Beribadah di rumah (foto ilustrasi: pormadi |
Sikap intoleransi disertai aksi kekerasan di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai sudah dalam tahap darurat. Dalam sepekan terjadi dua peristiwa intoleransi. Pertama, Minggu (1/6) siang, di Kabupaten Sleman, puluhan orang merusak sebuah bangunan yang biasa dipakai umat Kristen untuk beribadah. Bangunan yang dirusak itu milik pendeta berinisial NL. Bangunan yang bersebelahan dengan rumah NL itu terletak di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman.
Kemudian, dua hari sebelumnya, Kamis (29/5) malam, rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, diserang puluhan orang. Penyerangan yang dilakukan saat beberapa umat Katolik berdoa bersama di rumah.
Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan bahwa berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tidak boleh digunakan untuk melakukan ibadah yang bersifat rutin, seperti shalat Jumat dan kebaktian yang dilakukan secara rutin. (Kompas.com, Rabu 4/6)
Setelah peristiwa tersebut, penulis menyoroti hal beribadah di rumah yang merupakan tradisi yang dapat ditemukan dalam tradisi agama-agama di Indonesia.
Perihal Tempat Ibadat
Yang menjadi titik tolak alasan penyerangan rumah oleh sekelompok orang di Yogyakarta adalah masalah penggunaan rumah sebagai tempat ibadah atau doa bersama oleh Jemaat. Seperti umat Islam, Kristen, Budha, Hindu, umat Katolik juga memiliki tradisi melaksanakan doa bersama atau pengajian di rumah keluarga secara bergantian. Kalau dalam tradisi Islam, ada kegiatan “Jamiyah Yasinan” dan “Jamiyah Tahlilan” yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain.
Jadi amat masuk akal apa dipertanyakan oleh Jusuf Kalla menanggapi peristiwa penyerangan rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, “Seseorang boleh berdoa di mana pun. Kita ngaji di rumah-rumah enggak soal, kenapa orang beribadah di rumah sendiri ada yang marah?” tandasnya (Kompas.com, 2/6).
Tempat ibadah umat beragama adalah tempat dimana umat beragama dapat melakukan ibadahnya dengan baik sesuai dengan tata aturan masing-masing agama. Dalam rumah ibadah itulah umat dapat berdoa secara khusuk, dapat merayakan perayaan ritual dan secara istimewa menjadi tempat yang resmi untuk berdoa. Yang paling penting dan paling sering digunakan adalah tempat ibadah resmi. Tempat ibadah resmi itu adalah Masjid, gereja, Pura, Klenteng, Vihara.
Secara umum pendirian rumah ibadah umat beragama harus mendapat ijin dan selalu mengikuti prosedur Peraturan tentang Pendirian Rumah Ibadah (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006).
Tradisi Umat Katolik
Sejatinya, Tempat ibadah umat Katolik adalah tempat dimana umat katolik dapat melakukan ibadahnya dengan baik sesuai dengan tata aturan resmi liturgi Gereja Katolik. Dalam rumah ibadah itulah umat Katolik dapat berdoa secara khusuk, dapat merayakan perayaan liturgis dan secara istimewa menjadi tempat yang resmi untuk berdoa.
Ada beberapa tradisi yang umum dilaksanakan umat Katolik di dalam rumah keluarga, sebagaimana umat Islam melakukan pengajian atau syukuran di tengah masyarakat. Tradisi tersebut adalah doa bersama tiap bulan Mei dan Oktober sebagai bulan ROSARIO/ bulan Bunda Maria, membaca dan merenungkan Kitab Suci secara bersama pada Bulan Kitab Suci Nasional tiap bulan September, melaksanakan Ibadat/Doa Harian secara kelompok atau secara pribadi,
Salah satu tradisi umat Katolik, adalah ibadat atau doa keluarga dapat dilaksanakan di rumah umat/ warga katolik yang dipakai untuk berdoa rosario dalam lingkungan/stasi/Komunitas Basis Umat Katolik masing-masing. Doa rosario tersebut hanya digunakan sepanjang bulan Mei dan bulan Oktober setiap tahun dari rumah umat yang satu ke rumah umat lainnya. Setiap umat mendapatkan gilirannya biasanya satu kali dalam minggu/ bulan bersangkutan. Lingkungan/ stasi/ Komunitas Umat Basis merupakan komunitas kecil bagian dari umat Paroki secara keseluruhan.
Kegiatan yang dilaksanakan pada Kamis (29/5) malam, di rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, adalah kegiatan doa Rosario rutin yang dilaksanakan pada setiap Bulan Maria yaitu pada bulan Mei dan Oktober. Sangat mengherankan dan disayangkan, rumah tempat kegiatan doa rutin tersebut diserang puluhan orang, padahal, doa rutin yang sama dan yang sudah berlangsung dari awal Mei hingga Rabu (28/5) berjalan dengan baik tanpa gangguan apapun.
Tradisi lainnya adalah umat berhimpun pada hari Minggu maksudnya umat Kristen berkumpul dalam suatu tempat ibadah (gedung gereja, kapel) untuk merayakan Ekaristi/ Misa atau perayaan Ibadat Sabda (bdk. KHK 1274-1248). Kebiasaan ini didasarkan pada tradisi para rasul yang berpangkal pada hari Kebangkitan Kristus (Isa Al-Masih) sendiri. Pada hari Minggu umat berkumpul untuk merayakan misteri Paskah, yakni mengenangkan sengsara, wafat, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus. Dalam pengenangan ini, umat mendengarkan Sabda Allah dan berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi/ Misa; Gereja juga bersyukur kepada Allah yang telah “melahirkan kembali mereka ke dalam hidup yang penuh pengharapan” (lih. 1 Ptr 1:3; Konstitusi Liturgi , disingkat KL, 106).
Hak beribadah yang sama
Kelompok umat yang berdoa rosario di rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman merupakan umat yang berada dalam sebuah lingkungan/ Komunitas umat Basis, yang setiap hari Minggu beribadah di tempat ibadat resmi di wilayah Keuskupan Agung Semarang. Beribadah di rumah semacam ini juga ditemukan dalam tradisi agama lain. Apakah semua agama harus minta ijin untuk doa/ibadah semacam ini? Terlalu banyak pekerjaan tidak substansial bagi aparatur.
Sebagaimana umat beragama lainnya memiliki tradisi berdoa/ beribadah rutin di rumah jemaat untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, pengahayatan, dan pengamalan nilai-nilai agamanya masing-masing, demikian pula tiap umat beragama juga memiliki hak yang sama. Ibadah adalah hak yang hakiki yang tidak dapat dibatasi justru dijamin konstitusi. Hal itu pun telah dikuatkan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006.
Pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan bahwa berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tidak boleh digunakan untuk melakukan ibadah yang bersifat rutin, seperti shalat Jumat dan kebaktian yang dilakukan secara rutin merupakan pernyataan yang tidak menyejukkan dan sejatinya aparatur negara harus menjunjung tinggi kerukunan, toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam suasana kampanye Pemilihan Presiden sekarang ini, agama bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencapai tujuan sesaat dalam politik. Untuk itu peran pemuka/tokoh dan jemaat tiap agama sangat penting dalam menjaga hidup yang rukun dan toleran di tengah masyarakat.
Pormadi Simbolon, umat Katolik, tinggal di Jakarta
Kemudian, dua hari sebelumnya, Kamis (29/5) malam, rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, diserang puluhan orang. Penyerangan yang dilakukan saat beberapa umat Katolik berdoa bersama di rumah.
Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan bahwa berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tidak boleh digunakan untuk melakukan ibadah yang bersifat rutin, seperti shalat Jumat dan kebaktian yang dilakukan secara rutin. (Kompas.com, Rabu 4/6)
Setelah peristiwa tersebut, penulis menyoroti hal beribadah di rumah yang merupakan tradisi yang dapat ditemukan dalam tradisi agama-agama di Indonesia.
Perihal Tempat Ibadat
Yang menjadi titik tolak alasan penyerangan rumah oleh sekelompok orang di Yogyakarta adalah masalah penggunaan rumah sebagai tempat ibadah atau doa bersama oleh Jemaat. Seperti umat Islam, Kristen, Budha, Hindu, umat Katolik juga memiliki tradisi melaksanakan doa bersama atau pengajian di rumah keluarga secara bergantian. Kalau dalam tradisi Islam, ada kegiatan “Jamiyah Yasinan” dan “Jamiyah Tahlilan” yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain.
Jadi amat masuk akal apa dipertanyakan oleh Jusuf Kalla menanggapi peristiwa penyerangan rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, “Seseorang boleh berdoa di mana pun. Kita ngaji di rumah-rumah enggak soal, kenapa orang beribadah di rumah sendiri ada yang marah?” tandasnya (Kompas.com, 2/6).
Tempat ibadah umat beragama adalah tempat dimana umat beragama dapat melakukan ibadahnya dengan baik sesuai dengan tata aturan masing-masing agama. Dalam rumah ibadah itulah umat dapat berdoa secara khusuk, dapat merayakan perayaan ritual dan secara istimewa menjadi tempat yang resmi untuk berdoa. Yang paling penting dan paling sering digunakan adalah tempat ibadah resmi. Tempat ibadah resmi itu adalah Masjid, gereja, Pura, Klenteng, Vihara.
Secara umum pendirian rumah ibadah umat beragama harus mendapat ijin dan selalu mengikuti prosedur Peraturan tentang Pendirian Rumah Ibadah (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006).
Tradisi Umat Katolik
Sejatinya, Tempat ibadah umat Katolik adalah tempat dimana umat katolik dapat melakukan ibadahnya dengan baik sesuai dengan tata aturan resmi liturgi Gereja Katolik. Dalam rumah ibadah itulah umat Katolik dapat berdoa secara khusuk, dapat merayakan perayaan liturgis dan secara istimewa menjadi tempat yang resmi untuk berdoa.
Ada beberapa tradisi yang umum dilaksanakan umat Katolik di dalam rumah keluarga, sebagaimana umat Islam melakukan pengajian atau syukuran di tengah masyarakat. Tradisi tersebut adalah doa bersama tiap bulan Mei dan Oktober sebagai bulan ROSARIO/ bulan Bunda Maria, membaca dan merenungkan Kitab Suci secara bersama pada Bulan Kitab Suci Nasional tiap bulan September, melaksanakan Ibadat/Doa Harian secara kelompok atau secara pribadi,
Salah satu tradisi umat Katolik, adalah ibadat atau doa keluarga dapat dilaksanakan di rumah umat/ warga katolik yang dipakai untuk berdoa rosario dalam lingkungan/stasi/Komunitas Basis Umat Katolik masing-masing. Doa rosario tersebut hanya digunakan sepanjang bulan Mei dan bulan Oktober setiap tahun dari rumah umat yang satu ke rumah umat lainnya. Setiap umat mendapatkan gilirannya biasanya satu kali dalam minggu/ bulan bersangkutan. Lingkungan/ stasi/ Komunitas Umat Basis merupakan komunitas kecil bagian dari umat Paroki secara keseluruhan.
Kegiatan yang dilaksanakan pada Kamis (29/5) malam, di rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, adalah kegiatan doa Rosario rutin yang dilaksanakan pada setiap Bulan Maria yaitu pada bulan Mei dan Oktober. Sangat mengherankan dan disayangkan, rumah tempat kegiatan doa rutin tersebut diserang puluhan orang, padahal, doa rutin yang sama dan yang sudah berlangsung dari awal Mei hingga Rabu (28/5) berjalan dengan baik tanpa gangguan apapun.
Tradisi lainnya adalah umat berhimpun pada hari Minggu maksudnya umat Kristen berkumpul dalam suatu tempat ibadah (gedung gereja, kapel) untuk merayakan Ekaristi/ Misa atau perayaan Ibadat Sabda (bdk. KHK 1274-1248). Kebiasaan ini didasarkan pada tradisi para rasul yang berpangkal pada hari Kebangkitan Kristus (Isa Al-Masih) sendiri. Pada hari Minggu umat berkumpul untuk merayakan misteri Paskah, yakni mengenangkan sengsara, wafat, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus. Dalam pengenangan ini, umat mendengarkan Sabda Allah dan berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi/ Misa; Gereja juga bersyukur kepada Allah yang telah “melahirkan kembali mereka ke dalam hidup yang penuh pengharapan” (lih. 1 Ptr 1:3; Konstitusi Liturgi , disingkat KL, 106).
Hak beribadah yang sama
Kelompok umat yang berdoa rosario di rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman merupakan umat yang berada dalam sebuah lingkungan/ Komunitas umat Basis, yang setiap hari Minggu beribadah di tempat ibadat resmi di wilayah Keuskupan Agung Semarang. Beribadah di rumah semacam ini juga ditemukan dalam tradisi agama lain. Apakah semua agama harus minta ijin untuk doa/ibadah semacam ini? Terlalu banyak pekerjaan tidak substansial bagi aparatur.
Sebagaimana umat beragama lainnya memiliki tradisi berdoa/ beribadah rutin di rumah jemaat untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, pengahayatan, dan pengamalan nilai-nilai agamanya masing-masing, demikian pula tiap umat beragama juga memiliki hak yang sama. Ibadah adalah hak yang hakiki yang tidak dapat dibatasi justru dijamin konstitusi. Hal itu pun telah dikuatkan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006.
Pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan bahwa berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tidak boleh digunakan untuk melakukan ibadah yang bersifat rutin, seperti shalat Jumat dan kebaktian yang dilakukan secara rutin merupakan pernyataan yang tidak menyejukkan dan sejatinya aparatur negara harus menjunjung tinggi kerukunan, toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam suasana kampanye Pemilihan Presiden sekarang ini, agama bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencapai tujuan sesaat dalam politik. Untuk itu peran pemuka/tokoh dan jemaat tiap agama sangat penting dalam menjaga hidup yang rukun dan toleran di tengah masyarakat.
Pormadi Simbolon, umat Katolik, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar