Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label pendidikan karakter. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan karakter. Tampilkan semua postingan

Rabu, Mei 30, 2012

Menguatkan Budaya dan Karakter Bangsa


Pendahuluan
Pohon bertumbuh dengan karakternya 
Persoalan karakter bangsa dewasa ini menjadi sorotan tajam masyarakat. Pendidikan karakter bangsa semakin jauh dari semangat nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebangsaan. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan,  tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik.  Persoalan yang muncul di tengah masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif dan sebagainya dinilai sebagai akibat makin ditinggalkannya nilai-nilai agama, budaya dan Pancasila. Persoalan tersebut marak dan menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Solusi yang ditawarkan adalah peraturan, undang-undang, peningkatan dan penegakan hukum yang lebih tegas.

Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi masalah karakter bangsa yang dibincangkan itu adalah melalui pendidikan, termasuk pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.  Pendidikan agama merupakan salah satu upaya preventif dan dianggap dapat mengembangkan kualitas generasi muda dewasa ini.

Pengertian
Apakah karakter itu?  Dalam kamus filsafat (Lorens Bagus, 2002), salah satu pengertian karakter disebutkan sebagai “nama dari sejumlah ciri pribadi yang meliputi hal-hal seperti perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-nilai, dan pola pemikiran.

Pengertian lain, karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma seperti: jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa.

Ada orang menggambarkan bahwa makna karakter sebagai sikap menunjukkan kejujuran dan berani bicara sesuai kenyataan, menepati janji dan tidak membocorkan rahasia dan bertindak konsisten, satunya kata dan perbuatan. Dengan demikian karakter adalah sebuah pilihan. Kita menciptakan karakter setiap kali kita  membuat pilihan: menghadapi atau menghindari sesuatu yang sulit; membelokkan kebenaran atau teguh mendukungnya, mengambil jalan pintas atau membayar harganya.

Dari pengertian dan gambaran tersebut dapat kita simpulkan bahwa karakter adalah watak pribadi seseorang yang terbentuk dalam lingkungan hidupnya, termasuk budayanya. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter  individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya pengembangan budaya dan karakter bangsa  hanya dapat dilakukan dalam suatu proses hidup yang tidak melepaskan individu dari lingkungan sosial, budaya, masyarakat dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa  kita adalah Pancasila. Jadi, pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mengembangkan budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri individu melalui pendidikan hati, otak fisik.

Landasan Pembangunan Karakter Bangsa
Berangkat dari pengertian karakter di atas, landasan pembangunan karakter bangsa di tegaskan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Hal ini disebutkan bahwa tujuan pembangunan bangsa dan fungsi  utama pendidikan yaitu “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban  bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.    Pendidikan tersebut bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Inilah landasan untuk membangun budaya dan karakter bangsa berdasarkan Pancasila.

Sumber nilai-nilai yang menjadi karakter bangsa
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.  Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma seperti: jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Nilai-nilai  tersebut dapat diidentifikasi dari berbagai sumber, antara lain:

Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar perimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Nilai-nilai Pancasila secara global adalah: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah/demokratis dan keadilan sosial. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan individu/peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga yang memiliki kemampuan dan kemauan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

Budaya: tidak ada manusia yang hidup tanpa budaya dan nilai-nilainya yang mempengaruhi kehidupannya. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakatnya. Posisi budaya demikian penting dalam kehdupan masyarakat dan menjadi sumber bilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Karakter-karakter  bangsa yang harus dikembangkan
Beberapa nilai-nilai yang diidentifikasi (Kemdiknas, 2010) dari berbagai sumber tersebut untuk dijadikan sebagai karakter bangsa adalah: sikap dan perilaku religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.



Nilai-nilai ini harus dikembangkan dan dijadikan karakter tidak hanya di sekolah, namun juga dalam keluarga, lingkungan (Kampung, RT, RW, kelurahan), nasional dan internasional. Perwujudan nilai-nilai ini menjadi tanggung jawab semua, pemerintah, dan masyarakat.

Kita mungkin perlu belajar dari bangsa Korea. Korea menjadi bangsa yang kuat dan makmur karena setiap warga negaranya dididik secara sistematis untuk berppikir ke depan (visioner), memiliki etos kerja keras yang tinggi,, dan selalu berjuang.

Dulu Korea, masih dalam kondisi miskin, terpuruk, dan terjajah. Namun sekarang, negara itu bangkit dan maju menjadi negara maju dan ekspansif karena setiap generasi mudanya diberikan pendidikan karakter  (kerja keras dan pantang menyerah) yang berpijak pada sejarah perjuangan Korea melawan penjajah. Korea adalah bangsa cerdas, unggul dan berdaulat. Indonesia, kapan? Kita menantikan hasil dari upaya yang sedang berjalan yaitu pengembangan pendidikan budaya dan karakter.

Membangun karakter  melalui pendidikan
Dewasa ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang gencarnya menggemakan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Hal ini amat tepat dan sesuai dengan amanat UU RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pasal 3 UU Sisdiknas mengatakan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan  bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tujuan pendidikan nasional ini merupakan rumusan kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan dalam setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan ini menjadi dasar dalam pengembangan budaya dan karakter bangsa.

Pembangunan budaya dan karakter bangsa melalui pendidikan tidak boleh lepas dari rumusan tujuan pendidikan nasional.  Tujuan pendidikan nasional tersebut harus dikembangkan di berbagai jenjang dan jalur oleh setiap satuan pendidikan, mulai dari tingkat PAUD, TK, SD,  hingga pendidikan tinggi.


Penutup
Pembangunan budaya dan karakter bangsa berdasarkan nilai-nilai agama, Pancasila dan budaya, demikian penting melihat situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang masih belum maju di berbagai bidang, khususnya di bidang tata hidup bersama. Hal ini penting untuk mengatasi, atau sekurang-kurangnya untuk mengurangi cacat cela, korupsi, kekerasan berbau SARA, kemunafikan, kemerosotran moral dan kejahatan kolektif.
Semoga.

Rabu, April 19, 2006

Conscientization Integritas Diri

Conscientization Integritas Diri

Oleh Pormadi Simbolon

Di tengah kehidupan kita sehari-hari, kita mungkin cukup fanatik untuk mengaku sebagai diri yang memiliki integritas, keutuhan dan kredibilitas. Mudah-mudahan pribadi kita benar-benar utuh atau integral. Namun disadari atau tidak, integritas diri kita diuji justru di tengah lingkungan kerja, kantor, pemerintahan dan masyarakat luas. Di sanalah aneka godaan untuk melakukan perbuatan menyimpang dan merugikan kepentingan umum, demi. kepentingan pribadi atau kelompok bisa terjadi.

Perbuatan menyimpang dan merugikan kepentingan umum adalah tindakan yang meniadakan hak-hak orang lain, seperti korupsi, penipuan, persekongkolan jahat dan persaingan tidak sehat. Akibat dari perbuatan tersebut, tugas kita sebagai pelayan menyimpang dari kesejatiannya, dan memperkosa hak-hak orang lain.

Kejatuhan kita kepada tindakan menyimpang dan merugikan orang lain disebabkan oleh keterpecahan kepribadian kita. Kepribadian kita mengalami disfungsi secara utuh.

Keterpecahan kepribadian adalah ketidakseimbangan keberadaan kualitas pribadi utuh dalam pusat diri kita yaitu cinta, (Love), ketegasan (Assertion), kelemahan (Weakness) dan kekuatan (Strength).

Keempat kualitas pribadi utuh tersebut, yang kemudian disingkat menjadi LAWS, merupakan unsur-unsur yang menjadikan diri kita berfungsi secara integral.

Hilangnya salah satu unsur atau ketidakseimbangan unsur-unsur LAWS tersebut membuat kita bertindak menurut ketidakteraturan nafsu atau insting. Kendali rasio menjadi lemah.

Tidak heran tindakan korupsi terjadi karena dorongan nafsu atau insting akan uang dan kepentingan pribadi, yang sebenarnya di dalam hati terdalamnya (deepest heart) tidak menyetujuinya. Akibatnya hak asasi orang lain menjadi korbannya.

Begitu pula, orang mungkin tidak memiliki ketegasan pada nilai atau prinsip sebagai insan beriman, bisa terjebak pada trend ikut-ikutan korupsi dan bersekongkol untuk menjatuhkan orang lain. Orang demikian menjadi plin plan dan terombang-ambing oleh pengaruh orang lain.

Kita semua pasti memiliki kelemahan. Persoalannya, tidak semua orang mampu menyadarinya. Malahan kelemahan pribadi seperti sulit menerima kekalahan dan gampang tersinggung acapkali ditutupi dengan pola pembelaan diri atau pola konfrontasi baik secara kasat mata maupun tidak.

Lalu, selain memiliki kelemahan, kita semua pasti memiliki kekuatan, keunggulan atau kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Kekuatan tersebut merupakan “modal” yang patut dibanggakan dan disumbangkan bagi orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Pada titik pemahaman ini, apakah kita benar-benar sudah memiliki integritas diri. Apakah kita sudah secara hakiki menjadi pribadi yang utuh?

Makna integritas diri perlu kita tegaskan lagi. Pribadi yang utuh niscaya mampu mencintai orang lain dengan cinta agape (universal), karena orang lain adalah sesama makhluk Tuhan. Ia pasti tegas pada nilai atau prinsip sebagai insan beriman. Juga, ia berani mengakui kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya.

Jika dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mencintai sesama manusia namun tidak tegas menolak ajakan ber-KKN, berarti diri kita tidak berfungsi secara utuh. Demikian pula sebaliknya, kita tegas terhadap nilai, namun kehilangan cinta, semuanya akan sia-sia.

Jika kita bisa mengakui keunggulan kita dan orang lain, tetapi tidak berani mengakui kelemahan kita, akan terjadi ketimpangan dan “cacat” pribadi yaitu tidak seimbang.

Maka yang terpenting adalah mencoba menyadari apakah diri kita sudah berjalan secara utuh. Kita seyogiyanya mengkondisikan hati untuk melakukan penyadaran diri akan unsur-unsur LAWS dalam diri kita.

Seperti diinspirasikan gagasan Dr. Dan Montgomery, secara universal kepribadian yang utuh terdiri dari kutub-kutub cinta, ketegasan, kelemahan dan kekuatan yang seyogiyanya dialami, diungkapkan dan dijalani dalam kehidupan bersama.” ...people should experience and express the universal polarities of personality known as love, assertion, weakness and strength” (Dan Montgomery, 1997).

Sekali lagi, hakikat pribadi yang utuh mempunyai makna yaitu penyadaran (conscientization) akan keberadaan cinta, ketegasan, kelemahan dan kekuatan yang niscaya diungkapkan, dialami dan dijalani dalam kehidupan bersama.

Penyadaran akan unsur-unsur LAWS dalam diri kita berarti: pertama, kita dengan suasana hati yang tenang menyadari cinta sebagai pusat diri kita, sebagai perekat dalam berrelasi dengan orang lain. Cinta memampukan kita untuk tertarik, bersimpati dan berbela rasa pada orang lain. Dengan cinta kita tidak akan tega ber-KKN ria.

Kedua, kesadaran akan ketegasan bermaknakan tegas terhadap nilai yang kita pegang sebagai orang beriman. Ketegasan tersebut mendorong kita untuk setia pada kebenaran yang kita yakini sebagai insan beriman. Ketegasan berarti mengatakan tidak terhadap kezaliman, kekerasan dan ketidakadilan yang diperlakukan pada dirinya dan orang lain yang ada di sekitarnya.

Ketiga, dan keempat yaitu kesadaran akan kelemahan dan kekuatan mendorong kita untuk berani mengakui kelemahan dan kekuatan kita. Kelemahan kita perbaiki dan kekuatan menjadi sumbangan indah bagi sesama yang lain.

Dengan penyadaran integritas diri tersebut, kita akan berani mengakui diri sebagai pribadi utuh. Kita memiliki integritas diri dan kredibilitas bila unsur-unsur LAWS dalam diri kita sudah beroperasi secara seimbang di tengah kehidupan kita, di lingkungan kerja, kantor, pemerintahan dan masyarakat luas.

Mudah-mudahan, dengan penyadaran kualitas integritas diri dan kredibilitas yang kita miliki, segala perbuatan yang menyimpang dan merugikan kepentingan masyarakat luas akan berkurang. Juga dengan penyadaran tersebut lahirlah orang-orang yang memiliki integritas diri dan kredibilitas secara sejati.

Oleh: Pormadi Simbolon
Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Malang,
Powered By Blogger