DISIPLIN DAN KEMERDEKAAN
Oleh Pormadi Simbolon*
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan (KPK) per 15 Agustus 2007 tingkat kepatuhan bidang yudikatif hanya 43,77 persen. Dari total 20.991 penyeleggara negara, baru 9.188 orang yang telah melaporkan kekayaan ke KPK. Itu berarti hakim dan jaksa agung tergolong kelompok yang paling tidak berdisiplin.
Ketidakdisiplinan aparat penegak hukum melaporkan kekayaannya merupakan cermin kepribadian sebagian warga bangsa Indonesia. Jika para penyelenggara negara tidak berdisiplin, apalagi rakyatnya. Sebab kedisiplinan itu pada logikanya menetes dari para pimpinan (level atas) kepada masyarakat umum (level bawah).
Jika ditelusuri lebih dalam, para hakim dan jaksa merupakan salah satu pelaku penghakiman atas perilaku ketidaktaatan masyarakat pada hukum. Aneka putusan penggusuran terhadap sebagian warga masyarakat merupakan hasil dari keputusan para hakim. Namun justru kebanyakan dari mereka menjadi para pelaku ketidakdisiplinan itu.
Ketidakdisiplinan itu justru kontraproduktif terhadap kesejatian tugas mereka Mereka seharusnya bertugas menjaga supaya undang-undang negeri ditaati. Mereka semestinya bertugas mengadili dan memberikan keputusan perkara di pengadilan. Mereka seyogiyanya melakukan pemeriksaan dan menuntut hukuman bagi yang tidak mentaati aturan yang ada. Namun yang terjadi malah ketidaktaatan pada aturan yang mewajibkan mereka harus melaporkan kekayaannya.
Disiplin diri menjadi kunci kemajuan dan kesuksesan serta kebesaran orang-orang besar yang pernah hidup dalam sejarah. Seorang pemimpin, seorang olahragawan, seorang pengusaha, atau siapa saja bisa mencapai kesejatian di bidangnya masing karena pernah mempraktekkan disiplin diri. Sebut saja beberapa contoh pemimpin besar yang pernah ada, Presiden Soekarno, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim. Disiplin dirilah yang menghantar mereka menjadi seorang pemimpin yang disegani dan dikagumi.
Presiden Amerika Serikat (AS) ke-26, Theodore Rosevelt (1858-1919) pernah mengatakan, With self-discipline, most anything is possible, yang terjemahan bebasnya, “dengan disiplin diri, kebanyakan hal menjadi mungkin”. Gary Ryan Blair, seorang motivator negeri paman Sam, pernah berkata, self-dicipline is an act of cultivating. It require you to connect today’s action to tomorrows results. There’s a seasons for sowing a season of reaping. Self-discipline helps you know which is which. Inti pernyataan tersebut mau mengatakan bahwa barang siapa melatih disiplin diri, maka dia akan menuai hasilnya pula. Orang yang tidak berdisiplin diri akan menerima akibatnya.
Kemerdekaan
Baru saja kita memperingati hari proklamasi kemerdekaan RI yang keenampuluhdua. Peringatan itu membawa kita pada cita-cita, semangat, dan perjuangan para Bapa bangsa. Negara merdeka, berpaham kebangsaan yang terbuka, berideologi Pancasila yang menyerap dan merangkul kepentingan semua insan pertiwi yang mereka cetuskan sangat relevan dan aktual bagi bangsa Indonesia yang multikultural.
Kita sudah merdeka selama 62 tahun. Sepuluh tahun pula masa krisis sudah kita lalui. Namun masalah kesadaran akan ketaatan pada hukum masih rendah. Kemerdekaan belum kita isi dengan perubahan sikap dan perilaku. Kemerdekaan masih penuh dengan sikap dan perilaku merdeka untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok masing-masing.
Terasa sekali selama 10 tahun reformasi berjalan semua seperti dibiarkan berjalan sendiri. Sangat terbatas teladan pendidikan hukum dan disiplin yang diberikan kepada rakyat untuk membuat mereka bisa memahami esensi disiplin dan ketaatan pada hukum di negeri ini.
Semua orang menafsirkan disiplin dan hukum atas dasar pemahamannya sendiri. Seolah-olah hukum dan disiplin itu berarti merdeka untuk mencari keuntungan diri dan kelompoknya sendiri. Bahkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara itu diterjemahkan sesuai dengan keinginannya sendiri.
Enam puluh dua tahun merdeka dan sepuluh tahun pasca masa krisis ini seyogiyanya membuat kita terhentak untuk mengisi kemerdekaan ini dengan mengubah sikap dan perilaku dari sikap dan perilaku yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok kepada kepentingan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai sebagai bangsa dan megara Indonesia. Sikap dan perilaku taat pada hukum yang disepakati bersama adalah kunci kesuksesan dan kemajuan bangsa ini.
Praktek penegakan hukum dan disiplin berbangsa dan bernegara menjadi modal utama dalam persaingan global. China, India dan Singapura bisa menjadi beberapa negara yang perkembangan ekonominya paling cepat di dunia karena penegakan hukum dan disiplin yang tegas dan pasti. Siapa saja pelaku ketidaktaatan pada hukum termasuk para pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum, bahkan hukuman mati sekalipun.
Sayangnya di negeri ini, hukum dan sanksi hanya berlaku bagi wong cilik, tetapi tidak berlaku bagi para elit pejabat dan pengusaha di negeri ini. Para hakim dan jaksa yang tidak melaporkan kekayaannya misalnya, mereka tidak mendapat sanksi apapun atas ketidakdisiplinan melaporkan kekayaannya. Ketua MA, Bagir Manan sendiri mengamini bahwa ia tidak bisa memberi sanksi apapun termasuk sanksi administratif kepada bawahannya.
Jika sikap dan perilaku kita masih merdeka untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompok dan bukan bagi kesejahteraaan umum, maka visi Indonesia 2030 akan menjadi sekedar wacana dan ide yang bagus di atas kertas. Padahal persaingan antar bangsa di era globalisasi dewasa ini sangat ketat dan cepat.
Untuk menjadi bangsa dan negara yang disegani dalam percaturan global, dibutuhkan pemimpin dan semua eselonnya yang mampu berdisiplin diri dan lalu menerapkan disiplin itu kepada masyarakatnya.
* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana malang, tinggal di Jakarta
Trima kasih mengunjungi blog kami!
Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Jumat, Agustus 24, 2007
DISIPLIN DAN KEMERDEKAAN
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar