Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, Juli 26, 2019

ETIKA ISLAM DAN PERAN NALAR

foto: markinternational.com

I.          Pengantar
Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau mau menjadi baik. Dalam Etika Islam, para teolog atau pemikir Islam terjadi pro dan kontra.  Yang pro mengatakan bahwa peran nalar penting dalam pemikiran etika. Yang kontra menolaknya   karena peran nalar terbatas.  Dalam tulisan ini, akan dibahas etika Islam dan peran nalar di dalamnya. Pokok bahasan ini dipilih dengan maksud untuk mengetahui pemikiran tentang etika Islam dan peran nalar di dalamnya. Pembahasan ini dimulai definisi etika Islam, sumber etika Islam, tujuan etika Islam, peran nalar dalam Islam, pemikiran beberapa filosof Islam, pengelompokan aliran teolog Islam, posisi penalaran,  hubungan etika Islam dengan Etika Aristoteles dan Imannuel Kant, dan diakhiri dengan penutup.

II.       Definisi Etika Islam
Etika Islam diartikan sebagai aklaq (bentuk plural dari khuluq), yang berarti karakter, kodrat, dan kecenderungan (disposition). Kata akhlaq sangat dekat hubungannya dengan kata khaliq (Pencipta) dan makhluq (ciptaan), dan antara makhluq dengan makhluk sendiri[1].
Akhlaq atau karakter mengacu pada keadaan jiwa yang menentukan tindakan seseorang.  Aklak bukanlah jiwa maupun tindakan itu sendiri. Karakter bersifat internal dalam jiwa sedangkan tindakan merupakan perwujudannya. Bila karakternya baik akan menghasilkan tindakan yang baik pula. Akhlak atau karakter dapat diperoleh dengan latihan dan praktik.
Al Farabi, seorang Filosof besar Muslim mengakui keterhubungan antara akhlaq atau keadaan jiwa dengan tindakan manusia. Ia mengartikan Etika Islam atau akhlaq sebagai sebuah ilmu yang mempelajari keadaan jiwa.
Ibn Miskawayh dalam karyanya Tahzib al-Akhlaq mendefinisikan akhlaq sebagai ‘keadaan jiwa yang terwujud dalam tindakan tanpa pemikiran atau pertimbangan’
Al Ghazali mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua bentuk: khalq dan khuluq atau akhlaq. Khalq mengacu pada bentuk fisik manusia, sedangkan khuluq atau akhlaq mengacu pada bentuk spiritual (roh) manusia. Menurutnya, akhlaq berakar dalam jiwa dan berwujud melalui tindakan.
Al Ghazali mendefinisikan etika Islam atau ilm al-akhlaq merupakan cara mencapai jiwa yang baik dan menjaganya untuk melawan sifat buruk. Baginya juga, wilayah etika Islam itu sangat luas. Etika Islam adalah kajian tentang keyakinan keagamaan, soal tindakan yang baik atau yang salah untuk tujuan praktik, bukan hanya melulu sebagai pengetahuan. Etika Islam juga adalah soal pembelajaran tindakan yang benar terhadap Allah, anggota keluarga, dan masyarakat.
Menurut Ibn Taymiyyah, Etika Islam atau Ilmu Akhlaq adalah ilmu yang mencari tahu  tindakan mana yang harus dilakukan dan tindakan mana yang harus dihindari.
Jadi cakupan Etika Islam sangat banyak, jangkauannya luas dan komprehensif, karena terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan ciptaan alam semesta, dan manusia dengan dirinya sendiri.

III.    Sumber Etika Islam
Ada 2 sumber utama Etika Islam: Al Quran dan Sunnah Nabi. Al Quran merupakan sumber paling utama yang diberikan Allah kepada manusia sebagai tuntunan hidup, di samping Sunnah Nabi, sebagai model peran yang harus diteladani.
     Sumber lain etika Islam adalah Teologi Islam. Para teolog Islam mendiskusikan selain soal sumber pengetahuan etika, dasar kewajiban moral dan pengertian istilah-istilah etika, tapi juga soal tanggung jawab dan kebebasan manusia dan keadilan ilahi. Para teolog Islam terkait pertanyaan etika ini, mempunyai posisinya sendiri. Misalnya, teolog Islam Determinist menganut kemutlakan kekuasaan ilahi, menolak realitas tanggung jawab dan kebebasan manusia, dan tidak mau melakukan justifikasi kekuasaan ilahi.
     Sementara kelompok teolog lain (Mu’talizite), menegaskan bahwa manusia memiliki kekuasaan dan kebebasan  untuk memilih dan bertindak menurut akal budi (nalar). Mereka mengatakan bahwa tindakan seperti berdoa, puasa dan Zakat ditentukan melalui pewahyuan. Akan tetapi ada hal-hal lain ditentukan sebagai baik melalui penalaran. Bagi mereka kewajiban moral adalah rasional. Keputusan nalar atau akal budi tidak hanya dimiliki manusia, tetapi juga Allah.
     Kelompok teolog lain, Ash’arite mengambil posisi tengah antara determinisme absolut dengan kelompok Muztazilite. Kelompok Asharite berpendapat bahwa pewahyuan meruapakan satu-satunya jalan untuk mengetahui yang baik dan yang benar. Mereka tidak setuju tentang peran nalar selain untuk mengetahui apa yang menyenangkan, berguna dan berbahaya. Tidak ada sesuatu menjadi kewajiban, kecuali wahyu memerintahkannya.
     Kelompok Masturidis dan Salafi (Ibn Taymiyyah) setuju sebagian pendapat Mu’tazilites tentang peran nalar. Menurut mereka, akal budi sungguh menyingkap atau mengatakan  hal-hal sebagai baik, buruk, benar atau salah dalam pengertian etika. Namun ada keterbatasan akal budi, dimana ada hal-hal sebagai baik atau buruk diketahui hanya melalui wahyu.  

IV.    Tujuan Etika Islam
Shariah atau hukum Islam adalah perintah Allah yang diwahyukan kepada Nabi. Hukum ini juga mengatur negara dan masyarakat. Shariah sangat berbeda dengan hukum manusiawi, karena hukum tersebut  berdasarkah wahyu ilahi.
     Tujuan Shariah atau hukum Islam sama dengan Etika Islam yaitu untuk membangun hidup manusia dengan dasar kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari hal-hal buruk (mungkarat). Dalam Shariah, ada batas-batas yang ditentukan Allah bagia manusia. Allah dengan jelas menyebutkan apa yang halal dan apa yang haram.
     Untuk menjamin kebahagiaan atau Kebaikan suatu kehidupan, membutuhkan Etika Islam atau ilmu Akhlaq untuk memantau hubungannya dengan Tuhan, dengan keluarga, sesama warga dalam masyarakat, dengan makhluk alam semesta dan bahkan dengan dirinya sendiri. Sebagai contoh, etika Islam, sholat 5 kali dalam sehari

V.       Pemikiran Beberapa Filosof Islam
Integrasi warisan filosofis dari zaman kuno di dunia Islam adalah faktor pendukung utama dalam penggunaan tradisi filosofis di kalangan intelektual Muslim. Ini memunculkan tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina (Ibnu Sina), Ibn Rusyd (Averroes), dan lainnya, yang menjadi terkenal di Eropa abad pertengahan sebagai filsuf, komentator dan eksponen tradisi klasik akan kembali ke Plato dan Aristoteles. Khotbah umum adab, yang didasarkan pada bahasa dan keprihatinan filosofis dan moral, mewakili bagian penting dari warisan kosmopolitan etika dalam Islam dan mencerminkan upaya untuk mendamaikan nilai-nilai agama dan berdasarkan tulisan suci dengan landasan etika yang berbasis intelektual dan moral. Oleh karena itu, tradisi filsafat filosofis Muslim adalah dua hal yang signifikan: untuk menilai dalam melanjutkan dan meningkatkan filsafat Yunani klasik dan untuk komitmennya untuk mensintesiskan pemikiran Islam dan filosofis[2].
Al-Farabi (wafat 950) berargumentasi untuk keselarasan antara cita-cita agama yang saleh dan tujuan dari pemerintahan yang sejati. Melalui filsafat, seseorang mampu mencapai pemahaman tentang bagaimana kebahagiaan manusia harus dicapai, tetapi jalan sebenarnya menuju kebajikan dan tindakan moral melibatkan perantaraan agama. Dia membandingkan pendirian agama dengan pendirian sebuah kota. Warga harus mendapatkan sifat-sifat yang memungkinkan mereka berfungsi sebagai penghuni polis yang berbudi luhur. Demikian pula pendiri agama menetapkan norma-norma yang harus dijunjung melalui tindakan, jika komunitas agama yang tepat harus didirikan. Dorongan argumen Farabi, terutama karena diartikulasikan dalam karya klasiknya, The Virtous City, menyarankan kerangka kerja komunal untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, dan karena itu peran sosial dan politik yang signifikan untuk agama serta keterlibatan dalam keprihatinan yang sama oleh politisi. Dalam hal ini, penekanan pada kebajikan dan konotasi etisnya menyarankan fokus umum untuk filsafat Yunani dan Muslim, yaitu penerapan standar dan norma-norma seperti itu kepada masyarakat politik. Semakin besar kebijaksanaan dan semangat para penguasa membuat warga semakin besar kemungkinan untuk mencapai tujuan sejati filosofi dan kebahagiaan agama.
Ibnu Sina (wafat 1037) mengembangkan argumen bahwa Nabi mewujudkan totalitas tindakan dan pemikiran bajik, yang terbaik yang tercermin dalam pencapaian kebajikan moral. Nabi telah memperoleh karakteristik moral yang dibutuhkan untuk perkembangannya sendiri yang, setelah menghasilkan jiwa yang sempurna, tidak hanya menanamkan kapasitas intelek bebas, tetapi juga membuatnya mampu menetapkan aturan untuk orang lain, melalui hukum dan pendirian. keadilan. Ini menyiratkan bahwa Nabi melampaui filsuf dan penguasa yang berbudi luhur, yang memiliki kapasitas untuk perkembangan intelektual dan moralitas praktis, masing-masing. Pembentukan keadilan adalah, dalam pandangan Ibnu Sina, dasar untuk semua kebaikan manusia. Perpaduan filsafat dan agama mencakup kehidupan harmonis di dunia ini dan di akhirat.
Ibn Rusyd (wafat 1198) dihadapkan pada tugas yang menakutkan bagi seorang filsuf Muslim untuk mempertahankan filsafat melawan serangan, yang paling terkenal adalah oleh teolog Muslim Sunni yang besar, Al-Ghazali (wafat 1111). Yang terakhir, melalui karya berjudul The Incoherence of Philosophers, telah berusaha untuk mewakili filsuf sebagai kontradiksi-diri, anti-alkitabiah dan dalam beberapa kasus sebagai penegasan keyakinan bidaah. Pembelaan Ibn
Rusyd didasarkan pada pendapatnya bahwa Al-Qur'an memerintahkan penggunaan refleksi dan akal budi dan bahwa studi filsafat melengkapi pendekatan tradisionalis terhadap Islam. Dia menegaskan bahwa filsafat dan Islam memiliki tujuan bersama tetapi melalui cara yang berbeda. Dengan demikian ada identitas dasar yang menarik antara Muslim yang mengadopsi kerangka pemikiran filosofis dan mereka yang menegaskan kerangka yuridis.
Singkatnya, berbagai filsuf Muslim dalam ekstensi mereka dan revisi sesekali gagasan klasik sebelumnya menghubungkan etika dengan pengetahuan teoritis, yang harus diperoleh dengan sarana rasional. Karena manusia itu rasional, kebaikan dan kualitas yang mereka anut dan praktikkan dilihat sebagai tujuan akhir dari individu dan komunitas. Tujuan ini adalah pencapaian kebahagiaan.

