Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Rabu, Agustus 28, 2019

Gerakan Fundamentalisme Islam (Sebuah Catatan dan Tanggapan)


       I.            Pendahuluan
Foto: http://libertymagazine.org
Gerakan fundamentalisme agama merupakan fenomena global. Ada fundamentalisme kristen, fundamentalisme Islam, fundamentalisme Hindu, Fundamentalisme Buddha dan fundamentalisme agama lainnya. Pada hakekatnya, gerakan fundamentalisme agama muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap modernitas, produk Barat. Dalam paper ini, penulis membahas gerakan fundamentalisme Islam. Gerakan fundamentalisme Islam menawarkan ideologi alternatif yaitu pemerintahaan Allah (hakimiyyat Allah) sebagai pengganti sistem pemerintahan demokrasi, produk modernisme. Gerakan fundamentalisme agama menimbulkan kekacauan dan konflik antar peradaban global, untuk itu diperlukan sebuah jembatan, dalam rangka membangun perdamaian antar komunitas peradaban di dunia, yaitu kesepakatan moralitas internasional.
Penulis memulai paper ini dari pengertian dan upaya fundamentalisme Islam melawan modernitas,  secara spesifik, demokrasi dipertentangkan dengan pemerintahan Allah, lalu sebuah tawaran moralitas internasional sebagai solusi alternatif, dan diakhiri dengan catatan serta tanggapan penutup.
Kata kunci: fundamentalisme agama, fundamentalisme islam, modernitas, pemerintahan Allah
    II.            Gerakan Fundamentalisme Islam
1.      Mengenal Gerakan Fundamentalisme Agama
Istilah fundamentalisme berasal dari kata dasar fundamen dan isme, fundamen berarti asas, dasar, fondasi; isme berarti paham. Fundamentalisme diartikan sebagai paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal. Fundamentalis diartikan penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci [1]. Dengan demikian istilah fundamentalisme dapat didefinisikan paham yang cenderung memperjuangkan sesuatu secara radikal berdasarkan ajaran agama asli seperti tersurat dalam Kitab Suci.
Fundamentalisme agama merupakan fenomena global. Dalam pandangan Bassam Tibi, seorang ilmuwan politik dan prfoessor  hubungan internasional, fundamentalisme agama  bukan merupakan sebuah gerakan spiritual, tetapi sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan sosio-politik dan ekonomi dalam upaya membangunan pemerintahan Ilahi atau berdasarkan salah satu agama. Fenomena fundamentalisme agama dapat ditemukan dalam agama besar dunia, seperti Islam, Hindu, Konfusianisme, Buddha, Kristen dan Yahudi[2].
Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan tentang gerakan fundamentalisme Islam. Dalam penyelidikan studi fundamentalisme Islam yang dilakukan Bassam Tibi,  agama bagi kaum fundamentalis adalah ekspresi dari tatanan ilahi, yang secara skematis bertentangan dengan tatanan dunia sekuler. Gerakan fundamentalisme Islam ingin memperjuangkan tatanan ilahi atau pemerintahan Allah berdasarkan Al Qur’an. Itu berarti, para fundamentalis agama adalah para ideolog dan aktivis politik, yang mementingkan kekuatan politik. Mereka menggunakan simbol-simbol agama dan mengisinya dengan makna baru demi mencapai tujuannya. Dengan demikian, gerakan fundamentalisme agama  melakukan politisasi agama demi tujuan ideologis dan politis, yaitu hendak mendirikan pemerintahan Allah di dunia[3], terutama setelah pengaruh modernitas mulai diperkenalkan Barat ke dunia global.

