Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, Oktober 24, 2014

Revolusi Mental Negara Melindungi Segenap Bangsa

Bagaimana mengimplementasikan amanat konstitusi kita "… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia .."? Pertanyaan tersebut dilontarkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada acara Seminar sehari Peta Masalah Pelayanan Negara Terhadap Kehidupan Beragama yang diselenggarakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama di Jakarta (20/9).

Pertemuan yang diprakarsai Menag yang masa jabatanya sudah berakhir tersebut (kemungkinan dipilih lagi?) mendapat apresiasi dari peserta Seminar. Inisiatif ini harus ditindaklanjuti, karena kenyataan di lapangan selama ini, masih jauh dari harapan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan terjamin.Inisiatif tersebut menyampaikan pesan bahwa Pemerintah/Negara perlu memetakan masalah pelayanan dan perlindungan warga negara sehingga bisa mengimplementasikan programnya guna mewujudkan Indonesia yang maju, aman, rukun, adil, sejahtera dan bermartabat. Istilah keren sekarang, perlu revolusi mental perlindungan negara terhadap warganya.

Penulis menyoroti bahwa perlindungan kepada segenap bangsa yang diberikan oleh negara belum benar-benar sesuai konstitusi, padahal Indonesia sudah 69 tahun merayakan kemerdekaannya. Negara atau Pemerintah perlu introspeksi diri atas tugasnya sebagai pelindung dan pelayan segenap warga negara menurut konstitusi.

Dasar Negara
Salah satu pendasaran negara untuk melindungi dan menjamin kehidupan beragama segenap warga bangsa sudah jelas ditegaskan dalam regulasi kita. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2): "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Prinsip kebebasan beragama (freedom of religion) telah diperkuat oleh MPR dengan dua pasal hasil amandemen kedua yakni Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali" dan pasal 28I ayat (1) yang berbunyi: "Hak untuk Hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".

Namun, penegakan dan pelaksanaan regulasi tersebut untuk melindungi warga negara oleh Pemerintah dirasakan belum maksimal. Selama masa reformasi, kekerasan berbasis agama atau keyakinan di Indonesia, menurut Setara Institute (2011) dan CRCS UGM (2014), cenderung meningkat. Kontras mencatat kasus kekerasan terhadap warga oleh aparat negara meningkat dari 112 kasus (2011) menjadi 448 kasus (2012) dan meningkat lagi menjadi 709 kasus dengan korban mencapai 4.569 warga. (Kompas, 7/10).

Hak Warga yang belum terlayani
Beberapa catatan mengenai hak warga negara belum terlayani dan terjamin adalah kesulitan mendirikan tempat ibadah bagi agama non mayoritas, hak menjalankan tradisi ibadah menurut agama dan kepercayaan di rumah warga, dan pemenuhan hak-hak sipil bagi agama di luar agama yang diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu).

Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat dinilai kurang memadai dalam menindak pelanggaran terhadapnya. Untuk itu, status regulasi tersebut perlu ditingkatkan menjadi Undang-undang atau Peraturan Presiden.
Kekerasan dan peminggiran nasib sebagian warga bangsa ini membuat kita prihatin. Kasus Cikeusik, Pandeglang, pengusiran jemaah Ahmadiyan dan Syiah merupakan bukti bahwa perlindungan negara terhadap warganya belum optimal. Negara juga tidak tegas dan keras dalam menerapkan hukum yang berlaku. Akibatnya hak hidup dan kebebasan beragama sebagian warga tidak dilindungi.

Perlindungan lain yang belum benar-benar dirasakan sebagian warga negara soal bagi penduduk yang memeluk "agama"/ kepercayaan di luar agama yang enam, seperti, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Parmalim dan lain-lain. Mereka kerapkali kesulitan ketika mengajukan permohonan pencatatan perkawinan, Kantor Catatan Sipil tidak bersedia mencatat dengan alasan agamanya tidak termasuk agama yang diakui sebagaimana ketentuan pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Masalah ini akan berlanjut pada kesulitan pemenuhan hak-hak sipil karena tidak adanya Akta Kelahiran Anak, dan lainnya.

Belum lagi, masalah pendidikan agama bagi keluarga yang beragama di luar agama yang enam. Padahal layanan pendidikan agama di sekolah adalah hak yang diberikan oleh negara kepada setiap peserta didik di sekolah maupun di Perguruan Tinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) huruf a: "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan anak berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".

Warga beragama di luar agama yang enam juga menghadapi masalah dimana penetapan persyaratan pada rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan TNI/POLRI tertutup bagi mereka. Fasilitas keringanan hukuman (remisi pidana) bagi narapidana yang menganut agama selain yang enam, karena hari Raya di luar agama yang enam belum diakui.

Revolusi Mental Perlindungan Negara
Sudah saatnya kita melakukan revolusi mental perlindungan segenap bangsa. Regulasi kita sudah transparan dan disepakati bersama untuk berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka penegakan, pelaksanaan dan perbaikan regulasi tersebut harus tegas, tepat dan inklusif. Negara atau Pemerintah tidak lagi bisa sekedar berwacana dan pandai bersilat lidah dengan bahasa-bahasa halus untuk menutupi kelemahan atau kekurangan Negara atau Pemerintah dalam melindungi warganya.

Inisiatif Menag untuk memetakan masalah pelayanan dan perlindungan Negara bagi warga menyiratkan bahwa hak asasi manusia sebagaimana pada pasal 28I ayat (1) UUD 1945 harus dijunjung tinggi. Hak untuk Hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun harus menjadi pegangan, pedoman, dan paradigma semua elemen bangsa mulai dari Pemerintah sampai dengan rakyat di akar rumput. Sosialisasi peraturan ini menjadi mendesak. Siapa mengurangi hak asasi ini berarti melawan negara. Negara harus menindak siapapun atau kelompok manapun yang berusaha mengurangi hak asasi tersebut, dengan memperhatikan hak yang wajar dan sesuai konstitusi.

Harapan ini lebih tepat diarahkan kepada Presiden dan wakil Presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla yang mengharapkan perlunya Revolusi Mental bagi segenap bangsa dan negara Indonesia. Jokowi-JK dengan jajaran pembantunya (Kementerian Agama, POLRI, Kemendagri, dan lain-lain) mensosialisasikan lewat program bimbingan masyarakat. Visi mereka adalah terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Gotong-royong merupakan kekuatan rakyat dalam bahu-membahu mengatasi masalah dan mencari solusi bersama.

Dengan gotong royong ini semakin memungkinkan Negara untuk menjamin kehidupan dan melindungi warga negara Indonesia. Salah satu agenda prioritas Pemerintahan Jokowi-JK dari 9 program (Nawa Cita) adalah menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.

Bung Karno mengharapkan segenap bangsa Indonesia bisa hidup adil dan makmur, tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya. Hal ini ditegaskannya dalam Pidato 4 Mei 1963, "...mengadakan di dalam republik Indonesia itu satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang tiap-tiap orang hidup bahagia, cukup sandang, cukup pangan. Mendapat perumahan yang baik. Tak ada anak-anak sekolah yang tidak masuk sekolah. Pendek kata, satu masyarakat yang adil dan makmur yang tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya." Semoga.

Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tulisan merupakan pandangan pribadi

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, Oktober 15, 2014

Pembina BIA: Membagi Pengalaman Iman


Direktur Urusan Agama Katolik berfoto bersama Pejabat dan peserta.
Pertemuan Pembina Bina Iman Anak (BIA) diarahkan untuk mengenalkan Yesus kepada anak-anak dan membawa anak-anak kepada Yesus. Demikian salah satu garis besar pertemuan Pembina Bina Iman Anak Keuskupan Padang yang berlangsung dari tanggal 30 September sampai dengan 3 Oktober di Hotel Mercure Padang.   

Acara pertemuan Pembina BIA dibuka oleh Direktur Urusan Agama Katolik Kementerian Agama RI, Fransiskus Endang. Fransiskus Endang dalam sambutannya mengatakan bahwa pembinaan BIA merupakan salah satu program Bimas Katolik sebagai bentuk perhatian Pemerintah dalam rangka mengajak masyarakat Katolik untuk menjadi Katolik 100 persen dan seutuhnya Pancasilais.  

Pada kesempatan pembukaan tersebut, Pengganti Sementara Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, H. Afrijal, S.Ag, MM menyambut baik kegiatan pertemuan pembina BIA Keuskupan Padang. Umat Katolik di Keuskupan Padang meskipun minoritas, tetapi ikut berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat Provinsi Sumatera Barat menjadi masyarakat yang religius, berbudaya dan toleran. Untuk itu, sejak usia anak-anak, iman anak-anak perlu dibina agar menjadi masyarakat yang religius, berbudi luhur dan berkepribadian. Segenap masyarakat Provinsi Sumatera Barat diajak terlibat dalam membangun tri-kerukunan, yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan internal umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah. 

Ketua Panitia Penyelenggara, Sigit Basuki Taruno, pertemuan ini dimaksudkan untuk membantu para peserta meningkatkan kemampuan dan mengembangkan profesionalitasnya melalui peningkatan kemampuan menguasai materi/ bahan ajar dan wawasan umum tentang disiplin ilmu yang berkaitan dengan tugasnya, serta meningkatkan kemampuan dalam menggunakan metodologi pembelajaran dan pembinaan iman anak. Melalui kegiatan ini, para peserta diharapkan semakin profesional, mandiri dan percaya diri dalam menjalankan tugas dan panggilannya sebagai Pembina BIA.

Pertemuan Pembina BIA yang diikuti 50 orang pembina BIA dari paroki-paroki yang ada di Provinsi SumateraBarat tersebut diisi masukan pembekalan dan pencerahan dari para narasumber yang kompeten di bidangnya dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan Pembina BIA kepada anak-anak Katolik.

Pastor Alex Irwan Suwandi,Pr, Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Padang, sebagai salah satu narasumber menegaskan bahwa peran pembina BIA amat penting dalam menanamkan iman Katolik sehingga benar-benar berakar, agar kelak umat tidak gampang pindah agama. Para pembina BIA harus kreatif dalam mewartakan iman kepada anak-anak melalaui ajaran/doktrin, pengalaman hidup anak-anak, metode tanya jawab, cerita, media pembelajaran. Untuk itu, pastor yang juga Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Padang tersebut para Pembina BIA perlu mencari waktu untuk berkumpul berbagi pengalaman dan membicarakan metode yang tepat dalam membina anak sesuai dengan kondisi di tempat masing-masing.

Pastor yang merupakan Ketua Yayasan Prayoga Keuskupan Padang tersebut, meneguhkan para pembina BIA harus memiliki spiritualitas sebagai murid Kristus yang hidup di bawah bimbingan Roh Kudus. Untuk itu, para pembina iman anak harus terlebih dulu menimba pengalaman kasih Allah, sebab pengalaman kasih Allah tersebutlah yang kita bagikan kepada anak-anak. Tidak mungkin kita membagi pengalaman kasih Allah, kalau pembina BIA sendiri belum mengalami kasih Allah.

Terkait pentingnya iman mengakar dalam diri anak, juga ditekankan oleh Maria Veronika Loanti, S.Ag, pembinaan BIA harus benar-benar membuat iman akan Yesus itu berakar, dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak-anak. Untuk itu “kurikulum” dan materi pembinaan iman anak harus benar-benar dipersiapkan.

Narasumber lain, Eko Cahyo Rudianto, S.Pd menyebutkan bahwa salah satu metode pembinaan iman anak adalah penggunaan media permainan. Metode permainan tersebut dapat menggunakan alat permainan edukatif (APE). Beberapa hal perlu diperhatikan, bahwa APE itu digunakan untuk mendukung kegiatan main anak, disesuaikan usia anak, dapat dibuat sendiri bersama orang tua anak. APE tersebut juga harus terbuat dari bahan aman untuk anak, menarik dan dapat dimainkan oleh anak dengan berbagai cara serta mudah didapatkan di lingkungan sekitar.

Narasumber lain, Fidelis Waruwu menegaskan bahwa pembentukan dan pertumbuhan kepribadian anak dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor organ biologik (genetic behaviour), faktor sosial-budaya (core value and attitude) dan faktor psiko-edukatif (learned behaviour). Menurutnya, pembentukan kepribadian manusia 55% dipengaruhi faktor organ-biologik, 20% faktor sosial budaya dan 25% dipengaruhi faktor psiko-edukatif. Ketiga faktor ini perlu diperhatikan para pembina Bina Iman Anak.

Fidelis Waruwu, yang juga dosen Psikologi pada Universitas Tarumanagara Jakarta, menjelaskan kepada para peserta pertemuan, bahwa proses pembentukan karakter anak-anak berangkat dari tahap oberservasi anak terhadap nilai-nilai yang diperankan dan ditampilkan orang tua/ orang-orang di sekitarnya, kemudian anak memasuki tahap meniru, lalu dapat menjadi kebiasaan anak-anak, lama-kelamaan menjadi sifat dalam diri anak-anak, lalu pada akhirnya bisa menjadi karakter karena sifat-sifat tersebut terjadi berulang-ulang dalam setiap waktu dan kondisi. Itu berarti karakter itu dipelajari anak dari teladan dari orang-orang dewasa yang di sekitar anak-anak.

Pada hari terakhir pertemuan, para pembina BIA berharap pembinaan dan pelatihan semacam ini dapat dialami semua pembina BIA secara periodik agar mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mewartakan iman kepada anak-anak Katolik. Pormadi Simbolon (diliput dari Padang)

Harus Menjadi Pelaksana Firman


Penyuluh sebagai petugas pewarta Firman Allah harus menjadi teladan dari firman itu sendiri. Jika tidak menjadi teladan, orang susah percaya. Demikian salah satu pesan Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama RI ketika menutup acara Pembinaan Juru Penerang/Penyuluh Agama Katolik Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar di Mamuju (29/8).

“Para Penyuluh Agama Katolik merupakan tenaga pewarta Firman Allah. Ia harus menjadi teladan dari firman itu sendiri, banyak orang susah percaya akan apa yang dikatakan pewarta, orang baru percaya atas apa dibuat oleh pewarta ”, tegas Eusabius Binsasai.

Pimpinan Ditjen Bimas Katolik tersebut juga menegaskan bahwa para penyuluh agama Katolik dan umat sudah dibaptis dan diutus untuk melakukan tugas sebagai imam, nabi dan raja. Sebagai imam, dipanggil untuk menguduskan, sebagai nabi diutus untuk mewartakan firman Allah dan sebagai raja dipanggil untuk memimpin.

Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal di lapangan, pesan Dirjen, para Juru Penerang/ penyuluh agama Katolik harus memberikan teladan, perlu membuat data dan peta pelayanan kerja sehingga tepat sasaran.

Acara yang dihadiri 60 peserta yang berasal dari Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar tersebut diawali dengan pembukaan oleh Direktur Urusan Agama Katolik, Fransiskus Endang didampingi oleh perwakilan Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat, Drs. H.M. Muflih BF, MM, lalu dilanjutkan masukan pembinaan dari para narasumber yaitu RD. Martinus Pasomba, vikaris episkopalis Provinsi Sulawesi Barat, RD. Viktor Patabang, Ketua Komisi Kateketik Keuskupan agung Makassar dan Fidelis Elisati Waruwu, Dosen Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta.

Adapun tema-tema materi terkait dengan arah dasar pastoral Gereja Katolik, pedoman praktis dalam penyuluhan, tantangan dan optimisme penyuluh agama Katolik di Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar, pendidikan karakter melalui penyuluhan, penggunaan media dalam penyuluhan, dan spiritualitas panggilan sebagai penyuluh agama Katolik.

Setelah menerima masukan narasumber, para peserta berdiskusi dan kerja kelompok mengenai permasalahan yang dihadapi para Juru Penerang/ Penyuluh agama Katolik di daerah masing-masing, dan berbagi solusi yang telah diusahakan masing-masing. Seusai memberi sambutan dan pengarahannya, Dirjen menutup acara Pembinaan Juru Penerang/Penyuluh Agama Katolik Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar di Mamuju yang berlangsung 4 hari (26-29 Agustus 2014) di Mamuju. Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo dan Sulawesi Utara. (Pormadi)
Powered By Blogger