harus bekerja secara sinergis dalam memacu budaya unggul. Dari lingkup lembaga keluarga, pertama, anak-anak harus beri konsumsi gizi yang bagus untuk mengembangkan jaringan syaraf mereka. Kedua, anak-anak harus diberi stimulans (pemacu/ perangsang) agar dapat berpikir aktif dan kreatif. Ketiga, budaya jujur dan adil sudah harus ditanamkan dari lingkungan keluarga. Keempat, anak-anak harus diajak bermimpi dan bernyali besar. Orang tua harus menjadi teladan dalam hal menanamkan budaya jujur, adil dan sportif.
Dari sisi lembaga pemerintah, pertama, pemerintah harus memperbaiki birokrasi yang kerap melakukan budaya cutting dengan memperbaiki kesejahteraan aparatnya, kedua, pemerintah harus menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dalam rangka memacu budaya unggul.
Budaya cutting alias budaya yang suka memotong harus dipotong alias diberantas. Semua warga ini hendaknya memacu dan memilih budaya unggul, budaya elegan, budaya menang dalam menggapai tujuan bersama. Budaya memotong adalah budaya pecundang (loser).
* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta
Trima kasih mengunjungi blog kami!
Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Kamis, Agustus 30, 2007
"Cutting Culture" Uang Rakyat versus Budaya Unggul
Label:
agama,
berita,
budaya unggul,
integritas diri,
korupsi,
opini,
politik
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”
POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”
Oleh Pormadi Simbolon
Kecelakaan dan musibah yang terjadi di negeri ini memiliki unsur kesengajaan orang yang tidak bertanggung jawab. Diantaranya, rel kereta api (KA) yang digergaji, pasar yang berturut-turut terbakar di berbagai daerah, seperti Pasar Turi di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Palasari di Jawa Barat dan Pasar Ungaran di Jawa Tengah.
Mendengar hal itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung turun tangan. SBY memerintahkan Kepala Polri dan jajarannya menyelidiki seberapa jauh ada unsur kesengajaan. Setelah melakukan penyelidikan intensif, Kepala Polri melaporkan unsur kesengajaan itu ada. Presiden pun memerintahkan agar hal itu diusut tuntas.
Tindakan sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar tersebut menyangkut kehidupan rakyat banyak. Korban yang paling menderita adalah rakyat jelata, pedagang kecil dan kelompok masyarakat menengah. Jika benar, sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar itu disengaja, maka tindakan tersebut merupakan politik jahat alias tidak bermoral dalam sistem tata hidup bersama di negeri ini.
Sebut saja, Asri (42), pemilik Toko Buku Lestari di Pasar Palasari, mengalami kerugian sampai ratusan juta rupiah. Toko Buku Lestari merupakan sumber nafkah keluarga Asri. Dia menjadi bingung memikirkan biaya hidup keluarganya. Apalagi ia masih berutang kepada bank yang harus dicicil Rp 2,5 juta per bulan.
Di tengah penderitaan orang banyak dan situasi ketidakamanan seperti itu, para elit politik baik di pusat maupun di daerah sebagai aparatur negara dituntut untuk bertanggung jawab. Tugas merekalah untuk mewujudkan keadilan, keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Pelaku sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar yang secara sengaja dengan alasan dan tujuan apapun itu telah mempraktikkan politik tidak bermoral.
Politik Tidak Bermoral
Ada indikasi bahwa pelaku praktek cara pembakaran dan bumi hangus kerapkali diterapkan penguasa untuk tujuan menertibkan hunian liar dan pedagang kaki lima, membangun pasar modern atau kepentingan konglomerat. Seorang Kepala Sudin Tramtib Jakarta Utara,Toni Budiono, (Kompas,2/11/2001) mengaku menggunakan cara pembakaran atau bumi hangus untuk “menertibkan” hunian liar.
Penguasa seringkali melakukan pelarangan yang ditujukan kepada masyarakat bawah, namun tidak pernah memberikan perlindungan. Tindakan penggusuran dan pembakaran oleh oknum aparat tidak disertai dengan solusi yang melindungi dan menjamin keselamatan rakyat. Praktek pelarangan kepada rakyat tidak dibarengi dengan penindakan dan penangkapan terhadap aparat pemerintah yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Praktek politik pembakaran dan bumi hangus semakin menggejala dalam tata hidup bersama di daerah pasca desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No 22/1999. Penguasa otonomi daerah memiliki wewenang yang lebih luas. Penyalahgunaan wewenang pun bisa terjadi jika kekuasaan tanpa moralitas dan tanpa disertai dengan tanggung jawab atas amanat kepenguasaan yang dimilikinya.
