MELATIH DIRI MEMAHAMI YANG LAIN
Oleh Pormadi Simbolon
Di negeri ini masih sering terjadi pergesekan dan konflik antar umat beragama, konflik antar elite politik ataupun konflik pribadi yang disebabkan kurangnya pemahaman akan keberbedaan yang dimiliki yang lain.
Setiap individu seyogianya perlu melatih diri untuk memahami keberbedaan yang ada pada yang lain, seperti perbedaan agama, suku, golongan ataupun pada perbedaan pendapat dan penerimaan soal kalah dan menang, misalnya dalam pemilu. Sebab ketiadaan pelatihan diri (self training) untuk memahami keberbedaan tersebut akan menimbulkan kecurigaan dan bahkan konflik.
Sepanjang jaman cukup sering terjadi pertikaian dan permusuhan antar umat Kristiani dengan umat Muslimin. Seringkali pula usaha dialog dan kerja sama baik di tingkat tokoh-tokohnya maupun pada tingkat grass root diupayakan, namun konflik tetap masih rentan terjadi. Bahkan sering kali sindiran dan singgungan yang “menjelekkan” agama lain masih terdengar dalam kothbah atau renungan entah di kalangan Kristen maupun di kalangan Muslim.
Padahal betapa besar kerugian yang diakibatkan pertikaian atau konflik tersebut baik secara material, psikologis maupun secara sosial. Pengrusakan gedung ibadah, timbulnya image negatif terhadap agama tertentu dan adanya sekat-sekat pembatas dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan masyarakat.
Tidak hanya itu, baru-baru ini, akibat perbedaan hasil jumlah pemilih presiden terpilih dengan yang tidak terpilih tampak jelas masih menimbulkan keengganan pada pihak yang kalah untuk mengakuinya. Konflik kecil masih terjadi pada tataran internal partai pengusung calon presiden yang tidak terpilih. Bahkan sikap saling tuding menuding terjadi, tampak pada munculnya cap “pembusukan partai” terhadap beberapa tokoh dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Keengganan menerima kekalahan dalam Pemilihan Calon Presiden 2004 lalu masih merupakan hal yang sulit dipahami, meskipun tidak boleh tidak, akhirnya semua harus menerima kemenangan presiden terpilih. Sebab kemenangan tersebut diperoleh secara fair dan demokratis.
Tidak jarang pula, perbedaan pendapat dalam suatu forum diskusi berakibat pada renggangnya persahabatan , adanya permusuhan dan bahkan bisa mangakibatkan terputusnya komunikasi dalam waktu yang lama. Keberbedaan pendapat rupanya masih menjadi suatu momok yang ditakuti. Takut tidak rukun, takut tidak harmonis, dan takut tidak ada rasa aman dalam kehidupan bersama.
Barangkali, ketakutan tidak harmonis atau berbeda pendapat merupakan tradisi orang Timur, seperti diyakini kebanyakan orang, meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan. Orang masih butuh proses yang lama untuk bisa menerima dan memasuki suatu situasi berbeda pendapat.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, karena perbedaan suku, konflik-konflik atau gesekan-gesekan berbau rasial sering terjadi dalam skala kecil. Perbedaan suku tidak jarang pula berakibat pada pembatasan atau penjagaan jarak antara yang satu dengan yang lainnya dalam pergaulan sehari-hari.
Hal ini tampak dari adanya cap-cap negatif terhadap suku tertentu di tengah masyarakat. Padahal cap negatif tidak bisa digeneralisasi atau dikenakan pada semua orang yang berasal dari suku tertentu.
Disinyalir, cap-cap negatif muncul hanya karena ada satu atau beberapa orang yang melakukan tindakan negatif (baca: premanisme, copet, jambret atau rampok) atau karena kebanyakan suku tertentu memiliki profesi tertentu seperti sopir, tukang tambal ban (gelar “ITB” = Institut Tambal Ban), Pembantu Rumah Tangga, TKI di luar negeri atau pun juga tukang becak.
Perbedaan tersebut seyogianya tidak menjadi alat untuk menjelekkan, memusuhi atau menjauhkan yang lain dari kita melainkan menjadi alat untuk mendapat pencerahan yang mendalam untuk memahami realitas sejati. Setiap individu perlu melatih diri memahami, menerima dan supaya bersama-sama membela dan mengejar kebaikan bersama dalam kehidupan bersama pula.
Pertikaian atau konflik yang terjadi selama ini hanyalah karena ketiadaan keinginan atau kemauan untuk melatih diri memahami yang lain, yang berbeda dengan kelompok atau dirinya. Akibatnya perbedaan tetap menjadi perbedaan.
Bulan Ramadhan ini merupakan kesempatan yang baik bagi umat Muslimin maupun umat Kristiani. Umat Kristiani coba melatih diri untuk memahami umat Muslimin yang sedang berpuasa. Umat Kristiani menghormati dengan tidak merokok di tempat umum atau tidak melakukan hal-hal yang mengganggu) mereka yang sedang berbakti kepada Allah lewat bakti berpuasa, doa dan memberi sedekah. Demikian pula sebaliknya bila umat Kristen merayakan Natal, sehingga tercapai keharmonisan dan kerukunan.
Kemenangan Presiden terpilih adalah kenyataan yang harus diterima. Pihak yang kalah pada pemilu secara ksatria semestinya mengakuinya. Tanpa merasa harga dirinya turun atau dijauhi oleh orang lain. Pihak yang kalah harus legawa.
Sikap rasialis adalah sikap yang tidak mau memahami suku lain. Negeri kita ini terdiri ribuan suku yang berbeda-beda. Bukan tidak mungkin sikap rasialis menyeruak ke permukaan.
Pernyataan bahwa semua orang tanpa diskriminasi berhak hidup di bumi ini adalah kesepakatan bangsa-bangsa yang bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Itu berarti semua orang harus melatih diri memahami orang yang berbeda suku.
Melatih diri bukanlah hal luar biasa. Pelatihan hanyalah merupakan pembiasaan diri. Bisa karena biasa. Pelatihan tersebut butuh komitmen demi keharmonisan hidup bersama.
Pelatihan untuk memahami keberbedaan yang absolut ini akan berhasil jika orang tua menciptakan iklim perbedaan dalam kehidupan sehari-hari dan mengajarkan perlunya memahami adanya perbedaan pada anak-anak dalam keluarga. Mulai dari perbedaan kehendak antar anggota keluarga, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hingga pada lingkup besar yaitu lingkungan masyarakat. Sebab pembiasaan pada masa kanak-kanak akan membuahkan sikap pemahaman akan adanya perbedaan pada masa remaja, dewasa yaitu masa terlibat dalam kehidupan masyarakat.
Bila perbedaan masih merupakan “sesuatu yang ditakuti”, maka konflik agama, permusuhan elit politik, gesekan-gesekan rasialis, pertikaian pribadi menjadi taruhannya. Upaya yang mendalam dan yang harus berangkat dari kesadaran diri sendiri adalah upaya melatih diri memahami yang lain.
Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni STFT Widya Sasana, Malang
Oleh Pormadi Simbolon
Di negeri ini masih sering terjadi pergesekan dan konflik antar umat beragama, konflik antar elite politik ataupun konflik pribadi yang disebabkan kurangnya pemahaman akan keberbedaan yang dimiliki yang lain.
Setiap individu seyogianya perlu melatih diri untuk memahami keberbedaan yang ada pada yang lain, seperti perbedaan agama, suku, golongan ataupun pada perbedaan pendapat dan penerimaan soal kalah dan menang, misalnya dalam pemilu. Sebab ketiadaan pelatihan diri (self training) untuk memahami keberbedaan tersebut akan menimbulkan kecurigaan dan bahkan konflik.
Sepanjang jaman cukup sering terjadi pertikaian dan permusuhan antar umat Kristiani dengan umat Muslimin. Seringkali pula usaha dialog dan kerja sama baik di tingkat tokoh-tokohnya maupun pada tingkat grass root diupayakan, namun konflik tetap masih rentan terjadi. Bahkan sering kali sindiran dan singgungan yang “menjelekkan” agama lain masih terdengar dalam kothbah atau renungan entah di kalangan Kristen maupun di kalangan Muslim.
Padahal betapa besar kerugian yang diakibatkan pertikaian atau konflik tersebut baik secara material, psikologis maupun secara sosial. Pengrusakan gedung ibadah, timbulnya image negatif terhadap agama tertentu dan adanya sekat-sekat pembatas dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan masyarakat.
Tidak hanya itu, baru-baru ini, akibat perbedaan hasil jumlah pemilih presiden terpilih dengan yang tidak terpilih tampak jelas masih menimbulkan keengganan pada pihak yang kalah untuk mengakuinya. Konflik kecil masih terjadi pada tataran internal partai pengusung calon presiden yang tidak terpilih. Bahkan sikap saling tuding menuding terjadi, tampak pada munculnya cap “pembusukan partai” terhadap beberapa tokoh dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Keengganan menerima kekalahan dalam Pemilihan Calon Presiden 2004 lalu masih merupakan hal yang sulit dipahami, meskipun tidak boleh tidak, akhirnya semua harus menerima kemenangan presiden terpilih. Sebab kemenangan tersebut diperoleh secara fair dan demokratis.
Tidak jarang pula, perbedaan pendapat dalam suatu forum diskusi berakibat pada renggangnya persahabatan , adanya permusuhan dan bahkan bisa mangakibatkan terputusnya komunikasi dalam waktu yang lama. Keberbedaan pendapat rupanya masih menjadi suatu momok yang ditakuti. Takut tidak rukun, takut tidak harmonis, dan takut tidak ada rasa aman dalam kehidupan bersama.
Barangkali, ketakutan tidak harmonis atau berbeda pendapat merupakan tradisi orang Timur, seperti diyakini kebanyakan orang, meskipun hal ini masih bisa diperdebatkan. Orang masih butuh proses yang lama untuk bisa menerima dan memasuki suatu situasi berbeda pendapat.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, karena perbedaan suku, konflik-konflik atau gesekan-gesekan berbau rasial sering terjadi dalam skala kecil. Perbedaan suku tidak jarang pula berakibat pada pembatasan atau penjagaan jarak antara yang satu dengan yang lainnya dalam pergaulan sehari-hari.
Hal ini tampak dari adanya cap-cap negatif terhadap suku tertentu di tengah masyarakat. Padahal cap negatif tidak bisa digeneralisasi atau dikenakan pada semua orang yang berasal dari suku tertentu.
Disinyalir, cap-cap negatif muncul hanya karena ada satu atau beberapa orang yang melakukan tindakan negatif (baca: premanisme, copet, jambret atau rampok) atau karena kebanyakan suku tertentu memiliki profesi tertentu seperti sopir, tukang tambal ban (gelar “ITB” = Institut Tambal Ban), Pembantu Rumah Tangga, TKI di luar negeri atau pun juga tukang becak.
Perbedaan tersebut seyogianya tidak menjadi alat untuk menjelekkan, memusuhi atau menjauhkan yang lain dari kita melainkan menjadi alat untuk mendapat pencerahan yang mendalam untuk memahami realitas sejati. Setiap individu perlu melatih diri memahami, menerima dan supaya bersama-sama membela dan mengejar kebaikan bersama dalam kehidupan bersama pula.
Pertikaian atau konflik yang terjadi selama ini hanyalah karena ketiadaan keinginan atau kemauan untuk melatih diri memahami yang lain, yang berbeda dengan kelompok atau dirinya. Akibatnya perbedaan tetap menjadi perbedaan.
Bulan Ramadhan ini merupakan kesempatan yang baik bagi umat Muslimin maupun umat Kristiani. Umat Kristiani coba melatih diri untuk memahami umat Muslimin yang sedang berpuasa. Umat Kristiani menghormati dengan tidak merokok di tempat umum atau tidak melakukan hal-hal yang mengganggu) mereka yang sedang berbakti kepada Allah lewat bakti berpuasa, doa dan memberi sedekah. Demikian pula sebaliknya bila umat Kristen merayakan Natal, sehingga tercapai keharmonisan dan kerukunan.
Kemenangan Presiden terpilih adalah kenyataan yang harus diterima. Pihak yang kalah pada pemilu secara ksatria semestinya mengakuinya. Tanpa merasa harga dirinya turun atau dijauhi oleh orang lain. Pihak yang kalah harus legawa.
Sikap rasialis adalah sikap yang tidak mau memahami suku lain. Negeri kita ini terdiri ribuan suku yang berbeda-beda. Bukan tidak mungkin sikap rasialis menyeruak ke permukaan.
Pernyataan bahwa semua orang tanpa diskriminasi berhak hidup di bumi ini adalah kesepakatan bangsa-bangsa yang bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Itu berarti semua orang harus melatih diri memahami orang yang berbeda suku.
Melatih diri bukanlah hal luar biasa. Pelatihan hanyalah merupakan pembiasaan diri. Bisa karena biasa. Pelatihan tersebut butuh komitmen demi keharmonisan hidup bersama.
Pelatihan untuk memahami keberbedaan yang absolut ini akan berhasil jika orang tua menciptakan iklim perbedaan dalam kehidupan sehari-hari dan mengajarkan perlunya memahami adanya perbedaan pada anak-anak dalam keluarga. Mulai dari perbedaan kehendak antar anggota keluarga, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hingga pada lingkup besar yaitu lingkungan masyarakat. Sebab pembiasaan pada masa kanak-kanak akan membuahkan sikap pemahaman akan adanya perbedaan pada masa remaja, dewasa yaitu masa terlibat dalam kehidupan masyarakat.
Bila perbedaan masih merupakan “sesuatu yang ditakuti”, maka konflik agama, permusuhan elit politik, gesekan-gesekan rasialis, pertikaian pribadi menjadi taruhannya. Upaya yang mendalam dan yang harus berangkat dari kesadaran diri sendiri adalah upaya melatih diri memahami yang lain.
Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni STFT Widya Sasana, Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar