Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Desember 27, 2007

Departemen Agama: Ucapkan Selamat Natal Bagi Umat Kristiani

Ada hal menarik untuk natal 2007 ini. Departemen Agama sebagai lembaga yang mengurusi pembangunan agama memajangkan spanduk besar bertuliskan MENTERI AGAMA BESERTA JAJARANNYA MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA NATAL BAGI UMAT KRISTIANI, di halaman samping Kantor Sekretariat Kerukunan Umat Bragama di Jalan Kramat Raya Jakarta.

Dengan perayaan natal tahun ini diharapkan adanya peningkatan kualitas iman bagi perbaikan bangsa. Padahal selama ini ada kesan "ucapan selamat natal bagi umat kristiani" terkesan haram bila diucapkan oleh saudara/i beragama Islam. Ucapan Menteri Agama itu amat menyejukkan bagi umat Kristiani. Ucapan selamat demikian amat berarti dan berharga bagi umat kristiani sebagai bagian dari warga negara dan sebagai bagian pembinaan kerukunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006
tentang PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/ WAKIL KEPALA DAERAH DALAM
PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA, DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT, yang sesungguhnya adalah buah-buah
pikiran para utusan dari lembaga-lembaga agama kiranya dapat ikut serta memberi
rambu-rambu sehingga cita-cita hidup rukun antar umat beragama semakin hari
semakin menjadi indah.

Yang lebih menarik lagi, ucapan natal kepada umat kristiani berdatangan lewat sms dan email. Hal ini terlihat dari pesan dan isi posting milis PLURALITAS, Forum Pembaca Kompas, dan berbagai milis lainnya. Secara pribadi, penulis menerima puluhan sms ucapan selamat natal dari teman-teman beragama Islam. Amat indah dan menyenangkan.

Natal 2007

Natal tahun 2007 aman dan damai. Itulah kesan pertama setelah menyaksikan pelaksanaan perayaan natal 2007 di berbagai kota di seluruh Indonesia. Mulai dari Gereja di kota-kota besar hingga ke pelosok-pelosok nusantara. Semua perayaan misa natal dan kebaktian natal 2007 berjalan damai dan khidmat.
Pesan natal tahun 2007 ini semua berfokus pada inti pesan natal 2007 yang digagas oleh Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) - Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Desember lalu yaitu

“HIDUPLAH DENGAN BIJAKSANA, ADIL DAN BERIBADAH” (Bdk. Titus 2:12).

Pesan itu amat relevan dengan tantangan zaman sekarang dimana dampak negatif globalisasi, materialisme dan primordialisme kerap kali menguasai banyak orang. Semoga dengan perayaan natal dan ucapan selamat natal di Indonesia semakin memupuk persaudaraan dan semangat kebersamaan dalam menggapai bonum publicum (kesejahteraan bersama) menuju Indonesia yang aman, demokratis dan damai sejahtera. AMIN (Pormadi Simbolon)

Sabtu, November 17, 2007

HOMESCHOOLING: SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF

HOMESCHOOLING:
SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF

Oleh Pormadi Simbolon, SS

Pengantar

Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk “menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (homeschooling) atau dikenal juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home education atau home based learning.

Latar Belakang

Banyaknya orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua mendidik anaknya di rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.

Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.

Homeschooling
Istilah Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat. Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning atau sekolah mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (bdk. Sumardiono, 2007:4).

Peran dan komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan standar pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas, 13/3/2005).

Dalam Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2).

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal 1).

Berdasarkan definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah rumah menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sejarah Singkat

Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.

Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007: 21).

Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.

Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) , pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.

Di Indonesia

Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum menyekolahkan anaknya di rumah. Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang harus banyak belajar.
Demikian juga Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah tahun 2000 (Kompas, 13/3/2005).
Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).

Morning Star Academy, Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya.

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat.

Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.

Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung Homechooling

Kegagalan sekolah formal
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.

Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial.

Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak.
(Buku acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno, Kanisius: 2003).

Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.

Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).

Homeschooling vs Sekolah Umum
Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai.

Namun bagi sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif.

Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan.

Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.

Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga.

Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua.

Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.

Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling
Dari perbedaan di atas, kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.

Di sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini: membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

Penutup
Homeschooling merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman (agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Di sisi lain, ada sekolah umum yang memberikan bahan ajar dan kurikulum secara terpusat dan seragam, sesuai dengan harapan dan kebutuhan anak. Baik homeschooling maupun sekolah umum (pendidikan formal) sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Soal pilihan atas keduanya, semua diserahkan pada orangtua dan keluarga sesuai dengan kondisi keluarga.
Penulis adalah pemerhati pendidikan anak, tinggal di Jakarta.
REFERENSI:

Kompas Cyber Media, 29 Agustus 2005: “Home Schooling” Model Pendidikan Alternatif

Sarie Febriane/ Clara Wresti, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, Harian Kompas, 13 Maret 2005

Yorgi Gusman, Ikutan Home Schooling, 08 September 2006

Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda, Kanisius: Yogyakarta, 2003

Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, PT. Elex Media Komputindo: Jakarta, 2007

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Fokusmedia, Bandung 2003

13 PELAJARAN BERHARGA DARI BENJAMIN RANKLIN

13 PELAJARAN BERHARGA DARI BENJAMIN RANKLIN

Benjamin Franklin adalah mantan presiden Amerika Serikat. Ia berhasil menjadi negarawan berkat semangat perjuangannya untuk menjadi insan berguna bagi negara, sesama dan tentu keluarga serta diri sendiri. Ia tidak sempat mengecap pendidikan tinggi. namun berkat belajar otodidaknya (sekarang ada istilah homeschooling) ia berhasil menjadi pemimpin negara besar seperti Amerika Serikat.

Belajar otodidaknya tidak berlaku hanya untuk soal-soal pelajaran, tetapi juga soal “pelajaran” self formation atau pembentukan diri sendiri, sehingga ia menjadi insan berhasil di jamannya. Ada 13 hal pelajaran atau prinsip dalam pembentukan dirinya itu adalah keugaharian, diam, tertib teratur, keteguhan hati, hemat, rajin, kejujuran, keadilan moderat, kebersihan, ketengangan, kemurnian,dan kerendahan hati. Semuanya dicoba dalam praktek, dievaluasi dan dicoba lagi ketika gagal sampai ia berhasil mengendalikan dirinya.

1. KEUGAHARIAN.
Jangan makan dan minum terlalu banyak.

2. DIAM.
Bicaralah tentang hanya yang bermanfaat bagi orang lain, hindarilah omongkosong.

3. TERTIB TERATUR.
Letakkan hal dan barang anda di kedudukan dan tempatnya masing-masing. Bagi setiap unsur dari urusan anda, berilah waktunya sendiri-sendiri.

4. KETEGUHAN HATI.
Bersikaplah teguh untuk melaksanakan apa yang seyogiyanya anda lakukan. Laksanakanlah apa yang telah anda putuskan, jangan sampai gagal.

5. HEMAT.
Jangan mengeluarkan biaya selain untuk hal-hal yang baik bagi orang lain dan diri sendiri. Jangan menyia-nyiakan apapun.

6. RAJIN
Jangan ada waktu yang kosong. Selalulah mengerjakan sesuatu yang berguna. Hentikan tindakan-tindakan yang tiada gunanya.

7. KEJUJURAN
Jangan mempergunakan tipu muslihat yang menyakitkan hati. Berpikitlah bersih dan adil. Kalau anda berbicara, berbicaralah yang benar.

8. KEADILAN
Jangan menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang tidak adil atau dengan melalakan hal-hal yang merupakan kewajibannya.

9. MODERAT
Hindari hal-hal yang ekstrim. Bersabarlah terhadap hal-hal yang kurang adil atas dirimu.

10. KEBERSIHAN
Jangan mentolerir hal-hal yang tidak bersih dalambadan, pakaian, atau rumahmu.

11. KETENANGAN
Jangan gugup karena hal-hal remeh, atau kejadian-kejadian buruk yang biasa atau yang tidak terhindarkan.

12. KEMURNIAN
Pergunakan seks hanya untuk kesehatan atau keturunan. Jangan pernah berlebihan atau bahkan hingga merusak dirimu sendiri atau reputasi dan ketenangan orang lain.

13. KERENDAH HATI
Bersikaplah rendah hati terhadap siapapun.

Ketigabelas pelajaran ini seyogianya amat berguna bagi para kaum muda yang hendak menjadi insan berguna bagi bangsa, negara, agama, keluarga dan tentu dirinya sendiri. Seperti halnya, Benjamin Franklin, ketigabelas pelajaran ini dipraktekkannya, dievaluasi dan dicoba lagi dari minggu ke minggu. Sehingga pada saatnya ia menjadi berhasil membentuk dirinya sendiri sebagai negarawan.
(Pormadi Simbolon, pencinta humaniora. Ditulis dari berbagai sumber)

Senin, Oktober 01, 2007

NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945

NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945

I. Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Makna sila ini adalah:

* Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

* Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.

* Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

* Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.

2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab

Makna sila ini adalah:

* Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.

* Saling mencintai sesama manusia.
*Mengembangkan sikap tenggang rasa.
* idak semena-mena terhadap orang lain.
* Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
* Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
* Berani membela kebenaran dan keadilan.
* Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

3. Persatuan Indonesia

Makna sila ini adalah:

* Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
* Rela berkorban demi bangsa dan negara.
* Cinta akan Tanah Air.
* Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
* Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Makna sila ini adalah:

* Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
* Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
* Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
* Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Makna sila ini adalah:
* Bersikap adil terhadap sesama.
* Menghormati hak-hak orang lain.
* Menolong sesama.
* Menghargai orang lain.
* Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.

II. Makna Lambang Garuda Pancasila

* Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
* Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
* Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
* Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia
* Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan

* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

* Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci

* Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa

* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
* Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
* Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
* Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
* Jumlah bulu di leher berjumlah 45

* Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”.

III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.

Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan

Tambahan.

Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

IV. Sejarah

Sejarah Awal

Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Periode 1945-1949

Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945.

Periode 1959-1966

Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.

Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara

* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
* Pemberontakan G 30S

Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:

* Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya

* Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:

* Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999

* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
* Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
* Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999

Tommy Legowo

Jumat, September 14, 2007

PERNYATAAN GEREJA KATOLIK TENTANG HUBUNGAN DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTIANI

PERNYATAAN GEREJA KATOLIK TENTANG HUBUNGAN DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTIANI


(Sumber: R. Hardawiryana, SJ (penerjemah), Dokumen Konsili Vatikan II, Dokpen KWI, Obor, 1993)


Pengantar :


Kemajuan dan kedewasan cara pikir dan cara pandang suatu agama atau kelompok masyarakat akan terlihat dari cara pikir dan cara pandang mereka terhadap agama atau masyarakat lain. Pada hakekatnya dan yang berlaku universal cara pikir atau cara pandang yang memandang agama atau kelompok sebagai sesama penghuni dunia dan saling menghormati merupakan salah satu cara pikir dan cara pandang maju dan dewasa.


Memang benar, di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan (NA, 3)


Berikut ini dari pernyataan Gereja Katolik tentang hubungan dengan agama-agama bukan kristiani.


1. Umum. Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi (Kis 17:26). Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir yakni Allah, yang penyelenggaraanNya, bukti-bukti kebaikanNya dan rencana penyelamatanNya meliputi semua orang (Keb 8:1; Kis 14:17; Rom 2:6-17; 1Tim 2:4). (Nostra Aetat [NA]e, art. 1)

2. Pandangan terhadap Hinduisme dan Budhisme. Gereja Katolik tidak menolak yang dalam agama-agama itu (hinduisme dan budhisme) serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menyinari semua orang. Namun Gereja Katolik tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup’ (Yoh. 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (2Kor 5:18-19).
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka. (NA, art.2)

3. Pandangan terhadap Islam. Gereja juga menghormati umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan suka rela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormatiNya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria BundaNya yang tetap perawan, pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari Pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.

MEMANG BENAR, DI SEPANJANG ZAMAN CUKUP SERING TELAH TIMBUL PERTIKAIAN DAN PERMUSUHAN ANTARA UMAT KRISTIANI DAN KAUM MUSLIMIN. KONSILI SUCI MENDORONG MEREKA SEMUA, SUPAYA MELUPAKAN YANG SUDAH-SUDAH, DAN DENGAN TULUS HATI MELATIH DIRI UNTUK SALING MEMAHAMI, DAN SUPAYA BERSAMA-SAMA MEMBELA SERTA MENGEMBANGKAN KEADILAN SOSIAL BAGI SEMUA ORANG, NILAI-NILAI MORAL MAUPUN PERDAMAIAN DAN KEBEBASAN. (NA, 3)

4. Pandangan terhadap Yahudi. Berangkat dari kenangan ikatan/ pusaka rohani antara umat Kristiani dan bangsa Yahudi, Konsili suci ini bermaksud mendukung dan menganjurkan saling pengertian dan saling penghargaan antar keduanya, dan itu terwujudkan terutama melalui studi Kitab Suci dan teologi serta dialog persaudaraan. (NA, 4)

5. Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi. “Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah” (1Yoh 4:8). Jadi tiadalah dasar bagi setiap teori atau praktek, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antara bangsa dan bangsa.

MAKA GEREJA MENGECAM SETIAP SIKAP DISKRIMINASI ANTARA ORANG-ORANG ATAU PENGANIAYAAN BERDASARKAN KETURUNAN ATAU WARNA KULIT, KONDISI HIDUP ADATU AGAMA, SEBAGAI BERLAWANAN DENGAN SEMANGAT KRISTUA. (NA, 5)

Pernyataan Gereja Katolik ini inklusif tanpa melukai atau merugikan kepentingan agama lain. Gereja Katolik juga tidak menjadi kehilangan identitasnya sebagai pengikut Kristus ketika menjalin kerja sama dengan penganut agama lain dalam menggapai perdamaian dan kebebasan serta kebaikan bersama.

(Disarikan oleh Pormadi Simbolon, mantan frater, staf pada Subdit Lembaga Agama Katolik, Ditjen Bimas Katolik, Departemen Agama RI).

Kamis, Agustus 30, 2007

"Cutting Culture" Uang Rakyat versus Budaya Unggul

"Cutting Culture" Uang Rakyat versus Budaya Unggul

Oleh Pormadi Simbolon


Kereta Api Gumarang jurusan Jakarta-Surabaya, Minggu (12/8), anjlok di Dusun Kramat, Desa Mangunsari, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Penyebab anjloknya kereta api tersebut adalah pemotongan rel sepanjang 5,4 meter oleh orang yang tidak bertanggung jawab.


Peristiwa kecelakaan itu amat memprihatinkan bagi insan-insan yang masih berakal sehat. Pemotongan rel tersebut tentu mengakibatkan celaka dan kerugian bagi publik dan teristimewa bagi pemerintah. Sarana publik dirusak tanpa motif yang jelas.


Siapa pelakunya? Mengapa melakukannya? Yang jelas pelakunya bukan aparat perkeretaapian. Pelakunya pastilah dari warga biasa. Bisa jadi motif pelaku adalah kekecewaan pada pemerintah karena penderitaan hidup yang dideritanya. Bisa jadi pula, motifnya untuk meneror aparat negara. Bisa jadi pula pelaku ikut-ikutan trend budaya memotong (istilah penulis: cutting culture) yang dilakukan sebagian aparat penyelenggara negara terhadap dana anggaran pembangunan di negara ini, yang mengakibatkan kesulitan hidup bagi warga biasa. Yang jelas, pelakunya mempraktekkan budaya memotong yang berujung pada kerugian negara, seperti perilaku sebagian pejabat negeri ini,yang melakukan pemotongan dana anggaran perbaikan kehidupan publik.



“Cutting Culture” Membudaya


Bila ditelusuri perilaku memotong tersebut menjadi cermin kebanyakan perilaku warga di republik ini, khususnya para pejabat publik. Budaya potong-memotong sudah biasa kita dengar dalam kehidupan birokrasi di negeri tercinta ini.


Ada aparat desa yang melakukan pemotongan anggaran perbaikan kampung sehingga kampung tetap tertinggal dari perkampungan lainnya. Sebagian lagi memotong anggaran pembangunan jembatan sehingga jembatannya gampang runtuh. Ada oknum apara pendidikan memotong anggaran perbaikan pembangunan gedung sekolah SD sehingga bangunannya tidak bermutu dan mudah roboh serta menelan korban.


Di tempat lain, ada lagi aparat pemerintah daerah memotong dana anggaran pembangunan provinsi untuk keperluan istri dan anaknya. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan warga masyarakatnya, disalahgunakan untuk mencicil rumah anaknya, untuk membeli handphone istrinya, untuk membayar kredit mobil anak, dan untuk berekreasi ke Bali. Rakyatnya kelaparan, sementara ia dan keluarganya hidup mewah. Rakyat menangis, ia tertawa menikmati duit negara yang dikumpulkan dari rakyat..


Budaya memotong itu terjadi hampir di semua sektor pelayanan publik, seperti yang pernah terjadi di Balai Kota Jakarta pra-Pilkada yang lalu. Ketika hendak mencairkan dana alokasi umum (DAU), seorang petugas menghadapi pemotongan di setiap proses pencairan. Ujung-ujungnya jumlah anggaran bisa menciut menjadi 40% dari jumlah anggaran yang ada.


Belum lama ini pula, hal pemotongan terjadi pada dana alokasi biaya operasional sekolah (BOS) di lingkungan pendidikan dan bantuan langsung tunai (BLT) dalam rangka penanggulangan kemiskinan.


Budaya memotong sudah mengakar dalam budaya bangsa ini. Bila ditelisik di semua lingkup birokrasi baik pemerintah maupun swasta, budaya memotong lebih unggul dan lebih hebat. Budaya memotong terjadi mulai dari aparat negara dari level bawah hingga level atas. Kalau negara lain seperti India dan Cina memiliki keunggulan di bidang pembangunan teknologi dan ekonomi, maka Indonesia terkenal sebagai bangsa yang berbudaya unggul dalam hal memotong (cutting culture).



Budaya Unggul


Sebanarnya secara individu, kepintaran dan kompetensi manusia Indonesia dengan manusia Cina dan India tidak kalah. Ada beberapa individu dari siswa-siswi dari warga bangsa ini berhasil mengalahkan siswa-siswa sederajat dari mancanegara dalam ajang olimpiade internasional bidang matematika dan fisika. Tetapi secara global, mengapa negara India dan China bisa lebih unggul di berbagai bidang?


Perjalanan peradaban Indonesia mengalami stagnasi. Indonesia dipandang tidak unggul di berbagai bidang sebagai akibat dari mental serakah alias budaya memotong para elit politik dari kebanyakan pemimpinnya yang menetes kepada warganya. Faktor utama penghambatnya adalah budaya memotong alias rakus alias mementingkan ego diri dan keluarganya dan mengabaikan raison d’être-nya menjadi aparat negara atau pejabat publik. Faktor lainnya adalah akibat dari budaya memotong tersebut, kepintaran dan kompetensi sebagian warga bangsa ini tergerogoti dan ternafikan. Kerja keras dan kreativitas tersingkirkan oleh budaya korupsi. Proyek pembangunan gedung sekolah, perbaikan kampung, perbaikan jembatan tidak menghasilkan mutu yang diharapkan karena adanya budaya memotong tadi.


Sudah saatnya kita mempersiapkan budaya unggul dengan memulainya dari lingkungan keluarga kita. Budaya unggul adalah budaya elegan, budaya menang, budaya kuat, pandai dan awet terhadap bangsa lain. Budaya unggul mengedepankan sportifitas dan profesionalitas. Kita mempunyai mimpi dan nyali besar untuk menjadi lima besar negara maju di tahun 2030 (the big five). Itulah visi Indonesia tahun 2030. Untuk menwujudkan Indonesia menjadi negara unggul tersebut, maka pemerintah dan masyarakat wajib membangun dan memacu budaya unggul.


Untuk mencapai hal itu, lembaga keluarga dan pemerintah harus bekerja secara sinergis dalam memacu budaya unggul. Dari lingkup lembaga keluarga, pertama, anak-anak harus beri konsumsi gizi yang bagus untuk mengembangkan jaringan syaraf mereka. Kedua, anak-anak harus diberi stimulans (pemacu/ perangsang) agar dapat berpikir aktif dan kreatif. Ketiga, budaya jujur dan adil sudah harus ditanamkan dari lingkungan keluarga. Keempat, anak-anak harus diajak bermimpi dan bernyali besar. Orang tua harus menjadi teladan dalam hal menanamkan budaya jujur, adil dan sportif.


Dari sisi lembaga pemerintah, pertama, pemerintah harus memperbaiki birokrasi yang kerap melakukan budaya cutting dengan memperbaiki kesejahteraan aparatnya, kedua, pemerintah harus menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dalam rangka memacu budaya unggul.


Budaya cutting alias budaya yang suka memotong harus dipotong alias diberantas. Semua warga ini hendaknya memacu dan memilih budaya unggul, budaya elegan, budaya menang dalam menggapai tujuan bersama. Budaya memotong adalah budaya pecundang (loser).


* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta

POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”

POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”

Oleh Pormadi Simbolon

Kecelakaan dan musibah yang terjadi di negeri ini memiliki unsur kesengajaan orang yang tidak bertanggung jawab. Diantaranya, rel kereta api (KA) yang digergaji, pasar yang berturut-turut terbakar di berbagai daerah, seperti Pasar Turi di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Palasari di Jawa Barat dan Pasar Ungaran di Jawa Tengah.
Mendengar hal itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung turun tangan. SBY memerintahkan Kepala Polri dan jajarannya menyelidiki seberapa jauh ada unsur kesengajaan. Setelah melakukan penyelidikan intensif, Kepala Polri melaporkan unsur kesengajaan itu ada. Presiden pun memerintahkan agar hal itu diusut tuntas.


Tindakan sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar tersebut menyangkut kehidupan rakyat banyak. Korban yang paling menderita adalah rakyat jelata, pedagang kecil dan kelompok masyarakat menengah. Jika benar, sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar itu disengaja, maka tindakan tersebut merupakan politik jahat alias tidak bermoral dalam sistem tata hidup bersama di negeri ini.


Sebut saja, Asri (42), pemilik Toko Buku Lestari di Pasar Palasari, mengalami kerugian sampai ratusan juta rupiah. Toko Buku Lestari merupakan sumber nafkah keluarga Asri. Dia menjadi bingung memikirkan biaya hidup keluarganya. Apalagi ia masih berutang kepada bank yang harus dicicil Rp 2,5 juta per bulan.


Di tengah penderitaan orang banyak dan situasi ketidakamanan seperti itu, para elit politik baik di pusat maupun di daerah sebagai aparatur negara dituntut untuk bertanggung jawab. Tugas merekalah untuk mewujudkan keadilan, keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Pelaku sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar yang secara sengaja dengan alasan dan tujuan apapun itu telah mempraktikkan politik tidak bermoral.


Politik Tidak Bermoral


Ada indikasi bahwa pelaku praktek cara pembakaran dan bumi hangus kerapkali diterapkan penguasa untuk tujuan menertibkan hunian liar dan pedagang kaki lima, membangun pasar modern atau kepentingan konglomerat. Seorang Kepala Sudin Tramtib Jakarta Utara,Toni Budiono, (Kompas,2/11/2001) mengaku menggunakan cara pembakaran atau bumi hangus untuk “menertibkan” hunian liar.


Penguasa seringkali melakukan pelarangan yang ditujukan kepada masyarakat bawah, namun tidak pernah memberikan perlindungan. Tindakan penggusuran dan pembakaran oleh oknum aparat tidak disertai dengan solusi yang melindungi dan menjamin keselamatan rakyat. Praktek pelarangan kepada rakyat tidak dibarengi dengan penindakan dan penangkapan terhadap aparat pemerintah yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.


Praktek politik pembakaran dan bumi hangus semakin menggejala dalam tata hidup bersama di daerah pasca desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No 22/1999. Penguasa otonomi daerah memiliki wewenang yang lebih luas. Penyalahgunaan wewenang pun bisa terjadi jika kekuasaan tanpa moralitas dan tanpa disertai dengan tanggung jawab atas amanat kepenguasaan yang dimilikinya.


Padahal tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis, mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran serta meningkatkan kapasitas publik. Keselamatan rakyat di daerah banyak merupakan tujuan inti otonomi daerah, bukannya untuk kepentingan penguasa, pengusaha dan sekelompok orang saja.


Kedudukan Pemda-Pemda pasca otonomi, bukanlah raja-raja kecil yang merasa memiliki kekuasaan mutlak di daerahnya. Ia tidak mengatasi hukum. Jika para penguasa merasa diri sebagai penguasa mutlak dan kebal terhadap hukum, maka terjadilah praktik politik pembakaran dan bumi hangus di daerahnya. Inilah yang disebut politik tanpa moralitas dan tanpa tanggung jawab.



“Demokrasi Tanggung Jawab”


Bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk membela dan menghidupi demokrasi. Pemerintahan atau pengelolaan kekuasaan harus didasarkan pada elemen-elemen dasar demokrasi dengan penekanan pada karakter personal tanggung jawab, baik tanggung jawab secara moral maupun secara hukum. Barangkali inilah yang dikatakan demokrasi tanggung jawab.


Politik Pemda dalam menata hidup bersama seyogiyanya dijalankan dengan memperhatikan tanggung jawab moral. Soal politik adalah soal tata hidup bersama. Soal moral adalah soal baik dan tidak baiknya suatu hal. Politik dan moral mempunyai hubungan langsung dan konkret. Politik harus dijalankan dengan memperhatikan baik-tidaknya sebuah kebijakan bagi keselamatan rakyat banyak. Hubungan tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan pada kekuasaan atau pada pribadi pemegang kekuasannya, melainkan pada hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial adalah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya.


Kebaikan, keadilan dan keselamatan rakyat banyak menjadi pusat segala hukum yang adil. Hukum yang adil menjadi hukum tertinggi. Kekuasaan seorang pemimpin di daerah entah yang sudah diperoleh melalui Pilkada langsung maupun tidak, berasal dari, oleh dan untuk rakyat banyak, terlebih rakyat kecil dan menengah dengan harapan keamanan dan keselamatan hidup harian mereka. Oleh sebab itu seorang pemerintah dan aparatnya seyogiyanya mengedepankan keamanan dan kesejahteraan orang rakyatnya, bukan malah mempraktekkan politik pembakaran dan bumi hangus yang menyebabkan kebanyakan rakyat semakin menderita.


Penguasa yang menggunakan politik pembakaran dan bumi hangus dalam pemerintahannya adalah penguasa yang tidak bermoral dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rakyatnya.


*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Jumat, Agustus 24, 2007

Khilafah, Pancasila dan Indonesia

Khilafah, Pancasila dan Indonesia

Pormadi Simbolon

"Justru khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia," ujar Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto pada pembukaan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, Minggu (12/8) dalam menanggapi isu seputar maksud pertemuan itu. Dikatakan bahwa salah tujuan pertemuan tersebut adalah untuk kepemimpinan khilafah.


Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu kepada Al Quran dan Hadis. Dalam sistem pemerintahan khilafah kepala negara tetap memegang jabatannya selama ia tunduk kepada syari’ah. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.


Enam puluh dua tahun Indonesia sudah merdeka, selama itu pula gerakan ekstremis bermunculan hendak mengubah dasar negara Indonesia dengan berdasarkan pada salah satu dogma agama tertentu. Hal itu semakin terlihat jelas pasca otoritarianisme Orde Baru. Kita menyaksikan tribalisme sektarian. Ruang-ruang publik dan hidup bersama kita dikepung sekawanan ekstremis yang memburu pembentukan Indonesia atas dasar dogma agama, dan mereka coba menghapus perbedaan antara "agama" dan "negara".


Tampaknya gerakan dan perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Hal itu tampak dalam pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sudah terbukti dalam sejarah bahwa gerakan mendirikan negara Islam yang dilakukan Darul Islam atau DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, yang berlanjut di daerah-daerah lain, seperti Aceh dan Sulawesi Selatan tidak berhasil. Sekarang ini juga ada yang menginginkan negara agama dalam bentuk cita-cita tegaknya Khilafah Islamiyah.
Sementara itu, dewasa ini kelompok-kelompok Islam berkehendak mengubah memperjuangkan gerakan islamisasi negeri ini melalui peraturan-peratuan daerah (Perda). Apakah Perda itu dapat membuat warga menikmati hidup kesehariannya secara lebih baik?

Benarkah Khilafah Menyelamatkan Indonesia?

Kaum nasionalis umumnya menolak pemerintahan dengan sistem khilafah. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU dengan tegas menolak penerapan sistem khilafah di Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan mendekonstruksi negara. (Kompas, 12/08/07)

Kaum nasionalis juga berpendapat bahwa politik transnasional tidak cocok diterapkan di Indonesia karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik di Indonesia.

Jika sistem khilafah diterapkan pasti akan berbenturan dengan sistem republik, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pancasila. Sebab jelas sekali, bahwa Negara Indonesia dibentuk bukan atas dasar salah satu agama. Dalam sistem khalifah, kepala negara memegang jabatannya selama ia tunduk pada syari’ah, sedang dalam sistem republik, kepala negara memegang jabatannya dalam waktu tertentu.

Pembentukan negara Indonesia yang sudah kita jalani selama 62 tahun ini oleh para bapa bangsa didasarkan pada prinsip ‘semua untuk semua’ bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan. Demikianlah Soekarno, proklamator RI ini pernah berkata, “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa? … Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk seseorang, untuk suatu golongan? … Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan… Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa…ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, [yaitu] dasar kebangsaan”. (M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta 1959, 68-69)

Pendiri bangsa ini telah melihat jauh ke depan, bahwa dasar negara Indonesia tidak tepat didasarkan pada dogma salah satu agama tertentu. Dasar negara seyogiyanya mengatasi kepentingan satu golongan, menembus kotak-kotak agama, merangkul semua penghuni negeri ini. Negara yang merangkul semua kepentingan warganya itulah yang akhirnya disepakai sebagai dasar negara dengan berdasarkan pada Pancasila yang berwawasan kebangsaan.

Baik tokoh-tokoh nasionalis maupun tokoh-tokoh muslimin sepakat menerima Pancasila sebagai dasar Negara RI berdasarkan pada prinsip: a) bahwa kaum muslim Indonesia melalui para pemimpinnya, ikut aktif dalam merumuskan dan sepakat menetapkan Undang-Undang Dasar 1945; b) bahwa nilai-nilai luhur Pancasila dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar Negara dan disepakai dan dibenarkan menurut pandangan Islam. (H. Achmad Siddiq dalam Sudjangi, penyunting 1992).

Kehendak membentuk Negara Indonesia dengan sistem khilafah Islamiyah jelas sekali tidak sesuai dengan Indonesia yang multikultural. Gerakan konseptualisasi negara Islam, atau Khilafah Islamiyah sesungguhnya bertabrakan dengan demokrasi. Tabrakannya terletak pada prinsip dasar, seperti pluralisme, ide kedaulatan, dan konstitusi. Demokrasi jelas menolak ide kedaulatan Tuhan dan berlakunya syariat Islam di dalam komunitas masyarakat plural, yang di dalam konsep negara Islam sebagai sesuatu yang prinsip. Ditambah lagi, dengan tidak adanya contoh konkret negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang ideal di dunia, bahkan di Timur Tengah yang memiliki tradisi Islam kuat. Apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran dapat disebut sebagai representasi prototipe negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya? (Khamami Zada, Suara pembaruan, 21/06/2007).

Barangkali, gerakan yang berkehendak untuk mengubah dasar negara RI tidak akan pernah berhenti. Namun sejarah akan membuktikan bahwa sistem negara yang merangkul kepentingan semualah yang akan menyelamatkan Indonesia. Bukan sistem yang mengedepankan kepentingan satu orang atau kelompok yang menyelamatkan Indonesia, tetapi kepentingan bersama alias bonum commune-lah yang menyelamatkan Indonesia.

"Kita" adalah realitas plural yang tidak akan menjadi tunggal. Tetapi, "kita" juga pluralitas yang sedang membentuk sebuah Indonesia yang maju, adil, makmur dan bermartabat. Ideologi Pancasila sudah menyerap semua kepentingan warga bangsa ini. Pancasila adalah untuk semua. Dasar negara adalah semua untuk semua, bukan untuk satu orang atau golongan. Hidup Pancasila!

* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana malang,
Tinggal di jakarta

DISIPLIN DAN KEMERDEKAAN

DISIPLIN DAN KEMERDEKAAN


Oleh Pormadi Simbolon*


Berdasarkan data Komisi Pemberantasan (KPK) per 15 Agustus 2007 tingkat kepatuhan bidang yudikatif hanya 43,77 persen. Dari total 20.991 penyeleggara negara, baru 9.188 orang yang telah melaporkan kekayaan ke KPK. Itu berarti hakim dan jaksa agung tergolong kelompok yang paling tidak berdisiplin.


Ketidakdisiplinan aparat penegak hukum melaporkan kekayaannya merupakan cermin kepribadian sebagian warga bangsa Indonesia. Jika para penyelenggara negara tidak berdisiplin, apalagi rakyatnya. Sebab kedisiplinan itu pada logikanya menetes dari para pimpinan (level atas) kepada masyarakat umum (level bawah).


Jika ditelusuri lebih dalam, para hakim dan jaksa merupakan salah satu pelaku penghakiman atas perilaku ketidaktaatan masyarakat pada hukum. Aneka putusan penggusuran terhadap sebagian warga masyarakat merupakan hasil dari keputusan para hakim. Namun justru kebanyakan dari mereka menjadi para pelaku ketidakdisiplinan itu.


Ketidakdisiplinan itu justru kontraproduktif terhadap kesejatian tugas mereka Mereka seharusnya bertugas menjaga supaya undang-undang negeri ditaati. Mereka semestinya bertugas mengadili dan memberikan keputusan perkara di pengadilan. Mereka seyogiyanya melakukan pemeriksaan dan menuntut hukuman bagi yang tidak mentaati aturan yang ada. Namun yang terjadi malah ketidaktaatan pada aturan yang mewajibkan mereka harus melaporkan kekayaannya.


Disiplin diri menjadi kunci kemajuan dan kesuksesan serta kebesaran orang-orang besar yang pernah hidup dalam sejarah. Seorang pemimpin, seorang olahragawan, seorang pengusaha, atau siapa saja bisa mencapai kesejatian di bidangnya masing karena pernah mempraktekkan disiplin diri. Sebut saja beberapa contoh pemimpin besar yang pernah ada, Presiden Soekarno, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim. Disiplin dirilah yang menghantar mereka menjadi seorang pemimpin yang disegani dan dikagumi.


Presiden Amerika Serikat (AS) ke-26, Theodore Rosevelt (1858-1919) pernah mengatakan, With self-discipline, most anything is possible, yang terjemahan bebasnya, “dengan disiplin diri, kebanyakan hal menjadi mungkin”. Gary Ryan Blair, seorang motivator negeri paman Sam, pernah berkata, self-dicipline is an act of cultivating. It require you to connect today’s action to tomorrows results. There’s a seasons for sowing a season of reaping. Self-discipline helps you know which is which. Inti pernyataan tersebut mau mengatakan bahwa barang siapa melatih disiplin diri, maka dia akan menuai hasilnya pula. Orang yang tidak berdisiplin diri akan menerima akibatnya.



Kemerdekaan


Baru saja kita memperingati hari proklamasi kemerdekaan RI yang keenampuluhdua. Peringatan itu membawa kita pada cita-cita, semangat, dan perjuangan para Bapa bangsa. Negara merdeka, berpaham kebangsaan yang terbuka, berideologi Pancasila yang menyerap dan merangkul kepentingan semua insan pertiwi yang mereka cetuskan sangat relevan dan aktual bagi bangsa Indonesia yang multikultural.


Kita sudah merdeka selama 62 tahun. Sepuluh tahun pula masa krisis sudah kita lalui. Namun masalah kesadaran akan ketaatan pada hukum masih rendah. Kemerdekaan belum kita isi dengan perubahan sikap dan perilaku. Kemerdekaan masih penuh dengan sikap dan perilaku merdeka untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok masing-masing.


Terasa sekali selama 10 tahun reformasi berjalan semua seperti dibiarkan berjalan sendiri. Sangat terbatas teladan pendidikan hukum dan disiplin yang diberikan kepada rakyat untuk membuat mereka bisa memahami esensi disiplin dan ketaatan pada hukum di negeri ini.


Semua orang menafsirkan disiplin dan hukum atas dasar pemahamannya sendiri. Seolah-olah hukum dan disiplin itu berarti merdeka untuk mencari keuntungan diri dan kelompoknya sendiri. Bahkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara itu diterjemahkan sesuai dengan keinginannya sendiri.


Enam puluh dua tahun merdeka dan sepuluh tahun pasca masa krisis ini seyogiyanya membuat kita terhentak untuk mengisi kemerdekaan ini dengan mengubah sikap dan perilaku dari sikap dan perilaku yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok kepada kepentingan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai sebagai bangsa dan megara Indonesia. Sikap dan perilaku taat pada hukum yang disepakati bersama adalah kunci kesuksesan dan kemajuan bangsa ini.


Praktek penegakan hukum dan disiplin berbangsa dan bernegara menjadi modal utama dalam persaingan global. China, India dan Singapura bisa menjadi beberapa negara yang perkembangan ekonominya paling cepat di dunia karena penegakan hukum dan disiplin yang tegas dan pasti. Siapa saja pelaku ketidaktaatan pada hukum termasuk para pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum, bahkan hukuman mati sekalipun.


Sayangnya di negeri ini, hukum dan sanksi hanya berlaku bagi wong cilik, tetapi tidak berlaku bagi para elit pejabat dan pengusaha di negeri ini. Para hakim dan jaksa yang tidak melaporkan kekayaannya misalnya, mereka tidak mendapat sanksi apapun atas ketidakdisiplinan melaporkan kekayaannya. Ketua MA, Bagir Manan sendiri mengamini bahwa ia tidak bisa memberi sanksi apapun termasuk sanksi administratif kepada bawahannya.


Jika sikap dan perilaku kita masih merdeka untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompok dan bukan bagi kesejahteraaan umum, maka visi Indonesia 2030 akan menjadi sekedar wacana dan ide yang bagus di atas kertas. Padahal persaingan antar bangsa di era globalisasi dewasa ini sangat ketat dan cepat.


Untuk menjadi bangsa dan negara yang disegani dalam percaturan global, dibutuhkan pemimpin dan semua eselonnya yang mampu berdisiplin diri dan lalu menerapkan disiplin itu kepada masyarakatnya.


* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana malang, tinggal di Jakarta

Kamis, April 19, 2007

AKSI KORUPSI DALAM IKATAN “PERSAUDARAAN” KELUARGA

AKSI KORUPSI DALAM IKATAN “PERSAUDARAAN” KELUARGA

OLEH PORMADI SIMBOLON

Korupsi adalah kejahatan biasa. Tetapi, di Indonesia dianggap luar biasa, sebab mewabah dan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara," demikian pernyataan kriminolog dari Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, di Jakarta, Senin ( Kompas, 9/4).

Penulis berpendapat korupsi menjadi kejahatan luar biasa karena terjadi dalam fenomena ikatan “persaudaraan” keluarga. Mereka memiliki ikatan “persaudaraan” sesama pelaku. Kita tidak perlu heran lagi jika kasus korupsi melibatkan kakak-adik, anak-cucu, besan, kerabat, dan lain sebagainya dalam ikatan keluarga.

Tampaknya para koruptor akan menjadi bangga bila dapat memperkaya keluarga atau kerabatnya. Indikasi atau fenomena pelibatan keluarga dalam tindak korupsi tampak kasus Bulog (sedang proses pemeriksaan) dan impor beras (Nkasus Nurdin Halid) dan impor gula ilegal (Kasus adik Nurdin Halid) yang terjadi (Tempo Interaktif, Selasa, 05 Juli 2005)

Ikatan persaudaraan kekeluargaan itu begitu kuat sebagaimana kebudayaan Timur pada umumnya. Dengan demikian tindakan korupsi tidak gampang dibongkar karena berlindung dalam ikatan keluarga. Lalu pelaku korupsi tersebut akan merasa aman karena dibentengi oleh ikatan kekeluargaan tadi. Tindakan korupsi demikian akan menjadi kejahatan luar biasa seperti api dalam sekam bila tidak ketahuan ke ranah publik. Efeknya akan luar biasa kejam dalam menyengsarakan rakyat secara pelan-pelan banyak dalam durasi waktu bertahun-tahun. Korupsi menjadi amat dahsyat mengancam kepentingan nasional.

Korupsi itu ibarat tetesan air yang jatuh pada satu titik permukaan dinding atau tembok rumah yang lalu pelan-pelan dapat merusak dan merobohkan tembok. Tetesan demi tetesan yang jatuh pada dinding atau tembok rumah dapat melobanginya dan pada akhirnya menghancurkannya.

Demikian pula korupsi seperti sudah diketahui umum sudah terjadi dari lingkungan Rukun Tetangga (RT) hingga tingkat lingkungan pemerintahan tingkat tinggi.Korupsi terjadi mulai dari pengurusan KTP hingga pengurusan administrasi kepemerintahan lainnya. Awalnya tindakan korupsi itu biasa-biasa saja, namun lama-lama menjadi luar biasa karena sudah membudaya dan terjadi secara lambat tapi pasti merusak.

Jadi benar apa yang dikatakan kriminolog Nitibaskara bahwa kejahatan korupsi di Indonesia dianggap luar biasa. Luar biasa kejahatan korupsi itu karena bersifat warisan dari generasi tua hingga pada generasi muda. Kalau di Amerika Serikat kejahatan yang mengancam kepentingan nasional adalah terorisme, maka di Indonesia korupsi menjadi ancaman dalam memajukan dan menyejahterakan rakyat Indonesia.

Inilah kenyataan yang membuat kejahatan korupsi menjadi luar biasa. Pertama, korupsi yang sudah mapan tertanam pada diri para pelaku dan keluarganya sehingga sulit diubah karena memang eksistensi hidupnya sudah terlanjur tergantung pada tindakan jahat tersebut. Korupsi terjadi setetes demi setetes dalam frekwensi yang berkali-kali membuat para pelakunya dapat membeli rumah dan mobil dalam waktu relatif singkat. Kedua, korupsi dilakukan dalam suatu ikatan “persaudaraan” sesama koruptor, sehingga pembongkaran kasus korupsi sulit karena akan merusak persaudaraan sesama pelaku korupsi. Sebab jika tidak demikian, mereka semua akan dimasukkan dalam terali besi.

Tidak Sekedar Wacana

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden telah menyetujui dan mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Salah satu poin pertimbangannya adalah bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah bersama-sama masyarakat mengambil langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara sistematis dan berkesinambungan.

Kurang lebih 9 tahun para pimpinan negeri ini berniat memberantas tindakan korupsi, namun hasilnya belum signifikan diindikasikan dengan sedikitnya kasus korupsi yang berhasil diselesaikan secara tuntas. Begitu banyak peraturan yang sudah dikeluarkan demi penghapusan atau sekurang-kurangnya mengurangi tindak pidana korupsi, namun korupsi masih berlangsung. Tampaknya ada kesan bahwa pemeriksaan kasus korupsi hanya ditujukan pada “lawan” politik yang memerintah sebelumnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menginstruksikan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, para gubernur, para bupati dan wali kota untuk sungguh-sungguh melaksanakan instruksi percepatan pemberantasan korupsi di instansi masing-masing. (Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi). Pemberantasan korupsi masih berjalan di tempat. Cuma koruptor kelas “teri” berhasil diproses.

Seperti diberitakan media massa, Presiden pernah menegaskan dalam pidato atau sambutannya, bahwa ia akan tegas dan dengan langkah-langkah konkrit melakukan perbaikan kehidupan rakyat. Salah satunya adalah pemberantasan korupsi di pemerintahannya. Pemerintahan SBY sudah berjalan kurang lebih 2,5 tahun. Hingga sekarang keluh kesah rakyat tentang pahitnya hidup mereka begitu banyak terdengar. Mulai dari mereka yang menjadi korban Lapindo hingga mereka yang menjadi korban himpitan ekonomi.

Sebelum Presiden SBY terpilih, ada beberapa tokoh masyarakat berpendapat bahwa kelemahan SBY adalah sikap tidak tegas alias sering ragu dalam mengambil keputusan. Nada serupa diakui oleh salah satu media nasional (Tajuk Rencana, Kompas, 10/4). Hasilnya bisa dilihat dengan kasat mata, kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kekacauan dan ketidakpastian seperti sekarang masih dominan mewarnai kehidupan rakyat kebanyakan di Indonesia. Dengan kata lain pemerintahan sekarang perlu menyelesaikan pemberantasan korupsi demi perbaikan kehidupan bangsa.

Pemerintahan SBY tinggal dua setengah tahun lagi. Harapan semua orang, semoga peraturan-peraturan dalam rangka pemberantasan tindakan korupsi tidak menjadi sekedar wacana belaka. Kita menantikan ketegasan dan langkah-langkah konkritnya dalam menindak para pelaku tindak pidana korupsi dan keluarganya yang terlibat. Bersama semua rakyat pencinta pemerintahan yang bersih, tindak kejahatan korupsi akan dapat diberantas. Semoga.

* Pemerhati masalah sosial, lulusan STFT Widya Sasana Malang.

Jumat, Februari 02, 2007

KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP

KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP

Oleh Pormadi Simbolon

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional. Salah satu butir seruan tersebut disebutkan agar bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/ keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya, demikian diberitakan beberapa media cetak nasional.

Seruan tersebut amat relevan teristimewa bagi mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat, dan penegak hukum. Mereka mengklaim bahwa jabatan atau tugas pelayanan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya, yang lebih meruyak ke permukaan adalah penelantaran rakyat, korupsi/ keserakahan dan pengkhianatan terhadap amanat dan hukum.

Kenyataan demikian bisa terjadi karena mereka yang mengaku bekerja untuk rakyat sebenarnya tidak mengerti dan memahami kesejatian atau kodrat mereka sebagai pelayan rakyat. Sejatinya mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum adalah untuk pelayanan rakyat kebanyakan.

Kesejatian Pelayanan

Terjadinya jurang yang dalam antara pelaksanaan tugas pelayanan sebagai pemegang mandat (baca: amanat) rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum dengan kesejatian ketiga tugas tersebut disebabkan ketiadaan pemahaman atau kesadaran yang benar akan hakekat tugas tersebut atau mereka sebatas mengetahui tetapi tidak mengamalkannya.

Mengenai kesejatian tugas pelayanan tersebut pernah diperdebatkan oleh Sokrates dengan Thrasymachus dalam dialog Republic (yang ditulis Plato, dalam buku I). Pertanyaan awal untuk mencari hakekat atau kesejatian itu diawali dari pertanyaan apakah? Misalnya apakah keadilan? Apakah seni menggembalakan? Metode pertanyaan yang sama dapat diajukan terhadap hakekat sesuatu yang lainnya.

Bagi Thrasymachus, berdasarkan pengalamannya, keadilan adalah the advantages of stronger. Maksudnya, keadilan adalah keuntungan penguasa. Thrasymachus Menganalogikan kebenaran argumentasinya dengan menyimak art of shehperd. Menurutnya, seni gembala adalah melakukan tugas penggembalaannya untuk dan demi keuntungannya sendiri. Sokrates menguji argumentasi Thrasymachus dengan bertanya apakah seni menggembalakan itu? Apakah seni (dengan “seni” dimaksudkan kecerdasan, kecakapan, ketrampilan) itu? Sokrates menguji benarkah seni menggembalakan itu dimaksudkan untuk dirinya sendiri (sang gembala)? Baginya kodrat seni ialah untuk profesionalitas bidang yang bersangkutan. Maksudnya seorang dokter misalnya belajar dengan giat untuk bisa makin pandai dan terampil menyembuhkan penyakit sang pasien (jadi bukan untuk dirinya sendiri). Demikian juga soal seni gembala. Kecerdikan seorang gembala dimaksudkan agar domba-dombanya memperoleh keamanan, menemukan rerumputan hijau, terhindar dari serigala dan seterusnya. Jadi kodrat seni berkuasa pun lantas tidak untuk kepentingan sang penguasa. Apabila seni berkuasa untuk dirinya sendiri, jelas itu merupakan pelanggaran, kesalahan, dan pemanipulasian.

Jika kita ajukan pertanyaan yang sama misalnya apakah pemegang mandat rakyat itu? Apakah wakil rakyat itu? Dan apakah penegak hukum itu? Pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum pada kodratnya melayani rakyat banyak pertama-tama tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan demi profesionalitas pelayanan yang semakin baik demi kesejahteraan umum (bonum commune).

Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum tidak melakukan tugas pelayanannya demi kepentingan umum melainkan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya sendiri.

Kesan tebar pesona, dan bukan tebar karya yang terjadi di tengah masyarakat, ketidakpekaan para wakil rakyat (PP Nomor 37 tahun 2006, November lalu rakyat dikejutkan dengan langkah Presiden menandatangani PP Nomor 37 Tahun 2006 yang memperkaya anggota legislatif daerah dengan gaji puluhan juta rupiah), dan penegakan hukum secara tebang pilih yang mengejar para koruptor kecil-kecilan merupakan beberapa contoh pemanipulasian tugas pelayanan oleh sebagian pejabat negara.

Transformasi Sikap
Kesalahan para pejabat publik terjadi dalam kapasitas masing-masing, yang terlena oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu seruan tobat nasional oleh PBNU paling aktual dan relevan bagi mereka yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyat. Mereka semua perlu lebih dulu mengubah sikap alias transformasi sikap karena merekalah seyogiyanya yang menjadi panutan masyarakat banyak.

Kelemahan para pejabat publik, mereka tidak pernah melakukan transformasi sikap. Mereka masih saja asyik dengan cara-cara lama, padahal keadaan globalisasi sudah sepenuhnya menuntut harus berubah. Bahkan dalam demokrasi pun, mereka seringkali lebih menuntut haknya, tetapi mereka tidak pernah mau melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kodrat tugas pelayanan mereka dalam kapasitasnya masing-masing.

Transformasi sikap yang mereka lakukan sejatinya mengacu pada kodrat tugas pelayanan yang diberikan dan dipercayakan oleh rakyat kepada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apakah lembaga eksekutif itu? Apakah lembaga legislatif itu? Apakah lembaga yudikatif itu? Pertanyaan ini akan mengarah pada kodrat dan kesejatian keberadaan ketiga lembaga tersebut bila memang mereka tidak dikendalikan oleh egoisme dan kepentingan partainya. Jika mereka masih terkungkung dan terikat pada kepentingan dan keuntungan mereka sendiri, maka di situlah terjadi pelanggaran, kesalahan dan pemanipulasian mandat rakyat, kepercayaan dan aspirasi rakyat banyak sebagaimana pengujian Sokrates atas pengertian seni gembala yang dikemukakan Thrasymachus.
Persoalannya sekarang, masih terbukakah pintu hati nurani, akal budi dan mata mereka terhadap kodrat tugas pelayanan mereka? Ataukah mereka masih lebih menuntut hak daripada menunaikan kewajiban mereka terlebih dahulu? Jika masih demikian halnya, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju setingkat Malaysia dan Singapura sekalipun. Indonesia akan tetap menjadi terbelakang di mata internasional. Semakin mendesaklah seruan tobat dan transformasi sikap secara nasional teristimewa bagi para pejabat yang mengklaim tugasnya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Semoga.

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang

Kamis, Januari 25, 2007

JAKARTA BERWAJAH "PANAS"!

JAKARTA BERWAJAH “PANAS”!
Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!

Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.

Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.

“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.

Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.

Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.

Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.

Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!

Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.

Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.

Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.

Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.

Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Powered By Blogger