Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Juni 22, 2017

Teladan Jokowi dan Pembangunan Karakter Bangsa


Oleh Pormadi Simbolon

Akhir-akhir ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam setiap kesempatan mengatakan bahwa masyarakaat butuh tauladan dan ia mengajak masyarakat untuk kembali ke jati diri bangsa (karakter) yaitu sebagai bangsa yang santun, berjiwa gotong-royong dan toleran (akun facebook Presiden Joko Widodo). Karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. Namun karakter ini sudah mulai berubah (Kompas.com, 17/10/2014).

Perubahan karakter bangsa tersebut, kata Jokowi, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidakdisiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Jokowi juga pernah mengusulkan agar karakter ini harus dikembalikan melalui jargon Revolusi Mental-nya.

Menjelang hampir 72 tahun Indonesia merdeka, karakter negatif tersebut masih bercokol dalam sebagian oknum pejabat negara/ penyelenggara negara. Yang lebih parah lagi, banyak pejabat pemerintah sibuk memikirkan urusan kedudukan, kursi, dan berkutat dalam perebutan kekuasaan dengan menghembuskan isu komunis ke Istana.

Karakter Manusia Indonesia

Dari kenyataan yang ada, Jokowi mengamini pernyataan Mochtar Lubis yang menyebut enam ciri manusia Indonesia yang mesti dihilangkan. Hal itu dikatakan Jokowi dalam Simposium Nasional II, "Jalan Perubahan untuk Indonesia Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian 2014-2019" di Yogyakarta, (Tempo.co. Selasa,19 Agustus 2014)

Adapun keenam ciri manusia yang diakui Jokowi pernah disampaikan Mochtar Lubis saat berpidato di Taman Ismail Marzuki pada 16 April 1977. Saat itu Mochtar Lubis menyampaikan pidato berjudul "Manusia Indonesia". Pidato tersebut menggariskan enam ciri manusia versi Mochtar Lubis, yakni munafik atau hiporkrit, enggan dan segan bertanggung jawab, bersikap dan berperilaku feodal, percaya tahayul, artistik (berbakat seni), dan lemah watak atau karakter.

Kalau sifat atau karakter itu masih melekat akan sulit membangun kemandirian bangsa. Tulisan ini menyoroti bagaimana cara pembentukan kembali karakter bangsa yang harus dimulai dari masa usia dini.

Sejak Usia Dini

Menurut Psikologi kepribadian, bahwa pembentukan dan pertumbuhankembangan kepribadian anak dipengaruhi oleh 3 faktor dalam diri manusia yaitu faktor organ-biologik (genetic behaviour), faktor sosial-budaya (core value and attitude) dan faktor psiko-edukatif (learned behaviour).

Pembentukan kepribadian manusia 55% dipengaruhi faktor organ-biologik yaitu pentingnya kesehatan fisik atau gizi yang baik bagi masa pertumbuhan anak sejak usia dini; 20% dipengaruhi faktor sosial budaya yaitu soal nilai, moral/etika, kebajikan, dan sikap yang direkam selama masa anak-anak; dan 25% dipengaruhi faktor psiko-edukatif yaitu cara berbuat/bertindak yang dipelajari lewat pembelajaran baik formal maupun non formal. Ketiga faktor ini sangat mendasar dalam pertumbuhkembangan diri anak-anak di tengah keluarga, sekolah dan masyarakat.

Melalui faktor kesehatan fisik, faktor lingkungan sosialnya, dan perbuatan yang dipelajari, seorang anak bertumbuhkembang menjadi insan berkarakter. Pertumbuhkembangan diri dan proses pembentukan karakter anak-anak diawali dari tahap obrservasi terhadap nilai-nilai yang diperankan dan ditampilkan orang tua/ orang-orang di sekitarnya, kemudian anak memasuki tahap meniru (imitasi) secara berulang, lalu sedikit demi sedikit, apa yang ditiru dapat menjadi kebiasaan anak-anak, lalu terus menerus dipraktekkan hingga terbentuk menjadi sifat dalam diri anak-anak, lalu pada akhirnya bisa menjadi karakter karena sifat-sifat tersebut terjadi berulang-ulang dan menonjol dalam setiap waktu dan kondisi.

Sifat yang sangat menonjol dan sudah menjadi bagian dari pola pikir, pola rasa dan pola laku seseorang itulah yang disebut karakternya. Hal itu terbentuk dalam diri anak karena belajar dengan mengobsertasi dan mencontoh “teladan” orang-orang dewasa yang di sekitar anak-anak, bisa keluarga, sekolah dan masyarakat. Karakter ramah, gotong-royong, dan sopan santun terhadap orang lebih tua selama ini dikenal sebagai karakter orang Timur, karena sejak kecil sudah dibiasakan dan mendarah-daging.

Teladan Joko Widodo

Kita masih ingat dengan keunikan Joko Widodo terjadi di ruang Hall D2 JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, pukul 10.50 WIB, Rabu (17/10/2012). Jokowi, spontan mengangkat gong dan memindahkannya ke posisi yang pas. Jokowi mengatur posisi gong itu, bersama Gita Wirjawan. Jokowi semula memegang tiang gong di bagian tengah, lalu berpindah ke sisi pinggir. Dia melakukannya sembari tersenyum lebar. Gita Wirjawan yang berbadan tinggi besar juga memegang gantungan gong di posisi lainnya. Gong ini digeser agak ke belakang. Keduanya mengangkat-angkat peranti gong itu ke posisi yang memudahkan SBY untuk memukul. Gong itu hendak dipukul Presiden SBY sesudah berpidato membuka Trade Expo Indonesia ke-27.

Menurut penulis, sifat atau karakter cekatan melayani dan tanggap terhadap situasi dan mengambil tindakan yang tepat secara spontan merupakan karakter Jokowi yang terbentuk sejak masa kecil dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.

Dewasa ini karakter semacam itu amat sulit ditemukan pada tataran pejabat. Pejabat biasanya langsung meminta ajudan atau staf untuk melakukan aksi seperti yang dilakukan Jokowi.

Pada peristiwa lain, ada kejadian menarik pada orang nomor satu di negeri ini, Jokowi. Saat itu, Presiden Jokowi mengundang para kyai dan ulama ke Istana Negara, Kamis (10/11/2016). Jokowi spontan melayani para tamu dengan memberikan piring saat hendak mengambil santap siang. Menurut penulis, ini merupakan karakter melayani dan menghargai rakyat.

Kejadian seperti ini sulit ditemukan pada pejabat-pejabat penting di republik ini. Sesudah melayani, dan makan siang antara presiden dan para kyai dan ulama lalu duduk lesehan di Istana Negara dalam suasana santai dan menyenangkan.

Sifat melayani dan memperlakukan orang lain dihargai merupakan karakter yang direkam dari masa kecil melalui pola rasa, pola pikir dan pola laku yang ada di lingkungannya.

Lalu bagaimana mengemballikan karakter Indonesia (berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, beriman dan bertakwa kepada Tuhan, dan bergotong-royong) yang mulai memudar?

Dalam sembilan agenda prioritas (Nawa Cita) dalam visi-misi Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) terdapat satu prioritas yang terkait langsung dengan pembangunan karakter bangsa. Program tersebut adalah upaya melakukan revolusi karakter bangsa. Jokowi-JK berjanji melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan (civic education), yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan seperti: pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme, dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam pendidikan Indonesia.

Sudah lebih dua setengah tahun masa pemerintah Jokowi-JK, bahkan sejak masa pemerintah SBY, pembentukan karakter bangsa ini sudah digaungkan, namun belum terlihat secara signifikan. Para pembantu Presiden dari pUsat hingga daerah sebagai leading sector pembentukan karakter bangsa harus memulai dari lingkungan pemerintah dan keluarganya. Para pembantu presiden seyogiyanya yang pertama menyelamatkan lingkungan pendidikan, keluarga dan masyarakat Indonesia dari bibit bibit intoleransi dan radikalisme yang pada akhirnya bisa memecah kesatuan dan yang mengancam kerukukan hidup bersama.

Harapannya, para pembantu Presiden dari tingkat tertinggi hingga terendah bisa menangkap keteladanan pribadi Jokowi dan pesan jargon Revolusi Mentalnya, melalui penjabaran program Nawa CIta Jokowi-JK. Para Menteri terkait perlu mendalami dan merealisasikan program pembangunan dan pembentukan karakter bangsa mulai dari pendidikan tingkat terendah hingga pada perguruan tinggi. Semua pihak harus berpartisipasi mengkondisikan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat bagi kondusifnya pembentukan karakter positif yang menjadi jati diri bangsa Indonesia. Semoga.

Selamat Ulang Tahun Kelahiran ke-56 Presiden Jokowi!

Penulis, rakyat biasa, alumnus STF Widyasasana Malang, tinggal di Tangerang



Senin, Juni 12, 2017

Kegalauan Orang Tua dan Pola Bina Anak di Era Digital


Oleh Pormadi Simbolon

Dewasa ini, tidak sedikit orang tua mengeluh bahwa anak-anak jaman sekarang tidak memiliki karakter tanggung jawab, cenderung egois dan kurang daya juang, kurang toleran, mental kerupuk, instan, suka membangkang, menentang, susah diatur, kurang mandiri, kurang menghormati orang tua (kurang sopan) dan lain sebagainya.

Tak jarang mereka menyalahkan pola pendidikan di sekolah dan gaya hidup kebanyakan masyarakat yang serba digital dan mewah. Orang tua kadang menjadi keras dalam menerapkan disiplin atau aturan dalam kehidupan keluarga, yang belum tentu manjur dalam pendidikan anak.

Reaksi orang tua yang demikian tidak sepenuhnya salah. Ada beberapa faktor yang dapat merusak pertumbuhkembangan diri anak. Perusak pertumbuhkembangan diri anak antara lain adalah siaran televisi. Banyak program televisi di Indonesia yang menjadi tontonan keluarga kerapkali kurang mendidik. Ada sinetron dan reality show tertentu yang mempertontonkan kurang sopan kepada orang yang lebih tua dan tidak toleran terhadap etnis dan agama yang berbeda.

Yang lebih parah lagi, lingkungan pendidikan sekolah sudah dirasuki tindakan kekerasan, bibit intoleransi dan radikalis. Ada guru TK mengajarkan radikalisme kepada anak sejak usia dini yang disebut dengan “tepuk anak sholeh”. Anak-anak diajarkan saling menepuk tangannya dengan slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama “Muslim Yes, Kafir No”. Ini sangat merusak kebersamaan dalam masyarakat majemuk.

Pada hakekatnya anak adalah merupakan pribadi hasil pembentukan zamannya. Anak yang lahir pada tahun empat puluhan sampai dengan tahun enam puluhan pasti berbeda dengan anak yang dilahirkan pada tahun delapan puluhan sampai dengan sembilan puluhan. Anak yang lahir pada tahun empat puluhan sampai dengan tahun enam puluhan akan merasa lebih memiliki karakter tanggung jawab dibadingkan dengan anak yang dilahirkan pada tahun delapan puluhan sampai dengan Sembilan puluhan yang dicap kurang sopan.

Teori Generasi

Dalam teori generasi (Generation Theory) yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004) dibedakan 5 generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964; (2) Generasi X, lahir 1965-1980; (3) Generasi Y, lahir 1981-1994, sering disebut generasi millennial; (4) Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga iGeneration, Generasi Net, Generasi Internet); dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Kelima generasi tersebut memiliki perbedaan pertumbuhkembangan dalam kepribadian.

Menurut teori generasi, generasi Baby Boomer (BB) yang lahir 1946-1964 dan sekarang berusia 50-an tahun adalah generasi dengan pribadi yang lebih bertanggung jawab. Pada kenyataannya dari kecil mereka sudah diberi tanggung-jawab seperti menjaga adik, memasak air, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Hasilnya, mereka selalu bekerja dengan penuh tanggungjawab. Namun di mata generasi muda sekarang ini, mereka dipandang sebagai pribadi yang memiliki sifat menunggu perintah, mesti semua sesuai dengan aturan, memiliki sifat agak mudah tersinggung, pelupa, bawel dan gagap teknologi.

Generasi berikutnya Generasi X (Gen-X), kelahiran 1965-1980 dan sekarang berusia 35-40-an. Generasi ini kerap dipandang memiliki kepribadian kerja keras, patuh pada orang tua, menghargai senior, memiliki jiwa sosial, tidak boros, pantang menyerah. Dilihat dari tahun kelahirannya, mereka memiliki orang tua yang termasuk Generasi BB. Pola mendidik anak pun masih ada kesamaan dengan generasi BB, yaitu dengan disiplin yang keras. Dengan didikan Generasi BB, mereka pun memiliki sikap tanggung jawab. Ketika mereka diserahi tugas apapun, dia akan mengerjakannya penuh tanggung jawab.

Generasi Y (Gen-Y) lahir 1981-1994 dan sekarang berusia 23-30-an tahun. Keadaan ekonomi orang tuanya sudah lebih baik. Kedua orang tua umumnya bekerja di luar rumah. Anak-anak yang lahir pada tahun ini kerap dicap memiliki ego-tinggi, individual, tidak suka diceramahi, suka menunda pekerjaan, kapan butuh baru dikerjakan, tergesa-gesa, cuek, menekankan ego, kurang disiplin, boros, ingin bebas dari orang tua dan suka memilih (membandingkan). Pada umumnya, anak generasi Y kurang mendapatkan latihan tanggungjawab yang berakibat mereka kurang memiliki tanggung jawab, suka yang serba instan, dan praktis.

Generasi Z (Gen-Z), lahir 1995-2010 dan sekarang berusia 7-20-an tahun. Mereka ini kerap disebut juga iGeneration, Generasi Net, Generasi Internet. Orangtua mereka berasal dari generasi X dan Y.

Generasi Alpha (Gen-A), lahir 2011-2025 dan sekarang masih berusia anak-anak. Generasi Alpa memiliki orang tua dari generasi Z, yang pola hidupnya sudah dipengaruhi oleh kemajuan teknologi (gadget). Pengasuhan dibantu oleh asisten Rumah Tangga. Dampaknya, terbentuklah anak-anak yang kerapkali harus minta dibantu, hampir tidak pernah mendapat latihan tanggungjawab. Pribadi Generasi Alpha terbentuk menjadi anak manja, daya juang kurang, dan cepat menyerah.

Berawal dalam keluarga

Dari teori generasi di atas, kita dapat berpendapat bahwa pola pebentukan kepribadian anak-anak tidak sepenuhnya merupakan kesalahan orangtua, pendidikan di sekolah dan masyarakat. Perkembangan zaman, teknologi informasi dan ilmu pengetahuan juga mempunyai pengaruhi besar dalam pembentukan karakter atau keperibadian seseorang. Pembentukan karakter pribadi seseorang pada tahun empat puluhan tidak sekompleks pembentukan pribadi anak di jaman sekarang.

Namun yang paling mendasar diketahui dari teori generasi tersebut adalah bahwa semua pertumbuhan karakter positif seseorang berawal dari dalam keluarga, dimana anak memulai kehidupannya sebagai bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Demikian pula halnya masalah iman atau agama seseorang. Kualitas kehidupan iman atau kehidupan keagamaan seseorang bermula dalam keluarga. Kualitas keluarga menentukan kualitas iman atau agama setiap anak-anak yang lahir di dalam keluarga tersebut. Bila keluarga kacau, maka kepribadian anak pun sangat mungkin akan menjadi kacau.

Pertumbuhkembangan diri anak bisa diibaratkan dengan suatu benih. Setiap anak membawa potensi nilai-nilai yang baik dan yang buruk di dalam dirinya untuk berkembang. Namun potensi tersebut berkembang dan bertumbuh sesuai dengan kualitas tanah dan lingkungan sekitarnya. Konten siaran televisi harus diawasi. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat harus kondusif dalam pembentukan karakter anak. Yang kerap terjadi di lingkungan sekitar anak adalah kurangnya model atau keteladanan dalam keluarga.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Pertama, keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah harus mengupayakan adanya model atau keteladanan atas “nilai-nilai” bagi anak-anak di rumah, sekolah dan masyarakat. Kalau anak sering melihat orang tuanya berdoa, bertanggung jawab atas ekonomi keluarga, membaca Kitab Suci, menolong sesama, mendengar dengan penuh kasih sayang, menghargai perbedaan – maka anak-anak akan menjadi pribadi yang baik, yang toleran, bertanggung jawab, saleh dan beriman/beragama.

