Oleh Pormadi Simbolon
Salah satu tekad bersama pada Apel Kebhinnekaan kota Bekasi, 16 April 2016 lalu, adalah menjaga kerukunan hidup antarumat beragama di kota Bekasi sesuai Pancasila.
Tekad bersama yang ditandatangani Walikota Bekasi Rachmat Effendi dan para tokoh agama se-Kota Bekasi tersebut mengisyaratkan pentingnya dan mendasarnya kerukunan umat beragama jika hendak membangun kota Bekasi dan kerukunan itu berdasarkan Pancasila.
Selama ini kota Bekasi dikenal sebagai kota kurang ramah dengan keberadaan rumah ibadah dari pemeluk agama minoritas. Pembangunan gereja Katolik Santa Klara di Bekasi Utara merupakan salah satu yang ditolak kelompok Islam garis geras. Kasus penolakan yang sama juga terjadi pada HKBP Filadelfia di Bekasi. Daerah tetangganya juga mengalami penolakan rumah ibadah seperti terjadi pada GKI Yasmin di Bogor, dan HKBP Pangkalan Jati Gandul di Cinere, Depok. Semuanya terjadi di Provinsi Jawa Barat yang dekat dengan Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bekasi memandang perlu mendeklarasikan kerukunan yang Pancasilais. Penulis mencoba memaknai lebih mendalam arti kerukunan berdasarkan Pancasila.
Makna Kerukunan
Ada pepatah Jawa yang berbunyi "Rukun agawe sentosa, crah agawe bubrah" (rukun membuat sentosa, pertengkaran membuat bubar). Pepatah ini punya makna mendalam.
Rukun bisa dimaknai tidak ada persoalan, tidak ada masalah, tidak ada perselisihan, bisa hidup berdampingan, bisa hidup bersama, bisa bekerjasama dan bekerja bersama-sama.
Pada hakekatnya semua manusia itu merindukan hidup damai dan sejahtera. Hampir setiap orang mengharapkan perdamaian, kebersamaan dan kerukunan; karena hanya dengan dasar itulah kekuatan sebagai bangsa atau umat manusia itu menjadi nyata.
Jika orang itu bisa hidup rukun, saling bahu membahu, sehati dan sejiwa maka hal ini merupakan power (kekuatan) tersendiri, untuk membangun kehidupan sebagai pribadi, bangsa dan negara yang besar.
Tetapi sebaliknya kalau dalam kebersamaan kita sebagai umat manusia yang terjadi hanyalah "Crah", berarti pertengkaran, perselisihan, yang mengutamakan dan mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya saja, maka yang terjadi adalah kehancuran, kerusakan, ketidakpastian, penderitaan, luka batin, sakit hati dan dendam yang berkepanjangan.
Pada hakekatnya kerukunan itu bukanlah harus sama, sepaham, seiman, sealiran, seagama dan sebagainya tetapi hakekatnya adalah kesediaan untuk saling mengerti dan memahami satu dengan yang lain termasuk dalam perbedaan, agar masing-masing orang/pribadi bisa/mampu dan mau menyikapinya dengan tepat, benar, arif dan bijaksana, mampu menempatkan diri (Jawa: empan papan) dan bekerjasama serta bekerja bersama-sama sebagai persekutuan masyarakat manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama.
Selanjutnya, makna kerukunan dilegalkan dalam pengertian sebagai suatu keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat)
Berdasarkan Pancasila
Melihat nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Nusantantara, the founding fathers merumuskan falsafah dan dasar berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia dalam falsafah dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Karena itu, Pancasila menjadi dasar yang kuat dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Franz Magnis Suseno (paper, 2011) mengatakan bahwa bobot Pancasila menjadi jelas apabila kita perhatikan alasan Pancasila dirumuskan. Pancasila dirumuskan bukan sekedar sebagai etika bangsa melainkan sebagai sebuah pemecahan masalah serius, tentang dasar Republik yang mau didirikan. Konflik dalam BPUPKI apakah Republik Indonesia yang mau diproklamirkan akan didasarkan pada nasionalisme atau pada agama Islam, itulah mendorong Ir. Soekarno untuk mencetuskan Pancasila.
