Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Rabu, April 19, 2006

GENERASI MUDA: BANGKIT DAN BERGERAKLAH!

GENERASI MUDA: BANGKIT DAN BERGERAKLAH!

Oleh: Pormadi Simbolon

Bangsa kita dikenal sebagai bangsa berbudaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang tinggi, bermoral merosot, dan lingkungannya rusak serta nyawa warganya gampang melayang. Sementara teriakan sekelompok kecil penentang kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut tak ampuh menghentikan arus besar “gerakan” koruptor, maling dan tokoh-tokoh busuk yang ada di republik ini. Barangkali seruan Gymnastiar (Aa Gim) untuk mengurangi kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut adalah generasi muda harus memulai dari dirinya sendiri dan dari hal kecil untuk membangun keadaban publik yang bermartabat dan terhormat.

Dewasa ini, banyak orang membahas dan meneriakkan pemberantasan KKN, namun budaya busuk dan tidak beradab tersebut tetap merajalela mulai dari birokrasi tingkat paling tinggi hingga birokrasi tingkat paling rendah. Mengapa, ternyata sejulah pejabat publik yang kita kenal publik di permukaan dan meneriakkan pemberantasan korupsi, ternyata sudah menjadi tahanan polisi karena tindakan korupsi. Ternyata ada maling teriak maling. Tidak heran, Indonesia semakin kehilangan kepercayaan dari mata dunia internasional. Sampai sekarang kebiasaan maling dan rakus masih dipertontonkan di hadapan publik bangsa dan dunia.

Betapa merosotnya moral bangsa ketika kesibukan para pejabat publik memikirkan diri, kelompok atau golongan terbatas dan pengejaran cita-cita sektarian. Mereka melalaikan cita-cita hakiki bangsa ini ketika didirikan yaitu mengejar kemaslahatan segenap rakyat Indonesia. Akibatnya, banyak rakyat kecil semakin menderita dan miskin sementara para pejabat busuk menikmati uang negara secara haram.

Egoisme dan sektarianisme para maling juga tidak mempedulikan keselamatan lingkungan. Para maling dan tokoh busuk merusak lingkungan secara sewenang-wenang dengan melakukan perusakan hutan. Baru-baru ini kita digemparkan dengan kasus illegal logging terbesar yang terjadi di Papua dan Kalimantan. Kasus tersebut sudah berlangsung selama puluhan tahun dan merugikan negara sampai triliunan rupiah. Nyatanya pencurian kayu tersebut sudah membiasa bagi para cukong jahat dan pejabat publik bermoral busuk di rebublik ini.
Di saat gerakan pemberantasan korupsi sedang berjalan, pada saat yang sama pula sejumlah pejabat publik melakukan korupsi dengan membagi-bagikan uang negara. Ingat kasus KPU yang sedang marak sekarang ini. Ini sungguh menunjukkan betapa merosotnya keadaban sejumlah pejabat publik.

Yang lebih menakutkan lagi, sekelompok anak-anak bangsa ini memiliki niat menghilangkan nyawa orang-orang tidak bersalah. Niat jahat tersebut diwujudkan dengan melakukan peledakan bom dan provokasi di tengah masyarakat. Lagi, kecurigaan yang tergesa-gesa terhadap sesama dan kegampangan tersinggung alias marah ikut mempertebal niat untuk mengorbankan nyawa sesamanya.

Kebiasaan busuk dan tidak beradab tersebut belum bisa di tangani pemerintah , apalagi oleh teriakan sekelompok pejuang keadilan dan kepentingan segenap rakyat. Segelintir orang saja yang berani mencoba menentang arus budaya maling dan biadab yang sudah kasat mata.

Keberanian itu amat mahal harganya. Almarhum Baharuddin Lopa harus wafat ketika ia berencana memanggil koruptor ke pengadilan. Ia kehilangan nyawanya karena kehendaknya menegakkan keadilan.

Jaksa Agung saat ini, Abdurahhman Saleh merupakan harapan publik untuk mengadili para koruptor secara transparan. Selain karena latar belakangnya yang bersih dan jujur, ia juga merupakan tokoh yang berani menentang pembebasan Akbar Tanjung sebagai tersangka koruptor. Namun sayang, ia cepat naik pitam dan marah ketika seorang anggota DPR, Anhar menyebutnya “bagai ustadz di kampung maling”. Mestinya, kritikan tersebut memacu dirinya mengadili para koruptor dan maling harta negara.

Sekarang semakin jelas di hadapan kita, bahwa tidak sedikit pejabat dan pengelola badan publik di negeri ini mempertontonkan kebiasaan busuk dan tidak beradab yaitu KKN, tindakan amoral dan “asusila”. Masalah serius yang sedang mengancam nasib bangsa menjadi penyebab rusaknya keadaban publik. Seyogiyanya, masalah tersebut menjadi keprihatinan generasi bangsa ini.

