Foto: Republika Online |
Mereka juga kelompok yang berkeinginan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Anggota atau simpatisan kelompok ini seperti dilansir dari media massa tersebar di berbagai lembaga, baik di Kementerian/ lembaga pemerintah maupun lembaga yang didirikan masyarakat sipil. Yang tidak habis pikir, kejadian terakhir adalah viralnya video tokoh agama terkenal berisi dugaan penghinaan simbol agama lain. Dalam tulisan ini, penulis mendukung Pemerintah menggagas suatu kebijakan atau program moderasi beragama melawan ekstrimisme dan radikalisme.
Moderasi Beragama
Bertitik tolak dari keadaan yang terjadi di berbagai lini publik, maka Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Agama mencetuskan program atau kebijakan yaitu program moderasi beragama sesuai dengan tugas pokoknya.
Bahkan dalam Rencana Strategis 2020-2024, moderasi beragama menjadi salah satu program unggulannya. Tahun ini, semakin digaungkan Menteri Agama sebagai salah satu upaya mengurangi cara hidup beragama secara berlebihan atau eksesif.
Program moderasi beragama bermakna sebagai program menempatkan cara hidup beragama berjalan di tengah, tidak ekstrim ke kiri atau ekstrim ke kanan, tidak jatuh pada radikalisme atau liberalisme. Para pemeluk agama dapat mengamalkan ajaran agama berada di jalurnya.
Kementerian Agama sudah membentuk kelompok kerja dan menyusun buku pedoman moderasi beragama. Buku tersebut menjadi pegangan dalam mengimplementasikan program moderasi beragama baik di lembaga pendidikan formal maupun non formal.
Publik sudah sepatutnya mengapresiasi program Kementerian Agama tersebut. Semua yang berkehendak baik, patut mendukung gagasan moderasi beragama. Pada hakekatnya agama hadir untuk memanusiakan manusia, membawa misi damai dan keselamatan, serta mengakui dan menghargai kemajemukan agama dan budaya masyarakat Indonesia.
Peran Negara
Kehadiran negara, dalam hal ini melalui Kementerian Agama sangat dibutuhkan. Kementerian Agama bersama jajarannya bertugas memantau dan mengontrol agar agama tidak jatuh ke dalam tindakan yang berlebihan, seperti radikalisme, karena klaim kebenaran tunggal agamanya, dan hendak meniadakan agama lain. Memang tidak mudah.
Agar optimal dalam pelaksanaan program tersebut, Pemerintah amat tepat bila melibatkan masyarakat sipil, tokoh dan aktivis keagamaan berhaluan moderat, selain sebagai kewajiban bagi semua jajaran ASN Kementerian Agama dari Pusat sampai ke Daerah. Melalui program moderasi beragama, masyarakat dilibatkan melawan segala bentuk penyebaran berita bohong (hoaks), caci-maki, amarah, fitnah, ujaran pemecah-belah bangsa, ujaran menghina simbol agama lain, dan termasuk melawan ide mengganti ideologi negara.
Tugas dan peran negara tersebut bercermin pada dasar negara (Pancasila) dan pilar kebangsaan lainnya yaitu: Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undan-Undang Dasar 1945.
Pancasila sebagai Titik Temu
Pancasila sebagai dasar negara merupakan kesepakatan para pendiri bangsa. Ia menjadi fundamen Indonesia merdeka, di atasnya berdiri Indonesia. Ia adalah falsafah hidup berbangsa dan bernegara yang digali dari alam pikiran dan jiwa bangsa Indonesia. Ideologi Pancasila menjadi pegangan utama Pemerintah.
Sebagai filsafat hidup bangsa, Pancasila menjunjung tinggi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah/mufakat dan keadilan sosial. Hak asasi manusia dihormati. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (demokrasi) diterapkan sebagai perwujudan tata hidup bersama berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, ia menjadi titik temu bagi warganya yang berbeda agama, suku, ras dan golongan dalam tata hidup bersama.
Penyadaran
Bercermin pada nilai-nilai Pancasila tersebut, cara hidup beragama moderat di tengah masyarakat bisa diwujudkan dan dipantau. Melalui langkah tersebut, hidup beragama ekstrim dan radikal segera dapat dideteksi sejak dini, agar tidak sempat merusak kebersamaan (harmoni) sebagai warga bangsa. Kelompok ekstrim atau radikal di berbagai negara seperti Suriah dan Afganistan sudah membuktikannya.
Masalahnya, berdasarkan berbagai pengalaman sejarah seperti di Afganistan, cara hidup beragama ekstrim itu melahirkan tindakan tidak berperikemanusiaan. Cara hidup ekstrim tersebut dapat membahayakan hidup manusia lain dan mengganggu kebersamaan terutama jika dalam pikiran atau ceramah keagamaannya sibuk memberi label/ cap negatif (misalnya: kafir, musuh, dan lain-lain) pada pemeluk agama lain, yang notabene sesama manusia konkrit ciptaan Allah.
Untuk itu, pemeluk agama ekstrim semacam itu, perlu mendapatkan penyadaran (conscientization) bahwa kerukunan hanya dapat diwujudkan ketika ada sikap saling menghargai dan menghormati. Harkat dan martabat manusia yang berbeda agama mesti dihargai dalam kesetaraan dan kesederajatan.
Pemeluk agama ekstrim atau radikalis perlu diawasi. Dalam konteks program moderasi beragama, mereka yang terpapar radikalisme perlu dibina dan disadarkan (deradikalisasi) agar memiliki sikap empatik dalam hidup bersama. Sekedar contoh, kaum minoritas bisa merasakan apa yang dirasakan kaum mayoritas, dan yang mayoritas bisa merasakan apa yang dirasakan yang minoritas.
Contoh lain, penyadaran lebih lanjut, bisa jadi di tempat tertentu agama A bisa jadi mayoritas, tetapi agama B bisa jadi minoritas, sebaliknya di daerah tertentu, agama B bisa jadi mayoritas, tetapi agama A bisa jadi minoritas. Maka tiap umat beragama yang berbeda perlu saling beradaptasi, saling mengerti baik rasa kemayoritasannya maupun keminoritasannya.
Penyadaran tersebut membawa pemeluk agama menjadi moderat. Ia berpikiran terbuka. Pikiran terbuka bermakna tiap pemeluk agama mau mendengarkan, memiliki sikap empatik, menghargai manusia lain, bersikap rendah hati, inklusif (merangkul), dan adaptif (tanpa kehilangan makna agamanya).
Untuk melawan sikap ekstrim dan radikal, program moderasi beragama pantas dan wajib didukung. Moderasi beragama bermakna membangun tata hidup bersama yang rukun, maju, adil, sejahtera dan damai. (PS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar