Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Sabtu, November 19, 2011

Romo Mardi tentang Semangat Keindonesiaan

Semangat 1928 merupakan semangat Keindonesiaan Mendasar. Demikian salah satu benang merah paparan Romo BS Mardiatmadja, SJ ketika menjadi pembicara dalam pertemuan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Balikpapan, Kalimantan Timur (14/11).

Selama ini orang lebih sering melihat peristiwa 1908 sebagai semangat awal munculnya kesadaran atas "kebersamaan atau kesatuan sebagai bangsa. Menurut Romo Mardi, kurang tepat, karena tahun itu masih dominan semangat sektoral.

Semangat 1928 yang terwujud dalam Sumpah Pemuda (satu nusa, satu bangsa, satu bahasa) merupakan semangat kesatuan yang bisa membangun kerukunan dan keindonesiaan dewasa ini.

Hal itu dikatakannya, mengingat semangat keindonesiaan yang luntur yang ditandai dengan munculnya ketidakrukunan dan budaya kekerasan diantara sesama anak bangsa Indonesia.

Senin, November 07, 2011

Kehadiran Ditjen Bimas Katolik Menyegarkan



Dari kiri ke kanan: Sekjen KWI, Ketua KWI dan Dubes Vatikan.
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr. Martinus D Situmorang, OFMCap  menyampaikan apresiasianya kepada Direktur Jenderal Bimas Katolik, Semara Duran Antonius bahwa kehadiran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat  (Ditjen Bimas ) Katolik Kementerian Agama RI menyegarkan.
Hal itu dikatakan dalam sambutannya pada acara pembukaan Sidang Tahunan  KWI di jalan Cut Meutia Jakarta (7/11). Alasannya, peran dan pelayanan Ditjen  Bimas Katolik dalam melayani masyarakat Katolik Indonesia seturut porsinya.

Lagi, menurut Ketua KWI, Ditjen Bimas Katolik telah banyak memberi kontribusi bagi pengembangan dan dan pembangunan masyarakat Katolik Indonesia.  Dia berharap bahwa Ditjen Bimas Katolik tetap membawa dan menampilkan warna nilai-nilai kekatolikan di lingkungan pemerintahan, khususnya di Kementerian Agama RI.

Tanpa Motif Politis 

Dirjen Bimas Katolik, Semara Duran Antonius
Sementara itu , Direktur Jenderal Bimas Katolik, Semara Duran Antonius mengaku bangga dan bergembira karena suara profetis Gereja Katolik sangat didengar dan diperhitungkan para pemangku kepentingan karena tidak ada muatan politis dan kepentingan tertentu yang diusung. Yang ada adalah motivasi murni demi kepentingan dan kesejahteraan umum bangsa Indonesia. 

Lebih lanjut, Semara Duran Antonius menegaskan melalui program-program kerjanya di bidang pendidikan dan urusan agama Katolik terus menerus berupaya membangun masyarakat Katolik Indonesia bersama mitra institusi Gereja Katolik. Ditjen Bimas Katolik akan terus membangun dan memelihara kemitraan dengan lembaga Gereja Katolik dalam membangun masyarakat Katolik seturut otonomitasnya masing-masing. 

Ditjen Bimas Katolik berkeinginan untuk mengetahui apa saja program kerja KWI untuk menghindari adanya benturan di lapangan. Ditjen Bimas Katolik selalu mendukung dan membantu program kerja KWI melalui Renstra (red. Rencana Strategis) dalam mewujudkan masyarakat Katolik yang sepenuh-penuhnya Katolik, dan seutuh-utuhnya berjiwa Indonesia. 


Hadir pada acara tersebut, selain Dirjen Bimas Katolik dan Ketua KWI, juga ada Pendeta Gomar Gultom (mewakili Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Antonio Guido Filipazzi, uskup-uskup se-Indonesia dan segena jajaran struktural KWI.

Minggu, Oktober 02, 2011

Mewujudkan Masyarakat Pancasila, Mensukseskan Demokrasi

Masyarakat Indonesia dapat menjadi Pancasilais bila terlebih dahulu mensukseskan demokrasi. Demikian salah satu benang merah presentasi Romo Franz Magnis Suseno dalam Pertemuan Dialog Kerukunan Umat Beragama Tingkat Nasional di Kupang yang difasilitas oleh Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI (29/09).

Pancasila merupakan konsensus bersama masyarakat Indonesia untuk memecahkan persoalan dasar negara apakah berdasarkan paham nasionalisme atau berdasarkan agama. Para pendahulu dan pendiri bangsa menerima Pancasila sebagai solusi terbaik.

Sayangnya dalam sejarah, Pancasila belum diimplementasi sebagai etika politik bangsa, tetapi kerapkali hanya sebagai jargon dan rumusan indah belaka.

Menurut Romo Magnis, nilai-nilai Pancasila harus benar-benar dioperasionalkan dalam tata hidup bersama sebagai bangsa dan negara mulai dari sila Ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dan kesatuan kerakyatan dan perwakilan, hingga mewujudkan keadilan.

Untuk bisa mewujudkan Indonesia benar-benar Pancasilais, maka demokrasi harus disukseskan. Mensukseskan demokrasi berarti negara antara lain harus menegakkan hukum, karena hukum adalah salah satu pilar demokrasi. Kasus-kasus Korupsi, money politic, kekerasan bernuansa SARA harus segera dilaksanakan.

Dengan pensuksesan demokrasi, maka nilai-nilai Pancasila bisa dioperasional dalam hidup bersama. Di dalam Pancasila, semua warga NKRI dilindungi dan dijamin keberadaannya. Kalau ada orang menolak, mengganti atau mencairkan Pancasila berarti menghilangkan NKRI.

Pada akhir presentasinya, Romo Magnis menegaskan bahwa ada dua tantangan besar yaitu memajukan bangsa dan tetap menjaga cita-cita bersama, kita bersedia hidup sederhana asal terjamin; yang kedua memanfaatkan kebebasan demokratis buah reformasi untuk menentang para konspirasi perusak bangsa Indonesia. (Pormadi)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, Agustus 18, 2011

FX Suharno: Sekretaris Baru Ditjen Bimas Katolik


FX Suharno dalam suatu kesempatan menjadi Narasumber
Hari ini  (18/8) Menteri Agama Suryadharma Ali melantik Fransiscus Xaverius Suharno menjadi Sekretaris Ditjen BimasKatolik yang baru di Kantor Kementerian Agama di Lapangan Banteng Barat 3-4 Jakarta. Sebelumnya Jabatan Sekretaris Ditjen Bimas Katolik dijabat oleh Semara Duran Antonius, yang kini sudah  menjadi Dirjen Bimas Katolik ketika dilantik pada 5 Mei  yang lalu. 

Harus pandai membina sinergi 

Dalam  sambutannya Menteri Agama mengingatkan, "Seorang pemimpin juga harus pandai membina sinergi dan kerja sama yang bermartabat dengan segenap pemangku kepentingan,".

Selain itu, Menag  Suryadharma Ali juga  mengingatkan pengembangan budaya kerja dan etika birokrasi di lingkungan kementerian tersebut. Setiap pimpinan harus mampu memotivasi bawahan untuk pengembangan potensi diri dan memacu prestasi kerja secara optimal. "Seorang pemimpin yang diharapkan bisa mengembangkan organisasi ke depan dan menjaga citra baik Kementerian Agama," ia menegaskan.

Adapun pejabat yang dilantik dan diambil sumpahnya adalah Dirjen Bimas Buddha Agustinus Joko Wuryanto, mengukuhkan kembali Rektor IAIN Raden Fatah Palembang H.Aflatun Muchtar, , Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Heru Budi Santoso, Ketua STAB Raden Wijaya Wonogiri Suhartoyo Pusaka Jati.(Pinmas Kemenag/pormadi)

Kamis, Mei 05, 2011

Dirjen Bimas Katolik Baru: Semara Duran Antonius

Dari kiri ke kanan: Mereka yang dilantik,Semara Duran Anotnius, Dirjen Bimas Katolik, FX SUharno, Direktur Pendidikan Agama Katolik dan Drs. Natanael Sesa, M.Si sebagai Direktur Urusan Agama.
Hari Kamis, 5 Mei 2011 Menteri Agama RI, Suryadharma Ali melantik pejabat Eselon I dan II di Lingkungan Kemenag RI di Jakarta.

Beberapa diantaranya adalah Bapak Semara Duran Antonius menjadi Direktur Jenderal Bimas Katolik dan Bapak Saur Hasugian menjadi Dirjen Bimas Kristen.

Selain itu, Menteri Agama juga melantik pejabat eselon II di Kemenag RI. Bapak FX Suharno yang sebelumnya Direktur Urusan Agama dilantik menjadi Direktur Pendidikan Agama Katolik. Posisi Direktur Pendidikan Agama Katolik dijabat oleh Bapak Drs.FX Suharno.

Ditjen Bimas Katolik merupakan salah satu unit Eselon I Kementerian Agama RI yang bertugas sebagai fasilitator di bidang layanan dan bimbingan masyarakat Katolik seluyruh Indonesia. (Pormadi)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, Maret 11, 2011

Bukan Pemimpin yang Mengorbankan Orang lain

Suatu organisasi atau perusahaan membutuhkan pemimpin yang rela berkorban untuk mencapai visi dan misinya, bukan pemimpin yang mengorbankan orang lain apalagi anak buahnya. Sebab pemimpin sejati adalah pemimpin yang rela berkorban, bahkan mengorbankan diri dan nyawanya bagi sesamanya demi perubahan ke arah yang lebih baik.

Dalam dunia kepemimpinan tradisional, kepemimpinan kerapkali dipandang dari hubungan antara pemimpin dan karyawan (leadership and followership) semata berlandaskan reward yang diberikan. Faktor utama yang mendorong karyawan untuk bekerja karena dibayar. Kontrol atas proses kerja terpusat pada sang pemimpin. Kepemimpinan demikian masih banyak kita temukan di sekitar kita. Bila ada sesuatu yang tidak beres dalam organisasi atau perusahaan, maka yang disalahkan, dipecat atau dikorbankan adalah orang lain.

Kepemimpinan yang mengubah

Perkembangan jaman dewasa ini menunjukkan bahwa kepemimpinan tradisional harus didobrak dengan kepemimpinan gaya baru. Gaya kepemimpinan baru mengedepankan perubahan dan menekankan peran pemimpin yang menetapkan dan mengarahkan visi dan memastikan bahwa kinerja organisasi berubah.

Pemimpin seperti itu merupakan pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Dia mempunyai visi dan dan dalam pikirannya tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).

Teladan Kepemimpinan

Namun, satu hal yang patut dikedepankan, bahwa pemimpin di dunia ini belum bisa menandingi kepemimpinan dalam Kitab Suci khususnya dalam Perjanjian Baru. Kepemimpinan tersebut ditampilkan Yesus Kristus bagi orang yang percaya kepadaNya.

Yesus Kristus adalah seorang pribadi ”unik” yang dua ribu tahun lebih silam telah meletakkan dasar-dasar kepemimpinan yang rela berkorban demi kasih dan pelayanan. Yesus Kristus mewariskan nilai-nilai luhur kepemimpinan yang berguna bagi kesejahteraan/ kemaslahatan hidup bersama. Itulah makna yang dapat direnungkan dan dapat menjadi inspirasi bagi kepemimpinan yang rela berkorban dan melayani, siapapun dia.

Hakekat kepemimpinann Yesus yang tampak dalam Perayaan Paskah adalah perubahan: dari gelap ke terang, dari putus asa ke harapan, dari kematian ke kehidupan, dari perpecahan ke keutuhan! Untuk itu perlu pengorbanan dan pelayanan.

Seturut teladan Yesus Kristus, seyogiyanya para pemimpin bangsa-bangsa di dunia meneladani kepemimpinan Yesus yang melayani! Juga bangsa ini mendambakan pemimpin-pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan umum dan mengupayakan bonum publicum (kesejahteraan umum), lebih dari sekadar kepentingan pribadi dan kelompok.

Teladan kepemimpinan Yesus ditampilkan dalam sengsara, wafat dan kebangkitanNya yang dikenangkan sebagai sebuah kemartiran yang mendatangkan penebusan dan keselamatan. Keteladanan ini selayaknya menjadi salah satu inspirasi bagi manusia dan para pemimpin akan memimpin sesamanya.

Salah satu ciri kepemimpinan yang melayani warisan Yesus Kristus terungkap dalam sikap yang mengedepankan kasih. Sebagai seorang pemimpin, Yesus Kristus giat memperjuangkan dan menggelorakan semangat berbuat kebaikan mencegah perbuatan jahat. Kasih sejati selalu mengalir dan meluap dari hati-Nya yang mengasihi dan menyayangi; bukan dari hati yang membenci dan mendendam!

Mendoakan lawan-lawannya

Bahkan, ketika para lawan-Nya menangkap, menghajar, mencambuki, mengolok-olok, meludahi dan menyalibkan-Nya di Golgota, Yesus Kristus masih bisa mendoakan mereka dan berseru, ”Ya Allah, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat!” (Lukas 23:34).

Corak penghayatan kepemimpinan Yesus Kristus tidak dinodai dengan hasrat dendam; sebaliknya, ditandai oleh sikap mengutamakan kasih dan pelayanan. Sikap itu dihayati Yesus Kristus hingga titik darah penghabisan di kayu salib. Peristiwa salib adalah puncak kasih dan kesetiaan Yesus Kristus pada komitmen untuk melayani dan memberikan yang terbaik kepada umat manusia, yakni keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin!

Pemimpin yang mengorbankan nyawa

Pada kayu salib, Yesus Kristus membuktikan dan menghayati kepemimpinan-Nya dalam kerelaan berkorban bagi umat manusia. Yesus berkorban hingga titik darah penghabisan melalui wafat-Nya di kayu salib hina, bukan demi kepentingan-Nya sendiri, melainkan demi kasih untuk umat manusia. Dari bilur-bilur luka-Nya, Ia menawarkan kesembuhan bagi luka-luka umat manusia akibat dosa.

Saat ini, kita tidak membutuhkan pemimpin yang tidak berkorban. Kita tidak membutuhkan pemimpin yang mengorbankan anak buahnya atau bawahanya dengan memecat atau menyalahkan sepihak.

Yang kita butuhkan adalah pemimpin-pemimpin yang rela mengedepankan kasih dan pengorbanan melalui empati dan belarasa kepada sesama manusia, sebagaimana telah dicontohkan Yesus Kristus.

Saat sesama diperlakukan secara tidak adil, manakah belarasa, kasih dan pengorbanan kita? Saat sesama manusia mengulurkan tangan untuk bersahabat, balasannya ditampik marah? Saat sesama membutuhkan pelayanan kita, malah membiarkannya merana tidak peduli? Tidakkah teladan kasih dan pengorbanan Yesus Kristus mengetuk hati kita?

Marilah meneladani kepemimpinan yang mengubah dari para tokoh dunia, yang lebih baik lagi meneladani kepemimpinan Yesus Kristus (Isa Almasih)

(dari berbagai sumber)


Selasa, Januari 04, 2011

Kritik terhadap Aparatur Negara

Kritik terhadap pemerintah atau lembaga negara lainnya kerapkali disampaikan lewat berbagai cara dan media. Kritik itu amat pedas, karena menohok kelemahan atau kekurangan lembaga negara.

Ambil contoh kritik kepada DPR. Kritik bahwa lembaga DPR atau dulu disebut Parlemen Indonesia kekanak-kanakan pernah dilontarkan oleh mantan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid).

Kritik dengan cap kekanak-kanakan oleh Gus Dur bagi anggota DPR terjadi karena anggota DPR kerap beradu jotos alias berantam di gedung tempat DPR terhormat. Karena kritik Gus Dur itu, mungkin menjadi sala satu penyebab bahwa masa pemerintahannya tidak bertahan lama.

Contoh lain, kritik senada dengan sebutan kekanak-kanakan itu juga pernah dilontarkan pers luar negeri kepada Parlemen Indonesia sebagai kritik (1953)(lih.A.S.Sudiarja,SJ, Karya Lengkap Driyarkara: Gramedia: 2006, hlm.XXX). Pers Barat (tidak disebutkan nama pers darimana) menyebut bahwa Parlemen Indonesia itu childish (kekanak-kanakan), para pemimpin dan pegawainya tidak cakap, tidak jujur, terlalu banyak korupsi dan sebagainya.

Mendengar kritik (kekanak-kanakan), terlebih lagi bila dijadikan cap bagi kita akan menyakitkan. Kritik ini semestinya menjadi permenungan semua pemimpin di negeri ini.

Sebab nyata-nyatanya dewasa ini, kritik pers luar negeri tersebut masih relevan bagi bangsa kita. Masih banyak pemimpin entah di pusat atau di daerah, demikian juga anggota DPR dan aparatur negara lainnya yang masih belum optimal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sejumlah pegawai negeri tidak produktif, hanya datang ke kantor, duduk, nongkrong lalu menunggu absen dan pulang.

Malahan karena penegakan hukum lemah, kasus korupsi tetap merajalela. Kasus yang lain belum tuntas (kasus Bibit-Candra), kasus Gayus muncul menampar wajah penegak hukum.

Elit partai politik sibuk mempersiapkan pencitraan diri, sementara rakyat korban bencana belum pulih sepenuhnya dari penderitaannya.

Yang menjadi korban adalah rakyat kecil karena ulah yang tidak bertanggung jawab dan kekanak-kanakan oleh oknum aparatur negara.

Untuk itu, kritik semacam kritik dari pers luar negeri yang pedas tersebut perlu diterima bukan dengan emosi atau diabaikan saja.

Pada jamannya, Prof.Dr. N. Driyarkara memberi pendapat lewat tulisan di sebuah majalah "Warung Pojok": 'Orang sini mendengar berondongan kritik pedas macam itu tidak boleh marah atau juga tidak boleh tidur saja. Orang yang kalau dikritik lalu marah, membantah, tidak akan memperbaiki tindakannya. Sebaliknya, jika nekad, tidak peduli, ia akan celaka sendiri. Kritik Luar Negeri memang keras. Moga-moga saja orang sini tidak keras kepala' (Diarium Driyarkara, 20-4-1954, ibid. Sudiarja SJ).

Masukan atau pandangan Driyarkara tersebut benar-benar kena di hati jika kita membacanya dengan sepenuh hati. Namun, akan berlalu sia-sia begitu saja bila dibaca dengan setengah hati.

Mari kita peduli akan kritik dan menindaklanjutinya, bukan dengan marah atau pura-pura tidak dengar.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, Januari 02, 2011

Sumbangan Pemikiran Prof.Dr.N. Driyarkara bagi Indonesia

Prof. Dr. N. Driyarkara merupakan salah satu pemikir awal Indonesia yang mempunyai reputasi nasional. Selain sebagai dosen filsafat di berbagai tempat (termasuk di St. Louis, Amerika Serikat), beliau juga termasuk politisi (anggota MPRS wakil. GOLKAR, 1962-1967 dan anggota DPA tahun 1965-1967)

Sebagai filosof, ia telah berjasa bagi Indonesia. Jasanya tidak pertama-tama terletak dalam menyajikan konsep-konsep jadi untuk diterapkan - kecuali mungkin pemikirannya mengenai pendidikan dan Pancasila yang memang sangat khas - melainkan dalam merintis, menantang, dan menghidupkan pembicaraan yang serius dan mendalam untuk menghadapi persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa.

Ia memang setia dan taat pada hakekat filsafat, yang harus memanusiakan manusia lewat berpikir jelas, kritis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk Indonesia, ia membawa semboyan "sapere aude" untuk masyarakat Indonesia guna merintis zaman pencerahan Indonesia.

Bagi para peminat filsafat di Indonesia, mereka seyogiyanya menularkan teladan Prof. N.Driyarkara dalam membangun pencerahan lewat berpikir kritis, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Semoga

(Sumber: Karya Lengkap Driyarkara, Sudiarja, Dr.A, dkk., (penyunting), Gramedia: Jakarta 2006)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Yang Dilupakan dari Nilai-nilai Pancasila

Pancasila sudah mulai sepi dari pembicaraan publik. Padahal Pancasila sebagai dasar negara merupakan puncak kesepakatan nasional.
Melihat aneka sikap dan perilaku, tindakan dan perbuatan dari beberapa elit partai politik, pejabat negara, aksi sekelompok organisasi massa seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, kekerasan terhadap penganut agama lain, mementingkan diri atau kelompok menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila sudah mulai dilupakan.
Tak luput juga, hubungan antar pemeluk agama menjadi agak renggang, karena adanya larangan mengucapkan selamat natal, soal pendirian rumah ibadah dan kebebasan beribadah kelompok minoritas.
Alangkah baiknya jika setiap pejabat publik, elit politik, tokoh agama, segenap masyarakat, merefleksikan nilai-nilai dari setiap Sila Pancasila sebagai berikut:
A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa:
(1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; (2) Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup; (3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; (4) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab:
(1) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia; (2) Saling mencintai sesama manusia; (3) Mengembangkan sikap tenggang rasa; (4) Tidak semena-mena terhadap orang lain; (5) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; (6) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; (7) Berani membela kebenaran dan keadilan; (8) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia karena dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
C. Sila Persatuan Indonesia: (1) Menempatkan persatuan, kesatuan, di atas kepentingan pribadi atau golongan; (2) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; (3) Cinta tanah air dan bangsa; (4) Bangga sebagai bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia; (5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
D. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan: (1) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat; (2) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; (3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; (4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan; (5) Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah; (6) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur; (7) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: (1) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan; (2) Bersikap adil (3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; (4) Menghormati hak-hak orang lain; (5) Suka memberikan pertolongan kepada orang lain; (6) Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; (7) Tidak bersifat boros (8) Tidak bergaya hidup mewah; (9) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum (10) Suka bekerja keras; (11) Menghargai hasil karya orang lain; (12) Bersamai-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Jika segenap masyarakat Indonesia benar-benar mengacu pada nilai-nilai Pancasila ini dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka pada saatnya kita akan melihat Indonesia sebagai bangsa yang nasionalis dan religius, sebab nilai-nilai Pancasila universal dan tidak bertentangan dengan agama manapun.
Dibutuhkan satu komitmen dan kemauan untuk Indonesia, agar Garuda dan Pancasila benar-benar didada segenap warga bangsa. Dengan demikian, kita yakin kita akan menjadi bangsa PEMENANG bukan pecundang. Semoga.
(Pormadi S., dari berbagai sumber)

Powered by Telkomsel BlackBerry®
Powered By Blogger