VI.    Peran Nalar dalam Islam 
        Fazlur Rahman, seorang cendekiawan pemikiran Islam Universitas Chicago yang terkenal dan pemikir Muslim moderat, berpendapat bahwa pada tahap awal Islam digerakkan oleh kepedulian moral dan rasional yang mendalam untuk mereformasi kehidupan masyarakat. Nilai-nilai moral tersebut diperoleh dengan cara menggunakan nalar dan melakukan kajian-kajian rasional. Seperti tradisi pada agama lainnya, dan khususnya Kristen dan Yudaisme, Islam perlu menjawab pertanyaan seperti 'Apa yang seharusnya dilakukan? Dan apa tidak boleh dilakukan agar hidup bermoral?' Pertanyaan ini melahirkan pemahaman yang jelas tentang hidup bermoral dan apa sumber otoritas moral dalam Islam.
Dalam pemahaman Fazlur Rahman, ketika Tuhan mengungkapkan kehendaknya kepada umat manusia dalam Al-Quran, Tuhan juga mendesak manusia untuk menggunakan nalar dalam memahami wahyu. Salah satu hasil penyelidikan rasional terhadap makna wahyu ini mendorong komunitas Muslim untuk menguraikan aturan-aturan perilaku etis dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar aturan etis.  
Pada akhirnya hubungan antara Al Quran dan teladan kehidupan Nabi sebagai cara perilaku hidup, memperluas kerangka nilai dan kewajiban yang ditetapkan. Proses penetapan dan elaborasi ini melibatkan penerapan nalar manusia dan hal itu merupakan interaksi berkelanjutan antara nalar dan wahyu. Proses ini melahirkan dasar atas ungkapan formal pemikiran etika dalam Islam. Dengan kata lain, nalar bertugas untuk membantu memahami wahyu ilahi dan untuk menerapkan hukum-hukum atau dalil-dalil Allah pada masalah-masalah etis yang ada dan yang akan muncul sesuai jamannya.

VII.      Pengelompokan Aliran
Terkait dengan peran nalar dalam etika Islam, paling tidak ada empat aliran yang menonjol, yaitu:  pertama, aliran rasionalis, yang diprakarsai oleh teolog Qadari dan Mu’tazil pada abad kedelapan dan kesembilan. Kaum Muktazil, menegaskan bahwa manusia memiliki kekuasaan dan kebebasan  untuk memilih dan bertindak menurut akal budi (nalar). Mereka mengatakan bahwa tindakan seperti berdoa, puasa dan zakat ditentukan melalui pewahyuan. Akan tetapi ada hal-hal lain ditentukan sebagai baik melalui penalaran. Bagi mereka kewajiban moral adalah rasional. Keputusan nalar atau akal budi tidak hanya dimiliki manusia, tetapi juga Allah.
Kedua, aliran semi-rasionalis yang diprakarsai oleh teolog Asyarite. Kelompok Asharite berpendapat bahwa pewahyuan merupakan satu-satunya jalan untuk mengetahui yang baik dan yang benar. Mereka tidak setuju tentang peran nalar selain bahwa nalar hanya untuk mengetahui apa yang menyenangkan, berguna dan berbahaya. Tidak ada sesuatu menjadi kewajiban, kecuali wahyu memerintahkannya
Ketiga: aliran anti-rasionalis yang diperjuangkan pada abad kesebelas oleh penulis Zahiri Ibn Hazm (wafat 1064) dan pada abad ke-13 oleh Ibnu Taimiyah (wafat 1328). Dalam aliran ini, validitas penalaran dialektik dan teologis ditentang, dan kitab suci dipandang ditafsirkan secara harfiah, dan merupakan sumber utama kebenaran religius (Ibid, hal.3-4). Kelompok yang sering disebut juga sebagai kelompok aliran Salafi ini  yang diperlopori Ibn Taymiyyah setuju sebagian pendapat Mu’tazilites tentang peran nalar. Menurut mereka, akal budi sungguh menyingkap atau mengatakan  hal-hal sebagai baik, buruk, benar atau salah dalam pengertian etika. Namun ada keterbatasan akal budi, dimana ada hal-hal sebagai baik atau buruk diketahui hanya melalui wahyu.
Aliran keempat rasionalis moderat. Aliran ini merupakan aliran yang dianut kelompok Shiite. Aliran rasionalis moderat ini diprakarsai oleh Imam Ali dalam pidato-pidatonya, yang disusun dalam Nahj al-Buraghah dan dikembangkan oleh para teolog Syiah seperti Nassir al-Din Tusi (wafat 1274), Mulla Muhsin Fayd Kashani (wafat 1712) dan Mulla Mahdi Naraqi (wafat 1830). Aliran Syiah mengaitkan otoritas yang sah setelah kematian Nabi Muhammad kepada sepupunya dan menantu laki-lakinya Imam Ali dan kemudian kepada keturunannya yang ditunjuk, yang dikenal sebagai Imam (Pemimpin) yang berjumlah dua belas orang. Tradisi Shiite menegaskan pentingnya penggunaan kajian rasional dan intelektual dan berkomitmen membuat sintesis dan pengembangan lebih lanjut unsur-unsur yang sesuai dengan yang ada dalam agama-agama lain dan tradisi intelektual di luar Islam (Singer, 1994, hal. 115).

VIII.       Posisi Penalaran
Secara historis, aliran pemikiran Mu'tazilah mati dan pandangannya tidak diterima oleh mayoritas aliran lainnya. Mayoritas Muslim secara turun temurun (tradisionalis) menerima bahwa segala tindakan harus didasarkan pada sumber utama iman yaitu teks Al-Quran dan Sunnah Nabi.  Al-Syafi'i, salah satu pendiri Sekolah Hukum Islam menekankan bahwa wahyulah sumber utama pengertian atau makna. Baik dan jahat harus ditentukan atas dasar bukti tekstual, Al Quran dan dengan perluasannya yang terkandung dalam tradisi  atau Sunnah Nabi. Mereka tidak setuju tentang peran nalar selain untuk mengetahui apa yang menyenangkan, berguna dan berbahaya. Tidak ada sesuatu menjadi kewajiban, kecuali wahyu yang memerintahkannya.
Dapat disimpulkan bahwa dasar terakhir terkait kewajiban moral harus merujuk pada teks atau ayat dalam Al-Quran dan Sunnah. Dari kedua sumber utama tersebut diuraikan berbagai perintah dan larangan Allah yag dirumuskan menjadi hukum Shari 'a. Perumusan perintah dan larangan seperti itu dalam buku-buku hukum Muslim dinyatakan sebagai etika Islam.

IX.    Hubungan Etika Islam dengan Etika Aristoteles dan Immanuel Kant
a.      Etika Islam dan Etika Aristoteles
Etika Islam adalah etika teonom. Kebahagiaan dicapai bila mengikuti perintah Allah dalam Al Quran dan Hadits. Sedangkan Etika Aristoteles menjadikan  keutamaan sebagai sarana untuk tujuan yang lebih tinggi yaitu kebahagiaan. Ia membagi keutamaan menjadi 2 yaitu keutamaan moral dan keutamaan akal. Keutamaan moral dapat dicapai dengan tindakan moderat (tengah-tengah)  antara dua sisi keutamaan, baik dalam berperilaku maupun berperasaan.  Sedangkan keutamaan  rasio merupakan sarana menuju kebenaran. Kebahagiaan manusia hanya dapat diraih melalui kehidupan rasional dalam bentuk paling sempurna. Kesimpulannya, etika Islam memiliki hubungan yang sangat jauh dengan Etika Aristoteles. Etika Islam menekankan pelaksanaan perintah Tuhan yang diturunkan melalui wahyu, tanpa perlu dipertanyakan lagi, , sedangkan dengan Etika Aristoteles sangat menekankan rasio, penalaran akal budi dalam mencapai kebenaran dan kebahagiaan.  

b.      Etika Islam dan Etika Immanuel Kant
Etika Islam mengajarkan manusia menjadi baik dan bahagia bila melaksanakan perintah dan larangan dari Allah. Etika Kant menyatakan jika tindakan yang dilakukan sesuai dengan kewajiban, maka tindakan tersebut mengandung kehendak baik. Karena segala yang berkehendak baik adalah yang wajib. Kant yakin bahwa tindakan yang dilakukan karena kewajiban sebagai tindakan demi memenuhi hukum moral yang murni.  Menurut Kant, hukum dikatakan murni jika ia tidak berisi konsep-konsep empiris. Prinsip moralitas yang tertinggi ini adalah murni dalam arti bahwa prinsip-prinsip ini tidak berkenaan dengan tindakan-tindakan secara spesifik. Artinya di sini penerapan tindakan yang berasal dari dorongan hatinya yang sesuai dengan hukum moral.
     Maksud moralitas menurut Kant adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban. Bagi Kant, kewajibanlah yang akan menjadi tolak ukur sebagai tindakan boleh atau tidaknya suatu tindakan yang akan dilakukan. Di sini pengetahuan moral berperan penting. Hal demikian berguna untuk memilih tindakan yang benar dan tidak benar, tentang apa yang harus dilakukan atau harus tidak dilakukan; tentang sikap apa yang harus diambil. Sehingga nantinya akan menghasilkan kehendak yang baik dikehendaki untuk dilakukan. Dari sinilah nantinya akan menghasilkan kebaikan tertinggi (Summum Bonum), di mana sesuatu tindakan tersebut dinilai yang dipandang sebagai kenikmatan, karena pemenuhan kewajiban atau hati nurani atau panggilan Tuhan. Kehendak baik, cinta dan kemanusiaan.
     Kesimpulannya, Etika Islam dan Etika Kant memiliki hubungan yang agak jauh,  dimana yang pertama menekankan kewajiban mengikuti perintah dan larangan dalam wahyu (Al Quran dan Hadits) dan yang kedua menekankan kewajiban berdasarkan hukum batiniah atau hati nurani manusia dan rasional.

X.       Penutup
Pada dasarnya akal atau nalar manusia berperan penting dalam interaksi antara penalaran dan wahyu dalam Islam. Nalar bertugas untuk membantu memahami wahyu ilahi dan untuk menerapkan hukum-hukum atau dalil-dalil Allah pada masalah-masalah etis baru. Namun soal pemikiran etika atau pemikiran moral Islam harus merujuk pada teks atau ayat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Etika Islam merupakan etika teonom. Tantangannya adalah bagaimana etika Islam berhadapan dengan masyarakat multikultural, apakah bisa berdialog dengan etika di luar Islam? Etika Islam juga harus berhadapan dengan masalah-masalah baru, yang mungkin secara eksplisit tidak terdapat dalil dalam Al Quran.
***
DAFTAR PUSTAKA

Magnis-Suseno, Franz, 1987, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisisus.

Hesamifar, Abdurrazzaq, Islamic Ethics and Intrinsic Value of Human Being, dalam University of Tabriz Journal of Philosophical Investigations Volume 6, No. 11 Autumn & Winter 2012.

Singer, Peter (ed.) 1997,  A Companion to Ethics, Oxford: Blackwell

Rahim, Adibah Binti Abdul, Understanding Islamic Ethics and Its Significance on the Character Building  dalam International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 3, No. 6, November 2013


[1] Seperti dijelaskan Adibah Binti Abdul Rahim dalam  Understanding Islamic Ethics and Its Significance on the Character Building  dalam International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 3, No. 6, November 2013
[2] Referensi dari tulisan Azim Nanji dalam, Peter Singer (ed.) 1997,  A Companion to Ethics, Oxford: Blackwell
Powered By Blogger