Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Senin, Mei 03, 2010

Titik Temu RPJPN dan Ajaran Sosial Gereja: Keadilan Sosial

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 merupakan periode 20 tahunan yang ditetapkan untuk memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi dan arah pembangunan yang disepakati bersama oleh para pemangku kepentingan.

Sebagai bagian dari komponen bangsa, Gereja Katolik Indonesia turut berpartisipasi aktif dalam mewujudkan rencana pembangunan nasional. Salah satu kontribusi Gereja Katolik adalah ajaran sosial Gereja yang menggumuli masalah-masalah kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakdamaian. Ajaran sosial Gereja bernafaskan preferential option for the poor, memilih berpihak pada kelompok miskin.
RPJPN 2005-2025
Dalam teks Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dikatakan bahwa Visi Pembangunan Nasional 2005-2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Juga dijelaskan bahwa bangsa Indonesia bukan hanya sebagai yang mandiri dan maju, melainkan juga sebagai bangsa yang adil dan makmur. Keadilan dan kemakmuran harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan . Semua rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan; memperoleh lapangan pekerjaan; mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan; mengemukakan pendapat; melaksanakan hak politik; mengamankan dan mempertahan-kan negara; serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum.
Lebih lanjut dijelaskan, bangsa yang adil berarti tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender maupun wilayah. Bangsa yang makmur adalah bangsa yang telah terpenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk mewujudkan bangsa yang adil itu, salah satu misi yang ingin diwujudkan adalah mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, yaitu meningkatkan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/ daerah yang masih lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis, menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi, serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Ajaran Sosial Gereja
Dalam studi tentang Ajaran Sosial Gereja, 1891 sering kali disebut sebagai tonggak sejarah ajaran sosial Gereja. Pada tahun inilah Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial pada 1 Mei 1891 berjudul Rerum Novarum (RN). Melalui ajaran sosial Gereja yang ada di dalamnya, Gereja Katolik secara tegas dan bijak mengambil sikap profetis dan keberpihakan terutama pada korban perubahan sistem, struktur dan mentalitas dalam hidup bersama.
Dalam buku tersebut, paling tidak ada 3 (tiga) pokok yang mutlak perlu untuk membela masyarakat yang lemah dan tertindas. Pokok pertama, Gereja mengajar dan bertindak (Rerum Novarum, art. 13-24). Pokok kedua, negara campur tangan pada masalah-masalah kesejahteraan umum (Rerum Novarum, art. 25-35); dan pokok ketiga, perserikatan profesional (pemilik modal dan buruh) perlu mengorganisasi wilayah sosial. (Reru Novarum, art. 36-44).
Sejak diterbitkannya Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII pada 1 Mei 1891 sampai dengan dipromulgasikannya Centesimus Annus, 1 Mei 1991 oleh Paus Yohanes Paulus II, sudah lebih dari sepuluh dokumen mengenai ajaran sosial Gereja.
Empat puluh tahun sesudah Rerum Novarum, diterbitkanlah Quadragesimo Anno (31 Mei 1931) yang bertujuan untuk memperbaiki tata sosial. Penerbitan ajaran sosial Gereja ini dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang berlarut-larut yang mengakibatkan angka pengangguran membengkak.
Pada 19 Maret 1937, diterbitkan dokumen Divini Redemptoris yang intinya kontra dengan gelagat komunis-ateis. Pada artikel 58 dikatakan Komunisme itu secara intrinksik jahat. Komunisme itu melawan Allah dan peradaban.
Pada awal Juni 1941, saat mengenang usia Rerum Novarum ke-50, Paus Pius XII mengadakan pidato radio Vatikan. Salah satu ajaran penting yang disampaikannya adalah soal kesejahteraan umum. Adalah tugas dan panggilan negara untuk menggerakkan dan memajukan kesejahteraan umum.
Paus Yohanes XXIII menerbitkan Ensikliknya berjudul Mater et Magistra pada 15 Mei 1961yang membahas situasi terkini masalah sosial. Salah satu ajaran yang ditegaskan adalah pentingnya intervensi negara dengan memperhatikan prinsip subsidiaritas yang memberikan kepada pihak-pihak tertentu untuk berprakarsa dan memikul tanggung jawab. Terkait dengan upah yang adil, Gereja melalui Mater et Magistra menekankan perlu diterapkan pengertian upah adil dalam artian partisipasi dalam pengambilan keputusan. (Eddy Kristianto,OFM, Dioma 2003: 70).
Kemudian Gereja melalui Paus Yohanes Paulus II (14 September 1981) mengeluarkan Ensiklik Laborem Excercens yang berbicara tentang pekerjaan manusia. Dalam dokumen ini Gereja dipanggil untuk menciptakan spiritualitas kerja yang membantu semua orang mendekatkan diri kepada Allah Sang Khalik, untuk ikut serta dalam rencana-rencana penyelamatan Allah dalam tataran insani dan dunia dan membantu memperdalam persahabatan dengan Kristus melalui pekerjaan mereka (bdk. Laboreem Exercens art. 24,2).
Pada usia seratus tahun Rerum Novarum, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan dokumen penting ajaran sosial Gereja berjudul Centesimus Annus. Centesimus Annus mengangkat pokok-pokok pikiran seperti martabat kerja, kerja bermakna personal dan sosial, hak milik, hak berserikat dalam Trade Unions, hak atas kondisi kerja yang menghormati standar-standar insani seturut usia dan jenis kelamin, kesepakatan-kesepakatan kerja hendaknya melindungi standar-standar tersebut, upah kerja yang adil, kewajiban negara untuk membela orang miskin.
Titik Temu
Ada satu kunci yang menjadi titik temu RPJPN 2005-2025 dengan Ajaran Sosial Gereja yaitu soal keadilan sosial bagi anggota masyarakat dan Gereja.
Dalam RPJPN, Negara menggambarkan bahwa bangsa yang adil berarti tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender maupun wilayah. Upaya Negara dilakukan melalui usaha mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, yaitu meningkatkan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/ daerah yang masih lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis, menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi, serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Sebagai lembaga agama dan moral, Gereja menyuarakan ajaran sosial Gereja dan menegakkan moralitas sesuai dengan ajaran iman kekatolikannya. Gereja menyuarakan tuntutan upah yang adil, upah mesti menjamin hidup buruh. Kemudian setiap anggota Gereja termasuk para buruh bebas untuk berserikat untuk memiliki kesatuan dan kekuatan. Selain itu, Gereja menuntut intervensi negara. Menurut Gereja Katolik Negara berhak ikut mengatur hidup masyarakat karena negara wajib melindungi golongan yang lemah, namun di sini peran negara adalah subsidier. Gereja Katolik menolak aliran sosialisme. Sosialisme ditolak karena tidak mengakui hak milik.
Perbedaannya adalah roh yang mendasari masing-masing. Negara didasari oleh Konstitusi dan pilarnya yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan Gereja Katolik selain ikut Konstitusi dan pilar negara juga didasari oleh semangat Injili yaitu iman akan Kristus Yesus yang berkarya, merendah, sengsara, wafat, dan dibangkitkan.
Di tengah kesamaan dan keberbedaan itu, bila terjadi ketidakadilan, maka Gereja Katolik akan mengingatkan dan menyuarakan kembali nilai-nilai keadilan kepada Negara melalui Sura Gembala atau Nota Pastoral Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) atau Sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Baik Negara maupun Gereja Katolik dituntut kerjasama sinergis membangun NKRI tanpa mengurangi otonomitas masing-masing sesuai dengan wewenang masing-masing pula. Salah satu Nota Pastoral yang dikeluarkan KWI pada tahun 2004 adalah Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa dengan subtema: Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosio Budaya.

(Pormadi Simbolon ditulis pada Maret 2010, dengan sumber utama: RPJPN oleh Bappenas, Kompas 22 Desember 2008 dan Eddy Kristianto, Diskursus Sosial Gereja, Dioma, Malang: 2003).

Mgr. Silvester San: Umat Butuh Rumah Ibadat


Keterangan Foto:
Mgr. Silvester San, Uskup Denpasar bersama pejabat Perwailan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Pejabat Kementerian Agama dari Kepala Kanwil Kementerian Agama RI NTB dan Bapak Semara Duran Antonius, Sekretaris Ditjen Bimas Katolik memasuki ruangan pertemuan Konsultatif Aparatur Bimas Katolik Pusat dan Daerah di Mataram (19/04/2010)


Umat Katolik di Kecamatan Praya Lombok Tengah di Pulau Lombok hingga sekarang belum memiliki satu pun rumah ibadat, sehingga umat harus beribadah jauh ke gereja di luar kecamatan Praya. Padahal umat sangat berharap dapat beribadat dengan tenang dan nyaman.
Oleh karena itu Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San Tungga, PR, atau yang akrab dipanggil Mgr. Silvester San, menyampaikan keinginannya agar umat Katolik Keuskupan Denpasar yang ada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat segera memperoleh ijin mendirikan rumah ibadat agar kebebasan beribadat setiap warga terjamin oleh negara.


Menurut Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.2 No. 1 Juni 2005, umat Katolik di Praya berjumlah 72 orang. Sudah menjadi rahasia umum, negara belum sungguh-sungguh melindungi dan menjamin warganya beribadat sesuai agama dan kepercayaannya seberapapun jumlah pemeluknya, namun kenyataanya masih berorientasi pada mayoritas dan minoritas seperti yang terlihat dari peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Agama RI Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah / wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadah.

Keinginan tersebut disampaikan kepada Pejabat Kementerian Agama RI dan Pejabat Pemerintah setempat yang hadir pada Acara Pembukaan Pertemuan Konsultasi Pejabat Bimas Katolik Pusat dan Daerah di kota Mataram (19 April 2010). Dalam sambutannya, selain memiliki kembali rumah ibadat yang pernah ada, Mgr. Silvester San menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI atas segala bantuannya dalam pembangunan umat Katolik di keuskupan Denpasar.


Terkait kerukunan antar umat beragama, Uskup Denpasar juga menegaskan dalam sambutannya bahwa umat Katolik bersedia membangun kerukunan umat beragama melalui dialog yang saling menguntungkan, sebab keharmonisan dan kedamaian merupakan syarat mutlak untuk membangun Nusa Tenggara Barat. Untuk mendukung itu semua maka dibutuhkan rasa persaudaraan dan saling percaya satu sama lainDalam sejarahnya, ada 21 bangunan gereja yang menjadi sasaran amukan massa, 9 dibakar dan 12 dirusak pada Peristiwa 171 alias Peristiwa 17 Januari 2000. Gereja Katolik yang pernah ada menjadi salah satu korban amukan massa. Sejak saat itu, umat Katolik tidak memiliki rumah ibadat lagi. (Pormadi Simbolon)


Powered By Blogger