Salah satu usaha terbaik, menurut Aa Gym adalah semua orang yang berkehendak baik berpartisipasi memperbaiki keadaban publik bangsa dengan berani memulai kebiasaan beradab, bermartabat dan terhormat dari diri individu dan dari hal kecil.

Sejak Orde Baru hingga “Orde Reformasi” generasi muda bangsa ini kesulitan mencari tokoh-tokoh yang dapat dijadikan model atau teladan bagi mereka. Tak heran kebanyakan generasi muda kerap kali menjadikan para tokoh bangsa jaman pra-Orde Baru saja menjadi model. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan Mohammad Roem.

Jika kita cermati riwayat hidup, pergulatan dan perjuangannya, keluar-masuk penjara, dibuang dan diasingkan, maka kita akan sadar betapa susahnya menggapai keberhasilan secara beradab, bermartabat dan terhormat. Keunggulan individu dari tokoh-tokoh tersebut persepsi dan praksis mereka memilih hidup berjuang serba susah namun terhormat dan bermartabat demi suatu keberhasilan dan kehidupan bangsa Indonesia.

Ada baiknya juga, jika segenap kaum muda bangsa ini, terutama di saat merenungkan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei tahun ini, mau belajar dari para tokoh bangsa di negeri ini.

Tak salah juga jika belajar dari tokoh dunia seperti Benjamin Franklin, mantan presiden Amerika Serikat. Ia membangun keadaban individu dari dirinya sendiri. Mari wahai generasi muda bangsaku, bangkit dan bergeraklah dari tidurmu untuk membangun keadaban bangsa secara bermartabat dan terhormat seperti yang diteladankan para tokoh bangsa dan dunia.

Benjamin Franklin mempelajari dan mempraktekkan budaya jujur, adil, ugahari, diam (tidak gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang, teguh hati, hemat, rajin, moderat, bersih (sehat), hidup murni dan rendah hari. Ketigabelas budaya beradab tersebut dipraktekkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri menjadi insan beradab, bermartabat dan terhormat. Ia tidak terkecoh dengan budaya curang rekan-rekannya.

Setiap satu dari keadaban ini dipraktekkannya dalam satu minggu. Lalu pada setiap akhir minggu, perjuangan tersebut dievaluasinya. Bila gagal dalam minggu ini, ia melanjutkannya di Minggu berikutnya. Demikian seterusnya hingga ia berhasil menjadi insan beradab.

Keadaban jujur dijalankannya untuk menjauhi tipu muslihat yang menyakitkan hati, untuk berpikir bersih dan adil serta belajar berbicara tentang apa yang benar alias tidak berbohong. Antara kata-kata dengan tindakan serasi.

Sedangkan keadaban adil dipelajarinya agar ia tidak gampang menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang merugikan orang lain atau melalaikan hal-hal yang menjadi kewajibannya.

Begitu pula keadaban ugahari didalaminya dengan belajar makan dan hidup yang cukup. Ia tidak makan dan minum terlalu banyak sehingga kelak ia tahu diri dan tidak memikirkan perutnya sendiri atau kelompoknya.

Demikian seterusnya untuk keadaban-keadaban bermartabat lainnya, digulatinya untuk membentuk diri menjadi insan beradab. Tak heran ia dipilih rakyat menjadi presiden, dan menjadi teladan bagi generasi muda bangsanya.

Generasi muda bangsa menjadi tonggak harapan perubahan keadaban bangsa yang rusak dan merosot. Kaum muda seyogiyanya berani memulai dari dirinya sendiri. Memulai dari diri sendiri memang bukan pekerjaan yang mudah. Usaha ini butuh motivasi dan kerendahan hati yaitu berangkat dari keprihatinan mendalam akan keadaban sejumlah pejabat pengelola publik di negeri ini. Upaya tersebut juga butuh kesediaan dan kerelaan secara bebas dan sadar akan susah-payah dan jatuh-bangun seperti yang ditunjukkan pengalaman Benjamin Franklin, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan Tokoh lainnya.

Tidak ada kata mundur bagi para insan beradab. Bagi mereka, usaha dan kerja keraslah yang membuat mereka menang secara terhormat. Mereka tidak picik. Mereka menghimbau ketabahannya. Memang mudah sekali untuk berhenti, namun untuk tetap tabah, itulah yang sulit. Meskipun mereka keluar dari pergulatan meletihkan dengan babak belur, patah dan takut, namun mereka tetap meneruskan perjuangannya.

Baru-baru ini, forum diskusi “Menembus Batas Nalar” yang diselenggarakan oleh Group Kompas dan Yayasan Mahardhika, mengemukakan bahwa bangsa ini perlu melakukan rekonstruksi peradaban (Kompas, 24/02/05). Rekonstruksi tersebut dibutuhkan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah dalam kondisi kritis yang amat gawat.

Menurut hemat penulis, membangun keadaban individu dari diri sendiri atau dari keluarga sendiri menjadi salah satu kunci untuk menciptakan kedaban publik yang memperhatikan keseimbangan moral dan nalar bangsa. Akhirnya tiada lagi pepatah-petitih “bagai ustadz di kampung maling” atau bila dibalik “bagai maling di kampung ustadz”. Semoga.

Pormadi Simbolon, SS, Alumnus STFT Widya Sasana Malang,

MEMBANGUN KEADABAN INDIVIDU

MEMBANGUN KEADABAN INDIVIDU

Oleh Pormadi Simbolon

Bangsa kita dikenal sebagai bangsa berbudaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), bermoral merosot, lingkungannya rusak dan nyawa warganya gampang melayang. Sementara teriakan sekelompok kecil penentang budaya busuk dan tidak beradab tersebut tak ampuh menghentikan arus besar “gerakan” koruptor, maling dan tokoh-tokoh busuk yang ada di republik ini. Barangkali, salah satu usaha mengurangi budaya busuk dan tidak beradab tersebut adalah anak-anak bangsa ini harus berani membangun keadaban individu dari diri sendiri untuk membangun keadaban publik.

Banyak orang membahas dan meneriakkan pemberantasan KKN, namun budaya busuk dan tidak beradab tersebut tetap merajalela mulai dari birokrasi tingkat paling tinggi hingga tingkat RT/RW. Tidak heran, Indonesia semakin terkenal karena mendapat gelar salah satu negara terkorup dari tiga negara terkorup di dunia. Inilah budaya maling atau budaya tikus yang dipertontonkan anak-anak negeri di mata internasional yaitu budaya tidak beradab.

Betapa merosotnya moral bangsa ketika kesibukan anak-anak bangsa lebih memikirkan diri, kelompok atau golongan terbatas dan pengejaran cita-cita sektarian. Mereka melalaikan cita-cita hakiki bangsa ini ketika didirikan yaitu mengejar kemaslahatan rakyat banyak. Akibatnya, banyak rakyat kecil semakin miskin dan menderita.

Egoisme dan sektarianisme para maling juga tidak mempedulikan keselamatan lingkungan. Para maling dan tokoh busuk merusak lingkungan secara sewenang-wenang dengan melakukan illegal lodging. Baru-baru ini kita digemparkan dengan kasus illegal logging terbesar yang terjadi di Papua dan Kalimantan. Kasus tersebut sudah berlangsaung selama puluhan tahun dan merugikan negara sebesar triliunan rupiah. Nyatanya pencurian kayu tersebut sudah membudaya dan mebiasa bagi para cukong busuk di republik ini.

Yang lebih parah lagi, anak-anak bangsa ini memiliki budaya gampang menghilangkan nyawa sesamanya. Budaya ini jelas dari peledakan bom terencana, kecurigaan yang tergesa-gesa terhadap sesama dan kegampangan tersinggung alias marah. Nilai nyawa manusia menjadi semakin rendah dibandingkan nilai kepentingan diri atau kelompok.

Budaya busuk tersebut belum bisa dikurangi oleh sekelompok kecil pejuang keadilan dan kepentingan rakyak banyak. Segelintir orang saja yang berani mencoba memberantas budaya maling dan budaya tikus yang sudah kasat mata. Almarhum, Suprapto, mantan Jaksa Agung, merupakan salah satu tokoh yang berani mengatakan “tidak” secara lantang dan tegas kepada Presiden Soekarno.

Keberanian itu amat mahal harganya. Almarhum Baharuddin Lopa harus wafat ketika ia dengan berani memanggil tersangka koruptor. Ia kehilangan nyawanya karena kehendaknya untuk menghentikan budaya maling di negeri ini.

Jaksa Agung saat ini, Abdurahman Saleh merupakan harapan publik untuk menjadi “tonggak” perubahan budaya maling di republik tercinta ini. Selain karena latarbelakangnya bersih dan orangnya jujur, ia juga merupakan tokoh yang berani menentang pembebasan Akbar Tanjung sebagai tersangka koruptor. Namun sayang, ia cepat naik pitam dan marah ketika seorang anggota DPR Anhar menyebutnya “bagai ustadz di kampung maling”. Mestinya, kritikan ini ditanggapi sebagai cambuk untuk melawan dan mengadili para maling harta negara.

Sekarang semakin jelas di hadapan kita, bahwa bangsa ini sedang menghadapi masalah serius yaitu budaya KKN dan kemerosotan moral. Masalah serius yang sedang menggerogoti bangsa menjadi penyebab rusaknya keadaban publik. Salah satu usaha terbaik, menurut hemat penulis, adalah semua orang yang berkehendak baik memajukan kedaban publik bangsa harus berani memulai budaya beradab individu dari diri sendiri.

Dalam sejarahnya, bangsa ini mempunyai sejumlah tokoh yang memiliki keadaban individu yang pantas dijadikan model. Sebut saja Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan Mohammad Roem. Jika kita baca riwayat hidup, pergulatan dan perjuangannya, keluar-masuk penjara, dibuang dan diasingkan, maka kita akan sadar betapa susahnya menggapai keberhasilan secara beradab. Keunggulan individu dari tokoh-tokoh tersebut adalah persepsi dan praksis mereka yang memilih hidup serba susah sebagai pembebas bangsa ini dari penindasan penjajah.

Ada baiknya juga, jika setiap individu anak bangsa ini mau belajar dari Benjamin Franklin, mantan presiden Amerika Serikat (AS). Ia membangun “peradaban” individu dari dirinya sendiri.

Ia mempelajari dan mempraktekkan keadaban jujur, adil, ugahari, diam (tidak gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang,teguh hati, hemat, rajin, moderat, bersih (sehat), hidup murni dan rendah hati. Ketigabelas budaya beradab tersebut dipelajari dan dipraktekkannya lewat pengalaman jatuh-bangun untuk membangun dirinya menjadi insan beradab. Ia tidak terkecoh dengan budaya curang para rivalnya.

Setiap satu keadaban ini dipraktekkanya dalam satu minggu. Lalu pada setiap akhir minggu, pelajaran tersebut dievaluasinya. Bila gagal, ia mempraktekkannya lagi di minggu berikutnya. Demikian seterusnya hingga ia berhasil menjadi insan beradab.

Keadaban jujur dipraktekkannya untuk menjauhi tipu muslihat yang menyakitkan hari, untuk berpikir bersih dan adil serta belajar berbicara tentang apa yang benar alias tidak berbohong.
Sedangkan keadaban adil dipelajarinya agar ia tidak gampang menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang tidak adil atau melalaikan hal-hal yang menjadi kewajibannya.
Begitu pula keadaban ugahari dipelajarinya untuk belajar makan dan hidup yang cukup. Ia tidak makan dan minum terlalu banyak sehingga kelak ia tahu diri dan tidak memikirkan perutnya sendiri atau kelompoknya.

Demikian pula keadaban-keadaban lainnya, dipelajarinya untuk membentuk dirinya menjadi insan beradab. Tak heran ia dipilih rakyat menjadi presiden, selain menjadi tokoh yang diteladani warganya.

Membangun keadaban publik dengan memulainya dari diri sendiri bukanlah pekerjaan mudah, apalagi bila hal itu dilakukan di tengah maraknya budaya maling dan tikus. Upaya membangun keadaban individu membutuhkan kesediaan dan kesadaran akan susah-payah dan pengalaman jatuh bangun seperti yang ditunjukkan Benjamin Franklin, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim dan tokoh lainnya.

Tidak ada kata mundur bagi para insan beradab. Bagi mereka, usaha dan kerja keraslah yang membuat menang. Mereka tidak picik. Mereka mengimbau ketabahannya. Memang mudah sekali untuk berhenti, namun untuk tetap tabah, itulah yang sulit. Meskipun mereka keluar dari pergulatan meletihkan dengan babak belur, patah dan takut, namun mereka tetap meneruskan perjuangannya.

Baru-baru ini, forum diskusi “Menembus Batas Nalar” yang diselenggarakan oleh Group Kompas dan Yayasan Mahardhika mengemukakan bahwa bangsa ini perlu melakukan rekonstruksi peradaban (Kompas, 24/02/05). Rekonstruksi tersebut dibutuhkan mengingat moral dan nalar bangsa ini sudah dalam kondisi kritis yang amat gawat.

Menurut penulis, membangun keadaban individu dari diri sendiri atau dari keluarga sendiri menjadi salah satu kunci untuk menciptakan keadaban publik yang memperhatikan keseimbangan moral dan nalar bangsa. Akhirnya, tidak akan ada lagi pepatah-petitih “bagai ustadz di kampung maling” atau bila dibalik “bagai maling di kampung ustadz (agamawan”. Semoga.

Pormadi Simbolon,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang,

Conscientization Integritas Diri

Conscientization Integritas Diri

Oleh Pormadi Simbolon

Di tengah kehidupan kita sehari-hari, kita mungkin cukup fanatik untuk mengaku sebagai diri yang memiliki integritas, keutuhan dan kredibilitas. Mudah-mudahan pribadi kita benar-benar utuh atau integral. Namun disadari atau tidak, integritas diri kita diuji justru di tengah lingkungan kerja, kantor, pemerintahan dan masyarakat luas. Di sanalah aneka godaan untuk melakukan perbuatan menyimpang dan merugikan kepentingan umum, demi. kepentingan pribadi atau kelompok bisa terjadi.

Perbuatan menyimpang dan merugikan kepentingan umum adalah tindakan yang meniadakan hak-hak orang lain, seperti korupsi, penipuan, persekongkolan jahat dan persaingan tidak sehat. Akibat dari perbuatan tersebut, tugas kita sebagai pelayan menyimpang dari kesejatiannya, dan memperkosa hak-hak orang lain.

Kejatuhan kita kepada tindakan menyimpang dan merugikan orang lain disebabkan oleh keterpecahan kepribadian kita. Kepribadian kita mengalami disfungsi secara utuh.

Keterpecahan kepribadian adalah ketidakseimbangan keberadaan kualitas pribadi utuh dalam pusat diri kita yaitu cinta, (Love), ketegasan (Assertion), kelemahan (Weakness) dan kekuatan (Strength).

Keempat kualitas pribadi utuh tersebut, yang kemudian disingkat menjadi LAWS, merupakan unsur-unsur yang menjadikan diri kita berfungsi secara integral.

Hilangnya salah satu unsur atau ketidakseimbangan unsur-unsur LAWS tersebut membuat kita bertindak menurut ketidakteraturan nafsu atau insting. Kendali rasio menjadi lemah.

Tidak heran tindakan korupsi terjadi karena dorongan nafsu atau insting akan uang dan kepentingan pribadi, yang sebenarnya di dalam hati terdalamnya (deepest heart) tidak menyetujuinya. Akibatnya hak asasi orang lain menjadi korbannya.

Begitu pula, orang mungkin tidak memiliki ketegasan pada nilai atau prinsip sebagai insan beriman, bisa terjebak pada trend ikut-ikutan korupsi dan bersekongkol untuk menjatuhkan orang lain. Orang demikian menjadi plin plan dan terombang-ambing oleh pengaruh orang lain.

Kita semua pasti memiliki kelemahan. Persoalannya, tidak semua orang mampu menyadarinya. Malahan kelemahan pribadi seperti sulit menerima kekalahan dan gampang tersinggung acapkali ditutupi dengan pola pembelaan diri atau pola konfrontasi baik secara kasat mata maupun tidak.

Lalu, selain memiliki kelemahan, kita semua pasti memiliki kekuatan, keunggulan atau kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Kekuatan tersebut merupakan “modal” yang patut dibanggakan dan disumbangkan bagi orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Pada titik pemahaman ini, apakah kita benar-benar sudah memiliki integritas diri. Apakah kita sudah secara hakiki menjadi pribadi yang utuh?

Makna integritas diri perlu kita tegaskan lagi. Pribadi yang utuh niscaya mampu mencintai orang lain dengan cinta agape (universal), karena orang lain adalah sesama makhluk Tuhan. Ia pasti tegas pada nilai atau prinsip sebagai insan beriman. Juga, ia berani mengakui kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya.

Jika dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mencintai sesama manusia namun tidak tegas menolak ajakan ber-KKN, berarti diri kita tidak berfungsi secara utuh. Demikian pula sebaliknya, kita tegas terhadap nilai, namun kehilangan cinta, semuanya akan sia-sia.

Jika kita bisa mengakui keunggulan kita dan orang lain, tetapi tidak berani mengakui kelemahan kita, akan terjadi ketimpangan dan “cacat” pribadi yaitu tidak seimbang.

Maka yang terpenting adalah mencoba menyadari apakah diri kita sudah berjalan secara utuh. Kita seyogiyanya mengkondisikan hati untuk melakukan penyadaran diri akan unsur-unsur LAWS dalam diri kita.

Seperti diinspirasikan gagasan Dr. Dan Montgomery, secara universal kepribadian yang utuh terdiri dari kutub-kutub cinta, ketegasan, kelemahan dan kekuatan yang seyogiyanya dialami, diungkapkan dan dijalani dalam kehidupan bersama.” ...people should experience and express the universal polarities of personality known as love, assertion, weakness and strength” (Dan Montgomery, 1997).

Sekali lagi, hakikat pribadi yang utuh mempunyai makna yaitu penyadaran (conscientization) akan keberadaan cinta, ketegasan, kelemahan dan kekuatan yang niscaya diungkapkan, dialami dan dijalani dalam kehidupan bersama.

Penyadaran akan unsur-unsur LAWS dalam diri kita berarti: pertama, kita dengan suasana hati yang tenang menyadari cinta sebagai pusat diri kita, sebagai perekat dalam berrelasi dengan orang lain. Cinta memampukan kita untuk tertarik, bersimpati dan berbela rasa pada orang lain. Dengan cinta kita tidak akan tega ber-KKN ria.