2.      Melawan Modernitas  atau Westernisasi
Gerakan fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh modernitas. Modernitas memproduksi nilai-niai atau agagasan seperti demokrasi, budaya politik pluralisme, hak asasi manusia, toleransi dan liberalisme. Pada awal Renaissans, Machiavelli berangkat dari konsep tatanan ilahi dalam membangun gagasan bahwa manusia dapat memerintah dirinya sendiri. Gagasan pemerintahan rakyat oleh rakyat (yaitu:  kedaulatan rakyat) kemudian menjadi dasar legitimasi negara-bangsa sekuler, dan percaya bahwa kemajuan teknologi berkontribusi pada peradaban global yang menyatukan semua manusia. Namun, produk modernitas ini ditentang oleh gerakan fundamentalisme agama. Jika modernitas menekankan otonomi individu, fundamentalisme agama mengembalikan individu-individu ke kolektivitas dimana setiap orang dianggap sebagai pelengkap bagi komunitas atau masyarakat tertentu. Gerakan fundamentalisme Islam menawarkan makna alternatif baru bahwa pentingnya ikatan organik dengan sebuah peradaban, bukan kehendak bebas untuk menjadi anggota yang berpartisipasi dalam badan politik yang demokratis[4].
Modernitas memiliki dua dimensi yaitu struktural budaya dan institusional. Modernitas  struktural budaya merujuk pada karya Jurgen Habermas, yaitu prinsip subyektivitas yang dengannya seseorang didefinisikan sebagai individu yang memiliki kehendak bebas, mampu menentukan nasibnya sendiri dan mengubah lingkungan sosial dan alam. Modernitas institusional menjadikan sains dan teknologi sebagai pencapaian instrumentalnya[5].
Di bagian Timur Tengah dan sebagian besar peradaban non-Barat lainnya, modernitas telah melanda orang-orang, lebih pada institusi dalam bentuk hegemoni dan keunggulan teknologi dan militer Barat, dan bukan pada bidang budaya. Fundametalime Islam muncul sebagai ideologi pemberontakan  melawan modernisme atau Barat, terutama budaya Amerika Serikat. Terjadilah konflik antara peradaban yang berbeda pada skala global[6].

3.       Demokrasi versus Pemerintahan Allah
Gagasan demokrasi adalah produk dari Barat yang mendasarkan diri pada kedaulatan rakyat. Demokrasi diterima sebagian dunia karena dapat menjadi dasar penyatuan umat manusia, meskipun terdapat perbedaan agama dan etnis. Sebaliknya, pemerintahan Allah, suatu tatanan ilahi (hakimiyyat Allah), yang disajikan oleh kaum fundamentalis Islam sebagai alternatif global bagi negara sekuler. Namun menurut Bassam Tibi, ide pemerintahan Allah ini memperburuk dan memecahbelah umat manusia ke dalam berbagai peradaban[7]. Konflik antar peradaban tersebut misalnya bentrokan antara Muslim dan Hindu di Ayodhya pada Desember 1992 merupakan peringatan. Karakter global fundamentalise agama menandai era kekacauan dan perselisihan terbuka baik tingkat lokal maupun tingkat internasional, regional maupun global.
Fundamentalisme Islam memandang demokrasi sebagai kekufuran. Hal ini misalnya dikatakan oleh tokoh fundamentalisme Aljazair, Ali Benhaj. Dalam pandangan mereka gagasan tentang hakimiyyat Allah/ pemerintahan Allah adalah alternatif penting bagi demokrasi. Dari contoh ini, terjadilah konflik mendalam antara fundamentalisme dan demokrasi[8].

4.      Upaya Merangkul Modernitas
Terkait reaksi dunia Islam dengan demokrasi, sebenarnya ada berbagai arus atau sikap yang muncul yaitu fundamentalisme, tradisionalisme dan reformisme Islam. Fundamentalisme Islam pada haekatnya politisasi agama dalam konteks global. Tradisionalisme merupakan arus yng mengedepankan syura atau konsultasi atau musyawarah  dalam mengambil suatu keputusan dalam hidup bersama.
Arus reformisme Islam merupakan arus yang mencoba merangkul demokrasi dengan cara-cara Islam. Pembaharu Islam terkemuka, Muhammad Abduh (1849-1905) berusaha mendukung modernitas budaya dan institusi dengan mencari sintesis konsep-konsep ini dalam Islam, dan melakukannya tanpa pemikiran kembali ke pandangan dunia teosentris Islam tradisional[9]. Upaya kaum reformis merangkul modernitas gagal, bukan karena mereka salah tapi berhenti menemukan solusi yang mungkin berhasil. Resistensi kaum fundamentalis terhadap demokrasi lebih kuta. Banyak pembaharu Islam mendapat ancaman dan hukuman mati. Salah satu pembaharu Islam yang dieksekusi tanpa diadili, misalnya syekh Sudan, Mahmoud Taha (1905-1985) pada tahun 1985 oleh diktator Sudan, Ja’far al-Numairi. Oleh karena resistensi yang kuat dan ancaman hukuman mati, tokoh pembaharu Islam lain seperti Abdullah A. An-Na’im (1946-…) dan Mohammed Arkoun (1928-2010) masih berharap untuk menerapkan dan mengupayakan reformasi Islam, tetapi mereka melakukannya di pengasingan, seperti di negara Barat, misalnya Paris, London atau Washington.
Menurut Bassam Tibi, sebagian besar Muslim, mulai dari para pemimpin politik mereka, memang merangkul modernitas dengan alasan konformisme. Konformisme adalah cara berurusan dengan yang tidak sesuai dengan Islam, sebelum memikirkan kembali dengan konsep dan pandangan Islam yang diwariskan. Karena belum ada upaya yang dilakukan mendamaikan antara tindakan menyimpang dengan ajaran Islam, konformisme Islam mengakibatkan kelambatan dalam berperilaku. Konformisme merupakan upaya naas berurusan dengan modernitas[10].
Di Indonesia, mayoritas Muslim Indonesia seperti diwakili oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, melihat demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Indonesia berbentuk negara republik yang demokratis, pada tahun 1998 memasuki pentas demokrasi yang sesungguhnya, karena tahun-tahun sebelumnya, sistem demokrasi belum terlaksana dalam arti demokrasi sesungguhnya. Untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis, yang menghargai hak asasi manusia, Indonesia telah melibatkan lapisan masyarakat, terutama LSM, pers dan organisasi keagamaan. Menurut Ayang Utriza Yakin, demokratisasi adalah jalan yang paling baik untuk memelihara, melestarikan, dan mengukuhkan aset nasional sekarang ini, yaitu stabilitas, keamanan, persatuan dan kesatuan[11], bukan yang sistem yang lain.

5.      Pilar Moralitas Internasional
Fundamentalisme Islam berupaya menggulingkan tatanan dunia yang didominasi modernitas, dan menggantinya dengan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Namun dalam perjalanan waktu, pemerintahan berdasarkan agama tertentu tidak cocok dengan tatanan dunia dan negara-negara sekuler yang berdaulat. Konflik akan terus terjadi, jika ada pemaksaan suatu ideologi pemerintahan berdasarkan agama tertentu. Agama, entah agama apapun tidak tepat dijadikan sebagai alat politik atau dipolitisasi untuk kepentingan sekelompok pelaku. Jika dipolitisasi, maka akan muncul fundamentalis Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dan agama-agama lainnya. Untuk itu, solusi untuk menjembatani dan membangun perdamaian antar peradaban adalah pentingnya suatu kesepatan bersama secara global atau internasional yang dalam bahasa Bassam Tibi disebut moralitas internasional. Unsur-unsur moralitas internasional ini terdiri dari demokrasi dan hak asasi manusia.  Moralitas internasional ini sesuai dengan etika atau nilai agama-agama apapun[12].

6.      Fundamentalisme di Indonesia
Di Indonesia, sebagai salah satu negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kita dapat menemukan beberapa gerakan fundamentalisme Islam. Salah satu yang masih hangat adalah gerakan Hizbut Tahir Indonesia (HTI). HTI berupaya mengganti ideologi pemerintahan Indonesia yang berdasarkan Pancasila  menjadi sistem pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam. HTI dibubarkan pemerintah Indonesia pada tanggal 19 Juli 2017 karena bertentangan dengan demokrasi berdasarkan Pancasila.
Gerakan fundamentalisme Islam lainnya di Indonesia, dapat ditemukan dalam beberapa organisasi politik Islam. Organisasi politik bercorak fundamentalisme antara lain Parkai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). PKS dan PBB secara transparan anggota partai tersebut menginginkan agar syariat Islam diberlakukan di Indonesia. Ajaran Islam perlu dimurnikan di era modern sekarang ini[13]. Dewasa ini fundamentalisme Islam dalam arti ada keinginan kuat menerapkan syariat Islam di tingkat daerah maupun nasional bermunculan. Hal ini tampak dari Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada tahun 2017 dan Pemilihan Umum serentak nasional pada 2019.


 III.            Catatan dan Tanggapan Penutup
Gerakan fundamentalisme agama adalah fenomena global, bisa ditemukan dalam berbagai agama di dunia, seperti Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha dan agama lainnya. Gerakan fundamentalisme pada dasarnya ingin memperjuangkan pemerintahan dunia berdasarkan prinsip-prinsip agama tertentu.
Gerakan fundamentalisme Islam muncul di tengah gerakan modernisasi dunia atau westernsasi sedang melanda sebagian besar belahan dunia. Fundamentalisme Islam menawarkan sistem pemerintahan Allah (hakimiyyat Allah) sebagai alternatif pemerintahan dunia sekuler,  menggantikan sistem demokrasi.
Gerakan fundamentalisme agama dalam kenyataannya akan bertabrakan dengan komunitas peradaban non-Muslim. Jika sistem pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip Islam dipaksakan kepada dunia yang beraneka ragam peradaban, maka akan menimbulkan konflik dan memunculkan gerakan fundamentalisme dari agama lain, seperti Yahudi, Hindu, Kristen, Buddha dan lain sebagainya.
Pada hakekatnya, gerakan fundamentalisme agama adalah gerakan mempolitisasi agama demi kepentingan sekelompok pelaku. Menurut penulis, agama tidak dapat diperalat atau dipolitisasi, karena akan menimbulkan konflik baik internal penganut agama itu sendiri, maupun dengan ekternal, penganut agama lain.
Sebuah solusi untuk mengatasi konflik, maka perlu dibangun sebuah jembatan yang bisa mendamaikan aneka komunitas peradaban global yaitu membangun sebuah kesepakatan moralitas internasional yang terdiri dari demokrasi dan hak asasi manusia. Baik demokrasi maupun hak asasi manusia tidak bertentangan dengan ajaran agama apapun. Demokrasi adalah pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar manusiawi seperti hak hidup, hak kebebasan (berbicara/berpendapat, memilih agama atau keyakinan tertentu).
Penulis berpendapat, bahwa sistem demokrasi dalam pengertian sebagai suatu sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama manapun, termasuk Islam. Sistem demokrasi sangat menghargai hak asasi manusia, kebebasan berpendapat,  termasuk kebebasan pers, dan pluralitas agama, budaya maupun etnis. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, sistem demokrasi sangat harmonis dan cocok dengan Indonesia yang majemuk dalam berbagai hal, termasuk agama, budaya dan etnis. Demokrasi yang berdasarkan Pancasila, mengedepankan kebaikan bersama (umum) daripada kepentingan orang atau kelompok tertentu.
***

Sumber Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online dari https://kbbi.web.id/fundamentalisme, diakses 21 Juni 2019, pukul 15.15 WIB
Tibi, Bassam, The Challenge of Funfamentalism: Political Islam and and the New World Disorder,. Berkeley, Calif London: University of California Press, 1998
Yakin, Ayang Utriza, DEA., Ph.D,  Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer. Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami dan Jihad, Jakarta: Kencana, 2016, Divisi dari Prenadamediamedia Group, 2016
Wahid, M. Abduh, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam (Telaah Kritis tentang Eksistensinya masa kini), Jurnal Sulesana, Volume 12 nomor 1 Tahun 2018, UIN Alauddin Makassar, 2018


[1] Arti kata diambil website Kamus Besar Bahasa Indonesia dari https://kbbi.web.id/fundamentalisme, diakses 21 Juni 2019, pukul 15.15 WIB
[2] Tibi, Bassam, The Challenge of Funfamentalism, University of California Press, Hal. 20-21
[3] Ibid., Hal. 23
[4] Ibid., Hal. 24
[5] Ibid.,  Hal. 24
[6] Ibid., Hal 24
[7] Ibid., Hal. 26
[8] Ibid., Hal. 26
[9] Ibid., Hal. 30
[10] Ibid., Hal. 32
[11] Yakin, Ayang Utriza, DEA., Ph.D,  Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer. Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami dan Jihad, Hal. 49
[12] Tibi, Bassam, The Challenge of Funfamentalism, University of California Press, Hal. 35
[13] Wahid, M. Abduh, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam, Hal.73

Kamis, Agustus 22, 2019

Postmodernisme dan Wacana Kritisisme Pendidikan (perspektif Henry A. Giroux)

Foto: riseuptimes.org
I.          Pendahuluhan
Postmodernisme mengkritisi asumsi dan bahasa modernisme terkait dengan pendidikan umum. Modernisme menekankan pendidikan yang mengacu pada cita-cita Era Pencerahan, postmodernisme menekankan  pendidikan yang menghargai otherness (keberlainan). Dalam tulisan ini, penulis mencoba meihat postmodernisme dan wacana kritisisme pendidikan berdasarkan tulisan Henry A. Giroux berjudul Postmodernism and The Discourse of Educational Criticism (Aronowitz, Stanley, dan, Henry A. Giroux, 1997). Henry A. Giroux memaparkan bahwa pedagogi menuntut para pendidik agar mengelaborasi nilai-nilai modernisme  dengan teori perlawanan postmodernisme  yang menghargai Otherness. Terlepas dari kegagalan teoritisnya, postmodernisme menawarkan sejumlah wawasan penting sebagai bagian dari teori pendidikan dan pedagogi kritis. Dalam tulisan ini, kami mengikuti sistematika artikel Giroux dimulai pembahasan tentang krisis modernisme di era postmodernisme, makna postmodernisme, lalu dilanjutkan dengan pembahasan problematika postmodern meliputi krisis totalitas, fondasionalisme, budaya, Otherness, krisis bahasa, dan  kami tambahkan catatan penutup.

Kata kunci: postmodernisme, modernisme, pedagogi kritis, pendidikan
           
II.       Postmodernisme dan Wacana Kritisisme Pendidikan
A.     Krisis Modernisme di Era Postmodernisme
Teori dan praktek pendidikan selalu dikaitkan dengan  kata dan asumsi modernisme. Beragam tokoh pendidik seperti John Dewey (1916), Ralph Tyler (1950), Herb Gintis (Bowles dan Gintis, 1976), John Goodlad (1984), dan Martin Carnoy (Carnoy dan Levin, 1985) mengungkanpan pandangannya bahwa pendidikan modernis menekankan kapasitas individu untuk berpikir kritis, untuk menjalankan tanggung jawab sosial, dan untuk membangun dunia sesuai cita-cita Era Pencerahan yaitu akal budi dan kebebasan.
Postmodernisme mempersoalkan prinsip-prinsip paling dasar modernitas (model budaya dan peradaban Eropa). Hal itu berarti postmodernisme perlu mendefinisikan kembali makna sekolah, dan juga mempertanyakan dasar sejarah, budaya, dan segala manifestasi serta ekspresi dalam kehidupan publik. Mengkritik modernisme berarti menggambar ulang dan memetakan kembali sifat dari geografi sosial, politik, dan budaya. Karena alasan ini saja tantangan yang diajukan oleh berbagai wacana postmodernis perlu diangkat dan diperiksa secara kritis oleh para pendidik.
Giroux berpendapat bahwa tantangan postmodernisme penting bagi para pendidik karena mengkritisi aspek hegemonik modernisme dan mempengaruhi makna dan dinamika sekolah masa kini. Kritik postmodern penting karena menggambar ulang batas-batas politik, sosial, dan budaya, sementara secara bersamaan menegaskan politik perbedaan ras, gender, dan etnis.  Pedagogi kritis tidak dapat dikembangkan atas dasar pilihan antara modernisme dan postmodernisme tapi dapat  membuat pedagogi kritis yang mengacu pada kekuatan masing-masing.

