Pertemuan yang diprakarsai Menag yang masa jabatanya sudah berakhir tersebut (kemungkinan dipilih lagi?) mendapat apresiasi dari peserta Seminar. Inisiatif ini harus ditindaklanjuti, karena kenyataan di lapangan selama ini, masih jauh dari harapan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan terjamin.Inisiatif tersebut menyampaikan pesan bahwa Pemerintah/Negara perlu memetakan masalah pelayanan dan perlindungan warga negara sehingga bisa mengimplementasikan programnya guna mewujudkan Indonesia yang maju, aman, rukun, adil, sejahtera dan bermartabat. Istilah keren sekarang, perlu revolusi mental perlindungan negara terhadap warganya.
Penulis menyoroti bahwa perlindungan kepada segenap bangsa yang diberikan oleh negara belum benar-benar sesuai konstitusi, padahal Indonesia sudah 69 tahun merayakan kemerdekaannya. Negara atau Pemerintah perlu introspeksi diri atas tugasnya sebagai pelindung dan pelayan segenap warga negara menurut konstitusi.
Dasar Negara
Salah satu pendasaran negara untuk melindungi dan menjamin kehidupan beragama segenap warga bangsa sudah jelas ditegaskan dalam regulasi kita. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2): "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Prinsip kebebasan beragama (freedom of religion) telah diperkuat oleh MPR dengan dua pasal hasil amandemen kedua yakni Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali" dan pasal 28I ayat (1) yang berbunyi: "Hak untuk Hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
Namun, penegakan dan pelaksanaan regulasi tersebut untuk melindungi warga negara oleh Pemerintah dirasakan belum maksimal. Selama masa reformasi, kekerasan berbasis agama atau keyakinan di Indonesia, menurut Setara Institute (2011) dan CRCS UGM (2014), cenderung meningkat. Kontras mencatat kasus kekerasan terhadap warga oleh aparat negara meningkat dari 112 kasus (2011) menjadi 448 kasus (2012) dan meningkat lagi menjadi 709 kasus dengan korban mencapai 4.569 warga. (Kompas, 7/10).
Hak Warga yang belum terlayani
Beberapa catatan mengenai hak warga negara belum terlayani dan terjamin adalah kesulitan mendirikan tempat ibadah bagi agama non mayoritas, hak menjalankan tradisi ibadah menurut agama dan kepercayaan di rumah warga, dan pemenuhan hak-hak sipil bagi agama di luar agama yang diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu).
Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat dinilai kurang memadai dalam menindak pelanggaran terhadapnya. Untuk itu, status regulasi tersebut perlu ditingkatkan menjadi Undang-undang atau Peraturan Presiden.
Kekerasan dan peminggiran nasib sebagian warga bangsa ini membuat kita prihatin. Kasus Cikeusik, Pandeglang, pengusiran jemaah Ahmadiyan dan Syiah merupakan bukti bahwa perlindungan negara terhadap warganya belum optimal. Negara juga tidak tegas dan keras dalam menerapkan hukum yang berlaku. Akibatnya hak hidup dan kebebasan beragama sebagian warga tidak dilindungi.
Perlindungan lain yang belum benar-benar dirasakan sebagian warga negara soal bagi penduduk yang memeluk "agama"/ kepercayaan di luar agama yang enam, seperti, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Parmalim dan lain-lain. Mereka kerapkali kesulitan ketika mengajukan permohonan pencatatan perkawinan, Kantor Catatan Sipil tidak bersedia mencatat dengan alasan agamanya tidak termasuk agama yang diakui sebagaimana ketentuan pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Masalah ini akan berlanjut pada kesulitan pemenuhan hak-hak sipil karena tidak adanya Akta Kelahiran Anak, dan lainnya.
Belum lagi, masalah pendidikan agama bagi keluarga yang beragama di luar agama yang enam. Padahal layanan pendidikan agama di sekolah adalah hak yang diberikan oleh negara kepada setiap peserta didik di sekolah maupun di Perguruan Tinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) huruf a: "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan anak berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".
Warga beragama di luar agama yang enam juga menghadapi masalah dimana penetapan persyaratan pada rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan TNI/POLRI tertutup bagi mereka. Fasilitas keringanan hukuman (remisi pidana) bagi narapidana yang menganut agama selain yang enam, karena hari Raya di luar agama yang enam belum diakui.
Revolusi Mental Perlindungan Negara
Sudah saatnya kita melakukan revolusi mental perlindungan segenap bangsa. Regulasi kita sudah transparan dan disepakati bersama untuk berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka penegakan, pelaksanaan dan perbaikan regulasi tersebut harus tegas, tepat dan inklusif. Negara atau Pemerintah tidak lagi bisa sekedar berwacana dan pandai bersilat lidah dengan bahasa-bahasa halus untuk menutupi kelemahan atau kekurangan Negara atau Pemerintah dalam melindungi warganya.
Inisiatif Menag untuk memetakan masalah pelayanan dan perlindungan Negara bagi warga menyiratkan bahwa hak asasi manusia sebagaimana pada pasal 28I ayat (1) UUD 1945 harus dijunjung tinggi. Hak untuk Hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun harus menjadi pegangan, pedoman, dan paradigma semua elemen bangsa mulai dari Pemerintah sampai dengan rakyat di akar rumput. Sosialisasi peraturan ini menjadi mendesak. Siapa mengurangi hak asasi ini berarti melawan negara. Negara harus menindak siapapun atau kelompok manapun yang berusaha mengurangi hak asasi tersebut, dengan memperhatikan hak yang wajar dan sesuai konstitusi.
Harapan ini lebih tepat diarahkan kepada Presiden dan wakil Presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla yang mengharapkan perlunya Revolusi Mental bagi segenap bangsa dan negara Indonesia. Jokowi-JK dengan jajaran pembantunya (Kementerian Agama, POLRI, Kemendagri, dan lain-lain) mensosialisasikan lewat program bimbingan masyarakat. Visi mereka adalah terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Gotong-royong merupakan kekuatan rakyat dalam bahu-membahu mengatasi masalah dan mencari solusi bersama.
Dengan gotong royong ini semakin memungkinkan Negara untuk menjamin kehidupan dan melindungi warga negara Indonesia. Salah satu agenda prioritas Pemerintahan Jokowi-JK dari 9 program (Nawa Cita) adalah menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
Bung Karno mengharapkan segenap bangsa Indonesia bisa hidup adil dan makmur, tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya. Hal ini ditegaskannya dalam Pidato 4 Mei 1963, "...mengadakan di dalam republik Indonesia itu satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang tiap-tiap orang hidup bahagia, cukup sandang, cukup pangan. Mendapat perumahan yang baik. Tak ada anak-anak sekolah yang tidak masuk sekolah. Pendek kata, satu masyarakat yang adil dan makmur yang tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya." Semoga.
Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tulisan merupakan pandangan pribadi
Powered by Telkomsel BlackBerry®