foto: markinternational.com |
I.
Pengantar
Etika merupakan
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya
untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau mau menjadi baik. Dalam
Etika Islam, para teolog atau pemikir Islam terjadi pro dan kontra. Yang pro mengatakan bahwa peran nalar penting
dalam pemikiran etika. Yang kontra menolaknya karena
peran nalar terbatas. Dalam tulisan ini,
akan dibahas etika Islam dan peran nalar di dalamnya. Pokok bahasan ini dipilih
dengan maksud untuk mengetahui pemikiran tentang etika Islam dan peran nalar di
dalamnya. Pembahasan ini dimulai definisi etika Islam, sumber etika Islam,
tujuan etika Islam, peran nalar dalam Islam, pemikiran beberapa filosof Islam,
pengelompokan aliran teolog Islam, posisi penalaran, hubungan etika Islam dengan Etika Aristoteles
dan Imannuel Kant, dan diakhiri dengan penutup.
II. Definisi
Etika Islam
Etika Islam diartikan
sebagai aklaq (bentuk plural dari khuluq),
yang berarti karakter, kodrat, dan kecenderungan (disposition). Kata akhlaq
sangat dekat hubungannya dengan kata khaliq
(Pencipta) dan makhluq (ciptaan),
dan antara makhluq dengan makhluk sendiri[1].
Akhlaq
atau karakter mengacu pada keadaan jiwa yang menentukan tindakan
seseorang. Aklak bukanlah jiwa maupun
tindakan itu sendiri. Karakter bersifat internal dalam jiwa sedangkan tindakan
merupakan perwujudannya. Bila karakternya baik akan menghasilkan tindakan yang
baik pula. Akhlak atau karakter dapat diperoleh dengan latihan dan praktik.
Al
Farabi, seorang Filosof besar Muslim mengakui keterhubungan antara akhlaq atau keadaan
jiwa dengan tindakan manusia. Ia mengartikan Etika Islam atau akhlaq sebagai
sebuah ilmu yang mempelajari keadaan jiwa.
Ibn
Miskawayh dalam karyanya Tahzib al-Akhlaq
mendefinisikan akhlaq sebagai ‘keadaan jiwa yang terwujud dalam tindakan tanpa
pemikiran atau pertimbangan’
Al
Ghazali mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua bentuk: khalq dan khuluq atau
akhlaq. Khalq mengacu pada bentuk fisik manusia, sedangkan khuluq atau akhlaq
mengacu pada bentuk spiritual (roh) manusia. Menurutnya, akhlaq berakar dalam
jiwa dan berwujud melalui tindakan.
Al
Ghazali mendefinisikan etika Islam atau ilm al-akhlaq merupakan cara mencapai
jiwa yang baik dan menjaganya untuk melawan sifat buruk. Baginya juga, wilayah
etika Islam itu sangat luas. Etika Islam adalah kajian tentang keyakinan
keagamaan, soal tindakan yang baik atau yang salah untuk tujuan praktik, bukan
hanya melulu sebagai pengetahuan. Etika Islam juga adalah soal pembelajaran
tindakan yang benar terhadap Allah, anggota keluarga, dan masyarakat.
Menurut
Ibn Taymiyyah, Etika Islam atau Ilmu Akhlaq adalah ilmu yang mencari tahu tindakan mana yang harus dilakukan dan
tindakan mana yang harus dihindari.
Jadi
cakupan Etika Islam sangat banyak, jangkauannya luas dan komprehensif, karena
terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia,
manusia dengan ciptaan alam semesta, dan manusia dengan dirinya sendiri.
III. Sumber
Etika Islam
Ada
2 sumber utama Etika Islam: Al Quran dan Sunnah Nabi. Al Quran merupakan sumber
paling utama yang diberikan Allah kepada manusia sebagai tuntunan hidup, di
samping Sunnah Nabi, sebagai model peran yang harus diteladani.
Sumber lain etika Islam adalah Teologi
Islam. Para teolog Islam mendiskusikan selain soal sumber pengetahuan etika,
dasar kewajiban moral dan pengertian istilah-istilah etika, tapi juga soal
tanggung jawab dan kebebasan manusia dan keadilan ilahi. Para teolog Islam
terkait pertanyaan etika ini, mempunyai posisinya sendiri. Misalnya, teolog
Islam Determinist menganut kemutlakan
kekuasaan ilahi, menolak realitas tanggung jawab dan kebebasan manusia, dan
tidak mau melakukan justifikasi kekuasaan ilahi.
Sementara kelompok teolog lain (Mu’talizite), menegaskan bahwa manusia
memiliki kekuasaan dan kebebasan untuk
memilih dan bertindak menurut akal budi (nalar). Mereka mengatakan bahwa
tindakan seperti berdoa, puasa dan Zakat ditentukan melalui pewahyuan. Akan
tetapi ada hal-hal lain ditentukan sebagai baik melalui penalaran. Bagi mereka
kewajiban moral adalah rasional. Keputusan nalar atau akal budi tidak hanya
dimiliki manusia, tetapi juga Allah.
Kelompok teolog lain, Ash’arite mengambil posisi tengah antara determinisme absolut
dengan kelompok Muztazilite. Kelompok Asharite berpendapat bahwa pewahyuan
meruapakan satu-satunya jalan untuk mengetahui yang baik dan yang benar. Mereka
tidak setuju tentang peran nalar selain untuk mengetahui apa yang menyenangkan,
berguna dan berbahaya. Tidak ada sesuatu menjadi kewajiban, kecuali wahyu
memerintahkannya.
Kelompok Masturidis dan Salafi
(Ibn Taymiyyah) setuju sebagian pendapat Mu’tazilites tentang peran nalar.
Menurut mereka, akal budi sungguh menyingkap atau mengatakan hal-hal sebagai baik, buruk, benar atau salah
dalam pengertian etika. Namun ada keterbatasan akal budi, dimana ada hal-hal
sebagai baik atau buruk diketahui hanya melalui wahyu.
IV. Tujuan
Etika Islam
Shariah
atau hukum Islam adalah perintah Allah yang diwahyukan kepada Nabi. Hukum ini
juga mengatur negara dan masyarakat. Shariah sangat berbeda dengan hukum
manusiawi, karena hukum tersebut
berdasarkah wahyu ilahi.
Tujuan Shariah atau hukum Islam sama dengan
Etika Islam yaitu untuk membangun hidup manusia dengan dasar kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari
hal-hal buruk (mungkarat). Dalam
Shariah, ada batas-batas yang ditentukan Allah bagia manusia. Allah dengan
jelas menyebutkan apa yang halal dan apa yang haram.
Untuk menjamin kebahagiaan atau Kebaikan
suatu kehidupan, membutuhkan Etika Islam atau ilmu Akhlaq untuk memantau
hubungannya dengan Tuhan, dengan keluarga, sesama warga dalam masyarakat,
dengan makhluk alam semesta dan bahkan dengan dirinya sendiri. Sebagai contoh,
etika Islam, sholat 5 kali dalam sehari
V. Pemikiran
Beberapa Filosof Islam
Integrasi warisan filosofis dari zaman kuno di dunia
Islam adalah faktor pendukung utama dalam penggunaan tradisi filosofis di
kalangan intelektual Muslim. Ini memunculkan tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn
Sina (Ibnu Sina), Ibn Rusyd (Averroes), dan lainnya, yang menjadi terkenal di
Eropa abad pertengahan sebagai filsuf, komentator dan eksponen tradisi klasik
akan kembali ke Plato dan Aristoteles. Khotbah umum adab, yang didasarkan pada
bahasa dan keprihatinan filosofis dan moral, mewakili bagian penting dari
warisan kosmopolitan etika dalam Islam dan mencerminkan upaya untuk mendamaikan
nilai-nilai agama dan berdasarkan tulisan suci dengan landasan etika yang
berbasis intelektual dan moral. Oleh karena itu, tradisi filsafat filosofis
Muslim adalah dua hal yang signifikan: untuk menilai dalam melanjutkan dan meningkatkan
filsafat Yunani klasik dan untuk komitmennya untuk mensintesiskan pemikiran
Islam dan filosofis[2].
Al-Farabi (wafat 950) berargumentasi untuk keselarasan
antara cita-cita agama yang saleh dan tujuan dari pemerintahan yang sejati.
Melalui filsafat, seseorang mampu mencapai pemahaman tentang bagaimana
kebahagiaan manusia harus dicapai, tetapi jalan sebenarnya menuju kebajikan dan
tindakan moral melibatkan perantaraan agama. Dia membandingkan pendirian agama
dengan pendirian sebuah kota. Warga harus mendapatkan sifat-sifat yang
memungkinkan mereka berfungsi sebagai penghuni polis yang berbudi luhur.
Demikian pula pendiri agama menetapkan norma-norma yang harus dijunjung melalui
tindakan, jika komunitas agama yang tepat harus didirikan. Dorongan argumen
Farabi, terutama karena diartikulasikan dalam karya klasiknya, The Virtous City, menyarankan kerangka
kerja komunal untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, dan karena itu peran sosial
dan politik yang signifikan untuk agama serta keterlibatan dalam keprihatinan
yang sama oleh politisi. Dalam hal ini, penekanan pada kebajikan dan konotasi
etisnya menyarankan fokus umum untuk filsafat Yunani dan Muslim, yaitu
penerapan standar dan norma-norma seperti itu kepada masyarakat politik.
Semakin besar kebijaksanaan dan semangat para penguasa membuat warga semakin
besar kemungkinan untuk mencapai tujuan sejati filosofi dan kebahagiaan agama.
Ibnu Sina (wafat 1037) mengembangkan argumen bahwa Nabi
mewujudkan totalitas tindakan dan pemikiran bajik, yang terbaik yang tercermin
dalam pencapaian kebajikan moral. Nabi telah memperoleh karakteristik moral
yang dibutuhkan untuk perkembangannya sendiri yang, setelah menghasilkan jiwa
yang sempurna, tidak hanya menanamkan kapasitas intelek bebas, tetapi juga
membuatnya mampu menetapkan aturan untuk orang lain, melalui hukum dan
pendirian. keadilan. Ini menyiratkan bahwa Nabi melampaui filsuf dan penguasa
yang berbudi luhur, yang memiliki kapasitas untuk perkembangan intelektual dan
moralitas praktis, masing-masing. Pembentukan keadilan adalah, dalam pandangan
Ibnu Sina, dasar untuk semua kebaikan manusia. Perpaduan filsafat dan agama
mencakup kehidupan harmonis di dunia ini dan di akhirat.
Ibn Rusyd (wafat
1198) dihadapkan pada tugas yang menakutkan bagi seorang filsuf Muslim untuk
mempertahankan filsafat melawan serangan, yang paling terkenal adalah oleh
teolog Muslim Sunni yang besar, Al-Ghazali (wafat 1111). Yang terakhir, melalui
karya berjudul The Incoherence of
Philosophers, telah berusaha untuk mewakili filsuf sebagai
kontradiksi-diri, anti-alkitabiah dan dalam beberapa kasus sebagai penegasan
keyakinan bidaah. Pembelaan Ibn
Rusyd
didasarkan pada pendapatnya bahwa Al-Qur'an memerintahkan penggunaan refleksi
dan akal budi dan bahwa studi filsafat melengkapi pendekatan tradisionalis
terhadap Islam. Dia menegaskan bahwa filsafat dan Islam memiliki tujuan bersama
tetapi melalui cara yang berbeda. Dengan demikian ada identitas dasar yang
menarik antara Muslim yang mengadopsi kerangka pemikiran filosofis dan mereka
yang menegaskan kerangka yuridis.
Singkatnya, berbagai filsuf Muslim dalam ekstensi mereka
dan revisi sesekali gagasan klasik sebelumnya menghubungkan etika dengan
pengetahuan teoritis, yang harus diperoleh dengan sarana rasional. Karena
manusia itu rasional, kebaikan dan kualitas yang mereka anut dan praktikkan
dilihat sebagai tujuan akhir dari individu dan komunitas. Tujuan ini adalah
pencapaian kebahagiaan.
VI. Peran
Nalar dalam Islam
Fazlur Rahman, seorang cendekiawan pemikiran Islam Universitas Chicago yang terkenal dan pemikir Muslim moderat, berpendapat bahwa pada tahap awal Islam digerakkan oleh kepedulian moral dan rasional yang mendalam untuk mereformasi kehidupan masyarakat. Nilai-nilai moral tersebut diperoleh dengan cara menggunakan nalar dan melakukan kajian-kajian rasional. Seperti tradisi pada agama lainnya, dan khususnya Kristen dan Yudaisme, Islam perlu menjawab pertanyaan seperti 'Apa yang seharusnya dilakukan? Dan apa tidak boleh dilakukan agar hidup bermoral?' Pertanyaan ini melahirkan pemahaman yang jelas tentang hidup bermoral dan apa sumber otoritas moral dalam Islam.
Dalam pemahaman Fazlur Rahman, ketika Tuhan mengungkapkan
kehendaknya kepada umat manusia dalam Al-Quran, Tuhan juga mendesak manusia
untuk menggunakan nalar dalam memahami wahyu. Salah satu hasil penyelidikan
rasional terhadap makna wahyu ini mendorong komunitas Muslim untuk menguraikan
aturan-aturan perilaku etis dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar aturan etis.
Pada akhirnya hubungan antara Al Quran dan teladan kehidupan
Nabi sebagai cara perilaku hidup, memperluas kerangka nilai dan kewajiban yang
ditetapkan. Proses penetapan dan elaborasi ini melibatkan penerapan nalar
manusia dan hal itu merupakan interaksi berkelanjutan antara nalar dan wahyu.
Proses ini melahirkan dasar atas ungkapan formal pemikiran etika dalam Islam.
Dengan kata lain, nalar bertugas untuk membantu memahami wahyu ilahi dan untuk
menerapkan hukum-hukum atau dalil-dalil Allah pada masalah-masalah etis yang
ada dan yang akan muncul sesuai jamannya.
VII. Pengelompokan Aliran
Terkait dengan peran nalar dalam etika Islam, paling
tidak ada empat aliran yang menonjol, yaitu:
pertama, aliran rasionalis,
yang diprakarsai oleh teolog Qadari dan Mu’tazil pada abad kedelapan dan
kesembilan. Kaum Muktazil, menegaskan bahwa manusia memiliki kekuasaan dan
kebebasan untuk memilih dan bertindak
menurut akal budi (nalar). Mereka mengatakan bahwa tindakan seperti berdoa,
puasa dan zakat ditentukan melalui pewahyuan. Akan tetapi ada hal-hal lain
ditentukan sebagai baik melalui penalaran. Bagi mereka kewajiban moral adalah
rasional. Keputusan nalar atau akal budi tidak hanya dimiliki manusia, tetapi
juga Allah.
Kedua, aliran semi-rasionalis yang diprakarsai oleh teolog
Asyarite. Kelompok Asharite berpendapat bahwa pewahyuan merupakan satu-satunya
jalan untuk mengetahui yang baik dan yang benar. Mereka tidak setuju tentang
peran nalar selain bahwa nalar hanya untuk mengetahui apa yang menyenangkan,
berguna dan berbahaya. Tidak ada sesuatu menjadi kewajiban, kecuali wahyu
memerintahkannya
Ketiga: aliran anti-rasionalis yang diperjuangkan pada abad
kesebelas oleh penulis Zahiri Ibn Hazm (wafat 1064) dan pada abad ke-13 oleh
Ibnu Taimiyah (wafat 1328). Dalam aliran ini, validitas penalaran dialektik dan
teologis ditentang, dan kitab suci dipandang ditafsirkan secara harfiah, dan
merupakan sumber utama kebenaran religius (Ibid, hal.3-4). Kelompok yang sering
disebut juga sebagai kelompok aliran Salafi ini yang diperlopori Ibn Taymiyyah setuju sebagian
pendapat Mu’tazilites tentang peran nalar. Menurut mereka, akal budi sungguh
menyingkap atau mengatakan hal-hal
sebagai baik, buruk, benar atau salah dalam pengertian etika. Namun ada
keterbatasan akal budi, dimana ada hal-hal sebagai baik atau buruk diketahui
hanya melalui wahyu.
Aliran keempat rasionalis moderat. Aliran ini merupakan aliran
yang dianut kelompok Shiite. Aliran rasionalis moderat ini diprakarsai oleh
Imam Ali dalam pidato-pidatonya, yang disusun dalam Nahj al-Buraghah dan dikembangkan oleh para teolog Syiah seperti
Nassir al-Din Tusi (wafat 1274), Mulla Muhsin Fayd Kashani (wafat 1712) dan
Mulla Mahdi Naraqi (wafat 1830). Aliran Syiah mengaitkan otoritas yang sah setelah kematian Nabi Muhammad kepada sepupunya dan menantu laki-lakinya
Imam Ali dan kemudian kepada keturunannya yang ditunjuk, yang dikenal sebagai
Imam (Pemimpin) yang berjumlah dua belas orang. Tradisi Shiite menegaskan pentingnya
penggunaan kajian rasional dan intelektual dan berkomitmen membuat sintesis dan
pengembangan lebih lanjut unsur-unsur yang sesuai dengan yang ada dalam
agama-agama lain dan tradisi intelektual di luar Islam (Singer, 1994, hal.
115).
VIII. Posisi
Penalaran
Secara historis, aliran pemikiran Mu'tazilah mati dan
pandangannya tidak diterima oleh mayoritas aliran lainnya. Mayoritas Muslim
secara turun temurun (tradisionalis) menerima bahwa segala tindakan harus
didasarkan pada sumber utama iman yaitu teks Al-Quran dan Sunnah Nabi. Al-Syafi'i, salah satu pendiri Sekolah Hukum
Islam menekankan bahwa wahyulah sumber utama pengertian atau makna. Baik dan
jahat harus ditentukan atas dasar bukti tekstual, Al Quran dan dengan perluasannya
yang terkandung dalam tradisi atau
Sunnah Nabi. Mereka tidak setuju tentang peran nalar selain untuk mengetahui
apa yang menyenangkan, berguna dan berbahaya. Tidak ada sesuatu menjadi
kewajiban, kecuali wahyu yang memerintahkannya.
Dapat
disimpulkan bahwa dasar terakhir terkait kewajiban moral harus merujuk pada teks
atau ayat dalam Al-Quran dan Sunnah. Dari kedua sumber utama tersebut diuraikan
berbagai perintah dan larangan Allah yag dirumuskan menjadi hukum Shari 'a. Perumusan
perintah dan larangan seperti itu dalam buku-buku hukum Muslim dinyatakan sebagai
etika Islam.
IX. Hubungan
Etika Islam dengan Etika Aristoteles dan Immanuel Kant
a. Etika
Islam dan Etika Aristoteles
Etika
Islam adalah etika teonom. Kebahagiaan dicapai bila mengikuti perintah Allah
dalam Al Quran dan Hadits. Sedangkan Etika Aristoteles menjadikan keutamaan sebagai sarana untuk tujuan yang lebih
tinggi yaitu kebahagiaan. Ia membagi keutamaan menjadi 2 yaitu keutamaan moral
dan keutamaan akal. Keutamaan moral dapat dicapai dengan tindakan moderat
(tengah-tengah) antara dua sisi
keutamaan, baik dalam berperilaku maupun berperasaan. Sedangkan keutamaan rasio merupakan sarana menuju kebenaran.
Kebahagiaan manusia hanya dapat diraih melalui kehidupan rasional dalam bentuk
paling sempurna. Kesimpulannya, etika Islam memiliki hubungan yang sangat jauh
dengan Etika Aristoteles. Etika Islam menekankan pelaksanaan perintah Tuhan
yang diturunkan melalui wahyu, tanpa perlu dipertanyakan lagi, , sedangkan
dengan Etika Aristoteles sangat menekankan rasio, penalaran akal budi dalam mencapai
kebenaran dan kebahagiaan.
b. Etika
Islam dan Etika Immanuel Kant
Etika
Islam mengajarkan manusia menjadi baik dan bahagia bila melaksanakan perintah
dan larangan dari Allah. Etika Kant menyatakan jika tindakan yang dilakukan
sesuai dengan kewajiban, maka tindakan tersebut mengandung kehendak baik.
Karena segala yang berkehendak baik adalah yang wajib. Kant yakin bahwa
tindakan yang dilakukan karena kewajiban sebagai tindakan demi memenuhi hukum
moral yang murni. Menurut Kant, hukum
dikatakan murni jika ia tidak berisi konsep-konsep empiris. Prinsip moralitas
yang tertinggi ini adalah murni dalam arti bahwa prinsip-prinsip ini tidak
berkenaan dengan tindakan-tindakan secara spesifik. Artinya di sini penerapan
tindakan yang berasal dari dorongan hatinya yang sesuai dengan hukum moral.
Maksud moralitas menurut Kant adalah
kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita,
yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban. Bagi Kant, kewajibanlah yang
akan menjadi tolak ukur sebagai tindakan boleh atau tidaknya suatu tindakan
yang akan dilakukan. Di sini pengetahuan moral berperan penting. Hal demikian
berguna untuk memilih tindakan yang benar dan tidak benar, tentang apa yang
harus dilakukan atau harus tidak dilakukan; tentang sikap apa yang harus
diambil. Sehingga nantinya akan menghasilkan kehendak yang baik dikehendaki
untuk dilakukan. Dari sinilah nantinya akan menghasilkan kebaikan tertinggi
(Summum Bonum), di mana sesuatu tindakan tersebut dinilai yang dipandang
sebagai kenikmatan, karena pemenuhan kewajiban atau hati nurani atau panggilan
Tuhan. Kehendak baik, cinta dan kemanusiaan.
Kesimpulannya, Etika Islam dan Etika Kant memiliki
hubungan yang agak jauh, dimana yang
pertama menekankan kewajiban mengikuti perintah dan larangan dalam wahyu (Al
Quran dan Hadits) dan yang kedua menekankan kewajiban berdasarkan hukum
batiniah atau hati nurani manusia dan rasional.
X. Penutup
Pada dasarnya akal atau nalar manusia berperan penting
dalam interaksi antara penalaran dan wahyu dalam Islam. Nalar bertugas untuk
membantu memahami wahyu ilahi dan untuk menerapkan hukum-hukum atau dalil-dalil
Allah pada masalah-masalah etis baru. Namun soal pemikiran etika atau pemikiran
moral Islam harus merujuk pada teks atau ayat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Etika
Islam merupakan etika teonom. Tantangannya adalah bagaimana etika Islam
berhadapan dengan masyarakat multikultural, apakah bisa berdialog dengan etika di luar
Islam? Etika Islam juga harus berhadapan dengan masalah-masalah baru, yang
mungkin secara eksplisit tidak terdapat dalil dalam Al Quran.
***
DAFTAR PUSTAKA
Magnis-Suseno,
Franz, 1987, Etika Dasar, Masalah-Masalah
Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisisus.
Hesamifar,
Abdurrazzaq, Islamic Ethics and Intrinsic
Value of Human Being, dalam University of Tabriz Journal of Philosophical
Investigations Volume 6, No. 11 Autumn & Winter 2012.
Singer, Peter (ed.) 1997,
A Companion to Ethics, Oxford:
Blackwell
[1]
Seperti dijelaskan Adibah
Binti Abdul Rahim dalam Understanding Islamic Ethics and Its
Significance on the Character Building dalam
International Journal of Social Science
and Humanity, Vol. 3, No. 6, November 2013
[2] Referensi
dari tulisan Azim Nanji dalam,
Peter Singer (ed.)
1997, A Companion to Ethics, Oxford: Blackwell