B.     Makna Postmodernisme
Paling tidak ada dua dua pandangan tentang postmodernisme  seperti yang diartikulasikan oleh dua ahli teori terkemuka, Jean-Francois Lyotard (1984) dan Fredric Jameson (1984).
Lyotard menggambarkan postmodernisme sebagai penolakan terhadap narasi besar, filosofi metafisik, dan pemikiran totalisasi lainnya. Baginya, makna postmodernisme terkait erat dengan perubahan kondisi pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan bentuk organisasi sosial yang merusak kebiasaan lama, ikatan, dan praktik sosial modernitas.
Tulisan Fredric Jameson (1984, 1988) tentang postmodernisme, mendefinisikan postmodernisme sebagai "logika budaya" yang mewakili tahap besar ketiga dari kapitalisme akhir, serta budaya baru dominan pada zaman di masyarakat Barat. Baginya, postmodernisme adalah perubahan besar yang mengingatkan kita pada pemetaan kembali ruang sosial saat ini dan penciptaan formasi sosial baru.
Terlepas dari perbedaan politik dan analisis yang disajikan, sebagian ahli teori pendidikan mengakui bahwa kita hidup di era transisi perubahan menuju ke abad kedua puluh satu. Kita perlu memahami lebih jelas perubahan apa yang terjadi di berbagai bidang artistik, intelektual, dan akademis mengenai produksi, distribusi, dan penerimaan berbagai teori dan wacana.

C.     Problematika Postmodern
Giroux berpendapat bahwa berbagai teori dan praktik  yang bernuansa postmodern mewakili apa yang sebenarnya dapat disebut problematika postmodern: krisis totalitas, foundasionalisme, budaya dan problematika keberlainan (otherness), krisis bahasa dan subjektivitas..

1)      Postmodernisme, Krisis Totalitas, dan Foundasionalisme
Lyotard mengartikulasikan antagonisme yang telah menjadi fitur utama dari wacana postmodernis. Yaitu, postmodernisme menolak aspek-aspek Pencerahan dan tradisi filosofis Barat yang mengandalkan narasi utama.
Kritik postmodern terhadap totalitas juga merupakan penolakan terhadap klaim-klaim mendasar yang membungkus diri dengan sains, objektivitas, netralitas, dan ketidaktertarikan ilmiah. Dalam kasus ini, wacana postmodern menolak, misalnya, teori total Marxisme, Hegelianisme, Kristen, dan filosofi sejarah lainnya berdasarkan pada gagasan sebab akibat dan resolusi global yang mencakup semua tentang nasib manusia.
Perlawanan postmodern pada totalitas dan narasi utama perlu ditafsirkan secara dialektik jika ingin berkontribusi pada teori radikal pendidikan dan politik budaya. Pada satu sisi, kritik narasi utama penting karena membuat kita memperhatikan unsur-unsur fondasionalisme. Di sisi lain, menolak semua gagasan tentang totalitas berarti menghadapi risiko terperangkap dalam teori-teori partikularistik yang tidak dapat menjelaskan bagaimana berbagai hubungan yang berbeda yang membentuk sistem sosial, politik, dan global yang lebih besar saling terkait atau saling menentukan dan membatasi satu sama lain.

2)      Postmodernisme, Budaya dan Problematika Otherness (keberlainan)
Selain penolakan gagasan totalitas, perhatian utama postmodernisme lainnya adalah pengembangan politik yang membahas budaya populer sebagai objek serius kritik estetika dan budaya, di satu sisi, dan memberi sinyal dan menegaskan pentingnya budaya minoritas sebagai bentuk produksi budaya spesifik secara historis di sisi lain. Demikian pula, postmodernisme telah menyediakan kondisi yang diperlukan untuk mengeksplorasi dan memulihkan tradisi dari berbagai bentuk otherness (keberlainan) sebagai dimensi fundamental dari lingkup budaya dan sosial-politik.
Contoh yang paling tepat terkait posisi Barat yang dikritik terdapat dalam dalam karya liberal postmodernis Richard Rorty (1979, 1985). Postmodernisme Rorty berupaya memberikan ruang bagi beragam suara kelompok-kelompok yang terpinggirkan dengan memasukkan mereka dalam percakapan yang memperluas gagasan solidaritas dan komunitas manusia. Wacana postmodern ingin mengenali dan mengistimewakan kaum marjinal tanpa melibatkan isu penting seperti kondisi dan kesiapan menjalankan bentuk pemberdayaan diri dan sosial. Dengan cara yang sama, apa yang perlu ditangani dalam wacana postmodernis mengenai problematika otherness adalah bagaimana kelompok-kelompok subordinat dapat memperjuangkan suara dan visi mereka sendiri untuk mengubah kondisi sosial dan material yang telah menindas mereka.

3)      Postmodernisme dan Krisis Bahasa dan Subjektivitas.
Fitur terpenting postmodernisme adalah bahasa dan subjektivitas sebagai bidang baru dalam memikirkan kembali masalah makna, identitas, dan politik. Wacana postmodern menteoretisasi kembali (retheorized) sifat bahasa sebagai sistem tanda-tanda yang terstruktur dalam permainan perbedaan yang tak terbatas, dan dengan demikian telah merusak gagasan positivis dominan tentang bahasa sebagai media transparan untuk mentransmisikan ide dan makna. Jacques Derrida (1976), khususnya, telah memainkan peran utama dalam me-retheorizing bahasa melalui prinsip apa yang disebutnya differance. Pandangan ini menunjukkan bahwa makna adalah produk dari bahasa yang dibangun dari dan tunduk pada permainan perbedaan yang tak ada habisnya antara penanda. Apa yang merupakan arti dari penanda ditentukan oleh pergeseran, perubahan hubungan perbedaan yang menjadi ciri permainan referensial bahasa.
Resistensi postmodern pada sentralitas wacana modernisme menghasilkan pemikiran tentang gagasan subjektivitas didasarkan pada kesadaran yang bersatu, rasional, dan menentukan nasib sendiri. Dalam pandangan ini, subjek individu adalah sumber pengetahuan diri, dan pandangannya tentang dunia dibentuk melalui penerapan cara pemahaman dan pengetahuan yang rasional dan otonom.

III.        Kesimpulan
Terlepas dari beberapa kegagalan teoretisnya, postmodernisme menawarkan kepada para pendidik sejumlah wawasan penting yang dapat diambil sebagai bagian dari teori pendidikan (sekolah) yang lebih luas dan sebagai pedagogi kritis.
Bagi para pendidik,  postmodernisme menawarkan alat teoretis baru untuk memikirkan ulang konteks luas dan spesifik di mana makna otoritas didefinisikan; ia menawarkan apa yang oleh Richard Bernstein disebut sebagai "kecurigaan yang sehat terhadap semua  melalui perbaikan batas-batas dan cara-cara tersembunyi (Bernstein, 1988.267). Postmodernisme juga menawarkan para pendidik berbagai wacana, yaitu  (1) untuk menyelidiki ketergantungan modernisme pada teori totalisasi yang berdasarkan kepastian dan yang absolut; (2) untuk melibatkan pentingnya yang kontinjen, spesifik, dan historis sebagai aspek sentral dari pedagogi yang membebaskan dan memberdayakan.
Berbicara tentang kehidupan publik berarti berbicara tentang wacana pluralitas dan kewarganegaraan kritis. Gagasan ini tidak bertentangan dengan gagasan demokrasi yang menekankan keadilan, kebebasan, dan kehidupan yang baik. Bagi para pendidik, perhatian kaum modernis pada subjek yang tercerahkan, dan pandangan  kaum postmodernis yang menekankan pada keragaman, kontingensi, dan pluralisme budaya, memiliki arti bahwa  siswa dididik menjadi warga negara kritis sekaligus membangun kehidupan yang demokratis yang menghargai perbedaan dalam budaya yang lain (otherness). 

IV.   Catatan Penutup
Henry A. Giroux berpendapat bahwa pedagogi kritis tidak dapat dikembangkan atas dasar pilihan antara modernisme dan postmodernisme. Baik modernism maupun postmodernisme, masing-masing mengandung unsur kelebihan. Untuk itu, para pendidik diberi kesempatan membuat pedagogi kritis yang mengacu pada kelebihan masing-masing. Modernisme menekankan pendidikan subjek tercerahkan dan demokrasi, dan postmodernisme menekankan pendidikan berbasis kehidupan dalam keberagamanan dan kesetaraan. Untuk itu pendidik perlu mengintegrasikan wacana pendidikan modernisme dan postmodernisme agar tercipta peserta didik menjadi warga negara kritis, tercerahkan, demokratis serta menghargai otherness (keberlainan) dalam kehidupan publik. (*)


Sumber Pustaka
Aronowitz, Stanley, dan, Henry A. Giroux, Postmodernism and The Discourse of Educational Criticism, dalam buku Postmodern Education, Politics, Culture, and Social Criticism, Uniersity of Minnesota Press Minneapolis-London, 1997
Powered By Blogger