Yang kedua, semua pihak perlu melakukan pola pendidikan anak yang memotivasi dan mendorong agar anak-anak melakukan hal-hal baik secara langsung, seperti praktek perilaku sopan santun, taat aturan, berdoa sebelum/sesudah tidur, sebelum/sesudah makan, menolong sesama, membereskan tempat tidur, membuang sampah pada tempatnya, mengunjungi dan memperkenalkan rumah ibadat agama lain, dan lain sebagainya. Anak-anak harus mengalami langsung praktek perbuatan “nilai” tersebut.

Yang ketiga, penggunaan gadget (smartphone) perlu diberi aturan yang jelas dan selalu dalam pengawasan orang tua atau guru,khususnya dalam hal konten media sosial Misalnya, bermain gadget dilarang pada saat makan bersama, rekreasi dan saat belajar. Konten media sosial yang dikonsumsi anak harus kondusif bagi pertumbuhkembangan pribadi anak.

Pada dasarnya, pembentukan karakter anak di era digital akan lebih bermaksa signifikan bila orang dewasa di sekitarnya memberi keteladanan yang baik. Perbuatan "nilai" yang dialami langsung oleh anak akan lebih bermakna dan berdampak positif daripada memasukkan seribu kata atau nasehat kepada anak-anak.

Penulis pemerhati pendidikan anak, ASN Kemenag

Rabu, Juni 07, 2017

Ditjen Bimas Katolik Gelar Pembinaan dan Sosialisasi Zona Integritas


Dalam rangka pembangunan Zona Integritas, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini dimotori oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, maka, dikeluarkanlah peraturan baru yang mengintegrasikan instrumen Zona Integritas dengan instrumen Evaluasi Reformasi Birokrasi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Instansi Pemerintah. Demikian disampaikan Ketua Panitia, Hari, mewakili Direktur Jenderal Bimas Katolik ketika membuka kegiatan Pembinaan dan Sosialisasi Pelaksanaan Zona Integritas dan Reformasi Birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat Katolik di Bogor yang berlangsung dari Senin sampai dengan Kamis (29 Mei s.d. 1 Juni 2017).

Lebih lanjut, Hari mengajak peserta yang terdiri dari para pejabat eselon III, IV dan pegawai jabatan fungsional umum dan tertentu di lingkungan Ditjen Bimas Katolik untuk sungguh-sungguh mempelajari bagaimana menangani dokumen zona integritas yang sekaligus juga menjadi dokumen Reformasi Birokrasi.

“Dalam waktu yang tidak lama lagi, Ombudsman akan dating melakukan survey terkait pelayanan public Ditjen Bimas Katolik dan Inspektorat Jenderal akan memberikan catatan atas pembangunan Zona Integritas di lingkungan kerja kita. Saya mengajak kita semua agar belajar bagaimana menangani dokumen zona integritas. Saya berharap kita bisa berjalan lebih cermat dan menghimppun dokumen penting dalam membangun zona integritas” tegasnya.

Zona integritas adalah predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) /Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Kegiatan pembinaan dan sosialisasi ini para peserta dibekali berbagai materi pembinaan antara lain: (1) Pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM pembicara dari Inspektorat Jenderal Kementerian Agama; (2) Reviu dan Perbaikan Standar Pelayanan dan SOP oleh Pembicara dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; (3) Penetapan Kinerja Individu berbasis Online dalam kaitan Sistem informasi Kepegawaian oleh Pembicara dari Biro Organisasi dan Tatalaksana kemenerian Agama dan (4) Implementasi Pengendalian Gratifikasi, Benturan Kepentingan dan Pengaduan Masyarakat oleh Pembicara dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mendalami materi para narasumber, Hari, sebagai ketua panitia mengajak para peserta membahas 26 item atau sub unsur pembangunan zona integritas yang diturunkan dari 6 komponen pengungkit (Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana, Penataan Manajemen SDM, Penguatan Pengawasan, Penguatan Akuntabilitas Kinerja, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik) dan 2 indikator hasil (Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik)

. Sebelum kegiatan berakhir, panitia melakukan tindak lanjut dan koordinasi terkait pembentukan tim kerja Zona Integritas dan rencana aksi ke depan dalam rangka membangun zona integritas di lingkungan Ditjen Bimas Katolik antara lain melakukan penetapan standar pelayanan atas beberapa layanan publik yang ada pada Ditjen Bimas Katolik dan perbaikan SOP. (Pormadi)
Powered By Blogger