Kedua, kesadaran akan ketegasan bermaknakan tegas terhadap nilai yang kita pegang sebagai orang beriman. Ketegasan tersebut mendorong kita untuk setia pada kebenaran yang kita yakini sebagai insan beriman. Ketegasan berarti mengatakan tidak terhadap kezaliman, kekerasan dan ketidakadilan yang diperlakukan pada dirinya dan orang lain yang ada di sekitarnya.

Ketiga, dan keempat yaitu kesadaran akan kelemahan dan kekuatan mendorong kita untuk berani mengakui kelemahan dan kekuatan kita. Kelemahan kita perbaiki dan kekuatan menjadi sumbangan indah bagi sesama yang lain.

Dengan penyadaran integritas diri tersebut, kita akan berani mengakui diri sebagai pribadi utuh. Kita memiliki integritas diri dan kredibilitas bila unsur-unsur LAWS dalam diri kita sudah beroperasi secara seimbang di tengah kehidupan kita, di lingkungan kerja, kantor, pemerintahan dan masyarakat luas.

Mudah-mudahan, dengan penyadaran kualitas integritas diri dan kredibilitas yang kita miliki, segala perbuatan yang menyimpang dan merugikan kepentingan masyarakat luas akan berkurang. Juga dengan penyadaran tersebut lahirlah orang-orang yang memiliki integritas diri dan kredibilitas secara sejati.

Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Malang,

MELATIH DIRI MEMAHAMI YANG LAIN

MELATIH DIRI MEMAHAMI YANG LAIN

Oleh Pormadi Simbolon

Di negeri ini masih sering terjadi pergesekan dan konflik antar umat beragama, konflik antar elite politik ataupun konflik pribadi yang disebabkan kurangnya pemahaman akan keberbedaan yang dimiliki yang lain.

Setiap individu seyogianya perlu melatih diri untuk memahami keberbedaan yang ada pada yang lain, seperti perbedaan agama, suku, golongan ataupun pada perbedaan pendapat dan penerimaan soal kalah dan menang, misalnya dalam pemilu. Sebab ketiadaan pelatihan diri (self training) untuk memahami keberbedaan tersebut akan menimbulkan kecurigaan dan bahkan konflik.

Sepanjang jaman cukup sering terjadi pertikaian dan permusuhan antar umat Kristiani dengan umat Muslimin. Seringkali pula usaha dialog dan kerja sama baik di tingkat tokoh-tokohnya maupun pada tingkat grass root diupayakan, namun konflik tetap masih rentan terjadi. Bahkan sering kali sindiran dan singgungan yang “menjelekkan” agama lain masih terdengar dalam kothbah atau renungan entah di kalangan Kristen maupun di kalangan Muslim.

Padahal betapa besar kerugian yang diakibatkan pertikaian atau konflik tersebut baik secara material, psikologis maupun secara sosial. Pengrusakan gedung ibadah, timbulnya image negatif terhadap agama tertentu dan adanya sekat-sekat pembatas dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan masyarakat.

Tidak hanya itu, baru-baru ini, akibat perbedaan hasil jumlah pemilih presiden terpilih dengan yang tidak terpilih tampak jelas masih menimbulkan keengganan pada pihak yang kalah untuk mengakuinya. Konflik kecil masih terjadi pada tataran internal partai pengusung calon presiden yang tidak terpilih. Bahkan sikap saling tuding menuding terjadi, tampak pada munculnya cap “pembusukan partai” terhadap beberapa tokoh dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Keengganan menerima kekalahan dalam Pemilihan Calon Presiden 2004 lalu masih merupakan hal yang sulit dipahami, meskipun tidak boleh tidak, akhirnya semua harus menerima kemenangan presiden terpilih. Sebab kemenangan tersebut diperoleh secara fair dan demokratis.

Tidak jarang pula, perbedaan pendapat dalam suatu forum diskusi berakibat pada renggangnya persahabatan , adanya permusuhan dan bahkan bisa mangakibatkan terputusnya komunikasi dalam waktu yang lama. Keberbedaan pendapat rupanya masih menjadi suatu momok yang ditakuti. Takut tidak rukun, takut tidak harmonis, dan takut tidak ada rasa aman dalam kehidupan bersama.

Barangkali, ketakutan tidak harmonis atau berbeda pendapat merupakan tradisi orang Timur, seperti diyakini kebanyakan orang, meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan. Orang masih butuh proses yang lama untuk bisa menerima dan memasuki suatu situasi berbeda pendapat.

Pada tataran kehidupan sehari-hari, karena perbedaan suku, konflik-konflik atau gesekan-gesekan berbau rasial sering terjadi dalam skala kecil. Perbedaan suku tidak jarang pula berakibat pada pembatasan atau penjagaan jarak antara yang satu dengan yang lainnya dalam pergaulan sehari-hari.

Hal ini tampak dari adanya cap-cap negatif terhadap suku tertentu di tengah masyarakat. Padahal cap negatif tidak bisa digeneralisasi atau dikenakan pada semua orang yang berasal dari suku tertentu.

Disinyalir, cap-cap negatif muncul hanya karena ada satu atau beberapa orang yang melakukan tindakan negatif (baca: premanisme, copet, jambret atau rampok) atau karena kebanyakan suku tertentu memiliki profesi tertentu seperti sopir, tukang tambal ban (gelar “ITB” = Institut Tambal Ban), Pembantu Rumah Tangga, TKI di luar negeri atau pun juga tukang becak.

Perbedaan tersebut seyogianya tidak menjadi alat untuk menjelekkan, memusuhi atau menjauhkan yang lain dari kita melainkan menjadi alat untuk mendapat pencerahan yang mendalam untuk memahami realitas sejati. Setiap individu perlu melatih diri memahami, menerima dan supaya bersama-sama membela dan mengejar kebaikan bersama dalam kehidupan bersama pula.

Pertikaian atau konflik yang terjadi selama ini hanyalah karena ketiadaan keinginan atau kemauan untuk melatih diri memahami yang lain, yang berbeda dengan kelompok atau dirinya. Akibatnya perbedaan tetap menjadi perbedaan.

Bulan Ramadhan ini merupakan kesempatan yang baik bagi umat Muslimin maupun umat Kristiani. Umat Kristiani coba melatih diri untuk memahami umat Muslimin yang sedang berpuasa. Umat Kristiani menghormati dengan tidak merokok di tempat umum atau tidak melakukan hal-hal yang mengganggu) mereka yang sedang berbakti kepada Allah lewat bakti berpuasa, doa dan memberi sedekah. Demikian pula sebaliknya bila umat Kristen merayakan Natal, sehingga tercapai keharmonisan dan kerukunan.

Kemenangan Presiden terpilih adalah kenyataan yang harus diterima. Pihak yang kalah pada pemilu secara ksatria semestinya mengakuinya. Tanpa merasa harga dirinya turun atau dijauhi oleh orang lain. Pihak yang kalah harus legawa.

Sikap rasialis adalah sikap yang tidak mau memahami suku lain. Negeri kita ini terdiri ribuan suku yang berbeda-beda. Bukan tidak mungkin sikap rasialis menyeruak ke permukaan.

Pernyataan bahwa semua orang tanpa diskriminasi berhak hidup di bumi ini adalah kesepakatan bangsa-bangsa yang bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Itu berarti semua orang harus melatih diri memahami orang yang berbeda suku.

Melatih diri bukanlah hal luar biasa. Pelatihan hanyalah merupakan pembiasaan diri. Bisa karena biasa. Pelatihan tersebut butuh komitmen demi keharmonisan hidup bersama.

Pelatihan untuk memahami keberbedaan yang absolut ini akan berhasil jika orang tua menciptakan iklim perbedaan dalam kehidupan sehari-hari dan mengajarkan perlunya memahami adanya perbedaan pada anak-anak dalam keluarga. Mulai dari perbedaan kehendak antar anggota keluarga, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hingga pada lingkup besar yaitu lingkungan masyarakat. Sebab pembiasaan pada masa kanak-kanak akan membuahkan sikap pemahaman akan adanya perbedaan pada masa remaja, dewasa yaitu masa terlibat dalam kehidupan masyarakat.

Bila perbedaan masih merupakan “sesuatu yang ditakuti”, maka konflik agama, permusuhan elit politik, gesekan-gesekan rasialis, pertikaian pribadi menjadi taruhannya. Upaya yang mendalam dan yang harus berangkat dari kesadaran diri sendiri adalah upaya melatih diri memahami yang lain.


Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni STFT Widya Sasana, Malang

"BERSAMA KITA BISA?"

“BERSAMA, KITA BISA?"

SBY pernah mengutarakan, sekarang ini sudah tiba saatnya untuk merajut lagi kebersamaan. Tendensi untuk saling menjatuhkan satu sama lain tidak diperlukan lagi. Hanya dengan kebersamaan, pembangunan bangsa dapat berjalan.

Kebersamaan kembali muncul kepermukaan sebagai sebuah harapan akan tercapainya cita-cita bersama. Kebersamaan itu indah dan bermakna inklusif.

Kebersamaan sebagai satu keluarga menjadi dasar filosofis terdalam dari pendirian Indonesia merdeka. The Founding Fathers (Soekarno, Soepomo, dan Yamin) menyatakan bahwa karakter natural Indonesia adalah kebersamaan sebagai satu keluarga, di samping karakter yang masih berkaitan satu sama lain: gotong-royong, kebangsaan, kerakyatan, religiusitas dan seterusnya.

