Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label BIMAS KATOLIK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BIMAS KATOLIK. Tampilkan semua postingan

Kamis, September 05, 2019

Mendukung Program Moderasi Beragama

Foto: Republika Online
Beberapa tahun belakangan ini, sekelompok kecil warga negara menampilkan cara hidup beragama secara berlebihan. Mereka kelompok kecil, tapi karena media sosial, suara mereka menjadi "besar". Mereka kerapkali mengatasnamakan gagasan agama untuk menebarkan berita bohong (hoaks), caci-maki, amarah, fitnah, sikap permusuhan, dan ujaran kebencian dan pemecah-belah bangsa.

Mereka juga kelompok yang berkeinginan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Anggota atau simpatisan kelompok ini seperti dilansir dari media massa tersebar di berbagai lembaga, baik di Kementerian/ lembaga pemerintah maupun lembaga yang didirikan masyarakat sipil. Yang tidak habis pikir, kejadian terakhir adalah viralnya video tokoh agama terkenal berisi dugaan penghinaan simbol agama lain. Dalam tulisan ini, penulis mendukung Pemerintah menggagas suatu kebijakan atau program moderasi beragama melawan ekstrimisme dan radikalisme.

Moderasi Beragama
Bertitik tolak dari keadaan yang terjadi di berbagai lini publik, maka Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Agama mencetuskan program atau kebijakan yaitu program moderasi beragama sesuai dengan tugas pokoknya.

Bahkan dalam Rencana Strategis 2020-2024, moderasi beragama menjadi salah satu program unggulannya. Tahun ini, semakin digaungkan Menteri Agama sebagai salah satu upaya mengurangi cara hidup beragama secara berlebihan atau eksesif.

Program moderasi beragama bermakna sebagai program menempatkan cara hidup beragama berjalan di tengah, tidak ekstrim ke kiri atau ekstrim ke kanan, tidak jatuh pada radikalisme atau liberalisme. Para pemeluk agama dapat mengamalkan ajaran agama berada di jalurnya.

Kementerian Agama sudah membentuk kelompok kerja dan menyusun buku pedoman moderasi beragama. Buku tersebut menjadi pegangan dalam mengimplementasikan program moderasi beragama baik di lembaga pendidikan formal maupun non formal.

Publik sudah sepatutnya mengapresiasi program Kementerian Agama tersebut. Semua yang berkehendak baik, patut mendukung gagasan moderasi beragama. Pada hakekatnya agama hadir untuk memanusiakan manusia, membawa misi damai dan keselamatan, serta mengakui dan menghargai kemajemukan agama dan budaya masyarakat Indonesia.

Peran Negara

Kehadiran negara, dalam hal ini melalui Kementerian Agama sangat dibutuhkan. Kementerian Agama bersama jajarannya bertugas memantau dan mengontrol agar agama tidak jatuh ke dalam tindakan yang berlebihan, seperti radikalisme, karena klaim kebenaran tunggal agamanya, dan hendak meniadakan agama lain. Memang tidak mudah.

Agar optimal dalam pelaksanaan program tersebut, Pemerintah amat tepat bila melibatkan masyarakat sipil, tokoh dan aktivis keagamaan berhaluan moderat, selain sebagai kewajiban bagi semua jajaran ASN Kementerian Agama dari Pusat sampai ke Daerah. Melalui program moderasi beragama, masyarakat dilibatkan melawan segala bentuk penyebaran berita bohong (hoaks), caci-maki, amarah, fitnah, ujaran pemecah-belah bangsa, ujaran menghina simbol agama lain, dan termasuk melawan ide mengganti ideologi negara.

Tugas dan peran negara tersebut bercermin pada dasar negara (Pancasila) dan pilar kebangsaan lainnya yaitu: Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undan-Undang Dasar 1945.

Pancasila sebagai Titik Temu

Pancasila sebagai dasar negara merupakan kesepakatan para pendiri bangsa. Ia menjadi fundamen Indonesia merdeka, di atasnya berdiri Indonesia. Ia adalah falsafah hidup berbangsa dan bernegara yang digali dari alam pikiran dan jiwa bangsa Indonesia. Ideologi Pancasila menjadi pegangan utama Pemerintah.

Sebagai filsafat hidup bangsa, Pancasila menjunjung tinggi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah/mufakat dan keadilan sosial. Hak asasi manusia dihormati. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (demokrasi) diterapkan sebagai perwujudan tata hidup bersama berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, ia menjadi titik temu bagi warganya yang berbeda agama, suku, ras dan golongan dalam tata hidup bersama.


Penyadaran

Bercermin pada nilai-nilai Pancasila tersebut, cara hidup beragama moderat di tengah masyarakat bisa diwujudkan dan dipantau. Melalui langkah tersebut, hidup beragama ekstrim dan radikal segera dapat dideteksi sejak dini, agar tidak sempat merusak kebersamaan (harmoni) sebagai warga bangsa. Kelompok ekstrim atau radikal di berbagai negara seperti Suriah dan Afganistan sudah membuktikannya.

Masalahnya, berdasarkan berbagai pengalaman sejarah seperti di Afganistan, cara hidup beragama ekstrim itu melahirkan tindakan tidak berperikemanusiaan. Cara hidup ekstrim tersebut dapat membahayakan hidup manusia lain dan mengganggu kebersamaan terutama jika dalam pikiran atau ceramah keagamaannya sibuk memberi label/ cap negatif (misalnya: kafir, musuh, dan lain-lain) pada pemeluk agama lain, yang notabene sesama manusia konkrit ciptaan Allah.

Untuk itu, pemeluk agama ekstrim semacam itu, perlu mendapatkan penyadaran (conscientization) bahwa kerukunan hanya dapat diwujudkan ketika ada sikap saling menghargai dan menghormati. Harkat dan martabat manusia yang berbeda agama mesti dihargai dalam kesetaraan dan kesederajatan.

Pemeluk agama ekstrim atau radikalis perlu diawasi. Dalam konteks program moderasi beragama, mereka yang terpapar radikalisme perlu dibina dan disadarkan (deradikalisasi) agar memiliki sikap empatik dalam hidup bersama. Sekedar contoh, kaum minoritas bisa merasakan apa yang dirasakan kaum mayoritas, dan yang mayoritas bisa merasakan apa yang dirasakan yang minoritas.

Contoh lain, penyadaran lebih lanjut, bisa jadi di tempat tertentu agama A bisa jadi mayoritas, tetapi agama B bisa jadi minoritas, sebaliknya di daerah tertentu, agama B bisa jadi mayoritas, tetapi agama A bisa jadi minoritas. Maka tiap umat beragama yang berbeda perlu saling beradaptasi, saling mengerti baik rasa kemayoritasannya maupun keminoritasannya.

Penyadaran tersebut membawa pemeluk agama menjadi moderat. Ia berpikiran terbuka. Pikiran terbuka bermakna tiap pemeluk agama mau mendengarkan, memiliki sikap empatik, menghargai manusia lain, bersikap rendah hati, inklusif (merangkul), dan adaptif (tanpa kehilangan makna agamanya).

Untuk melawan sikap ekstrim dan radikal, program moderasi beragama pantas dan wajib didukung. Moderasi beragama bermakna membangun tata hidup bersama yang rukun, maju, adil, sejahtera dan damai. (PS)

Kamis, Oktober 29, 2015

Tanpa Diklat, Hasil Tidak Maksimal


Para ASN Bimas Katolik berfoto bersama. (Foto:bimaskatolik.kemenag.go.id)

Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) di bidang tertentu dalam sebuah organisasi merupakan salah satu upaya untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Hal ini juga berlaku bagi insan aparatus sipil negara (ASN) Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat (BIMAS) Katolik Kementerian Agama RI, ketika hendak menghasilkan sebuah Majalah, sebagai sarana mensosialisasikan kebijakanyan di bidang Program Bimbingan Masyarakat Katolik. Tanpa Diklat kompetensi di bidang seluk-beluk penulisan sesuai standar jurnalistik, sebuah Majalah Bimas Katolik yang berkualitas, menarik, dan elegan tidak akan dihasilkan.

