Foto: amazon.com |
Analisis Film “Hotel Rwanda” (2004)[1]
(Perspektif
Filsafat Emmanuel Levinas)
I.
Pendahuluan
Pada akhir abad keduapuluh, tepatnya tahun 1994 terjadi
peristiwa pembersihan
etnis atau genosida yang dilakukan suku Hutu terhadap suku
Tutsi di Rwanda, sebuah negara di Afrika Tengah. Peristiwa tersebut diangkat ke
dalam layar lebar melalui sebuah berjudul Hotel Rwanda (2004). Kisah pembantaian manusia tersebut disinyalir
merupakan pembersihan etnis terburuk sesudah
berakhirnya Perang Dunia Kedua yang masih banyak dipengaruhi pemikiran modernisme.
Dalam konteks refleksi filsafat, pertanyaan dasarnya adalah mengapa
sampai terjadi kekejaman seperti itu? Apakah peristiwa
tersebut merupakan produk pemikiran modern, termasuk filsafat
Barat? Pemikiran modern atau filsafat Barat menampilkan
pengagungan narasi kekuatan akal budi, totalisasi, dan kebebasan, sehingga
terjadi pengkotak-kotakan antar manusia, stigmatisasi/tematisasi buruk atas suku
lain (sebutan kecoa), terjadi penguasaan atas orang yang berbeda dan memasukkanya ke dalam yang sama
dengan kelompok manusia pelaku yang lebih kuat. Hal inilah yang dikritik
Emanuel Levinas (1905-1995) dalam
pemikiran filsafatnya, yaitu mengecam pemikiran filsafat Barat dan lalu menawarkan
sebuah pemikiran yang etis mengenai relasi antar manusia secara konkrit.
Relasi manusia harus didasarkan pada
relasi yang etis, yaitu bahwa manusia yang satu (the I
)
berhubungan dengan manusia lain yang konkrit dan bertanggung
jawab terhadap manusia lain (the Other)
karena dalam wajah yang lain ada jejak yang tak terbatas.
Dalam paper ini akan diuraikan
analisis film Hotel Rwanda (bagian pengantar, bagian
inti dan penutup Film) dalam perspektif pemikiran filsafat
Emanuel Levinas dan diakhiri dengan catatan serta tanggapan penutup.
Kata kunci: fenomenologi, Emanuel Levinas, wajah, film
hotel Rwanda, relasi etis,
II.
Analisis Film “Hotel Rwanda” Perspektif Levinas
1.
Hotel Rwanda
Film Hotel Rwanda merupakan kisah nyata yang terjadi di
negara Republik Rwanda[2], dan
dan diabadikan menjadi kisah dalam layar lebar. Film ini diproduksi tahun 2004
disutradarai oleh Terry George dan diproduseri oleh Terry George bersama A.
Kitman Ho. Naskah film ini ditulis oleh Terry George dan Keir Pearson.
Secara garis besar film ini berisi kisah perseteruan suku
Hutu dan Tutsi yang menyebabkan perang saudara terjadi di Rwanda sejak
kemerdekaannya dari Belgia dan dibubarkanya pemerintahan monarki yang dipimpin
raja dari Tutsi. Situasi politik makin memburuk pasca pembunuhan Presiden
Rwanda Juvenal Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu pada 7 April 1994,
gejolak itu memuncak dalam genosida. Pasukan penjaga perdamaian Perserikatan
Bangsa-Bangsa gagal melakukan misi menjaga perdamaian sehingga korban tewas yang
mayoritas berasal dari suku minoritas yaitu Tutsi dan Twa diperkirakan mencapai
800.000 sampai dengan satu juta orang. Film ini berakhir dengan dengan
keselamatan tokoh pemeran utama, Paul Rusesabagina (diperankan oleh Don
Cheadle) dan keluarga beserta 1.268 pengungsi Rwanda di Hotel des Mille
Collines dan
berhasil mengungsi ke tempat aman.
2.
Pandangan Umum Film Hotel Rwanda dalam Filsafat Emanuel
Levinas
Dalam perspektif filsafat Levinas, kisah
film ini memperlihatkan fenomena kekejaman manusia dan tindakan genosida sebagai bencana kemanusiaan
serta fenomena destruktif yang menimpa
manusia dalam hal ini di Rwanda, sama
seperti dua Perang Dunia, holocaust, dan bom Hiroshima pada awal abad keduapuluh.
Dalam kisah ini, hubungan antara manusia dengan manusia lain ditandai dengan
sebuah relasi penundukan segala sesuatu yang bersifat lain (other) atau asing (foreign atau strange) demi
kepentingan sekelompok manusia lain. Orang lain harus ditundukkan demi sebuah
hasrat manusia untuk menguasai yang lain. Relasi yang etis yaitu relasi antar
subyek dengan subyek, dilandasi sensibilitas subyek
yang menerima subyek lain (the
other) dengan segala keberlainannya dan kediriannya. Namun dalam
perseteruan Hutu dan Tutsi, relasi yang etis antar manusia menjadi hilang, yang
ada adalah pendominasian dan penginkorporasian Yang-Lain (the Other) ke dalam diri yang sama (the Same) demi kepentingan politik pelaku atau
rasa kebencian semata.
3.
Analisis Film Hotel Rwanda dalam Perspektif Filsafat Levinas
A.
Pengantar Film
Pada cuplikan pengantar Film Rwanda (menit: 00:32), sejumlah pernyataan disiarkan melalui
Radio Hutu (RTLM). Pernyataan tersebut menampilkan fenomena kesadaran manusia
tentang adanya hubungan subyek-obyek, stigmatisasi/tematisasi buruk atas suku
lain (sebutan kecoa), pengkotak-kotakan dan kebencian antar manusia berdasarkan
etnis dan jumlah penduduk, sehingga muncul gagasan bahwa Suku
Hutulah suku mayoritas dan pemilik pulau Rwanda, sementara suku lainnya,
seperti Tutsi adalah kelompok lain, yang bersekutu dengan penjajah Belgia. Cuplikan tersebut adalah
sebagai berikut:
“Ketika orang
bertanya kepadaku, pendengar baik, kenapa aku membenci semua Tutsi. Aku
berkata: Baca Sejarah kami. Tutsi bekerja sama dengan kolonisasi Belgia.
Mencuri pulau Hutu kami. Mereka mencuri pulu Hutu kami, sekarang mereka
kembali, Pemberontak Tutsi ini. Mereka adalah kecoa. Mereka adalah
pembunuh.Rwanda adalah pulau Hutu kami. Kami adalah mayoritas. Mereka adalah
minoritas pemberontak dan penjajah. Kami akan menghentikannya dan kami akan
menghancurkan pemberontak RPF. Ini adalah RTLM,
radio Power Hutu. Tetap berhati-hati. Awasi tetanggamu (adegan: 00:32),
Dalam konteks filsafat Levinas,
pernyataan pangantar dalam radio tersebut merupakan sebuah fenomena kesadaran
manusia yang dapat dianalisis melalui metode fenomenologi. Filsafat Levinas
merupakan aliran filsafat dengan metode fenomenologi[3]. Metode
fenomenologi merupakan sebuah cara baru dalam berfilsafat. Aliran filsafat ini
berusaha mengangkat dan menyelidiki hakekat sedalam-dalamnya hakekat fenomena
dalam arti luas, yakni semua hal yang menampakkan diri dalam kesadaran manusia
yang mengalaminya. Yang menjadi obyek penyelidikan fenomenologi adalah
kesadaran manusia (human consciousness) dengan
semua obyek yang ada di dalamnya baik bersifat fisik (pohon, manusia, dan
lain-lain), mental (seperti imaji mengenai orang, tempat) atau ingatan. Dalam
menyelidiki fenomena tersebut, fenomenologi mencoba menghindari berbagai macam
pengandaian dan prasangka yang sudah lama tertanam dalam tradisi budaya, agama,
ilmu pengetahuan, dan juga dalam pandangan hidup sehari-hari yang berkaitan
dengan fenomen tersebut, sehingga yang ada adalah fenomena menampilkan diri apa
adanya.
Levinas dalam filsafatnya, banyak
dipengaruhi oleh metode fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) dan Martin
Heidegger (1889-1976). Pendekatan fenomenologi digunakan Levinas tidak hanya
dalam menganalisis fenomena kecil seperti makan dan tidur, melainkan juga
fenomena besar seperti kehidupan itu sendiri.
Soal menganalisis kehidupan itu sendiri
sudah dimulai Husserl sendiri. Bedanya, dalam pandangan Levinas, kehidupan yang
ditelaah gurunya, Husserl, bukanlah sesuatu yang hidup. “Bagi Husserl, intuisi filosofis merupakan refleksi atas kehidupan yang
ditelaah dalam segala kepenuhan dan kekayaan konkretnya, sebuah kehidupan yang
ditelaah namun tidak lagi dihidupi. Refleksi atas kehidupan dipisahkan dari
kehidupan itu sendiri, ….”[4].
