Memori, Ruang dan Lupa (Oblivion)[1]
(Perspektif
Hermeneutika Paul Ricoeur)
I.
Pendahuluan
Dalam tulisannya berjudul Memory, Space, and Oblivion, Luis
António Umbelino membahas
implikasi filosofis dari klaim Ricoeur bahwa ada sesuatu seperti hubungan rahasia
antara waktu dan ruang dalam memori. Lalu bagaimana kita bisa mendekati memori
dari sisi ruang? Jawabannya, menurut Ricoeur, dapat ditemukan dalam deskripsi
fenomenologis spasial tubuh, tetapi juga dalam pendekatan hermeneutis terhadap
pertanyaan tentang bagaimana narasi menawarkan model berpikir waktu dan ruang
manusia. Pembahasan dalam paper ini diawali dengan pembahasan tempat,
pendekatan fenomenologi, tahap hermeneutika, hubungan memori, materialitas,
sejarah, dan diakhiri tanggapan penutup.
Kata Kunci: Spasi -
Memori - Arsitektur - Sejarah - Oblivion
II.
Pembahasan:
Memori, Ruang dan Lupa
(1) Tempat
Luis
António Umbelino mulai membahas tema ini dengan kutipan dari buku Ricoeur, Memory, History, Forgetting: “Seseorang tidak
hanya mengingat diri sendiri, melihat, mengalami, belajar; melainkan seseorang
mengingat situasi di dunia di mana orang telah melihat, mengalami, belajar” (Ricoeur,
Paul 2004: 36). Dengan kata lain, ada sesuatu seperti ruang (spasialitas)
lingkungan yang melekat pada pembangkitan memori (Ricoeur, Paul 2004:148),
semacam spasial yang bukan sesuatu yang ditambahkan pada ingatan tentang
sesuatu, tetapi tampaknya untuk menjadi bagian dari apa yang diingat. Karena
itu Ricoeur, filsuf waktu, tidak mengabaikan hubungan rahasia antara waktu dan
ruang dalam ingatan. Bukan saja dia tidak mengabaikan sisi spasial dari
ingatan, tetapi dia juga memberikan perhatian yang perlu pada pertanyaan
mengetahui bagaimana sesuatu yang material - sebuah bangunan, jalan, kota,
objek - dapat menjaga dan memelihara memori kita.
(2) Pendekatan
Fenomenologi
Menurut
Ricoeur, untuk mendekati memori "dari sisi ruang", kita harus mulai dari
fenomenologi tempat seperti yang dikembangkan oleh Edward Casey (Ricoeur, Paul
2004:149). Pendekatan fenomenologis perlu menangguhkan sikap alami
(prasangka-prasangka). Penangguhan ini
dengan demikian membawa kita kembali ke perspektif radikal tentang ruang. Perspektif
seperti itu dijelaskan dengan pendekatan fenomenologis terhadap spasial tubuh
yang terbentang, seperti yang dikatakan Merleau-Ponty dalam Phénoménologie de la Perception, tubuh
yang mentransmisikan "ruang yang sudah ditempati" (Merleau-Ponty
1945: 293). "Tempat" adalah kualitatif, relasional, mencakup semua,
intim dan penyedia orientasi. Itulah sebabnya kita dapat benar-benar tinggal di
dalamnya. Tempat-tempat itu bisa dikatakan menjaga ingatan kita.
Dalam
konteks ini, deskripsi fenomenologis Merleau-Ponty tentang bagaimana ruang
muncul dalam motilitas (pergerakan) tubuh masih menentukan. Menjadi bagian dari
dunia sebagai ada berarti berada di tempat, ruang yang dihuni, ruang
yang selalu sudah "berorientasi" dan "disatukan". Dalam pandangan ini, to-be-in-the-world berarti "mempunyai" memori spasial
tubuh, artinya "menjadi" ingatan sebagai tubuh bagi dunia.
Merleau-Ponty
menemukan konfirmasi tentang kemungkinan ini dalam fenomena kebiasaan (mengingatkan
kita pada pembedaan terkenal yang dibuat oleh Bergson antara mémoire-habitude (memori kebiasaan) dan mémoire-souvenir (memori kenangan).
Bahkan, untuk memperoleh kebiasaan melakukan sesuatu adalah membuat diri kita
sendiri menjadi terbiasa dalam hal tertentu. Misalnya, mengetik tanpa
mengetahui dengan jari yang mana kita mengetik setiap tombol. Namun tubuh
"tahu" tempat tombol-tombol mesin tik atau keyboard. Jika seseorang
bertanya jari mana yang mengetik huruf tertentu, kita harus meniru gerakan dan
ritme mengetik untuk menemukan jawaban yang benar. Memori tubuh ini merupakan
sketsa awal memori: pertama-tama, kita ingat bagaimana ruang bersatu dengan
tubuh.
Tetapi
jika ini masalahnya, bukankah perlu untuk membayangkan transisi memori tubuh ke
memori tempat dan benda? Masalahnya adalah, seperti diakui oleh Merleau-Ponty,
beberapa tempat dan benda tampaknya menyimpan jejak keberadaan saya serta jejak
keberadaan yang bukan saya. Objek, “rute, perkebunan, desa, jalan, perkakas,
tanduk, sendok, pipa” (Merleau-Ponty 1945: 399) yang ada di sekitar saya pada
saat ini, saat tubuh menggabungkannya, tampak memegang dan membuka ”ingatan
mereka sendiri: ingatan akan kehidupan lain, tentang sejarah lain, tentang
hubungan yang tidak diketahui dengan hal-hal, cara menangani alat, jalan-jalan latihan suatu kota - seolah-olah
rasa masa lalu orang lain tetap diingat secara spasial atas benda-benda itu,
jalan dan kota. Tetapi jika ini masalahnya,
transisi yang diperlukan ini memunculkan pertanyaan besar yang harus diatasi
dengan pendekatan fenomenologis yang ketat. Persoalannya berkaitan dengan
apakah hubungan antara memori dan tempat sebenarnya dapat didekati "tanpa
bantuan dari kategori campuran yang menggabungkan waktu dan ruang hidup dengan
waktu objektif dan ruang geometris, yang secara metodologis telah mengesampingkan
(mengurungkan) manfaat dari fenomenologi "murni". (Ricoeur, Paul 2004:
42).
(3)
Tahap Hermeneutika
Untuk sampai ke analisis tentang
"sisi spasial" memori, Ricoeur berpendapat bahwa kita harus melampaui
non-implikasi antara ruang hidup dan ruang geometrik. Seperti yang dikatakan
oleh Ricoeur, "tempat-tempat yang berkesan" tidak akan dapat menjalankan
"fungsi memorial"nya, jika mereka juga bukan merupakan "situs-situs
terkemuka" (Ricoeur, Paul 2004:43). Ini agak berbeda dari apa yang
dikatakan Casey. Bagi Casey, eksistensi menyatu terbuka ke tempat dan “memang mengambil
tempat dalam tempat, jadi ingatan kita tentang apa yang kita alami di tempat
juga merupakan tempat yang spesifik” (Casey 1987: 182). Dibandingkan dengan
tempat, menurut Casey, sebuah situs belaka memiliki kualitas negatif:
ketidakpedulian, kekosongan, eksteriornya dan abstraksi geometris, keanehannya
yang gersang cenderung menghapus kekuatan tempat dan kemungkinan memori (karena
selalu ditempatkan). Bagi Ricoeur, sebaliknya, kita tidak boleh melupakan
ambiguitas, campuran, antara keintiman tempat dan eksterior situs. Dengan kata
lain, kita dapat mengatakan bahwa fenomenologi tempat membutuhkan tahap hermeneutika
untuk melampaui perbedaan yang saling eksklusif - mirip dengan waktu - yang
cenderung menentang dan saling mengecualikan konsepsi "ruang geometrik"
dari konsepsi "ruang hidup ”. Melalui tahap hermeneutik ini, Ricoeur
berpendapat bahwa kita dapat menemukan makna "ruang manusia" - ruang
yang hanya terletak pada titik putus dan titik sambung antara ruang hidup dan ruang geometris.
Muncul pertanyaan, bagaimana menemukan titik
putus dan sambung ini. Di sini argumen Ricoeur sangat sederhana namun mendalam:
hanya konstruksi arsitektur dan perkotaan yang dapat menyingkap dan
mengungkapkan titik ini. Ricoeur mengatakan bahwa arsitektur dan urbanisme
adalah "ruang dan waktu narasi"
(Ricoeur 1998: 44): arsitektur dan urbanisme adalah cara untuk mengakses ruang
manusia melalui semacam plot narasi (Ricoeur 1998: 48).
Arsitektur dan urbanisme mengembangkan
"mimesis rangkap tiga" ruang yang sebanding dengan yang dikembangkan
narasi berkenaan dengan waktu (Ricoeur 1983: 85 dst.). Narasi meminjamkan
"temporalitasnya pada tindakan membangun, ke konfigurasi ruang", dan
arsitektur memberikan ruang keragaan contohnya pada tindakan menceritakan
waktu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Ricoeur, rasa masa lalu
masih melekat pada cara ruang manusia yang dibangun bersatu dengan memori dan
narasi.
Tetapi bagaimana tepatnya ruang yang
dibangun dapat membuka memori? Bagaimana itu bisa menjaga dan melindungi memori?
Ricoeur menawarkan jawaban penting atas pertanyaan-pertanyaan ini ketika dia
menghadapi kompleksitas artikulasi antara memori, materialitas, dan sejarah.
(4) Memori,
Materialitas dan Sejarah
Memiliki
sesuatu dari masa lalu adalah selalu memiliki perasaan tentang kondisi-kondisi
di mana saat ini dan masa depan diorganisir menjadi sebuah "sejarah",
dengan plot yang hanya dapat diartikulasikan melalui interaksi dengan objek,
individu lain dan berbagai situasi yang dilibatkan dan ditempatkan secara
jasmani (Malpa 1999: 180). Tetapi pertanyaannya tetap: bagaimana ruang manusia
membuka dan menjaga ingatan individu dan kolektif kita? Untuk menemukan
jawaban, kita harus kembali ke konsep "refigurasi" atau mimesis III
Ricoeur dan mempertimbangkannya dari "sisi ruang".
Dalam Time
and Narrative, konsep "refiguration"
menandai gagasan bahwa tindakan naratif "configuration" hanya dapat dicapai sepenuhnya jika itu dipasang
kembali dalam "waktu bertindak dan penderitaan" (Silva 2005: 67),
mengikuti model perjumpaan antara dunia teks dan dunia pembaca (Ricoeur 1983:
109) dibangun melalui tindakan membaca (Ricoeur 1986: 170). Menurut Ricoeur,
sesuatu yang mirip dapat dikatakan tentang narasi arsitektur ruang, karena ia
juga membuka dirinya untuk semacam "refiguration",
untuk membaca orang-orang yang menghuni setiap proyek arsitektur. Signifikansi
proyek-proyek ini tidak dapat ditemukan dalam literalitas dari apa yang
dibangun, tetapi dalam apropriasi formatifnya (Ricoeur 1986: 170). Hidup di
ruang manusia berarti membaca dan membaca ulang berbagai cara hidup yang
diekspresikan oleh bangunan dan proyek urbanistik. Inilah tesis penting:
pemahaman tentang diri sendiri dimungkinkan melalui interpretasi teks dan juga
(Ricoeur 1998: 51) melalui interpretasi penuh perhatian atas ruang-ruang yang
dibangun. Ruang-ruang memberikan kemungkinan alternatif untuk memberi makna
pada tindakan kita dengan sintesis yang heterogen, dengan menyelaraskan apa
yang sumbang, dengan mengusulkan dunia makna alternatif di mana kita dapat
memulihkan - dan, dengan cara, benar-benar dan aktif mengingat - kemanusiaan
kita sendiri dengan cara yang lebih bermakna dan otentik.
Berkenaan dengan "sisi ruang
manusia" ini, Ricoeur menemukan contoh-contoh yang baik dan demonstrasi
dari pendekatan baru terhadap ingatan: sebuah pendekatan yang memperlakukannya
tidak hanya sebagai "matriks sejarah", tetapi seperti yang
diperintahkan dan dirusak oleh sejarah. Dengan kata lain, didekati sebagai pencarian
tentang “reapropriasi” dari sejarah masa lalu di bawah model bacaan (baik teks
maupun ruang buatan manusia), di bawah cakrawala tugas mengenang, dan di bawah
metafora hutang. Ricoeur menyatakan dalam sebuah esai yang merujuk pada
beberapa kesimpulan dari Memory, History,
Forgetting, "Apa yang saya
usulkan hari ini adalah perubahan dalam sudut pandang yang berlaku, perubahan
dari menulis ke membaca, atau, dalam istilah-istilah lebih luas, dari
penjabaran literatur karya sejarah hingga penerimaannya, baik pribadi maupun
publik, di sepanjang garis hermeneutika penerimaan” (Ricoeur 2003).
Untuk menggambarkan cara berpikir baru
tentang hubungan antara ruang manusia, sejarah dan memori yang disampaikan, Umbelino
memberikan dua contoh berbeda: tempat kamp konsentrasi Auschwitz, dan lokasi
Ground Zero di New York.
Dewasa ini, Auschwitz bukan museum, bahkan
jika ada beberapa yang mengira itu adalah museum; itu bukan kuburan, bahkan
jika itu bisa menjadi kuburan; itu bukan situs untuk pariwisata, bahkan jika
dikunjungi oleh ribuan orang (Pereira 1999:199). Apa yang tersisa dari kamp
(materialitas dari apa yang dibangun dan masih tersisa, dari apa yang
direkonstruksi, dari reruntuhan, ruang kosong), saat ini, lebih dari sekedar ruang
di mana ingatan mendapat tempat. Pertama-tama,
apa yang tersisa dari kamp tampaknya menyalakan hubungan yang mendalam dan
menentukan antara keheningan dan memori. Kedua,
Auschwitz mempertahankan "rasa sekarang (sense of the now)" yang terus diliputi tentang sesuatu yang
dulu pernah terjadi. Akhirnya,
Auschwitz tetap menjadi contoh ruang menjadi cara untuk melawan, baik secara individu
maupun secara kolektif. Jadi waktu yang dinarasikan dan ruang yang dibangun
telah “bertukar makna” (Ricoeur 1998: 49).
Contoh kedua yaitu Ground Zero di New
York. Di ruang kota itu ada peringatan di mana nama-nama para korban 9/11,
serangan terhadap World Trade Center pada tahun 1993, dituliskan. Nama-nama
para korban tertulis di tujuh puluh enam lempengan perunggu yang melekat pada
dinding tembok pembatas yang membentuk tepi dua danau segi empat buatan yang
sangat besar. Danau-danau ini sendiri tertulis di lanskap seolah-olah mereka
adalah dua jejak kaki raksasa yang ditinggalkan oleh menara kembar. Mengunjungi
situs ini orang dapat mengatakan bahwa batu dan proyek baru mencoba menjaga ketiadaan
dan kehampaan yang ditinggalkan serangan teroris - dan mencoba untuk melakukannya
dalam ruang dan dengan cara yang memungkinkan untuk narasi.
Ruang memberikan semacam plot tentang ketiadaan
apa yang pernah terjadi, tetapi juga tentang apa yang masih tetap harus
diceritakan. Proyek-proyek seperti pangkalan peringatan Ground Zero
melestarikan memori karena memungkinkan rekapitulasi dan apropriasi masa lalu
yang menyediakan tempat untuk melakukan reorganisasi yang lama supaya memberikan
ruang untuk yang baru (Ricoeur 1998: 51). Dalam "refiguration" ruang-ruang yang dibangun, kita dapat dengan
demikian menemukan peluang narasi untuk memutus lingkaran ingatan dan kebencian
yang tersumbat, dan untuk menemukan sesuatu seperti hal memori: kemungkinan
untuk sekali lagi menceritakan kisah tentang apa yang tidak bisa kita lupakan,
bahkan jika kita semua berkehendak melupakan.
Dalam suatu pengertian, ruang yang
dibangun merupakan sumber daya kritis memori yang adalah batu kunci kerentanan
dan kerapuhan sejarah manusia di bawah sejarah manusia yang dangkal. Ketika ruang-ruang
tersebut membuka kemungkinan refiguration
kritis lewat model membaca, ruang-ruang manusia dengan demikian membantu kita
melawan keadaan lupa, melawan amnesia historis dan budaya, melawan pelupa
aktif, melawan bahaya pengulangan obsesif.
III.
Tanggapan
dan Penutup
Umbelino membahas konsep hermeneutika
Ricoeur bertitik tolak dari buku Ricoeur dengan sangat mendalam merefleksikan
hubungan ruang dan waktu dalam memori. Ricoeur
mendekati memori dari sisi ruang, melalui deskripsi fenomenologis spasial
tubuh, dan melalui pendekatan hermeneutis terhadap narasi yang menawarkan model
berpikir tentang waktu dan ruang manusia melalui mimesis (prefiguration-configuration-refiguration).
Dalam
konsep hermeneutika Ricoeur, hubungan ruang dan memori dibaca dan dikritisi,
lalu diapropriasi. Dalam hal ini, ruang-ruang yang digambarkan melalui ruang
yang besar yang dibangun (seperti museum, teater, tugu, dan lain sebagainya) dapat
berkontribusi dalam perjuangan melawan keadaan lupa (oblivion), tidak hanya karena ruang-ruang dapat melestarikan jejak
masa lalu, tetapi terutama karena mereka dapat menentang upaya untuk menghapus
memori. Ruang-ruang tersebut mempunyai tugas untuk mengingat (devoir de mémoire) dan menyerukan
keadilan bagi para korban sepanjang masa
Contoh
bagaimana hubungan rahasia antara ruang dan waktu dalam memori adalah peristiwa
tragedi dan penderitaan manusia di masa lalu, adalah Kamp Auschwitz dan bangunan
Ground Zero di New York. Melalui kedua bangunan tersebut, orang dipanggil untuk
tidak melupakan penderitaan dan peristiwa tragis masa lalu, dan kemudian
membangun suatu narasi baru yang bermakna, yang layak dikisahkan, baik oleh
individu maupun publik.
Pertanyaannya,
apa yang akan menjadi pelajaran dari rekonstruksi memori tanpa semua ruang
tempat memori tersimpan? Untuk itulah perlu suatu ruang yang berfungsi menjaga
memori, karena pada hakekatnya manusia adalah pelupa.
***
Sumber Bahasan:
Umbelino, Luis
Antonio, Memory, Space, Oblivion, dalam Buku Scott
Davidson Marc Antoine Vallée
Editors, Hermeneutics and
Phenomenology in Paul Ricoeur Between Text and Phenomenon, Springer
International Publishing Switzerland
2016
[1]
Paper ini merupakan ringkasan dari tulisan Luis Antonio Umbelino, Universidade de Coimbra, Coimbra –
Portugas
berjudul Memory, Space, Oblivion dalam
buku Scott Davidson Marc-Antoine Vallée Editors, Hermeneutics and Phenomenology in Paul Ricoeur Between Text and
Phenomenon, Springer International Publishing Switzerland 2016