Evaluasi Terbitan Majalah

Hal ini semakin mengemuka, ketika Pembicara, Farida Denura, seorang konsultan media, melakukan evaluasi terhadap dua terbitan Majalah Bimas Katolik edisi Januari-April dan Mei-Agustus 2015. Dalam evauasinya, Farida, panggilan akrabnya mengatakan, dua terbitan Majalah Bimas Katolik tersebut terlihat kaku, tulisan terlalu panjang, kurang menerapkan prinsip 5W dan 1H.

Berangkat dari evaluasi tersebut, dan menurut Tim Majalah, bahwa Majalah Bimas Katolik dikelola oleh insan-insan relawan dan otodidak. Artinya, mereka mengelola Majalah tersebut tanpa latar belakang pendidikan jurnalistik dan belum pernah mendapat Diklat jurnalistik. Tentu hasilnya juga, merupakan hasil otodidak, dan kaku, sebagaimana kekakuan pelayanan birokrasi.

Pentingnya Diklat
Untuk itu, penulis berpendapat Diklat yang digagas oleh , Y. Dwimbo Kamil, Kepala Bagian Perencanaan dan Sistem Informasi dan Johanes Koesmantoro, Kepala Sub Bagian Informasi ini merupakan sebuah terobosan, kreatif dan inovatif. Diklat dalam rangka peningkatan kompetensi seperti ini amat penting dan berharga guna menghasilkan sebuah produk yang berkualitas dan menarik. Sebanyak 20 orang ASN Ditjen Bimas Katolik mendapat pendidikan dan pelatihan penulisan di media sesuai standar jurnalitik, yang berlangsung selama 4 hari (20-23/10) di Jakarta.

Diklat penulisan di Media ini semakin penting di era digital sekarang. Hal ini sudah menjadi tuntutan jaman dan tuntutan publik. Setiap organisasi, apalagi organisasi seperti instansi Kementerian Agama harus menginformasikan segala produk layanan, kebijakannya yang menyangkut dengan kehidupan dan kerukunan hidup beragama. Diharapkan sesudah pendidikan dan pelatihan ini Majalah Bimas Katolik akan menjadi lebih baik, menarik dan semakin efektif dalam mensosialisasikan semua Program Bimbingan Masyarakat Katolik. Sebab dalam pendidikan dan pelatihan ini, pembicara atau narasumber sudah membekali peserta berbagai masukan terkait peran media sebagai pembentuk opini publik dan pencitraan positif, teknik penulisan berita keagamaan, berbagai hal terkait “rahasia” penerbitan sebuah majalah, dan 10 prinsip dalam penulisan berita keagamaan. Harapannya begitu. Namun itu tergantung pada pribadi ASN Ditjen Bimas Katolik, apakah menggunakan Diklat ini dengan sebaik-baiknya atau sekedar ikutan? (Pormadi Simbolon)

Rabu, Oktober 15, 2014

Pembina BIA: Membagi Pengalaman Iman


Direktur Urusan Agama Katolik berfoto bersama Pejabat dan peserta.
Pertemuan Pembina Bina Iman Anak (BIA) diarahkan untuk mengenalkan Yesus kepada anak-anak dan membawa anak-anak kepada Yesus. Demikian salah satu garis besar pertemuan Pembina Bina Iman Anak Keuskupan Padang yang berlangsung dari tanggal 30 September sampai dengan 3 Oktober di Hotel Mercure Padang.   