Padahal tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis, mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran serta meningkatkan kapasitas publik. Keselamatan rakyat di daerah banyak merupakan tujuan inti otonomi daerah, bukannya untuk kepentingan penguasa, pengusaha dan sekelompok orang saja.
Kedudukan Pemda-Pemda pasca otonomi, bukanlah raja-raja kecil yang merasa memiliki kekuasaan mutlak di daerahnya. Ia tidak mengatasi hukum. Jika para penguasa merasa diri sebagai penguasa mutlak dan kebal terhadap hukum, maka terjadilah praktik politik pembakaran dan bumi hangus di daerahnya. Inilah yang disebut politik tanpa moralitas dan tanpa tanggung jawab.
“Demokrasi Tanggung Jawab”
Bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk membela dan menghidupi demokrasi. Pemerintahan atau pengelolaan kekuasaan harus didasarkan pada elemen-elemen dasar demokrasi dengan penekanan pada karakter personal tanggung jawab, baik tanggung jawab secara moral maupun secara hukum. Barangkali inilah yang dikatakan demokrasi tanggung jawab.
Politik Pemda dalam menata hidup bersama seyogiyanya dijalankan dengan memperhatikan tanggung jawab moral. Soal politik adalah soal tata hidup bersama. Soal moral adalah soal baik dan tidak baiknya suatu hal. Politik dan moral mempunyai hubungan langsung dan konkret. Politik harus dijalankan dengan memperhatikan baik-tidaknya sebuah kebijakan bagi keselamatan rakyat banyak. Hubungan tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan pada kekuasaan atau pada pribadi pemegang kekuasannya, melainkan pada hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial adalah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya.
Kebaikan, keadilan dan keselamatan rakyat banyak menjadi pusat segala hukum yang adil. Hukum yang adil menjadi hukum tertinggi. Kekuasaan seorang pemimpin di daerah entah yang sudah diperoleh melalui Pilkada langsung maupun tidak, berasal dari, oleh dan untuk rakyat banyak, terlebih rakyat kecil dan menengah dengan harapan keamanan dan keselamatan hidup harian mereka. Oleh sebab itu seorang pemerintah dan aparatnya seyogiyanya mengedepankan keamanan dan kesejahteraan orang rakyatnya, bukan malah mempraktekkan politik pembakaran dan bumi hangus yang menyebabkan kebanyakan rakyat semakin menderita.
Penguasa yang menggunakan politik pembakaran dan bumi hangus dalam pemerintahannya adalah penguasa yang tidak bermoral dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rakyatnya.
*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Oleh Pormadi Simbolon
Kecelakaan dan musibah yang terjadi di negeri ini memiliki unsur kesengajaan orang yang tidak bertanggung jawab. Diantaranya, rel kereta api (KA) yang digergaji, pasar yang berturut-turut terbakar di berbagai daerah, seperti Pasar Turi di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Palasari di Jawa Barat dan Pasar Ungaran di Jawa Tengah.
Mendengar hal itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung turun tangan. SBY memerintahkan Kepala Polri dan jajarannya menyelidiki seberapa jauh ada unsur kesengajaan. Setelah melakukan penyelidikan intensif, Kepala Polri melaporkan unsur kesengajaan itu ada. Presiden pun memerintahkan agar hal itu diusut tuntas.
Tindakan sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar tersebut menyangkut kehidupan rakyat banyak. Korban yang paling menderita adalah rakyat jelata, pedagang kecil dan kelompok masyarakat menengah. Jika benar, sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar itu disengaja, maka tindakan tersebut merupakan politik jahat alias tidak bermoral dalam sistem tata hidup bersama di negeri ini.
Sebut saja, Asri (42), pemilik Toko Buku Lestari di Pasar Palasari, mengalami kerugian sampai ratusan juta rupiah. Toko Buku Lestari merupakan sumber nafkah keluarga Asri. Dia menjadi bingung memikirkan biaya hidup keluarganya. Apalagi ia masih berutang kepada bank yang harus dicicil Rp 2,5 juta per bulan.
