Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label kristen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kristen. Tampilkan semua postingan

Rabu, April 17, 2013

Sosialisasi PBM, Sosialisasi Kerukunan Umat Beragama


Oleh Pormadi Simbolon

Jangan lupakan Pancasila
Sampai saat ini, masalah memperoleh IMB rumah ibadah masih menjadi menjadi persoalan rumit bagi kaum minoritas. Padahal proses pendirian rumah ibadah sudah melalui Peraturan Bersama Menteri Nomor 9/8 tahun 2006 yang salah satu di dalamnya diatur bagaimana memperoleh IMB rumah ibadat. 

Sebuat saja contoh, gereja GKI Yasmin, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 127/PK/TUN/2009 pada 9 Desember 2009 telah memenangkan GKI Yasmin, namun Pemerintah Kota Bogor tidak melaksanakan putusan MA, malah mencabut IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011.


Pertanyaannya, apakah sosialisasi PBM belum terlaksana dengan baik atau bagaimana sikap dasar kita terhadap PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006?

Pendirian Rumah Ibadat

Masalah pendirian rumah ibadat sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006.

PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.

Baru-baru ini seminar dalam rangka memperingati 7 tahun PBM tersebut diadakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Jakarta, Kamis (21/3). 

Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat, Prof. Dr. Machasin, implementasi PBM tersebut kurang dipahami oleh pemegang kekuasaan di daerah, meski Kemendagri telah melakukan sosialisasi ke seluruh perangkat daerah.

Implementasi dan Problematika PBM

Selama 7 tahun, keberadaan PBM masih menimbulkan masalah dalam membangun kerukunan umat beragama secara nasional. Masalah pendirian rumah ibadat masih masalah dominan.

Dalam seminar tersebut aturan dalam  PBM diakui belum menyelesaikan masalah dalam mendirikan rumah ibadah. Ada yang berpendapat agar PBM dicabut karena menjadi alat penguasa di daerah untuk melarang pembangunan rumah ibadah. Pada konteks tertentu PBM ini dipakai kelompok tertentu yang tidak memiliki kewenangannya untuk menolak keberadaan rumah ibadah tertentu.

Sejatinya, PBM ini ada untuk kepentingan pembangunan kerukunan umat beragama karena PBM ini mengedepankan roh kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.

Kerukunan Umat Beragama

Masalah pendirian rumah ibadah dan kebebasan beragama terkait langsung dengan pembangunan kerukunan umat beragama.

Pengertian kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).

Definisi tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).

Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi roh kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.

Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan suasana kondusif untuk keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.

Mengubah Sikap Dasar

Mengapa aturan-aturan PBM belum mampu maksimal mengatasi masalah konflik pendirian rumah ibadah? Jawabannya adalah sikap dasar semua pihak terhadap PBM.  Kesulitan dalam pendirian rumah ibadah di lapangan pada umumnya  bukan pada soal persetujuan warga setempat, tetapi ada faktor lain yang lebih besar dari luar warga setempat, seperti kepentingan sesaat (politik dan ekonomi) kelompok  tertentu.

Untuk itu perlu sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 secara bersahaja dan  mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional. Roh kerukunan menjadi sikap dasar dalam mewujudkan  perbaikan keadaan bangsa dan negara yang dicap terkorup dan hampir gagal  menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Roh kerukunan nasional menjadi awal kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Mensosialisasikan PBM, berarti mensosialisasikan kerukunan umat beragama.

Sosialisasi juga tidak didasarkan sikap arogan dan mengedepankan pandangan mayoritas dan minoritas. Sikap dasarnya adalah semangat kebersamaan dan kebersatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sinilah peran pejabat pemerintah sebagai fasilitator dan tugas FKUB dalam sosialisasi PBM.

Berhasil tidaknya pelaksanaan sosialisasi PBM ini ada  pada peran  Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri sebagai leading sector di bidang kehidupan beragama dan bernegara.

Sasaran utama sosialisasi ini diprioritaskan kepada para elit pejabat pusat dan daerah agar lebih memahami roh PBM ini. Para pejabat publik  atau politisi tidak memperalat agama sebagai jargon untuk kepentingan sesaat. Sebaliknya, agama menjadi inspirasi dalam kehidupan bersama dan menjadi moralitas publik.

Selain itu ada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Tugas FKUB adalah menjadi mediasi antara masyarakat dan pemerintah. Tidak sebaliknya, anggota FKUB menjadi bagian dari masalah kerukunan itu sendiri karena sikap dasarnya untuk memperhatikan kepentingan kelompoknya sepihak, bukannya kepentingan yang lebih besar.

Selain memberi rekomendasi, FKUB juga menjadi mediator dalam menyelesaikan masalah, mensosialisasikan kebijakan di bidang kerukunan, karena kerukunan umat beragama merupakan syarat tercapainya kesejahteraan nasional.

FKUB juga perlu memberikan pencerahan kepada RT/RW sehingga roh PBM ini menjadi cakrawala baru dalam cara pandang, cara pikir dan cara berelasi. Karena itulah FKUB pertama-tama didirikan oleh masyarakat dan bukan oleh pemerintah.

Program FKUB juga adalah bagaimana menjaga dan memelihara kerukunan, sampai pada mempengaruhi kebijakan untuk menyejahterakan masyarakat. Maka FKUB menjadi partner pemerintah dalam merumuskan perlindungan rakyat minoritas. 

Sosialiasi PBM yang didasari sikap dan roh  kerukunan umat beragama  akan mengurangi konflik dalam pendirian rumah ibadat. 

Pada tataran nasional, untuk implementasi dan mengatasi problematika PBM dibutuhkan peran fasilitator yaitu Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang berperan besar dalam membangun kerukunan umat beragama sebab leading sector pembinan ada pada fasilitator. Pemerintah harus menindak tegas orang atau kelompok yang tidak memiliki kewenangan melarang pendirian rumah ibadah di daerah tertentu. Pemerintah tidak terkesan melakukan pembiaran.

Pormadi Simbolon, Alumnus STFT Widya Sasana Malang, pemerhati masalah kerukunan umat beragama. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

Jumat, Januari 29, 2010

Ternyata Memperkosa Perempuan Juga

Gak perlu heran bila kita mendengar seorang pendeta memperkosa seorang perempuan yang notabene umat yang dipimpinya, atau seorang kiai yang melecehkan perempuan secara seksual. Atau seorang pastor melakukan pelecehan seksual atau sodomi kepada salah seorang misdinarnya. Bila kita cermat meneliti dan membaca berita massa, maka kita semua akan mengakui bahwa mereka juga adalah MANUSIA BIASA.

Mereka memang manusia biasa, namun yang menjadi soal adalah adanya pendidikan agama dan keagamaan yang mereka terima secara khusus sesuai dengan agama mereka. Konsekwensinya logisnya, mereka adalah pemuka agama yang menjadi teladan bagi umatnya. Mereka adalah teladan di bidang beriman, berperilaku dan lain sebagainya dalam kaitan dengan hidup.


Harus kita akui, masih banyak kiai, pendeta atau pastor yang menjadi teladan dan sangat dihormati umatnya. Kita salut dan bangga karena mereka menjalankan panggilan hidupnya dengan baik sesuai dengan imannya dan pendidikan yang diterimanya.


Namun, bila kita mendengar seorang kiai, pendeta atau pastor melakukan perbuatan menyimpang, maka kita akan kecewa mendengarnya. Kita akan merasa mereka juga sama seperti kita, biasa aja, nggak usah diperlakukan khusus.


Yang patut disadari bersama, meskipun seorang kiai, pastor atau pendeta berpendidikan tinggi atau doktoral, namun soal nafsu yang satu itu sama saja primitif sebagaimana manusia lainnya. Maka perlu juga kritis dalam meneladani dan menilai seorang kiai, pendeta atau pastor.


Kita semua berharap bahwa seorang kiai, pendeta dan pastor bisa menjadi teladan hidup beriman di tengah masyarakat majemuk, pembela kemanusiaan, pembela kaum miskin dan marjinal. Semoga

Jumat, Mei 09, 2008

KETIKA ANTAR-UMAT BERAGAMA BERSAHABAT

(ditulis 2005 lalu)

Oleh Pormadi Simbolon

Pada Hari Hari Raya Natal dan Raya Idul Fitri yang lalu, persahabatan sejati terbukti menembus sekat-sekat pembatas relasi di antara warga yang berbeda agama dalam tata hidup bersama bangsa ini. Persahabatan antar-umat beragama (baca: antar umat yang berbeda agama) tidak terpatahkan oleh perbedaan agama, suku, ras dan golongan. Sebab persahabatan adalah relasi manusia dengan sesama manusia yang dilandasi kasih sayang (cinta kasih).

Kehadiran Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu dan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni beserta Ibu pada Perayaan Natal Nasional Umat Kristiani Tingkat Nasional (27/12/2005) lalu merupakan salah satu bukti nyata bahwa persahabatan antar-umat beragama dalam tata hidup bersama sangat ampuh melampaui perbedaan yang ada. Persahabatan sejati tidak mengenal pengkotak-kotakan atau pemecahbelahan sesama.
Persahabatan anta-umat beragama memang belum sepenuhnya seperti yang diharapkan dalam landasan idiil bangsa yaitu Pancasila. Namun hubungan persahabatan antar-umat beragama yang sudah berjalan dan sedang diusahakan semakin tampak ke permukaan patut dipuji dan dikemukakan.


Saling Memberi Ucapan Selamat


Bila kita coba mengelilingi jalan-jalan di Ibukota Jakarta, maka kita dapat menyaksikan spanduk berisi ucapan SELAMAT HARI NATAL DAN TAHUN BARU 2006 terpampang di pagar pembatas jalanan maupun pada dinding bangunan kota. Yang lebih menarik, ucapan tersebut tidak hanya datang dari organisasi massa atau partai nasionalis, tetapi juga dari organisasi massa atau kelompok masyarakat bernafaskan Islami seperti Nahdlatul Ulama.
Penulis amat terkejut bercampur bahagia, ketika penulis menerima ucapan Selamat Natal dari sahabat-sahabat beragama Islam melalui SMS, e-mail, milis group dan ucapan langsung saat bertemu. Bila anda bergabung dalam miling list seperti group pluralitas ICRP dan group filsafat, maka di sana anda akan dapat menyaksikan orang-orang yang berbeda latar belakang agama dan suku saling memberi ucapan selamat. Pada Hari Natal yang lalu, mereka yang beragama Islam memberi ucapan Selamat Natal. Demikian juga pada Hari Raya Idul Fitri sebelumnya, mereka yang beragama Kristen/ Katolik memberikan ucapan Selamat Idul Fitri atau Selamat Hari Lebaran.

Sungguh indah, ternyata latar belakang agama ataupun suku tidak dapat mematahkan semangat persahabatan pada kebanyakan warga bangsa ini. Lebih indah lagi, karena dalam ucapan selamat itu disertai permohonan maaf, “doa” dan “harapan” agar damai selalu menyertai persahabatan itu.

Sikap Berempati


Menjelang Natal 25 Desember 2005 lalu, Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah menawarkan gedung sebagai tempat Perayaan Natal kepada umat Kristiani yang tidak lagi memiliki gedung tempat ibadah yang konon digusur atau dirusak karena tidak mempunyai surat ijin pembangunannya dan atau karena umatnya berjumlah sedikit. Sungguh sebuah empati dari seorang tokoh umat Muslim terhadap umat Kristiani.
Demikian pula, ketika Perayaan Natal sedang digerogoti ancaman bom atau gangguan lainnya, pimpinan Banser NU mengerahkan sejumlah besar anggotanya ke tempat-tempat ibadah umat Kristiani untuk ikut menjaga keamanan dan ketenteraman umat dalam merayakan Natal. Berkat bantuan penjagaan keamanan tersebut Perayaan Natal pun dapat berlangsung dengan damai dan hikhmad.


Sikap mau berempati demikian sungguh merupakan cetusan kepedulian dan persahabatan. Banyak Pemimpin Umat Muslim ikut merasakan kecemasan umat Kristiani setiap kali merayakan Natal dalam beberapa tahun belakangan ini.

Perbedaan itu Sendiri Yang Memungkinkan


Konteks dunia hidup manusia (man’s lifeworld) itu sendiri yang memungkinkan setiap orang membangun persahabatan sejati. Dalam persahabatan, hubungan “aku” dan “engkau” menemukan pengungkapan konkritnya. Dalam hubungan semacam ini tidak ada lagi “ia” atau “mereka”. Dengan kata lain, tidak ada lagi orang ketiga, orang lain atau orang yang dipandang di luar hubungan “aku” dan “engkau”.

Dalam persahabatan, “engkau” tidak lagi sebagai pribadi “lain” yang berbeda dari aku, melainkan menjadi “aku yang lain” (alteritas aku) yang berbicara kepadaku. Kesadaran mengenai “aku yang lain” atau pribadi lain sebagai aku yang lain diperlukan justru agar aku semakin menjadi aku sejati. Aku sejati adalah aku yang bukan aku egois melainkan aku subyek. Aku egois adalah aku yang bertindak demi dan untuk aku sendiri. Tindakan semacam ini jelas menyisihkan pribadi lain, menindas kepentingan orang lain, menegasi dan menyangkal keberadaan perbedaan yang dimiliki orang lain (bdk. :Riyanto, 2005:88)


Karena orang lain adalah “aku yang lain”, aneka pengalaman kegembiraan, harapan, penderitaan dan kecemasannya adalah kegembiraan, penderitaan, harapan, dan kecemasanku sendiri. Segala macam bentuk perlakuan kepadanya identik dengan segala macam perlakuan terhadapku.
Di sinilah letak persahabatan sejati yaitu ketika “aku yang lain” justru memperkaya aku, dan menjadi karunia bagiku, bukannya menjadi ancaman bagiku. Artinya “ke-lain-an” orang lain yang berbeda dari aku atau aku yang berbeda dari orang lain justru saling melengkapi dan meneguhkan kesejatian kemanusiaan kita.


Sebenarnya, pluralitas agama, suku, ras dan golongan warga bangsa dan perbedaan yang menyertainya justru sangat mendukung dan memungkinkan terjadinya persahabatan sejati. Bila kita bersahabat hanya dengan orang yang se-agama, se-suku, se-ras, dan se-golongan, apakah kelebihan kita sebagai makhluk berakal budi dari hewan atau binatang? Bukankah hewan atau binatang yang tidak berakal budi mampu juga melakukan hal yang sama?


Bila kita coba lihat, sebenarnya upaya membangun persahabatan itu terus diperjuangkan oleh semua orang yang berkehendak baik demi terciptanya tata hidup bersama yang sehat dan demi masa depan bangsa Indonesia yang damai, sejahtera dan bermartabat.


Teladan persahabatan itu dapat kita saksikan dalam sejarah perjuangan bangsa. Para bapa pendiri bangsa yang berbeda agama, suku, ras dan golongan mampu meletakkan landasan bangsa yaitu Pancasila hanyalah karena ada persahabatan sejati.


Pada hari Raya Idul Fitri yang lalu, sejumlah umat Gereja Katolik/ Kristen di ibu kota menyampaikan ucapan SELAMAT IDUL FITRI lewat spanduk yang dibentangkan di atas jalanan di depan gedung gereja. Para pemimpin Gereja juga menyampaikan ucapan selamat kepada para pemimpin umat muslim entah lewat kartu, SMS, email, milis group maupun telepon. Demikian juga pada Hari Natal Desember lalu, ucapan selamat berdatangan dari umat Muslim kepada umat Kristiani.


Kehadiran Presiden RI dan Menteri Agama RI yang beragama Islam pada perayaan Natal Nasional Umat Kristiani merupakan teladan peneguhan persahabatan antar-umat beragama. Hal ini semakin relevan terlebih karena sejumlah umat yang berbeda agama sempat bingung pasca keluarnya Fatwa MUI beberapa bulan yang lalu, yang mengharamkan mereka yang menghadiri Perayaan Natal Umat Kristiani.


Tahun 2006 adalah tahun harapan bagi kita untuk memupuk persahabatan sejati dan menyebarkan keindahan persahabatan itu di tengah warga bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Tentu ajakan ini berlaku bagi semua orang yang berkehendak baik dan untuk menciptakan tata hidup bersama yang sehat, damai dan bermartabat. Amin

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang,
Tinggal di Jakarta
Powered By Blogger