Pancasila merupakan kesepakatan bersama untuk membangun sebuah negara dimana semua warga masyarakat sama kedudukannya, sama kewajibannya, dan sama haknya, tanpa membedakan antara agama mayoritas dan agama-agama lain. Semua merupakan warga negara dalam arti sepenuhnya. Kesepakatan ini kelihatan jelas pada 18 Agustus 1945 dimana kelompok "Islamis" dalam PPKI bersedia untuk mencoret tujuh kata sesudah "Ketuhanan", yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Sampai di sini, terlihat kesediaan golongan agama yang terbesar untuk, demi persatuan bangsa, tidak diberi kedudukan khusus apa pun dalam undang-undang dasar negara Republik Indonesia.
Dengan kata lain Pancasila adalah syarat dan dasar persatuan bangsa Indonesia yang majemuk. Melepaskan, mengebiri, mengubah, mencairkan Pancasila sama dengan pembatalan kesepakatan bangsa Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Mencabut Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah sama dengan mencabut Declaration of Independence bagi bangsa Amerika Serikat (Frans Magnis Suseno, 2011).
Membumikan Pancasila
Pasca reformasi, gaung Pancasila semakin jarang terdengar. Banyak orang muda Indonesia, bahkan tidak sedikit artis tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila, seperti beberapa kali dipertontonkan dalam acara televisi.
Pemerintahlah yang pertama-tama diharapkan memfasilitasi upaya pengaktualisasian Pancasila agar membumi dalam kehidupan sehari-hari. Fasilitasi tersebut dimulai dari kebijakan-kebijakan pemerintah dituntut berjiwa Pancasilais, yaitu bedasarkan nilai-nilai agama/kepercayaan yang diakui, mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, memengedepankan persatuan, menegakkan kepemimpinan yang demokratis dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut, aktualisasi Pancasila antara lain adalah kesediaan semua umat beragama yang berbeda untuk saling menerima dalam kekhasan masing-masing, kesediaan menghormati dan mendukung kemajemukan bangsa dan senantiasa menata kehidupan bangsa Indonesia yang secara inklusif. Inilah kerukunan berdasarkan Pancasila yang membumi.
Prof. Dr. N. Driyarkara seorang filosof Indonesia, menyimpulkan "… jika kita betul-betul serius atau mempunyai kesungguhan mengenal Pancasila, maka Pancasila tidak boleh hanya bergantung di langit sebagai cita-cita luhur, tinggi, tetapi di luar dan jauh dari hidup kita. Pancasila harus merupakan jiwa dari dinamika kita. Dinamika itu harus berupa sikap siap sedia untuk melaksanakan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila menjadi pedoman hidup sehari-hari"(Karya Lengkap Driyarkara, Gramedia, 2006:883).
Di tengah arus dan dampak globalisasi dewasa ini, semua umat beragama dituntut bersama-sama mengupayakan pemeliharaan kerukunan intra dan antar umat beragama, dan Pemerintah diharapkan memberi kemudahan pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan umat beragama secara adil dan proporsional, termasuk kemudahan fasilitasi pendirian rumah ibadah karena tuntuan sila Ketuhanan Yang Mahaesa. Segala ideologi yang bertentangan dengan Pancasila harus tegas dicegah dan ditangkal. Radikalisme dan intoleransi yang masuk lewat berbagai jalur, termasuk melalui kecanggihan tekonologi informasi seperti media Internet harus diawasi pihak terkait dan masyarakat umum.
Fasilisitasi kerukunan yang dilakukan Walikota Bekasi Rachmat Effendi kepada para Tokoh Agama dan umat se-Kota Bekasi pada Apel Kebhinnekaan, Sabtu,16/4 yang lalu patut diapresiasi. Salah satu tekad yang dideklarasikan tersebut adalah menjaga kerukunan hidup antarumat beragama di kota Bekasi sesuai Pancasila. Inisiatif dan Fasilitasi sebagai seorang pemimpin daerah, seperti Rachmat Effendi merangkul tokoh-tokoh agama, merupakan suatu kekuatan tersendiri dan tanda kehadiran negara dalam melindungi dan menjamin rasa aman dan nyaman seluruh warga kota Bekasi. Kalau bukan pemimpin yang memulai, siapa lagi? Karena pemimpin yang dipilih rakyat secara demokratis, memiliki legalitas dan daya dorong di mata semua warga yang dipimpinnya.
Meskipun masih menunggu tindak lanjut dari Deklarasi Tekad Bersama dan Kesepakatan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama, tapi semangat itu patut dicontoh pemimpin-pemimpin di daerah lain, seperti di Bogor, Depok, dan daerah-daerah lainnya.
Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widyasasana Malang, Kepala Seksi Pengembangan Program Penyuluhan Bimas Katolik Kementerian Agama RI
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.