Di tengah penderitaan orang banyak dan situasi ketidakamanan seperti itu, para elit politik baik di pusat maupun di daerah sebagai aparatur negara dituntut untuk bertanggung jawab. Tugas merekalah untuk mewujudkan keadilan, keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Pelaku sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar yang secara sengaja dengan alasan dan tujuan apapun itu telah mempraktikkan politik tidak bermoral.
Politik Tidak Bermoral
Ada indikasi bahwa pelaku praktek cara pembakaran dan bumi hangus kerapkali diterapkan penguasa untuk tujuan menertibkan hunian liar dan pedagang kaki lima, membangun pasar modern atau kepentingan konglomerat. Seorang Kepala Sudin Tramtib Jakarta Utara,Toni Budiono, (Kompas,2/11/2001) mengaku menggunakan cara pembakaran atau bumi hangus untuk “menertibkan” hunian liar.
Penguasa seringkali melakukan pelarangan yang ditujukan kepada masyarakat bawah, namun tidak pernah memberikan perlindungan. Tindakan penggusuran dan pembakaran oleh oknum aparat tidak disertai dengan solusi yang melindungi dan menjamin keselamatan rakyat. Praktek pelarangan kepada rakyat tidak dibarengi dengan penindakan dan penangkapan terhadap aparat pemerintah yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Praktek politik pembakaran dan bumi hangus semakin menggejala dalam tata hidup bersama di daerah pasca desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No 22/1999. Penguasa otonomi daerah memiliki wewenang yang lebih luas. Penyalahgunaan wewenang pun bisa terjadi jika kekuasaan tanpa moralitas dan tanpa disertai dengan tanggung jawab atas amanat kepenguasaan yang dimilikinya.
Padahal tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis, mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran serta meningkatkan kapasitas publik. Keselamatan rakyat di daerah banyak merupakan tujuan inti otonomi daerah, bukannya untuk kepentingan penguasa, pengusaha dan sekelompok orang saja.
Kedudukan Pemda-Pemda pasca otonomi, bukanlah raja-raja kecil yang merasa memiliki kekuasaan mutlak di daerahnya. Ia tidak mengatasi hukum. Jika para penguasa merasa diri sebagai penguasa mutlak dan kebal terhadap hukum, maka terjadilah praktik politik pembakaran dan bumi hangus di daerahnya. Inilah yang disebut politik tanpa moralitas dan tanpa tanggung jawab.
“Demokrasi Tanggung Jawab”
Bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk membela dan menghidupi demokrasi. Pemerintahan atau pengelolaan kekuasaan harus didasarkan pada elemen-elemen dasar demokrasi dengan penekanan pada karakter personal tanggung jawab, baik tanggung jawab secara moral maupun secara hukum. Barangkali inilah yang dikatakan demokrasi tanggung jawab.
Politik Pemda dalam menata hidup bersama seyogiyanya dijalankan dengan memperhatikan tanggung jawab moral. Soal politik adalah soal tata hidup bersama. Soal moral adalah soal baik dan tidak baiknya suatu hal. Politik dan moral mempunyai hubungan langsung dan konkret. Politik harus dijalankan dengan memperhatikan baik-tidaknya sebuah kebijakan bagi keselamatan rakyat banyak. Hubungan tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan pada kekuasaan atau pada pribadi pemegang kekuasannya, melainkan pada hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial adalah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya.
Kebaikan, keadilan dan keselamatan rakyat banyak menjadi pusat segala hukum yang adil. Hukum yang adil menjadi hukum tertinggi. Kekuasaan seorang pemimpin di daerah entah yang sudah diperoleh melalui Pilkada langsung maupun tidak, berasal dari, oleh dan untuk rakyat banyak, terlebih rakyat kecil dan menengah dengan harapan keamanan dan keselamatan hidup harian mereka. Oleh sebab itu seorang pemerintah dan aparatnya seyogiyanya mengedepankan keamanan dan kesejahteraan orang rakyatnya, bukan malah mempraktekkan politik pembakaran dan bumi hangus yang menyebabkan kebanyakan rakyat semakin menderita.
Penguasa yang menggunakan politik pembakaran dan bumi hangus dalam pemerintahannya adalah penguasa yang tidak bermoral dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rakyatnya.
*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Langganan:
Postingan (Atom)