Acara pertemuan Pembina BIA dibuka oleh Direktur Urusan Agama Katolik Kementerian Agama RI, Fransiskus Endang. Fransiskus Endang dalam sambutannya mengatakan bahwa pembinaan BIA merupakan salah satu program Bimas Katolik sebagai bentuk perhatian Pemerintah dalam rangka mengajak masyarakat Katolik untuk menjadi Katolik 100 persen dan seutuhnya Pancasilais.  

Pada kesempatan pembukaan tersebut, Pengganti Sementara Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, H. Afrijal, S.Ag, MM menyambut baik kegiatan pertemuan pembina BIA Keuskupan Padang. Umat Katolik di Keuskupan Padang meskipun minoritas, tetapi ikut berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat Provinsi Sumatera Barat menjadi masyarakat yang religius, berbudaya dan toleran. Untuk itu, sejak usia anak-anak, iman anak-anak perlu dibina agar menjadi masyarakat yang religius, berbudi luhur dan berkepribadian. Segenap masyarakat Provinsi Sumatera Barat diajak terlibat dalam membangun tri-kerukunan, yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan internal umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah. 

Ketua Panitia Penyelenggara, Sigit Basuki Taruno, pertemuan ini dimaksudkan untuk membantu para peserta meningkatkan kemampuan dan mengembangkan profesionalitasnya melalui peningkatan kemampuan menguasai materi/ bahan ajar dan wawasan umum tentang disiplin ilmu yang berkaitan dengan tugasnya, serta meningkatkan kemampuan dalam menggunakan metodologi pembelajaran dan pembinaan iman anak. Melalui kegiatan ini, para peserta diharapkan semakin profesional, mandiri dan percaya diri dalam menjalankan tugas dan panggilannya sebagai Pembina BIA.

Pertemuan Pembina BIA yang diikuti 50 orang pembina BIA dari paroki-paroki yang ada di Provinsi SumateraBarat tersebut diisi masukan pembekalan dan pencerahan dari para narasumber yang kompeten di bidangnya dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan Pembina BIA kepada anak-anak Katolik.

Pastor Alex Irwan Suwandi,Pr, Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Padang, sebagai salah satu narasumber menegaskan bahwa peran pembina BIA amat penting dalam menanamkan iman Katolik sehingga benar-benar berakar, agar kelak umat tidak gampang pindah agama. Para pembina BIA harus kreatif dalam mewartakan iman kepada anak-anak melalaui ajaran/doktrin, pengalaman hidup anak-anak, metode tanya jawab, cerita, media pembelajaran. Untuk itu, pastor yang juga Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Padang tersebut para Pembina BIA perlu mencari waktu untuk berkumpul berbagi pengalaman dan membicarakan metode yang tepat dalam membina anak sesuai dengan kondisi di tempat masing-masing.

Pastor yang merupakan Ketua Yayasan Prayoga Keuskupan Padang tersebut, meneguhkan para pembina BIA harus memiliki spiritualitas sebagai murid Kristus yang hidup di bawah bimbingan Roh Kudus. Untuk itu, para pembina iman anak harus terlebih dulu menimba pengalaman kasih Allah, sebab pengalaman kasih Allah tersebutlah yang kita bagikan kepada anak-anak. Tidak mungkin kita membagi pengalaman kasih Allah, kalau pembina BIA sendiri belum mengalami kasih Allah.

Terkait pentingnya iman mengakar dalam diri anak, juga ditekankan oleh Maria Veronika Loanti, S.Ag, pembinaan BIA harus benar-benar membuat iman akan Yesus itu berakar, dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak-anak. Untuk itu “kurikulum” dan materi pembinaan iman anak harus benar-benar dipersiapkan.