Dalam pandangan Husserl, obyek-obyek kenikmatan, kehendak, dan sebagainya harus
direpresentasikan atau dicerna dahulu oleh akal budi kita sebelum sungguh dapat
dinikmati atau diinginkan[5].
Itu berarti, analisis Husserl masih terlalu intelektual dan tidak konkrit.
Dalam hal ini, Levinas memuji Heidegger karena filsuf Jerman ini berhasil
mengatasi “intelektualisme klasik” Husserl: memahami sebuah alat tidak lagi
berarti sekedar memandangnya, melainkan mengetahui bagaimana menggunakannya[6].
Levinas juga melihat bahwa teori
intensionalitas sebagaimana dipahami oleh Husserl hanyalah mengungkapkan
sebagian realitas kehidupan. Perhatian Husserl adalah segala sesuatu yang
menampakkan diri pada kesadaran kita dan menjadi perhatian kesadaran kita.
Intensionalitas berarti kesadaran manusia selalu mengarah pada obyek tertentu,
keterarahan kesadaran pada obyek yang ingin diketahui sekaligus kesadaran
kitalah yang memberikan makna kepada obyek yang kita lihat dan analisis. Ada
semacam keselarasan yang sudah terbangun sebelumnya antara pemikiran (thought) dan Ada (Being), mengingat semua hal yang ada, termasuk bumi, tubuh kita,
dan benda-benda di sekitar kita, memberikan diri mereka kepada pemikiran untuk
dipahami[7]
Asumsi keselarasan antara pemikiran dan
Ada itulah yang mendasari definisi klasik kebenaran (truth) sebagai penyamaan atau korespondensi antara hal yang ada dan
hal yang dipikirkan (adaequatio rei et
intellectus). Dalam idealisme transendensi Husserl, kesadaran manusialah
yang menjadi tolok ukur segalanya. “Penampakan sebuah obyek, representasi,
selalu selaras dengan kesadaran. Yang terjadi adalah penyamaan antara ego
dengan non-ego, Yang-Sama (the Same)
dan Yang-Lain (the Other). Begitu
direpresentasikan, Yang-Lain pun menjadi setara dengan Yang-Sama…Kesadaran akan
selalu menjadi sumber makna, …. Apa yang melampaui batas-batas kesadaran sama
sekali tidak berarti apa-apa bagi
kesadaran tersebut”[8]
Pandangan idealisme
transendental Hussel ini membawa Levinas pada kesimpulan bahwa dalam filsafat semacam itu, kesadaran
manusia pada akhirnya akan menundukkan segala sesuatu yang bersifat lain (other) atau asing (foreign atau strange).
Menurut Levinas, klaim Husserl mengenai kemutlakan kesadaran manusia merupakan
puncak dari kecenderungan utama tradisi filsafat Barat sejak Plato, untuk
menguasai segala sesuatu dalam pemikiran.
Filsafat Barat pada dasarnya merupakan
sebuah ontologi, yakni usaha untuk memahami Ada (the Being) apa yang ada atau pengada-pengada. Hal itu dilakukan
melalui proyek untuk memiliki obyek dalam aktivitas kerja, seperti gerakan
tangan yang mencengkeram (prend) dan
memahami (comprend) pengada-pengada
agar dapat menguasainya. Dengan demikian, filsafat Barat telah mereduksi
alteritas atau keberlainan pengada-pengada kepada pemahaman atas Ada (Being). Ontologi seperti ini pada
hakekatanya merupakan gerakan menuju diri sendiri, dan ini bukanlah
transendensi[9].
Terkait makna Ada, menurut Levinas,
sebagaimana ditelaah oleh Heidegger dalam bukunya Being and Time sudah mengandaikan pemahaman atas Ada yang tidak
mengakui alteritas Yang-Lain[10].
Klaim keselarasan antara kesadaran terhadap diri dan kesadaran terhadap keseluruhan,
atau pemahaman atas Ada melalui pengada-pengada inilah yang dipertanyakan oleh
Levinas dalam apa yang disebutnya ‘etika’, yakni dalam pertemuan konkrit dengan
orang lain. Dalam pertemuan dengan orang lain, ada keterbatasan akal budi
manusia dalam memahami realitas orang lain yang dihadapi. Dalam konteks ini,
Levinas mengajukan pertanyaan: “Apakah pemikiran mendapatkan maknanya hanya
lewat kesadaran terhadap dunia? Bukankah
surplus potensial dari dunia sendiri, lebih dan melampaui segala bentuk kehadiran, mestinya dicari dalam masa
lalu yang tidak dapat diingat lagi (immemorial
past)?[11]
Pertanyaan atas realitas ini menjadi salah satu pemikiran filsafatnya yang
penting, yaitu soal relasi yang etis.
Dalam pemikiran Levinas, relasi yang
etis adalah pertemuan konkrit antara sebuah subyek dan Yang-Lain yang ada di
luar dirinya, termasuk orang lain. Dalam pertemuan sederhana seperti ini sudah
terdapat ruang etis dimana sang subyek dituntut memberikan tanggapan terhadap
kehadiran Yang-Lain, seberapa jauh subyek menghargai keunikan dan keberlainan
Yang Lain serta bersedia dipertanyakan olehnya akan menentukan seberapa etis
relasi yang terbentuk. Relasi menjadi tidak etis, ketika ada kecenderungan
manusia untuk mendominasi dan menginkorporasikan segala sesuatu ke dalam
pemikirannya sendiri.
Kembali
ke pengantar film Hotel Rwanda, fenomena perseteruan suku Hutu dan Tutsi
merupakan ketiadaan relasi yang etis, dimana antara Suku Hutu dan Tutsi
memiliki kecenderungan untuk mendominasi
dan saling menginkorporasikan. Kedua suku, baik Hutu dan Tutsi cenderung mau
menguasai yang lain demi sebuah kepentingan diri sendiri atau kelompok, bukan demi
relasi
yang saling menerima keberlainan dan kedirian orang lain yang unik.
B.
Bagian Inti Film: Kisah Genosida di Rwanda
Dalam pandangan Levinas, manusia atau the I adalah subyektivitas yang memiliki
sensibilitas dan tanggung jawab terhadap
manusia yang lain (the other). Dalam
film ini, subyektivitas yang mewakili
pandangan Levinas adalah Paul Rusesabagina, tokoh utama dalam film,
yang berasal dari etnis Hutu. Paul menikah dengan dengan perempuan yang berasal
dati suku Tutsi. Di tengah perseteruan suku Hutu dan Tutsi bergejolak, tapi
Paul yang beretnis Hutu, terusik dan terpanggil untuk bertanggung jawab atas
istrinya, Tatiana beretnis Tutsi, yang berbeda suku dengan dirinya, dan
pengungsi yang datang ke hotelnya. Paul melihat dan menerima keberadaan istrinya
dan semua pengungsi yang datang ke hotelnya sebagai manusia (the other) dengan segala keberlainan dan kediriannya.
Perseteruan Suku Hutu dan Tutsi
menyebabkan kebencian dan perang di antara warga Rwanda. Budaya korupsi dan
suap menyuap di kalangan pejabat merupakan hal lumrah, termasuk apa yang
dilakukan Paul demi menyelematkan keluarganya dan
orang lain. Paul Rusesabagina, manajer Sabena dan pemilik Hotel des Mille dan
Collines adalah seorang Hutu, dan istrinya, Tatiana (diperankan Sophie Okonedo)
adalah seorang Tutsi. Pernikahan berbeda suku tersebut merupakan
salah satu sumber perselisihannya dengan ektrimis Hutu, terutama Geroges
Rutaganda (diperankan Hakeem Kar-Kazim). Georges Rutaganda merupakan pemasok
barang langganan ke hotel tempat Paul bekerja, dan juga seorang pemimpin lokal
Interhamwe, sebuah milisi anti-Tutsi yang brutal.
Saat situasi
politik kian memburuk yang diikuti pembunuhan Presiden Rwanda Juvenal
Habyarimana dan Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira (adegan: 19:17). Paul dan keluarganya melihat tetangganya satu per
satu dibunuh dengan keji sebagai tahap awal genosida. Paul kemudian membujuk
pihak-pihak yang berpengaruh, menyuap mereka dengan uang dan minuman alkohol
dan berusaha membuat keluarganya tetap aman. Ketika perang saudara terjadi dan
seorang tentara Angkatan Darat Rwanda datang mengancam Paul dan tetangganya,
Paul langsung bernegosiasi hingga bisa mengungsikan semua orang yang bersamanya
ke hotel tempat ia bekerja (adegan: 23:
39 s.d. 30:15). Banyak pengungsi yang datang ke hotel dari Kamp PBB,
pengungsi kiriman palang merah dan anak-anak yatim piatu. Ketika situasinya
makin ganas, Paul harus mengalihkan tentara Hutu, merawat para pengungsi,
menjadi sumber kekuatan bagi keluarganya dan menjaga penampilan hotel agar
tetap berfungsi.