Karakter natural tersebut akhirnya disepakati sebagai prinsip pendirian Republik Indonesia. Kebersamaan sebagai sebuah keluarga atau kekeluargaan sebagaimana kita lihat dalam hidup keluarga sehari-hari, dimana masing-masing anggota keluarga biasanya saling membagi kegembiraan bersama dan gotong-royong dalam hidup. Meskipun fungsi dan tugas pemimpin dalam keluarga sebagai seorang “Bapak” tidak persis sama dengan pemimpin dalam negara. Sebab dalam keluarga sering kali diandaikan aturan dan tugas masing-masing anggota keluarga sudah diketahui, tetapi dalam negara tidaklah demikin.

Prinsip kebersamaan sebagai karakter sejati bagsa Indonesia semakin lama terasa semakin pudar. Selama Soeharto memerintah, kebersamaan itu tampak di permukaan saja atau di pidato-pidato presiden di layar kaca, namun sebenarnya rakyat diperlakukan nyaris seperti hamba, bukan sebagai “saudara” dalam kebersamaan sejati.

Pasca lengsernya Soeharto, karakter kebersamaan tersebut semakin hilang ditelan krisis politik berkepanjangan. Akibatnya berbagai konflik seperti konflik etnis dan religius yang serius dialami bangsa Indonesia. Keadaan realistis Indonesia nyaris kembali pada situasi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) dalam istilah Hobbes. Hingga pada pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) krisis politik itu masih berlanjut. Situasi bangsa Indonesia mulai relatif stabil pada kurang lebih dua dan tiga tahun terakhir, yaitu pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

PRINSIP kebersamaan berhembus kembali melalui suara Calon Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono yang hampir pasti sebagai Presiden Indonesia untuk lima tahun yang akan datang. Sebuah angin penyejuk bukan angin ketakutan bagi semua komponen bangsa, terlebih bagi golongan minoritas atau mereka yang menjadi korban konflik etnis dan religius selama lima sampai tujuh tahun yang lalu.

Pudarnya prinsip kebersamaan itu karena realitas kehidupan polis di Indonesia terjebak pada skema atau citra pengkotak-kotakan bangsa. Pengkotak-kotakan tersebut tampak di saat munculnya isu-isu jawa-luar jawa, pribumi-nonpribumi, mayoritas-minoritas, dan seterunya.

Sudah saatnya pengkotak-kotakan tersebut dilenyapkan dan dihapuskan dari khazanah pikiran kita. Yang ada sekarang adalah kebersamaan sebagai sebuah keluarga, ialah kekeluargaan dalam negara dan bangsa Indonesia.

Menghilangkan pengkotak-kotakan, bukan berarti menghilangkan keberbedaan dalam kehidupan sebagai bangsa. Penghilangan tersebut bukan berarti pula peredusiran pada sistematisasi keseragaman dalam kehidupan berbangsa (dalam konsep modernisme), tetapi pada konsep keanekaragaman (dalam konsep postmodernisme).

Pluralisme atau multikultural (kemajemukan) bangsa tetap eksis di dalam kebersamaan untuk menggapai the good life bangsa Indonesia. Harapan untuk merajut kembali kebersamaan tersebut semakin urgen untuk diprakarsai oleh Pemimpin Nasional yang akan datang.

Kebersamaan itu memang sudah mulai terwujud ketika kita berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung. Pada titik ini, kita mengawali prinsip kebersamaan yang sukses. Kita mendapat pujian dari dunia internasional. Harapan kita, kebersamaan ini akan berlangsung dalam pemerintahan eksekutif, terutama kebersamaan dengan lembaga legislatif dan judikatif untuk menggapai Indonesia Baru yang demokratis. Hasil akhir dari kebersamaan tersebut akan kasat mata ketika hidup rakyat menjadi lebih baik, kesejahteraan umum dirasakan bersama dan di mata Internasional, Indonesia semakin dihargai dan disegani.

Dalam merajut kembali kebersamaan dalam membangun Indonesia, Pemimpin Nasional sebaiknya tidak jatuh pada konsep ‘asal aman, asal sejahtera, asal damai’ padahal realitas sejatinya tidaklah demikian. Pemerintah yang akan datang mestinya menanamkan pada khazanah pikirannya bahwa mereka duduk di pemerintahan karena konvensi rakyat (convention of the people). Artinya, rakyat bersepakat memilih mereka sebagai pemimpin nasional dan sebagai wakil rakyat, karena mampu membawa dan mewujudkan kebaikan atau kesejahteraan bersama (bonum commune).

Pada titik inilah, pemimpin nasional penting mengedepankan nilai-nilai universal kemanusiaan, tanpa mengesampingkan apa yang merupakan karakter khas/ partikular/ lokal dari tata hidup bersama. Semoga motto: “Bersama Kita Bisa” akan terwujud.



Oleh: Pormadi Simbolon
Alumnus STFT Widya Sasana Malang
Tinggal di Jakarta
Powered By Blogger