Narasumber lain, Eko Cahyo Rudianto, S.Pd menyebutkan bahwa salah satu metode pembinaan iman anak adalah penggunaan media permainan. Metode permainan tersebut dapat menggunakan alat permainan edukatif (APE). Beberapa hal perlu diperhatikan, bahwa APE itu digunakan untuk mendukung kegiatan main anak, disesuaikan usia anak, dapat dibuat sendiri bersama orang tua anak. APE tersebut juga harus terbuat dari bahan aman untuk anak, menarik dan dapat dimainkan oleh anak dengan berbagai cara serta mudah didapatkan di lingkungan sekitar.

Narasumber lain, Fidelis Waruwu menegaskan bahwa pembentukan dan pertumbuhan kepribadian anak dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor organ biologik (genetic behaviour), faktor sosial-budaya (core value and attitude) dan faktor psiko-edukatif (learned behaviour). Menurutnya, pembentukan kepribadian manusia 55% dipengaruhi faktor organ-biologik, 20% faktor sosial budaya dan 25% dipengaruhi faktor psiko-edukatif. Ketiga faktor ini perlu diperhatikan para pembina Bina Iman Anak.

Fidelis Waruwu, yang juga dosen Psikologi pada Universitas Tarumanagara Jakarta, menjelaskan kepada para peserta pertemuan, bahwa proses pembentukan karakter anak-anak berangkat dari tahap oberservasi anak terhadap nilai-nilai yang diperankan dan ditampilkan orang tua/ orang-orang di sekitarnya, kemudian anak memasuki tahap meniru, lalu dapat menjadi kebiasaan anak-anak, lama-kelamaan menjadi sifat dalam diri anak-anak, lalu pada akhirnya bisa menjadi karakter karena sifat-sifat tersebut terjadi berulang-ulang dalam setiap waktu dan kondisi. Itu berarti karakter itu dipelajari anak dari teladan dari orang-orang dewasa yang di sekitar anak-anak.

Pada hari terakhir pertemuan, para pembina BIA berharap pembinaan dan pelatihan semacam ini dapat dialami semua pembina BIA secara periodik agar mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mewartakan iman kepada anak-anak Katolik. Pormadi Simbolon (diliput dari Padang)

Harus Menjadi Pelaksana Firman


Penyuluh sebagai petugas pewarta Firman Allah harus menjadi teladan dari firman itu sendiri. Jika tidak menjadi teladan, orang susah percaya. Demikian salah satu pesan Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama RI ketika menutup acara Pembinaan Juru Penerang/Penyuluh Agama Katolik Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar di Mamuju (29/8).

“Para Penyuluh Agama Katolik merupakan tenaga pewarta Firman Allah. Ia harus menjadi teladan dari firman itu sendiri, banyak orang susah percaya akan apa yang dikatakan pewarta, orang baru percaya atas apa dibuat oleh pewarta ”, tegas Eusabius Binsasai.

Pimpinan Ditjen Bimas Katolik tersebut juga menegaskan bahwa para penyuluh agama Katolik dan umat sudah dibaptis dan diutus untuk melakukan tugas sebagai imam, nabi dan raja. Sebagai imam, dipanggil untuk menguduskan, sebagai nabi diutus untuk mewartakan firman Allah dan sebagai raja dipanggil untuk memimpin.

Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal di lapangan, pesan Dirjen, para Juru Penerang/ penyuluh agama Katolik harus memberikan teladan, perlu membuat data dan peta pelayanan kerja sehingga tepat sasaran.

Acara yang dihadiri 60 peserta yang berasal dari Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar tersebut diawali dengan pembukaan oleh Direktur Urusan Agama Katolik, Fransiskus Endang didampingi oleh perwakilan Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat, Drs. H.M. Muflih BF, MM, lalu dilanjutkan masukan pembinaan dari para narasumber yaitu RD. Martinus Pasomba, vikaris episkopalis Provinsi Sulawesi Barat, RD. Viktor Patabang, Ketua Komisi Kateketik Keuskupan agung Makassar dan Fidelis Elisati Waruwu, Dosen Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta.

Adapun tema-tema materi terkait dengan arah dasar pastoral Gereja Katolik, pedoman praktis dalam penyuluhan, tantangan dan optimisme penyuluh agama Katolik di Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar, pendidikan karakter melalui penyuluhan, penggunaan media dalam penyuluhan, dan spiritualitas panggilan sebagai penyuluh agama Katolik.

Setelah menerima masukan narasumber, para peserta berdiskusi dan kerja kelompok mengenai permasalahan yang dihadapi para Juru Penerang/ Penyuluh agama Katolik di daerah masing-masing, dan berbagi solusi yang telah diusahakan masing-masing. Seusai memberi sambutan dan pengarahannya, Dirjen menutup acara Pembinaan Juru Penerang/Penyuluh Agama Katolik Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar di Mamuju yang berlangsung 4 hari (26-29 Agustus 2014) di Mamuju. Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo dan Sulawesi Utara. (Pormadi)

Selasa, Februari 19, 2013

Menyelenggarakan Sekolah Keagamaan Katolik Negeri

Semara Duran Antonius (paling Kanan) bersama Nunius Vatikan dan para Uskup


Direktorat Jenderal  Bimas Katolik Kementerian Agama RI sedang mengupayakan  pendidikan Katolik Negeri, yang diselenggarakan oleh masyarakat Katolik guna mewujudkan salah satu misi pendidikan nasional, yaitu perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Yang aktual dalam bentuk keikutsertaan masyarakat Katolik menyelenggarakan pendidikan keagamaan Katolik dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri," kata Semara Duran Antonius, Direktur Jenderal Bimas Katolik seperti dikutip situs kemenag.go.id dalam pertemuan dengan wartawan di kantor Kementerian Agama, Jalan Thamrin Jakarta, Senin (18/2).

Semara Duran Antonius menjelaskan, Ditjen Bimas Katolik mengelola anggaran sebesar Rp 572 miliar dengan jumlah umat Katolik sebesar 8,9 juta jiwa.  "Untuk anggaran pendidikan yaitu pengembangan dan pembinaan pendidikan agama Katolik sebesar 60,3 milyar.  Karena kalau bicara pendidikan, SDM yang penting yakni, Guru. Guru dituntut empat kompetensi pokok, kepribadian, profesional, pedagogik dan sosial."

Ditjen Bimas Katolik memiliki satu program yaitu Program Bimbingan Masyarakat Katolik. Program tersebut dijabarkan dalam bentuk fasilitasi bagi umat Katolik Indonesia melalui: peningkatan kualitas kehidupan beragama, peingkatan kualitas kerukunan hidup beragama, peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan Katolik dan peningkatan kualitas tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Terkait masalah hangat dewasa ini, yaitu masalah sekolah Katolik agar memberi pelajaran agama sesuai agama siswa, Dirjen Bimas Katolik mengatakan, pihaknya telah berupaya mengingatkan sekolah-sekolah Katolik agar melaksanakan amanat Undang-undang, bahwa setiap sekolah harus memberikan mata pelajaran agama siswa sesuai agamanya masing-masing.

Dia mengatakan bahwa sekolah Katolik mempunyai kekhasan, tetapi sekolah katolik kalau mengajarkan agama Katolik tidak bertujuan untuk mengkatolikkan.

Selama ini sudah ada anjuran agar Sekolah-sekolah Katolik mencermati UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.

Menurutnya, dengan ketentuan itu, ada manfaat yang dialami yaitu: menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama, ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukkan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.

Ketika ditanya wartawan tentang pengunduran diri paus, Semara Duran Antonius berkomentar, Paus mundur karena faktor kesehatan. "Kita tahu betul di beberapa momen dia jalan sudah setengah mati, karena itu dia sadar betul, sudah tua, memberi kesempatan yang lain", katanya. "Dalam ajaran iman kami tunduk pada Sri Paus, tapi sebagai warganegara kami taat pada NKRI", tegasnya. (Pormadi/kemenag.go.id)




Powered By Blogger