Suatu kali peristiwa, Paul dengan
sopirnya pergi bertemu dengan Georges
Rutaganda untuk mengumpulkan persediaannya
ke hotel. Dalam perjalanan, ia menyaksikan
para sandera Tutsi diperlakukan dengan kejam oleh milisi Hutu. Georges
menjelaskan kepada Paul bahwa uang “kecoa yang kaya” akan menjadi tidak
berharga karena semua Tutsi akan mati. Paul tidak percaya bahwa ekstrimis Hutu
akan menghapus semua Tutsi dan George malah menjawab, “Kenapa tidak? Kita sudah
setengah jalan di sana”. Dengan seorang sopir, pegawainya yang lain, Gregoire,
Paul kembali ke hotel melalui kabut tebal dalam gelap di jalan yang
direkomendasikan oleh Georges. Pada satu titik, Paul yakin mereka telah
mengambil jalan salah dan memberitahu pengemudi untuk berhenti. Ketika Paul
keluar, ia melihat jalan tepi sungai penuh bergelimpangan mayat. Ia menyaksikan
kengerian kemanusiaan yang terjadi, akibat ulah ekstrimis Hutu. Ia sadar bahwa
Georges benar dalam memperkirakan bahwa setengah Tutsi telah mati. (adegan: 01:10:53 s.d. 01:16:29).
Pembantaian manusia oleh manusia lain
secara terencana dan sistematis merupakan sesuatu yang sulit diterima. Dalam
konteks pemikiran Levinas, pembantaian yang terjadi di Rwanda merupakan upaya
saling menguasai antara manusia yang satu dengan manusia lain, sebagai produk
pemikiran Barat yaitu yang sangat mempercayai akal budi dan kesadaran yang
mendominasi Barat dan mengabaikan sensibilitas yang sesungguhnya juga menjadi
ciri otentik seorang manusia[12].
Penjaga perdamaian yang dipimpin oleh
Kolonel Oliver (diperankan Nick Nolte) tidak dapat mengambil tindakan tegas
terhadap Interhamwe karena mereka dilarang untuk campur tangan dalam hal
tersebut dan yang bisa dilakukan mereka hanyalah evakuasi. Evakuasi pun
didahulukan terhadap para warga negara asing, sementara para penduduk asli
Rwanda ditinggalkan dulu. Ketika Pasukan PBB akhirnya berupaya mengevakuasi
sekelompok dari penduduk asli, termasuk keluarga Paul, mereka diserang oleh
Interahamwe di tengah jalan dan harus kembali ke pengungsian. Dalam upaya
terakhir untuk menyelamatkan para pengungsi, Paul meminta bantuan dari Jenderal
angkatan Darat Rwanda, Augustin Bizimungu. Namun, ketika Paul sudah tidak
sanggup lagi menyuap sang Jenderal, Paul memerasnya dengan ancaman bahwa ia
akan diadili sebagai penjahat perang. Segera setelah itu, keluarganya dan para
pengungsi hotel akhirnya mampu meninggalkan hotel yang telah terkepung dalam
sebuah konvoi PBB. Dalam perjalanan, mereka melewati para pengungsi dan milisi
yang mundur dari perang.
Suatu kali peristiwa dalam sebuah
percakapan antara Paul, tokoh utama dengan Kolonel Oliver (adegan menit: 49:39 s.d. 50:49), sebagai berikut:
Paul : Selamat
Kolonel! Kau telah menunjukkan keajaiban (sambil
menuangkan segelas minuman Scotch kepada Kolonel)
Kol.
Olivier : (dengan wajah sedih) Kau meludahi mukaku.
Paul : (dengan rasa kaget), permisi Kolonel!
Kol.
Olivier : Kau
kotoran. Kita pikir kau kotoral Paul.
Paul : Siapa
itu “kita”?
Kol.
Olivier : Barat.
Seluruh kekuatan hebat, segala yang kau percaya, Paul. Mereka pikir kau
kotoran, mereka pikir kau tak berharga.
Paul : Aku
takut aku tak mengerti apa yang kau bilang pak.
Kol.
Olivier : Ayo,
jangan kau bohongi aku, Paul. Kau pria terpintar di sini. Kau buat mereka semua
makan dari tanganmu. Kau bisa memiliki hotel ini, kecuali satu hal. Kau hitam!
Kau bahkan bukan negro. Kau orang Afrika. Mereka (Barat, pasukan PBB) tidak akan tinggal. Mereka tidak akan
menghentikan pembantaian ini.
Dalam dialog tersebut dapat
direfleksikan menurut pemikiran filsafat Levinas bahwa manusia
kerapkali dilihat berdasarkan gagasan atau abstraksi yang
kita
miliki atas orang lain tersebut. Barat, yang terwakili lewat Kolonel Oliver
memandang Paul sebagai orang Afrika, hitam, tak berharga dan kotoran. Gagasan
ini mengakibatkan Barat, termasuk Amerika Serikat tidak melakukan tindakan
untuk menyelamatkan manusia dari pembantaian keji di Rwanda, karena melihat tidak
ada kepentingan menguntungkan untuk dilindungi.
Akibatnya genosida terjadi.
Menurut Levinas, pengada di luar diri
(eksterior) harus dilihat sebagi ‘wajah’, yakni keseluruhan “cara Yang-Lain
memperlihatkan dirinya, melampaui gagasan
mengenai Yang-Lain dalam diriku”[13].
Makna ‘wajah’ di sini tidak hanya mengacu fisik tubuh manusia, tapi juga
sebagai rujukan atas identitas orang. Yang dimaksud Levinas dengan wajah, jauh
melebihi bagian fisik manusia. Wajah bukanlah seperti obyek biasa dan
memperlakukannya seperti obyek lain, misalnya meja atau pohon. Wajah bagi Levinas secara persis
mengungkapkan keberlainan Yang-Lain yang tidak dapat direduksikan baik pada apa
yang kelihatan maupun tidak kelihatan di baliknya[14]. Manusia tidak dilihat
dari warna kulit, suku atau unsur fisik lainnya yang kelihatan semata.
Dalam adegan lain, Paul masih terbayang
dengan mayat-mayat terpapar akibat kekejaman pembantaian ekstrimis Hutu.
Wajah-wajah manusia yang telah meninggal datang ke dalam pikiran Paul, sehingga
ia sedih dan menangis tak terkendali di ruang kerjanya. Sopirnya, Dube, melihat
hal itu dan bertanya apa yang terjadi. Paul berusaha menyembunyikan pengalaman
kengerian yang membayangi kesadarannya. Akhirnya, suatu hari, sambil
menonton anak-anak pengungsi dan yatim piatu yang sedang latihan menyanyi dan
menari penuh senyum, ia menceritakan tragedi kemanusiaan yang dilihatnya di
pinggir sungai. Dube, sopirnya bertanya: Mengapa
orang sangat kejam? (adegan: 01:17:24
s.d. 01:19:13).
Dalam refleksi Levinas, pembunuhan entah
terhadap satu individu maupun sekelompok orang tertentu seperti genosida,
biasanya terjadi karena kita melihat orang lain hanya sekedar gagasan: bahwa
orang atau kelompok orang ini memiliki sifat atau karakter tertentu yang
merugikan saya atau kelompok tersebut, atau dalam konteks Film Rwanda, bahwa suku
Hutu memandang suku Tutsi sebagai kelompok penjajah Hutu, yang dipandang lebih
elegan dan dipekerjakan oleh Belgia dalam pemerintahan, selama menjajah Rwanda.
Dalam konteks ini, kita sama sekali belum bertemu dengan orang-orang konkrit,
yang kita hadapi hanyalah gagasan belaka mengenai mereka. Relasi sejati,
menurut Levinas, baru berlangsung melalui pertemuan konkrit dengan wajah orang
lain karena wajah merupakan “pemaknaan tanpa konteks, yang bermakna pada
dirinya sendiri. Artinya makna keberadaan manusia tidaklah ditentukan oleh
konteks apapun dimana ia ditemukan: miskin, kaya, mayoritas, minoritas, liberal
atau konservatif, manusia tetaplah bermakna dalam dan pada dirinya sendiri[15].
Wajah dari Yang-Lain (the face ot the Other), bagi Levinas,
menghancurkan dan melampaui gambaran plastik orang terhadapnya; wajah manusia
mengekspresikan dirinya sendiri[16].
Wajah ini bukanlah sesuatu yang dapat dilihat, tetapi dapat menunjukkan
keberadaannya kepada sensibilitas kita.
Wajah Yang-Lain menyingkapkan diri apa adanya atau telanjang serta tanpa
mediasi apapun
untuk diproses oleh kesadaran kita. Mengingat wajah adalah “identitas persis
seorang pengada”, ia tidak dapat ditangkap begitu saja oleh gambaran
fenomenologi[17].
Dalam konteks film Hotel Rwanda, wajah Yang-Lain baik yang
sudah menjadi korban pembantaian maupun yang masih hidup, mengusik
subyektivitas Paul. Paul tidak dapat melarikan diri dari tanggung jawab pada Yang-Lain.
Ia melakukan respons dengan menolong mereka yang masih hidup. Ia berupaya
melakukan apa saja yang bisa dia lakukan demi menyelamatkan orang lain, dalam
hal ini pengungsi, baik Hutu maupun Tutsi. Paul tertawan dan terpanggil untuk
bertanggung jawab atas keselamatan yang lain.
C.
Bagian Akhir Film
Film ini berakhir (adegan: 01:46:45 s.d. 01:55:07) dengan
serangkaian gambar yang menunjukkan bahwa Paul Rusesabagina dibantu Pasukan Penjaga
PBB dan Pasukan Pemberontak Tutsi telah menyelamatkan 1.268 pengungsi
Rwanda di Hotel des Mille Collines ke tempat aman, dan kini Paul
tinggal di Belgia bersama keluarganya. Sementara Georges Rutaganda dan Jenderal
Augustin Bizimungu telah diadili dan dihukum oleh PBB sebagai
penjahat perang. Diperkirakan 800.000 hingga satu juta manusia tewas dalam
genosida, yang berakhir pada bulan Juli 1994.
Dalam konteks pemikiran Levinas, subyektivitas manusia sebagai yang memiliki struktur
“Yang-Lain-dalam-Yang-Sama” (the Other in
the Same)[18] merupakan subyek yang
bertanggung jawab dan diri sebagai tawanan orang lain. Dalam diri tokoh utama
film ini, kita melihat subyek yang membuka dirinya bagi Yang-Lain, ia
memberikan dirinya bagi lain. Ia
berusaha menyelamatkan wajah-wajah orang lain, yaitu para pengungsi baik Tutsi
maupun Hutu yang moderat di dalam hotel. Tokoh utama dalam film ini tidak bisa
menghindar atas tanggung jawabnya terhadap Yang-Lain. Dalam konteks pandangan
Levinas, tokoh utama, Paul Rusesabagina merupakan subyek, yang tertawan oleh
orang lain (hostage of the Other). Ia
bukan lagi sebuah subyek yang dapat menentukan dirinya sendiri dan melakukan
apa yang ingin ia lakukan dengan bebas, melainkan telah menjadi tawanan orang
lain dan harus mewujudkan tanggung jawabnya pada orang lain[19] dalam hal ini atas
keluarga dan pengungsi Rwanda, baik Hutu yang moderat maupun Tutsi.
III.
Catatan dan Tanggapan Penutup
Kisah Film Hotel Rwanda (2004) merupakan narasi pembersihan
etnis manusia secara terencana matang,
sistematis dan masif. Dalam perpektif filsafat Emanuel Levinas, kisah tragedi
kemanusiaan tersebut merupakan produk dari gagasan pemikiran filsafat Barat
(modern) yang
terlalu mempercayai akal budi (rasio manusia) sebagai sarana menuju pencerahan
dan emasipasi manusia. Kenyataannya, rasionalitas manusia kerapkali hanya
berkutat di tingkat gagasan, ideologi, atau ajaran, tapi tidak sampai kepada
realitas otentik manusia. Untuk itu, menurut Levinas, perlu beralih dari
pengagungan rasionalitas dan kesadaran yang mendominasi filsafat Barat menuju
sensibilitas yang sesungguhnya yang menjadi ciri otentik manusia[20].
Sensibilitas yang merupakan bagian hakiki subyektivitas manusia memberi akses
terhadap kemanusiaan yang dimiliki orang lain, betapapun jauhnya perbedaan
sosial yang ada antara Hutu dan Tutsi. Sensibilitas tidak boleh ditekan atau
dikuasai oleh usaha rasionalisasi dalam bentuk apapun.
Pembantaian ekstrimis Hutu terhadap Tutsi tidak bisa diterima
karena menginjak-injak rasa kemanusiaan kita. Harga dan nilai nyawa
seorang manusia seringkali dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
kelanggengan kepentingan politik pelaku. Penghancuran dan pembunuhan massal
yang membabi buta dan tak mengenal rasa kemanusiaan terjadi dengan mudah demi
kepentingan kelompok manusia pelaku. Manusia telah kehilangan wajahnya,
dimana ada jejak dari Yang-Tak-Terbatas.
Inilah humanisme Levinas: manusia lain adalah jejak Yang-Tak-Terbatas; tanggung
jawab kita terhadap orang lain adalah ‘perintah’ yang tak dapat diingat lagi (immemorial past) dari Yang-Tak-Terbatas.
Tanggung jawab tersebut bukan hanya sebagai pelaksanaan kewajiban belaka,
apalagi sekedar reaksi simpatik dalam menghadapi sebuah tragedi, melainkan
hakekat sejati subyektivitas manusia.
Namun, ada pertanyaan
reflektif pantas diajukan dalam konteks filsafat Levinas, dalam kehidupan
konkrit dan dunia politik, apakah relasi yang etis bisa diajarkan kepada
anak-anak atau masyarakat pada umumnya, sehingga masa depan manusia lebih baik?
Apakah relasi yang etis bisa dibakukan menjadi suatu ‘peraturan atau hukum
positif’ sehingga bisa disosialisasikan? Ataukah humanisme Levinas hanya bisa
berlaku bagi para pemikir, mahasiswa, dan dosen ilmu filsafat? Apakah filsafat
Levinas perlu diajarkan kepada para pemimpin negara atau masyarakat? Pertanyaan
ini tidak mudah dijawab, tetapi humanisme Levinas memberikan cahaya harapan
bagi upaya membangun rasa persaudaraan antar manusia dan dapat mengurangi aksi
kekejaman kemanusiaan.
***
Sumber
Pustaka
Levinas, Emanuel, Totality and Infinity, An Essay on Exteriority, Terj. Alphonso
Lingis, The Haque/Boston/London: Martinus Nijhoff Publisher and Duquesne
University Press, 1979
-----------------------, Otherwise than Being or Beyond Essence, Terj. Alphonso Lingis. Springer
Science+Business Media Dordrecht, 1991
-----------------------, The I and Totality”, Entre Nous:
Thinking-of-the-Other, Terj. Michael B. Smith and Barbara Harshaw. New York:
Columbia University Press, 1998
------------------------, The Theory of Intuition in Husserl’s
Phenomenology, terjemahan oleh Andre
Orianne, second edition. Evanston,IL: Northwestern University Press, 1995
Tjaya, Thomas Hidya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2018,
[2] Negara Republik Rwanda terletak beberapa
derajat di bawah garis katulistiwa dan
berbatasan dengan negara Republik
Demoratik Kongo, Uganda, Tanzania, dan Burundi.
[3]
Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah
Orang Lain, Hal. 23-24
[4]
For Husserl, philosophical intuition is a
reflection on life considered in all its concrete fullness and wealth, a life
which is considered but no longer lived. The reflection upon life is divorced
from life itself, …. dalam Levinas, The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology, hal. 142
[5]
Ibid., 57
[6]
Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah
Orang Lain Hal. 37
[7]
Ibid.,, Hal. 37
[8]
Ibid., Hal. 38-39
[9]
Ibid., hal. 40-41
[10]
Levinas, Emanuel, Totality
and Infinity, An Essay on Exteriority, Terj. Alphonso Lingis, The
Haque/Boston/London: Martinus Nijhoff Publisher and Duquesne University Press,
1979, Hal. 45
[11]
Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah
Orang Lain, Hal. 43
[12]
Ibid., Hal. 160
[13]
“The way in which the other presents himself, exceeding the idea of the other in me, we here name face, Levinas, Totality and Infinity, Hal. 50
[14]
Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah
Orang Lain, Hal. 78-79
[15]
Ibid., Hal. 81
[16]
Levinas, Totality and Infinity, Hal.
51
[17] “The face is the very
identity of a being; it manifests itself in it in terms of itself, without a
concept., dalam Levinas, The I and
Totality”, Entre Nous, Hal. 33
[18] Subjectivity is the other
in the same, dalam Levinas, Otherwise than
Being, Hal. 25
[19] Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah Orang Lain, Hal.
118
[20]
Tjaya, Emanuel Levinas, Enigma Wajah
Orang Lain, Hal. 161