Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Jumat, September 04, 2020

Hukum Kodrat dalam Tradisi Agama Katolik

         I.        


PENGANTAR

Pandangan tentang Hukum Kodrat dalam Gereja Katolik beraneka ragam dan terus berkembang dan mengalami dinamika sampai sekarang. Tokoh-tokoh agama Katolik memberi sumbangsih pemikiran di bidang Hukum Kodrat berdasarkan paling tidak ada tiga pendekatan seperti pendekatan ontologis, epistemologis dan teologis. Ada yang menggunakan satu pendekatan, ada juga mencakup dua atau tiga pendekatan sekaligus. Pandangan para pemikir tersebut ada yang diterima otoritas Gereja dan ada pula yang ditolak. Dalam paper ini, kami mencoba meneropong pandangan tentang Hukum Kodrat dalam Gereja Katolik mulai dari era kehidupan Gereja Katolik awali, era patristik, abad pertengahan, sampai dengan era  modern/postmodern serta diakhiri dengan relevansinya dalam konteks Indonesia.

 

     II.            HUKUM KODRAT MENURUT GEREJA KATOLIK

1.      Perbedaan Pandangan dalam Cendekiawan Katolik

Hukum Kodrat merupakan masalah mendasar paling tidak sejak masa Santo Klementinus dari Alexandria (150-215). Hukum Kodrat dikaitkan dengan moralitas pribadi dan publik. Pemahaman baik dari sisi ontologis maupun epistemologis masih menjadi perdebatan di antara para pakar Hukum Kodrat Katolik. Hal mendasar yang diselidiki dalam Hukum Kodrat adalah bagaimana hubungan antara iman-rasio (akal budi), dan relasi antara kodrat-rahmat.  Relasi iman-rasio dan kodrat-rahmat dapat ditemukan dalam tulisan akademis Neo-Thomisme, Thomisme Transendental, dan Neo Agustinianisme/Agustinianisme-Thomisme[1]. Pemahaman akan hubungan antara iman-rasio dan antara kodrat-rahmat melahirkan beraneka ragam teori Hukum Kodrat di kalangan Gereja Katolik.

Menurut Russel Hittinger, setidaknya ada tiga hal yang menjadi titik berat (foci) dalam teori-teori tersebut: (1) ada teori yang memandang Hukum Kodrat sebagai proposisi atau perintah yang menduduki posisi utama dalam suatu proses deliberasi rasio praktis; (2) ada yang memandang Hukum Kodrat itu melekat pada kodrat manusia,  dan (3) ada juga yang melihat Hukum Kodrat sebagai tatanan yang diberikan oleh legislator ilahi. Pendekatan pertama (1) menggunakan lensa epistemologis, pendekatan kedua (2) menggunakan lensa ontologis, dan pendekatan ketiga (3) memakai lensa teologis. Sebagian teori menggunakan salah satu dari ketiga pendekatan tersebut, tetapi ada juga yang mencakup dua atau tiga pendekatan sekaligus.

Teori Hukum Kodrat Baru (the New Natural Law theory)  seperti yang dikembangkan oleh John Finnis, dkk menggunakan pendekatan pertama (1) karena ia mengedepankan kemasukakalan (reasonableness) prinsip Hukum Kodrat dalam suatu deliberasi rasio praktis. Bagi John Finnis teori Hukum Kodrat tidak tergantung pada legislasi ilahi ataupun mengandaikan pandangan metafisis tertentu (adanya kodrat), tetapi sepenuhnya hanya berlandaskan pada rasionalitas. Gratianus, ahli hukum Gereja di Abad Pertengahan, menekankan pendekatan ketiga (3)  sebab ia memahami Hukum Kodrat sebagai  hukum Ilahi yang dinyatakan melalui Hukum Musa dan Injil. Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas sendiri mencakup ketiga pendekatan itu sekaligus[2].

 

2.      Era Bapa Gereja dan Abad Pertengahan

Pandangan tentang Hukum Kodrat dapat ditemukan dala karya-karya Bapa Gereja Awal (the Early Church Fathers)  dan Abad Pertengahan. Sebut saja karya Santo Klementinus dari Alexandria (150-215) membahas hubungan antara Hukum Musa dan Hukum Kodrat dalam karyanya Stromata.  Santo Gregorius dari Nyssa (335-394) dalam The Life of Moses berbicara tentang ‘maksud hukum’, yang tertanam dalam kodrat manusia untuk menuntut manusia ke arah yang ilahi dan menjauh dari kejahatan.

      Dari semua otoritas Bapak Gereja, yang paling berpengaruh adalah Santo Agustinus (354-430), yang membentuk teori Hukum Kodrat dari sintesis wahyu Kristiani dengan pemikiran Platon dan Stoik. Bagi Santo Agustinus, Hukum Kodrat terikat dengan Hukum Abadi (lex aeterna). Sebagaimana dikutip Tracey Rowland, Anton-Herman Chroust merangkum pandangan Agustinian tentang Hukum Kodrat:

Hukum Abadi, sebagai tatanan universal, juga merupakan rasio abadi dari semua yang diciptakan, ada dalam setiap makhluk yang diciptakan dalam bentuk kecambah. Dengan kata lain, rasio abadi ada pada setiap makhluk dalam bentuk benih rasio (ratio seminalis). Rasio abadi ini menjdi nyata dalam semua hal dan terjadi dalam bentuk ‘hukum’, yang dalam analisis final, merupakan ‘sifat batin’. Rasio abadi atau lex aeterna mengungkapkan dirinya dalam setiap makhluk berupa hukum kodrat (lex naturalis)[3]

Pada awal abad pertengahan topik tersebut diangkat oleh ahli hukum Gratianus, penulis kumpulan hukum gerejawi berjudul Decretum. Dalam dokumen ini, ia menegaskan bahwa ada dua jenis hukum: hukum kodrat dan hukum adat. Menurut pengikut Gratianus, Hukum Kodrat adalah hukum ilahi yang ditemukan dalam hukum Musa dan dalam Injil.

Santo Albertus Agung, OP (1200-1280), yang dikenal sebagai Doktor Universal, membahas topik ini dalam dua karyanya: pertama De Bono (dikarang antara tahun 1240 dan 1244) dan komentarnya tentang Nicomachean Ethics Aristoteles (dikarang antara 1248 dan 1252). Albertus Agung disebutkan telah membalikkan pendekatan abad pertengahan awal terhadap Hukum Kodrat yang bersifat yuridis menjadi sesuatu yang ontologis dan intelek-sentris. Menurut Stanley B. Cunningham, bagi Albertus Agung Hukum Kodrat ‘bukanlah norma eksterior yang harus dipatuhi manusia, tetapi kesempurnaan batin (interior perfection) akal budi yang menuntun dan menghubungkan manusia dengan kehidupan yang adil dari dalam[4].

Murid Santo Albertus Agung, Santo Thomas Aquinas (1225-1274) yang digelari Doktor Malaikat membahas Hukum Kodrat dalam Summa Theologiae buku I, bagian II, pada pertanyaan 91-95. Ia memandang Hukum Kodrat sebagai suatu partisipasi makhluk yang rasional dalam hukum abadi (Lex Aeterna).

3.      Hukum Kodrat sebagai Ideologi Alternatif Abad Keduapuluh

Pada paruh pertama abad keduapuluh Hukum Kodrat menjadi pusat perhatian kalangan intelektual Katolik. Hal ini sebagian dipicu oleh antusiasme Paus Leo XIII yang memandang Thomisme sebagai alat penangkal segala kesalahan intelektual modern. Selain itu, hal ini merupakan respons terhadap Perang Dunia Pertama dan kebangkitan tirani di Eropa. Pada tahun 1930-an, beberapa cendekiawan Eropa melarikan diri ke Amerika Serikat untuk menghindari penganiayaan. Selama dua dekade berikutnya, penelitian mereka menawarkan suatu teori Hukum Kodrat sebagai alternatif bagi ideologi yang merenggut jutaan nyawa manusia selama masa peperangan hebat.

Salah satu dari cendekiawan tersebut yang berpengaruh adalah Jacques Maritain (1882-1973). Dia merupakan teman Paus Paulus IV dan delegasi Perancis pada komite perancang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Karya Maritain  yang paling penting adalah Religion and Culture (1930), The Dream of Descartes (1932), Integral Humanism (1936), The Rights of Man and the Natural Law (1942), Christianity and Democracy (1943), The Person and the Common Good (1947) dan Man and the State (1951). Dalam buku Man and the State ia menulis bahwa ‘segala sesuatu yang ada di alam, tanaman, anjing, kuda, memiliki hukum kodratnya sendiri, yaitu kenormalan fungsinya, caranya sendiri, dengan rasio struktur dan tujuan spesifiknya, ia ‘harus’ mencapai kepenuhannya dalam pertumbuhan dan perilakunya’[5].

Maritain juga membedakan pemahaman Hukum Kodrat (sebagai persoalan ontologis) dengan pengetahuan seseorang (persoalan gnoseologis).  Ia mengklaim bahwa ‘satu-satunya pengetahuan praktis secara kodrati/alami diketahui setiap manusia tanpa dapat keliru adalah prinsip yang jelas – tak terbantahkan (self-evident) – dimegerti oleh intelek dari konsep itu sendiri – bahwa kita harus melakukan yang baik dan menghindari yang jahat[6]. Bagi Maritain, Hukum Kodrat merupakan pembuka dari hal-hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan dengan cara yang perlu dan dari fakta yang sederhana bahwa manusia adalah manusia, dan tidak ada lagi yang diperhitungkan[7].

Maritain merupakan tokoh intelektual yang berupaya memulihkan hubungan Katolik dengan kaum Liberalisme. Dia menawarkan umat Katolik Amerika dan Perancis cara mendamaikan diri mereka dengan revolusi Perancis 1776 dan 1789. Maritain menberikan prinsip bahwa Hukum Kodrat diarahkan pada masalah-masalah publik daripada masalah pribadi. Namun para cendekiawan abad 21 cenderung menganggap proyek pemulihan hubungan Katolik dengan liberalisme sebagai proyek gagal, karena Liberalisme Politik pada setengah abad terakhir sepenuhnya menolak gagasan Hukum Kodrat. John Rawls (1921-2002), tokoh utama Politik Liberalisme memandang gagasan Santo Thomas Aquinas sebagai gagasan ‘berbahaya’ dan gagasan Santo Ignatius Loyola bahwa tujuan manusia adalah untuk melayani Allah adalah irasional dan sebagai ‘gila’. Maritain rupanya tidak mengantisipasi bahwa kaum liberalis yang akan menyangkalnya terkait dengan hak-hak kodrati/alami di kemudian hari, dimana rasio dipersoalkan atau disangsikan sebagai pilar penting dan valid dari teori Hukum Kodrat[8].

 

4.      Teori Hukum Kodrat Baru

      Pada tahun 1960-an terjadi transisi fokus perhatian Hukum Kodrat dari moralitas publik menjadi moralitas pribadi. Ensiklik Humanae Vitae, yang diumumkan Paus VI tahun 1968, secara tegas melarang praktik kontrasepsi buatan dengan alasan bahwa itu bertentangan dengan Hukum Kodrat. Ensiklik ini memunculkan dua reaksi, yang satu membela tradisi Hukum Kodrat dengan tokoh utama Karol Wojtyla (Paus Johanes Paulus II), dan yang lain menentangnya dengan menawarkan teori-teori moralitas baru seperti etika situasi, konsekuensialisme, dan proporsionalisme. Setelah satu dekade, munculnya ‘moralitas baru’ ini, John Finnis menerbitkan karya seminalisnya Natural Law and Natural Rights (1980). Ini menjadi rujukan ‘Hukum Kodrat Baru’ atau ‘Hukum Kodrat Klasik Baru’ (istilah yang lebih disukai Finnis, tetapi jarang digunakan).

      Selain John Finnis, tokoh lain penggagas Teori Hukum Kodrat Baru, G. Grisez dan R.P. George berusaha mengembangkan suatu teori yang bisa menghadapi relativisme dan sekaligus menjadi alternatif atas liberalisme. Mereka ingin teori mereka menarik bagi umat Katolik dan Non Katolik. Pandangan mereka tentang Hukum Kodrat adalah baru karena hanya berfokus pada satu titik beratnya yaitu rasio praktis, ia menghindari pendekatan ontologis (selain rasio praktis), karena ingin menghindari kritik David Hume – bahwa dari fakta ‘is’ tak bisa ditarik kesimpulan ‘ought’ – dan pendekatan teologis agar teori mereka dapat diterima secara universal. Mereka menghindari pendekatan teologis, meskipun ‘agama’ dipandang sebagai salah satu dari 7 nilai dasar kebaikan bagi manusia, Selain ‘agama’, ada 6 nilai dasar lainnya yaitu: kehidupan, pengetahuan, persahabatan, permainan, pengalaman estetika dan kewajaran praktis. Grisez menawarkan nilai dasar kebaikan bagi manusia, yaitu: integrasi diri, kewajaran praktis, keaslian, keadilan dan persahabatan, kehidupan dan kesehatan, pengetahuan tentang kebenaran, penghargaan terhadap keindahan dan kegiatan yang menyenangkan serta agama.

      Namun teori Hukum Kodrat Baru (Klasik) belum disambut baik kalangan Katolik maupun akademisi Kristen Gereja Reformasi dengan beberapa alasan. Pertama, mereka menolak pendapat Finnis dkk bahwa ‘nilai-nilai dasar (the basic goods) itu tak dapat dibandingkan (incommensurable) dan bahkan agama hanya merupakan salah satu dari ketujuh nilai dasar serta tidak menjadi landasan atau semacam infrastruktur bagi teori moral yang dibangun. Kedua, ada banyak kritik soal bagaimana seseorang bisa berpindah dari level pra-moral (yaitu level tujuh nilai-nilai dasar) ke level moral di mana orang menghormati masing-masing nilai dalam tindakan konkrit. Ketiga, terkait hubungan rahmat-kodrat, Finnis dkk. menolak bahwa hanya ada satu tujuan dari kodrat manusia. Finnis dkk. mengatakan bahwa ada dua tujuan, yang satu kodrati dan yang satu lagi adikodrati/supranatural. Padahal, untuk Thomas Aquinas, tujuan terakhir manusia pada akhirnya satu saja, yakni kebahagiaan adikodrati. Grisez, misalnya, secara eksplisit menolak gagasan Aquinas tersebut, dan menurutnya hati manusia tidak tidak secara kodrati/alami berorientasi pada adopsi sebagai anak Allah dan kepada warisan surgawi yang diperoleh karena status adopsi tersebut. Menurut Grisez, hati manusia secara kodrati terarah pada kepenuhan eksistensi manusiawinya, yakni dalam nilai-nilai dasar manusiawi, dimana seseorang manusia dapat merealisasikannya semakin hari semakin penuh[9].

 

5.      Ajaran Resmi Gereja Katolik (Magisterium)

      Melihat berbagai pandangan tentang Hukum Kodrat di kalangan cendekiawan Katolik begitu kompleks, maka pandangan resmi dan paling aman dapat kita lihat pada ajaran resmi Gereja Katolik. Berdasarkan ensiklik Paus Leo XII, Libertas Praestantissimum, Katekismus Gereja Katolik (§1954) mengajarkan bahwa “Manusia mengambil bagian dalam kebijaksanaan dan kebaikan Sang Pencipta, yang memberi kepadanya kekuasaan atas perbuatannya dan memberi kepadanya kemampuan memimpin diri sendiri dalam upaya mencapai kebenaran dan kebaikan. Hukum Kodrat mengekspresikan pengetahuan moral yang mendasar, yang memungkinkan manusia melalui akal budi, membeda-bedakan antara yang baik dan yang buruk, antara kebenaran dan kebohongan. Dalam  Ensiklik Paus Leo XIII, Libertas Praestantissimum berbunyi: “Hukum Kodrat ditulis dan dipahat di dalam hati setiap manusia, karena akal budi manusia sendirilah yang memberi perintah untuk melakukan yang baik dan melarang dosa…. Tetapi perintah dari akal budi manusia ini hanya dapat mempunyai kekuatan hukum, kalau ia adalah suara sekaligus penafsir dari satu akal budi lebih tinggi, kepada siapa roh dan kebenaran kita harus takhluk”[10].

      Ayat kitab suci yang mendukung gagasan bahwa Hukum Kodrat terukir dalam hati manusia diambil dari Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma (Rm 2:14-15):

(14) Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum hukum Taurat dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. (15) Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela

     Magisterium dalam Katekismus Gereja Katolik juga mengutip ajaran Santo Thomas Aquinas, “Hukum Kodrat tidak lain tidak bukan merupakan terang akal budi yang diletakkan Allah di dalam kita. Melalui itu, kita mengetahui apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita hindarkan. Terang dan hukum ini telah diberikan Allah kepada manusia pada saat penciptaan”[11].

      Hukum Kodrat, menurut Katekismus Gereja Katolik, menyediakan perintah utama dan paling esensial bagi kehidupan moral. Perintah-perintah utama Hukum Kodrat terdapat dalam Sepuluh Perintah Allah (Dekalog). Dekalog dikatakan sebagai Hukum Kodrat, menurut Katekismus, bukan karena merujuk pada kodrat (nature) dari pengada irasional (benda dan binatang) melainkan karena akal budi (rasio) yang menetapkan hukum tersebut merupakan bagian integral dari kodrat manusia (human nature). Katekismus juga mencatat bahwa Sepuluh Perintah Allah adalah “cahaya yang diberikan kepada hati nurani tiap orang” sebagaimana Katekismus juga mengutip Santo Agustinus, “Allah telah menulis di alas loh-loh batu apa yang tidak dibaca manusia dalam hatinya”[12].

      Menurut Katekismus, Hukum Kodrat yang hadir dalam hati tiap orang dan ditetapkan oleh akal budi (rasio) bersifat universal serta mengekspresikan martabat manusia sehingga menjadi landasan bagi hak-hak dan kewajiban asasinya. Hukum Kodrat itu tetap tidak berubah, akan tetapi penerapannya sangat bervariasi karena menuntut pertimbangan mengenai kondisi kehidupan seturut waktu, tempat, dan situasi. Meskipun penerapannya bervariasi, Hukum Kodrat tetap berlaku dan mengikat bagi semua manusia dari segala zaman, karena Hukum Kodrat merupakan dasar yang kokoh, dan menjadi landasan dalam membangun aturan-aturan moral yang akan membimbingnya dalam membuat tiap keputusan moral.

      Ajaran magisterium Gereja Katolik lainnya yang berbicara tentang Hukum Kodrat adalah ensiklik  Veritatis Splendor 1993 (Terang Kebenaran) yang dikeluarkan oleh Paus Johanes Paulus II. Ensiklik ini menyatakan bahwa teori hukum moral (sekuler) yang murni hanya mendasarkan diri pada akal budi (rasio). Ensiklik ini juga mengakui otonomi akal budi manusia untuk menetapkan aturan moral yang berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini. Namun ensiklik ini menyatakan dengan tegas bahwa akal budi manusia tidak bisa menciptakan sendiri nilai-nilai moral, akal budi hanya memilah, tidak menciptakannya. Selanjutnya manusia berpartisipasi saja dalam tatanan moral yang bersumber pada Allah sendiri, manusia hanya mengambil bagian saja dalam Hukum Abadi yang telah digariskan Allah. Menurut ensiklik ini, konsep Hukum Kodrat juga dibedakan dari hukum biologi, meskipunn Hukum Kodrat memang berhubungan dengan cara manusia menggunakan tubuhnya. Tapi hukum itu tidak dianggap sebagai seperangkat norma di tingkat biologis; melainkan harus didefinisikan sebagai tatanan rasional di mana manusia dipanggil oleh Pencipta untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan dan tindakannya dan khususnya untuk mempergunakan tubuhnya. Ensiklik ini mengajarkan bahwa Hukum Kodrat mengungkapkan tuntutan dan tujuan universal apa yang secara moral baik, dan hati nurani merupakan penerapan Hukum Kodrat dalam kasus-kasus tertentu[13].

 

6.      Pandangan Joseph Ratzinger

      Pemikir Katolik lain, Josep Ratzinger (yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI) membuat penekanan pada dasar-dasar teologis Hukum Kodrat. Dalam sebuah makalah yang ditulis pada tahun 1962, berjudul Gratia Praesupponit Naturam, Ratzinger menawarkan analisisnya sendiri tentang kata physis (kodrat) dalam surat-Surat Rasul Paulus dan menyimpulkan, “jika kita mengumpulkan data-data dalam surat-surat Paulus, tak dapat disangkal bahwa kata physis (kodrat) memiliki suatu pengertian ‘penuntun’; meski demikian, kata ini tidak memiliki status sebagai norma yang tidak ambigu dan absolut. Manusia menerima pencerahan sejati tentang keberadaannya bukan dari physis (kodrat), tetapi dari perjumpaannya dengan Kristus dalam iman”[14].  Ratzinger juga menambahkan, dengan kemunculan Kristianitas, “konsep biologis tentang physis menjadi konsep teologis dengan pengertian baru; physis tidak lagi dipahami dalam pengertian biologis atau metafisik-rasional, tetapi dalam pengertian sejarah konkrit yang telah dan sedang berlangsung antara Allah dan manusia[15].

      Dapat dikatakan bahwa bagi Ratzinger kodrat manusia tidak dapat dipahami secara sekuler murni. Kodrat atau physis yang dikemukakan oleh Aristoteles bukanlah kodrat atau physis Kristiani sebab Aristoteles tidak mengenal inkarnasi. Manusia tidak dapat dipahami hanya berdasarkan Kitab Perjanjian Lama – citra Allah (imago Dei) – tetapi juga dipahami berdasarkan Kitab Perjanjian Baru, yaitu dalam diri Yesus Kristus yang menjelma menjadi Adam baru.

      Dalam sebuah artikel tentang pembaruan teologi moral dalam terang Veritatis Splendor, Ratzinger menyimpulkan bahwa “tidak ada etika yang dapat dibangun tanpa Tuhan”. Dia juga mengatakan bahwa Sepuluh Perintah Allah tidak harus ditafsirkan pertama-tama sebagai hukum, tetapi sebagai anugerah dari Tuhan untuk manusia. Loh batu kedua (berisi perintah Allah keempat sampai dengan kesepuluh) tidak dapat dimaknai tanpa loh batu pertama (berisi perintah Allah kesatu sampai dengan ketiga).

      Ratzinger juga dengan merujuk pada Hukum Kodrat berpendapat bahwa pemerintah perlu mengakui bahwa mereka sendiri tunduk pada hukum yang lebih tinggi. Pandangan ini ada bukan hanya dalam Katolik, tetapi juga dalam tradisi agama lainnya di dunia. Tradisi-tradisi keagamaan mengakui gagasan adanya keteraturan dalam penciptaan. Ratzinger mengakui bahwa pandangan ini tidak dimiliki oleh elit intelektual kontemporer posmodern. Dalam diskusi dengan para cendekiawan postmodern, Ratzinger mengklaim bahwa wacana tentang Hukum Kodrat adalah ‘instrumen tumpul’[16].

 

7.      Pandangan Alkitabiah tentag Hukum Kodrat

      Mengikuti kesimpulan Ratzinger, Matthew Levering dalam bukunya Biblical Natural Law, yang berdasarkan penelitiannya tentang Hukum Kodrat dalam Kitab Suci, menyimpulkan bahwa pengertian hukum dalam Kitab Suci selalu bersifat teosentris. Hukum tidak pertama-tama tergantung pada kodrat (nature) atau pada akal budi manusia (human nature), sebab landasan hukum adalah Allah, bukan manusia. Manusia hanya mengambil bagian dalam kebijaksanaan ilahi[17].

 

 

 

8.      Hukum Kodrat dan Kecerdasan Emosi

      Dalam dokumen Komisi Teologi Internasional 2009, berjudul The Search for a Universal Ethic: A New Look at the Natural Law, dalam paragraph 54-57, diakui pentingya “kebijaksanaan pengalaman” dan “kecerdasan emosi” bagi moralitas tindakan manusia. Dokumen tersebut juga mencatat bahwa subyek moral harus dianugerahi disposisi batin yang memungkinkannya terbuka terhadap tuntutan Hukum Kodrat. Dalam paragraph 59 dokumen tersebut disimpulkan bahwa subyek perlu memiliki disposisi intelektual dan afektif yang memungkinkan keterbukaan diri akan kebenaran moral, sehingga penilaiannya juga memadai secara moral. Dokumen tersebut dalam paragraph 10, mengusulkan doktrin tradisional Hukum Kodrat dapat membantu mewujudkan dimensi personal dan eksistensial kehidupan moral. Pendekatan dalam dokumen tersebut senada dengan penekanan Ratzinger terkait hubungan saling menguatkan antara kasih - akal budi (rasio) – yang juga disebut ‘pilar kembar dari realitas[18].

      Dalam Gereja Katolik hubungan Hukum Kodrat dan Kecerdasan Emosi ini dimediasi dalam kehidupan komunitas (persekutuan). Konsep Thomas Aquinas tentng Hukum Kodrat menekankan pentingnya kehidupan manusia secara sosial dan historis. Manusia pada kodratnya cenderung hidup dalam komunitas. Dalam komunitas setiap subyek dididik, dan ikut ambil bagian dalam kehidupan bersama, Penalaran praktis dan pengetahuan tentang Hukum Kodrat dapat bertumbuhkembang atau mandek hanya melalui budaya dan praktik sosial tertentu[19]. Intinya, Gereja Katolik sebagai komunitas sangat penting sebagai wadah penyadaran akan Hukum Kodrat dan fundamental.

 

  III.            CATATAN PENUTUP

Hukum Kodrat dalam Gereja Katolik merupakan dasar penting bagi ajaran moral Katolik. Tetapi dewasa ini, Hukum Kodrat tersebut cenderung menjauh dari gagasan bahwa Hukum Kodrat dapat dilihat netral secara teologis dan lalu pelan-pelan menuju sebuah Hukum Kodrat yang Alkitabiah dan Kristosentris, seperti ditunjukkan dalam dokumen ajaran resmi Gereja Katolik (Magisterium). Hukum Kodrat tidak lagi dipandang otonom berdasarkan rasio atau akal budi manusia, tetapi Hukum Kodrat yang teosentris. Hukum Kodrat harus dimengerti dalam konteks hubungan kodrat-rahmat Allah dan rasio-iman. Hukum Kodrat harus dipahami bahwa Allahlah sebagai landasannya. Rasio manusia hanya berpartisipasi dalam rasio tertinggi, yaitu rasio Ilahi.

Adanya beberapa pemikir Katolik yang mencoba mengembangkan Hukum Kodrat sekuler, seperti Hukum Kodrat Baru yang digagas John Finnis, dkk., hanya demi menarik perhatian dan diterima kaum Non Katolik, kurang diterima oleh Gereja Katolik.

Hukum Kodrat yang teosentris merupakan pandangan yang diterima dalam Gereja Katolik, sebagaimana semangat yang sama ini juga sedang bergema dan cenderung trending dalam tradisi Non Katolik.

Hukum Kodrat dalam tradisi agama-agama, termasuk dalam pandangan Gereja Katolik tetap relevan dan aktual dalam konteks Indonesia yang membutuhkan pendekatan interdisiplin ilmu dalam memecahkan berbagai persoalan bangsa, seperti: masalah hukum atas euthanasia, aborsi, homoseksual, rekayasa genetik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, para pakar Hukum Kodrat Katolik dapat memberi kontribusi berharga dalam pembangunan hukum dan kehidupan moral bangsa Indonesia dari perspektif agama.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Tom Angier, ed., 2019, artikel  Rowland Tracey Natural Law in Catholic Christianity dalam The Cambridge Companion to Natural Ethics, New York : Cambridge University Press, 2019

 

Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hukum Kodrat dalam Tradisi Agama Kristen, STF Driyarkara, Jakarta


[1] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 135

[2] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan  yang 8, Hal.1.

[3]The lex aeterna, which as the universal order also constitutes the ratio aeterna of all that is created, resides in every creature in a germinating manner. In other words, the ratio aeterna exists in every creature in the form of a ratio seminaria or ratio seminalis. This ratio aeterna becomes manifest in all created things, and does so in the form of ‘laws’ which, in the final analysis, constitute the ‘inner nature’ of these things. The ratio aeterna, or lex aeterna, reveals itself in every creature in the form of the lex naturalis” dalam  Tom Angier, ed., 2019, hal. 137-8

[4] Lihat Tom Angier, ed., 2019, hal. 138

[5] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 139

[6] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan  yang 8, Hal.2

[7] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 140

[8] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 2

[9] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 144

[10] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 3

[11] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 3

[12] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 3

[13] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 148

[14] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 148

[15] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 4

[16] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 149

[17] Kristanto, Dr. H. Dwi, 2020, bahan kuliah pertemuan 8, Hal. 4

[18] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 151

[19] Tom Angier, ed., 2019, Hal. 152

Kamis, April 02, 2020

Panduan Hermeneutika (Resensi Buku A Manual Hermeneutics - Luis Alonso Schȍkel)



Foto: istimewa

Judul buku :    A Manual of Hermeneutics
Pengarang  :    Luis Alonso Schȍkel
Penerbit      :    Sheffield Academic Press
Cetakan      :    1998
Ukuran       :    16,8 x 24 cm
Halaman     :    sampul + 181 hlm
ISBN          :    1-85075-850-6

Buku ini di beri judul A Manual of Hermeneutika oleh penulis, Luis Alonso Schȍkel bersama José Maria Bravo, bukan bermaksud mengurangi nilainya tetapi untuk alasan fungsi  praktis, sehingga lebih mudah digunakan. Kata “manual” juga menunjukkan bahwa penulis menyusun buku ini berangkat dari pengalamannya sebagai pengajar Kitab Suci yang sudah dijalaninya bertahun-tahun.
Fokus utama buku ini adalah hermeneutika yang bertitiktolak dari pengalaman penulis, khususnya bidang teks sastra. Kebanyakan contoh teks sastra yang diambil  berasal dari Kitab Suci. Di saat pembaca tidak mengerti sebuah teks, terutama teks yang berbeda jaman dengan pembaca, maka perlu penjelasan dari yang berkompeten. Namun perlu diingat, bahwa penulis bukan mau menjelaskan suatu teks atau ayat Kitab Suci, namun memaparkan refleksinya dalam melakukan interpretasi dan memahami teks. (Hal.10).

Definisi
Istilah hermeneutika tidak sama dengan istilah eksegesis. Menurutnya, eksegesis adalah praktek memahami teks (ayat-ayat) sakral dengan suatu metode eksegesis yaitu proses penelitian teks secara sistematis dalam melakukan interpretasi teks untuk menemukan makna original. Sedang hermeneutika adalah suatu teori memahami dan melakukan interpretasi teks (hal.13). Oleh karena itu hermeneutika bukanlah salah satu tipe eksegesis, bukan pula sebuah metode eksegesis. Sekali lagi, hermeneutika adalah suatu teori refleksi memahami dan melakukan interpretasi teks.
Pada dasarnya, ada tiga tipe interpretasi: yaitu interpretasi reproduktif, interpretasi eksplikatif, dan interpretasi normatif. Interpretasi reproduktif berarti kegiatan menampilkan kembali teks atau menghadirkan kembali teks. Interpretasi eksplikatif adalah lanjutan interpretasi reproduktif dimana dengan menjelaskan teks, suatu makna bagi kehidupan ditemukan. Kemudian, interpretasi normatif adalah penafsiran teks berdasarkan otoritas atau kuasa menafsirkan. (Hal. 17)
Inspirasi, Bahasa dan Hermeneutika
            Teori-teori hermeneutika memiliki korelasi dengan teori hermeneutika biblis. Kedua teori ini saling mengkondisikan satu sama lin. Dalam refleksi penulis, hermeneutika alkitabiah memainkan bagian penting – dimana penafsiran teks-teks alkitab sudah lama berkembang dari waktu ke waktu. Itu sebabnya penulis mengambil inspirasi dari Kitab Suci, yang membantunya dalam bidang hermeneutika.  Karakteristik mendasar dalam Alkitab adalah bahwa penulis Kitab Suci menyampaikan pesan yang diklaim sebagai pesan dari Tuhan (Hal. 22)
            Dalam Hermeneutika yang dipaparkan dalam buku ini,  si pengarang teks tidak disingkirkan, tetapi diintegrasikan dengan faktor-faktor lain dalam tindakan interpretasi. Penulis teks dan konteksnya merupakan satu kesatuan tunggal dan sangat menentukan dalam melakukan interpretasi (Hal. 26)
            Risalah hermeneutika memiliki hubungan korelasi dengan inspirasi alkitabiah. Inspirasi yang dimaksud adalah soal bahasa dilihat dari sudut penilaian intelektual. Penulis buku ini lebih memilih mendekati tema inspirasi dari perspektif bahasa. Seperti dalam Kitab Suci, Roh Kudus mengilhami para penulis yang melahirkan bentuk kata-kata dari pengalaman vital yang ingin disampaikan.

Hermeneutika Teks
Pendekatan hermeneutika Luis Alonso Schȍkel diinspirasi dari 1 Korintus 2 tentang pewartaan Mesias, Yesus Kristus yang disalibkan kepada orang-orang Korintus yang dipengaruhi era Helenistis-Romawi. Dalam bagian surat Raul Paulus tersebut, penulis buku menemukan dua skema atau mediasi penyampaian pesan. Yang pertama, bantuan ilham/bahasa Roh Kudus, lalu yang kedua penyampaian pesan kepada umat Korintus dengan cara cara komunikasi Paulus.
Pendekatan hermeneutika Luis Alonso Schȍkel dapat diterangkan dengan deskripsi berikut ini. Suatu teks sastra (work) merupakan karya pengarang (author) yang disampaikan kepada pembaca (receiver). Komunikasi terjadi melalui suatu tema pokok dengan bahasa spesifik. (Hal. 53).




Diagram Hermeneutika Luis Alonso Schȍkel
Dalam diagram tersebut, teks (work) menempati posisi sentral. Teks sastra tersbut ditempatkan sebagai pembawa makna di antara pengarang (author) dengan pembaca (receiver). Relasi ketiganya dimediasi bahasa (language) melalui suatu tema atau pokok pikiran (theme/ subject). Semua faktor ini perlu dipertinbangkan dengan alasan agar tidak jatuh ke dalam reduksionisme atau interpretasi parsial. Akan menjadi kesalahan bila memberi posisi eksklusif pada salah satu elemen diagram di atas, semuanya faktor tersebut sama pentingya.(Hal.53).
Relasi elemen-elemen di atas dapat dilukiskan melalui gerak pada garis sebagai berikut ini: (1) A-W-R : dari pengarang (author) menuju pembaca (receiver) melalui teks (work); (2) A-T-R : dari pengarang (author) menuju pembaca (receiver) melalui  suatu tema (theme); (3) A-L-R: bahasa (language) bergerak dari pengarang (author) ke pembaca (receiver); dan (4) T-W-L: bahasa (language)  bergerak dari tema (theme) ke teks (work). (Hal. 54).

Pengarang-Teks-Pembaca
Dalam garis dari pengarang melalui karya sastra (work) lalu sampai ke pembaca/pendengar. Pengarang teks menyampaikan pesan ke pembaca. Lalu pembaca mengerti atau berusaha mengertinya. Dalam tiga elemen (pengarang-teks-pembaca) muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang yang ingin saya pahami? Apakah obyek dari interpretasi saya? Apa yang saya perlukan untuk mengerti suatu teks yang ingin diinterpretasikan? Kemudian, pergerakan dimulai dari kiri ke kanan, atau sebaliknya.
Menurut  Luis Alonso Schȍkel ada kemungkinan tiga jawaban yaitu: (1) saya tertarik dengan pengarang, atau (2) yang ingin saya interpretasikan adalah teks, atau (3) saya bisa berfokus pada minat saya tentang pembaca, yang mengerti diri mereka sendiri dalam tindakan interpretatif (Hal. 55).
Terkait dengan pengarang, yang mau disorot adalah pengarang dan seluruh pengalamannya, dengan segala kompleksitas dan kekayaannya. Di sini teks (work) hanyalah sekedar membantu sebagai mediasi. Melalui teks kita dapat memahami pengarang.
Selanjutnya, teks (work) itu berasal dari seorang pengarang. Teks sastra merupakan karya pengarang. Teks mengandung sistem dan kata-kata bermakna. Teks memiliki struktur atau sistem struktur. Teks mengundang pembaca untuk masuk ke dalamnya dan menemukan aneka tampilan dan kemungkinan komunikasi.
Yang terakhir, objek interpretasi adalah soal pemahaman diri dari pembaca. Teks merangsang pembaca untuk mengetahuinya dalam keotentikan atau kepalsuannya. Misalnya membaca Kitab Suci, berarti untuk mengerti diri sendiri, untuk berubah dari kepalsuan menuju keotentikan diri, sebagaimana dipraktekkan Bultman (Hal. 55)

Pengarang-Tema-Pembaca
            Ketika berbicara tentang pra-pemahaman, lingkaran hermeneutika, dan struktur pemahaman dialogis, faktor tema atau topik merupakan bagian yang penting. Suatu topik atau pesan  muncul dari konteks dan segala yang melingkupinya. Inilah yang disebut cakrawala (horison) yang bisa bersifat total atau parsial.
Dalam hal ini, cakrawala atau horison bersifat atematis, berkembang, heterogen dalam komposisinya dengan segala akumulasi unsur-unsur teoritis dan praktis. Karena itu, tidak sama pengaruh pengondisiannya pada masing-masing aktivitas pemahaman; karena sifatnya mediasi-kedekatan. (hal.83). Horison pengarang dan pembaca bertemu dalam pemahaman teks.
Kemudian, faktor penting yaitu terkait suatu pertanyaan. Pertanyaan yang dimaksud adalah kesadaran ketiadapengetahuanan (docta ignorantia). Pertanyaan melahirkan tematisasi horison. Meskipun horison atematis, tetapi dapat ditematisasi secara bertahap atau parsial. Suatu teks dipahami hanya jika pertanyaan yang tepat  sudah ditemukan (Hal. 84)
Faktor lain adalah imajinasi. Imajinasi penting dalam relasi pengarang-tema-pembaca. Apa yang ditulis dalam imajinasi harus dibaca dalam  imajinasi. Imajinasi adalah faktor yang sangat diperlukan dalam pemahaman dan interpretasi, tetapi tidak boleh dikacaukan oleh genre fantasi.

Apropriasi
            Dalam memahami atau menginterpretasi suatu karya sastra (teks), pembaca dapat sampai kepada suatu pemahaman. Namun pemahaman ini bukanlah pencapaian yang tertinggi. Pencapaian tertinggi dalam memahami atau melakukan interpretasi adalah apropriasi, menjadikan makna atau pesan menjadi milik sendiri (Hal. 90).
            Pembaca dapat sampai pada apropriasi bila  sudah memahami teks dan memunculkan pertemuan analog pengalaman pembaca dengan teks yang dipahaminya. Bagi umat Kristen, Mazmur merupakan contoh bentuk apropriasi yang paling mudah (Hal. 93).

Pendalamanan
            Dalam bagian lain, Luis Alonso Schȍkel memberikan pendalaman terkait dengan bahasa. Bahasa merupakan sarana komunikasi antara manusia. Bahasa memiliki gaya dalam pengungkapannya. Bahasa juga memiliki keterbatasan. Meskipun demikian, bahasa menjadi jembatan antara pengarang dengan pembaca. Untuk memahami teks, pembaca harus memahami ilmu bahasa dan sastra.Dalam bahasa sastra pembaca dapat menemukan bahasa ilmiah, simbol, konsep, istilah baik bersifat korporal, spiritual, konkrit ataupun abstrak (Hal. 110).
            Dalam buku ini, meskipun ada perbedaan, teks kerap disamakan dengan karya (work). Yang dimaksud lebih kepada karya sastra sebagai satu kesatuan sistem hasil karya pengarang. Karya sastra terdiri dari sistem yang kompleks dan kosistensinya sendiri. Ia memuat makrostruktur: keseluruhan mempengaruhi bagian-bagiannya, dan setiap bagian dapat dipahami hanya bila memahami keseluruhannya. (Hal. 131).
            Karya sastra dapat menggunakan metafora. Metafora memiliki fungsi kognitif. Fiksi tidak sama dengan kepalsuan. Kebenaran narasi sastra dan puisi merupakan bidang kebenaran ontologis. Pengada dihadirkan dalam karya sastra sebagai penghadiran ulang (Hal. 138).
            Hal lain yang dijelaskan adalah peran tradisi. Tradisi merupakan media yang dioerlukan untuk memahami teks. Tradisi memasuki proses dialektik timbal balik dengan teks: keduanya melestarikan dan mengkondisikan pemahamannya. Misalnya dalam teks Alkitab, Roh Kudus adalah faktor penentu dalam tradisi. (Hal. 147).
            Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah kondisi sosial. Kondisi sosial, seperti politik dan ekonomi sangat mempengaruhi cara pembaca memahami dan menjelaskan Alkitab. Para ekseget hidup dalam lingkup sejarah tertentu (Hal. 154).

Penafsiran Normatif
            Teks memiliki relasi dengan masyarakat, sama halnya dengan relasi antara teks dan tradisi. Tanpa masyarakat yang mentransmisikan, teks itu mati atau tidur. Masyarakat bukanlah suatu yang amorf, tetapi lebih merupakan suatu badan terorganisir dan hirarkis, dimana ada kelompok penafsir teks (kuasa mangajar) yang memiliki tempat khusus dan membuat teori atau aturan dalam memahami atau interpretasi teks. Aturan inilah yang disebut sebagai penafsiran normatif sebagaimana dapat ditemukan dalam Yahudi, Katolik dan  Islam. Berbeda dengan Protestan yang menolak otoritas pengajaran. (Hal. 148)

Tanggapan
            Buku Luis Alonso Schȍkel ini merupakan sebuah karya penting dan mudah dipahami. Mekipun bentuk buku bersifat manual, namun refleksi pengarang tentang hermeneutika tetap komprehensif dan berguna. Hal ini karena penulis sangat berpengalaman dalam bidangnya.
Dalam menjelaskan metode hermeneutikanya, penulis buku memberikan contoh-contoh teks dari Kitab Suci Kristiani. Pembahasan seluk-beluk hermeneutikanya sangat luas dan mendalam baik dari sudut teologis maupun filosofis. Karena itu, ia sangat membantu dalam melakukan interpretasi teks pada umumnya, lebih khusus pada teks sakral (Kitab Suci) seperti dalam agama-agama.
Metode hermeneutikanya memiliki kemiripan dengan hermeneutika lengkung Paul Ricoeur yang berangkat tiga rangkap, yaitu membaca teks, mengkritisinya (menjelaskan) lalu melakukan apropriasi.
. Buku ini menjadi salah satu yang patut direkomendasikan bagi mahasiswa teologi dan filsafat, karena sangat membantu dalam peningkatan kompetensi seni memahami atau hermeneutika.  
           

***



Powered By Blogger