Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Agustus 30, 2007

POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”

POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”

Oleh Pormadi Simbolon

Kecelakaan dan musibah yang terjadi di negeri ini memiliki unsur kesengajaan orang yang tidak bertanggung jawab. Diantaranya, rel kereta api (KA) yang digergaji, pasar yang berturut-turut terbakar di berbagai daerah, seperti Pasar Turi di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Palasari di Jawa Barat dan Pasar Ungaran di Jawa Tengah.
Mendengar hal itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung turun tangan. SBY memerintahkan Kepala Polri dan jajarannya menyelidiki seberapa jauh ada unsur kesengajaan. Setelah melakukan penyelidikan intensif, Kepala Polri melaporkan unsur kesengajaan itu ada. Presiden pun memerintahkan agar hal itu diusut tuntas.


Tindakan sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar tersebut menyangkut kehidupan rakyat banyak. Korban yang paling menderita adalah rakyat jelata, pedagang kecil dan kelompok masyarakat menengah. Jika benar, sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar itu disengaja, maka tindakan tersebut merupakan politik jahat alias tidak bermoral dalam sistem tata hidup bersama di negeri ini.


Sebut saja, Asri (42), pemilik Toko Buku Lestari di Pasar Palasari, mengalami kerugian sampai ratusan juta rupiah. Toko Buku Lestari merupakan sumber nafkah keluarga Asri. Dia menjadi bingung memikirkan biaya hidup keluarganya. Apalagi ia masih berutang kepada bank yang harus dicicil Rp 2,5 juta per bulan.


Di tengah penderitaan orang banyak dan situasi ketidakamanan seperti itu, para elit politik baik di pusat maupun di daerah sebagai aparatur negara dituntut untuk bertanggung jawab. Tugas merekalah untuk mewujudkan keadilan, keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Pelaku sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar yang secara sengaja dengan alasan dan tujuan apapun itu telah mempraktikkan politik tidak bermoral.


Politik Tidak Bermoral


Ada indikasi bahwa pelaku praktek cara pembakaran dan bumi hangus kerapkali diterapkan penguasa untuk tujuan menertibkan hunian liar dan pedagang kaki lima, membangun pasar modern atau kepentingan konglomerat. Seorang Kepala Sudin Tramtib Jakarta Utara,Toni Budiono, (Kompas,2/11/2001) mengaku menggunakan cara pembakaran atau bumi hangus untuk “menertibkan” hunian liar.


Penguasa seringkali melakukan pelarangan yang ditujukan kepada masyarakat bawah, namun tidak pernah memberikan perlindungan. Tindakan penggusuran dan pembakaran oleh oknum aparat tidak disertai dengan solusi yang melindungi dan menjamin keselamatan rakyat. Praktek pelarangan kepada rakyat tidak dibarengi dengan penindakan dan penangkapan terhadap aparat pemerintah yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.


Praktek politik pembakaran dan bumi hangus semakin menggejala dalam tata hidup bersama di daerah pasca desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No 22/1999. Penguasa otonomi daerah memiliki wewenang yang lebih luas. Penyalahgunaan wewenang pun bisa terjadi jika kekuasaan tanpa moralitas dan tanpa disertai dengan tanggung jawab atas amanat kepenguasaan yang dimilikinya.


Padahal tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis, mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran serta meningkatkan kapasitas publik. Keselamatan rakyat di daerah banyak merupakan tujuan inti otonomi daerah, bukannya untuk kepentingan penguasa, pengusaha dan sekelompok orang saja.


Kedudukan Pemda-Pemda pasca otonomi, bukanlah raja-raja kecil yang merasa memiliki kekuasaan mutlak di daerahnya. Ia tidak mengatasi hukum. Jika para penguasa merasa diri sebagai penguasa mutlak dan kebal terhadap hukum, maka terjadilah praktik politik pembakaran dan bumi hangus di daerahnya. Inilah yang disebut politik tanpa moralitas dan tanpa tanggung jawab.



“Demokrasi Tanggung Jawab”


Bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk membela dan menghidupi demokrasi. Pemerintahan atau pengelolaan kekuasaan harus didasarkan pada elemen-elemen dasar demokrasi dengan penekanan pada karakter personal tanggung jawab, baik tanggung jawab secara moral maupun secara hukum. Barangkali inilah yang dikatakan demokrasi tanggung jawab.


Politik Pemda dalam menata hidup bersama seyogiyanya dijalankan dengan memperhatikan tanggung jawab moral. Soal politik adalah soal tata hidup bersama. Soal moral adalah soal baik dan tidak baiknya suatu hal. Politik dan moral mempunyai hubungan langsung dan konkret. Politik harus dijalankan dengan memperhatikan baik-tidaknya sebuah kebijakan bagi keselamatan rakyat banyak. Hubungan tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan pada kekuasaan atau pada pribadi pemegang kekuasannya, melainkan pada hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial adalah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya.


Kebaikan, keadilan dan keselamatan rakyat banyak menjadi pusat segala hukum yang adil. Hukum yang adil menjadi hukum tertinggi. Kekuasaan seorang pemimpin di daerah entah yang sudah diperoleh melalui Pilkada langsung maupun tidak, berasal dari, oleh dan untuk rakyat banyak, terlebih rakyat kecil dan menengah dengan harapan keamanan dan keselamatan hidup harian mereka. Oleh sebab itu seorang pemerintah dan aparatnya seyogiyanya mengedepankan keamanan dan kesejahteraan orang rakyatnya, bukan malah mempraktekkan politik pembakaran dan bumi hangus yang menyebabkan kebanyakan rakyat semakin menderita.


Penguasa yang menggunakan politik pembakaran dan bumi hangus dalam pemerintahannya adalah penguasa yang tidak bermoral dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rakyatnya.


*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger