Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label intoleransi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label intoleransi. Tampilkan semua postingan

Jumat, Juni 23, 2023

Mitigasi Intoleransi pada Peserta Didik

 Bali Post, Selasa, 13 Juni 2023



Senin, Agustus 12, 2019

Lindungi Anak dari Bibit Intoleransi



 Sumber Koran Jakarta, 17 Mei 2017

http://www.koran-jakarta.com/lindungi-anak-dari-bibit-intoleransi/

Senin, Mei 22, 2017

Lindungi Anak dari Bibit Intoleransi

Oleh Pormadi Simbolon

Anak-anak paling rentan diracuni sikap intoleran dan radikalisme. Banyak peristiwa di lingkungan hidup anak tidak kondusif bagi pertumbuhan diri secara utuh. Dalam beberapa bulan terakhir, semakin sering demonstrasi dan tidak sedikit melibatkan anak. Lebih lagi, demonstran mengkhotbahkan doktrin radikalisme. Gema bibit radikalisme merupakan faktor perusak diri anak dalam masyarakat majemuk seperti Jakarta.

Banyak program televisi juga kurang mendidik. Ada sinetron dan reality show tertentu yang mempertontonkan adegan kurang sopan dan tidak toleran terhadap etnis dan agama yang berbeda. Yang lebih parah, ada lingkungan pendidikan sudah dirasuki bibit intoleransi dan radikalisme. Ada guru TK mengajarkan radikalisme sejak usia dini yang disebut “tepuk anak sholeh”. Anak-anak diajarkan saling menepuk tangannya dengan slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama “Muslim yes, kafir no.” Ini sangat merusak kebersamaan dalam masyarakat majemuk.

Menurut Depkes, 0–5 tahun disebut usia dini dan usia anak-anak, 5–11 tahun. Usia tersebut merupakan masa emas pertumbuhan diri yang berawal dari dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat. Keluarga menjadi tempat anak menerima dan menginternalisasi nilai-nilai iman (jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan berbohong, dan sebagainya) dan kebaikan. Keluarga tempat terbaik penanaman nilai-nilai sejak dini. Rumah menjadi sekolah iman dan cinta.

Maka, ayah-ibu memiliki kewajiban menciptakan lingkup keluarga penuh semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sebagai penunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak. Maka, keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama akan keutamaan-keutamaan.

Pembangunan masyarakat harus berbasis keluarga.

Sebagai penerus bangsa, anak-anak di keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilindungi dari racun intolerasi dan radikalisme. Bocah-bocah sejak dini harus dididik akan nilai-nilai cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia sebagaimana telah dikristalkan dalam Pancasila.

Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia, melalui Konvensi Hak-hak Anak menyetujui pendidikan dan pembinaan anak-anak diarahkan, antara lain pada pengembangan menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan hakiki. Kemudian, arah pengembangan menghormati orang tua, kebudayaan, bahasa, dan nilai-nilainya.

Lalu, arah persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat bebas. Ini dalam semangat pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persaudaraan dengan semua orang (Pasal 29 Konvensi Hak Anak-anak PBB tanggal 20 November 1989)

Nilai-nilai

Lingkungan yang penuh kepalsuan, kemunafikan, kebohongan, mengembangkan kebencian terkait SARA, ajaran intoleransi dan radikalisme menjadi bibit kerusakan jiwa anak-anak. Bocah yang seharusnya bertumbuh kembang sesuai dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia, bisa menjadi radikal, intoleran, pembohong, dan munafik.

Pertumbuhan anak-anak berawal dari keluarga, berlanjut di sekolah dan masyarakat. Pemerintah dapat memprogramkan pembangunan masyarakat berbasis keluarga. Negara harus hadir dalam pembangunan keluarga. Pembinaan keluarga melalui tahap pra dan pascanikah.

Sebelum pernikahan, calon suami-istri dibekali berbagai pengetahuan dan informasi, seperti ajaran nilai perkawinan, ekonomi keluarga, pemeliharaan keluarga yang sehat, dan penyiapan pendidikan anak-anak. Sesudah menikah, suami-istri perlu dibekali cara mendidik anak, di antaranya cara menanamkan nilai-nilai universal, seperti, jujur, kerja keras, tanggung jawab, tolong-menolong, kerja sama, dan rendah hati.

Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan agar menjadi karakter anak-anak. Ayah-ibu juga perlu mendapat bantuan, seperti konselor keluarga dalam menyelesaikan masalah-masalah yang disediakan pemerintah. Di sekolah, pemerintah perlu mengawasi tenaga pendidik yang mengajarkan intoleransi dan radikalisme. Guru-guru demikian perlu dipertimbangkan untuk diberhentikan.

Siswa akan terlindungi bila tenaga pendidik sadar akan tugasnya untuk menumbuhkembangkan anak. Di sekolah, murid-murid mendapat pendidikan, pembelajaran yang menyenangkan serta keteladanan dari tenaga pendidik. Guru bersikap sopan, bersahabat, dan mendengarkan pandangan anak. Dia mengembangkan kreativitas, tidak memarahi peserta didik di depan siswa lain.

Masyarakat berperan melindungi anak-anak dari dampak negatif lingkungan yang intoleran dan radikal. Tokoh atau anggota masyarakat perlu mengawasi lingkungan sekitar yang terindikasi ada benih-benih sikap intoleran dan radikal. Tokoh-tokoh masyarakat dipanggil untuk ikut berperan dalam menumbuhkembangkan bocah dengan memberi teladan.

Program siaran televisi yang menampilkan kekerasan, bibit intoleransi, dan radikalisme selayaknya dihentikan. Program televisi harus berkualitas dan membangun kebersamaan dalam kehidupan yang majemuk. Pertumbuhan dan masa depan anak sangat ditentukan kehidupan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika anak-anak mengalami keteladanan yang baik, akan menjadi generasi masa depan bangsa.

Penulis ASN Kemenag



Sumber: http://www.koran-jakarta.com/lindungi-anak-dari-bibit-intoleransi/

Senin, Juni 23, 2014

Hal Beribadah di Rumah


Beribadah di rumah (foto ilustrasi: pormadi
Sikap intoleransi disertai aksi kekerasan di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai sudah dalam tahap darurat. Dalam sepekan terjadi dua peristiwa intoleransi. Pertama, Minggu (1/6) siang, di Kabupaten Sleman, puluhan orang merusak sebuah bangunan yang biasa dipakai umat Kristen untuk beribadah. Bangunan yang dirusak itu milik pendeta berinisial NL. Bangunan yang bersebelahan dengan rumah NL itu terletak di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman.

Kemudian, dua hari sebelumnya, Kamis (29/5) malam, rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, diserang puluhan orang. Penyerangan yang dilakukan saat beberapa umat Katolik berdoa bersama di rumah.

Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan bahwa berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tidak boleh digunakan untuk melakukan ibadah yang bersifat rutin, seperti shalat Jumat dan kebaktian yang dilakukan secara rutin. (Kompas.com, Rabu 4/6)

Setelah peristiwa tersebut, penulis menyoroti hal beribadah di rumah yang merupakan tradisi yang dapat ditemukan dalam tradisi agama-agama di Indonesia.


Perihal Tempat Ibadat


Yang menjadi titik tolak alasan penyerangan rumah oleh sekelompok orang di Yogyakarta adalah masalah penggunaan rumah sebagai tempat ibadah atau doa bersama oleh Jemaat. Seperti umat Islam, Kristen, Budha, Hindu, umat Katolik juga memiliki tradisi melaksanakan doa bersama atau pengajian di rumah keluarga secara bergantian. Kalau dalam tradisi Islam, ada kegiatan “Jamiyah Yasinan” dan “Jamiyah Tahlilan” yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain.

Jadi amat masuk akal apa dipertanyakan oleh Jusuf Kalla menanggapi peristiwa penyerangan rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, “Seseorang boleh berdoa di mana pun. Kita ngaji di rumah-rumah enggak soal, kenapa orang beribadah di rumah sendiri ada yang marah?” tandasnya (Kompas.com, 2/6).

Tempat ibadah umat beragama adalah tempat dimana umat beragama dapat melakukan ibadahnya dengan baik sesuai dengan tata aturan masing-masing agama. Dalam rumah ibadah itulah umat dapat berdoa secara khusuk, dapat merayakan perayaan ritual dan secara istimewa menjadi tempat yang resmi untuk berdoa. Yang paling penting dan paling sering digunakan adalah tempat ibadah resmi. Tempat ibadah resmi itu adalah Masjid, gereja, Pura, Klenteng, Vihara.

Secara umum pendirian rumah ibadah umat beragama harus mendapat ijin dan selalu mengikuti prosedur Peraturan tentang Pendirian Rumah Ibadah (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006).



Tradisi Umat Katolik


Sejatinya, Tempat ibadah umat Katolik adalah tempat dimana umat katolik dapat melakukan ibadahnya dengan baik sesuai dengan tata aturan resmi liturgi Gereja Katolik. Dalam rumah ibadah itulah umat Katolik dapat berdoa secara khusuk, dapat merayakan perayaan liturgis dan secara istimewa menjadi tempat yang resmi untuk berdoa.

Ada beberapa tradisi yang umum dilaksanakan umat Katolik di dalam rumah keluarga, sebagaimana umat Islam melakukan pengajian atau syukuran di tengah masyarakat. Tradisi tersebut adalah doa bersama tiap bulan Mei dan Oktober sebagai bulan ROSARIO/ bulan Bunda Maria, membaca dan merenungkan Kitab Suci secara bersama pada Bulan Kitab Suci Nasional tiap bulan September, melaksanakan Ibadat/Doa Harian secara kelompok atau secara pribadi,

Salah satu tradisi umat Katolik, adalah ibadat atau doa keluarga dapat dilaksanakan di rumah umat/ warga katolik yang dipakai untuk berdoa rosario dalam lingkungan/stasi/Komunitas Basis Umat Katolik masing-masing. Doa rosario tersebut hanya digunakan sepanjang bulan Mei dan bulan Oktober setiap tahun dari rumah umat yang satu ke rumah umat lainnya. Setiap umat mendapatkan gilirannya biasanya satu kali dalam minggu/ bulan bersangkutan. Lingkungan/ stasi/ Komunitas Umat Basis merupakan komunitas kecil bagian dari umat Paroki secara keseluruhan.

Kegiatan yang dilaksanakan pada Kamis (29/5) malam, di rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, adalah kegiatan doa Rosario rutin yang dilaksanakan pada setiap Bulan Maria yaitu pada bulan Mei dan Oktober. Sangat mengherankan dan disayangkan, rumah tempat kegiatan doa rutin tersebut diserang puluhan orang, padahal, doa rutin yang sama dan yang sudah berlangsung dari awal Mei hingga Rabu (28/5) berjalan dengan baik tanpa gangguan apapun.

Tradisi lainnya adalah umat berhimpun pada hari Minggu maksudnya umat Kristen berkumpul dalam suatu tempat ibadah (gedung gereja, kapel) untuk merayakan Ekaristi/ Misa atau perayaan Ibadat Sabda (bdk. KHK 1274-1248). Kebiasaan ini didasarkan pada tradisi para rasul yang berpangkal pada hari Kebangkitan Kristus (Isa Al-Masih) sendiri. Pada hari Minggu umat berkumpul untuk merayakan misteri Paskah, yakni mengenangkan sengsara, wafat, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus. Dalam pengenangan ini, umat mendengarkan Sabda Allah dan berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi/ Misa; Gereja juga bersyukur kepada Allah yang telah “melahirkan kembali mereka ke dalam hidup yang penuh pengharapan” (lih. 1 Ptr 1:3; Konstitusi Liturgi , disingkat KL, 106).


Hak beribadah yang sama


Kelompok umat yang berdoa rosario di rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman merupakan umat yang berada dalam sebuah lingkungan/ Komunitas umat Basis, yang setiap hari Minggu beribadah di tempat ibadat resmi di wilayah Keuskupan Agung Semarang. Beribadah di rumah semacam ini juga ditemukan dalam tradisi agama lain. Apakah semua agama harus minta ijin untuk doa/ibadah semacam ini? Terlalu banyak pekerjaan tidak substansial bagi aparatur.

Sebagaimana umat beragama lainnya memiliki tradisi berdoa/ beribadah rutin di rumah jemaat untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, pengahayatan, dan pengamalan nilai-nilai agamanya masing-masing, demikian pula tiap umat beragama juga memiliki hak yang sama. Ibadah adalah hak yang hakiki yang tidak dapat dibatasi justru dijamin konstitusi. Hal itu pun telah dikuatkan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006.

Pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan bahwa berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tidak boleh digunakan untuk melakukan ibadah yang bersifat rutin, seperti shalat Jumat dan kebaktian yang dilakukan secara rutin merupakan pernyataan yang tidak menyejukkan dan sejatinya aparatur negara harus menjunjung tinggi kerukunan, toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam suasana kampanye Pemilihan Presiden sekarang ini, agama bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencapai tujuan sesaat dalam politik. Untuk itu peran pemuka/tokoh dan jemaat tiap agama sangat penting dalam menjaga hidup yang rukun dan toleran di tengah masyarakat.

Pormadi Simbolon, umat Katolik, tinggal di Jakarta
Powered By Blogger