I.
Pendahuluan
Foto: http://libertymagazine.org |
Gerakan
fundamentalisme agama merupakan fenomena global. Ada fundamentalisme kristen,
fundamentalisme Islam, fundamentalisme Hindu, Fundamentalisme Buddha dan
fundamentalisme agama lainnya. Pada hakekatnya, gerakan fundamentalisme agama
muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap modernitas, produk Barat. Dalam paper
ini, penulis membahas gerakan fundamentalisme Islam. Gerakan fundamentalisme
Islam menawarkan ideologi alternatif yaitu pemerintahaan Allah (hakimiyyat Allah) sebagai pengganti sistem
pemerintahan demokrasi, produk modernisme. Gerakan fundamentalisme agama
menimbulkan kekacauan dan konflik antar peradaban global, untuk itu diperlukan
sebuah jembatan, dalam rangka membangun perdamaian antar komunitas peradaban di
dunia, yaitu kesepakatan moralitas internasional.
Penulis memulai
paper ini dari pengertian dan upaya fundamentalisme Islam melawan
modernitas, secara spesifik, demokrasi
dipertentangkan dengan pemerintahan Allah, lalu sebuah tawaran moralitas
internasional sebagai solusi alternatif, dan diakhiri dengan catatan serta
tanggapan penutup.
Kata kunci: fundamentalisme agama,
fundamentalisme islam, modernitas, pemerintahan Allah
II.
Gerakan
Fundamentalisme Islam
1.
Mengenal Gerakan
Fundamentalisme Agama
Istilah fundamentalisme berasal dari kata dasar fundamen dan isme, fundamen berarti asas, dasar, fondasi; isme berarti paham. Fundamentalisme diartikan sebagai paham yang
cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal. Fundamentalis diartikan penganut gerakan keagamaan yang
bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama
yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci [1]. Dengan demikian istilah
fundamentalisme dapat didefinisikan paham yang cenderung memperjuangkan sesuatu
secara radikal berdasarkan ajaran agama asli seperti tersurat dalam Kitab Suci.
Fundamentalisme agama merupakan fenomena global. Dalam
pandangan Bassam Tibi, seorang ilmuwan politik dan prfoessor hubungan internasional, fundamentalisme
agama bukan merupakan sebuah gerakan
spiritual, tetapi sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi
agama untuk tujuan sosio-politik dan ekonomi dalam upaya membangunan
pemerintahan Ilahi atau berdasarkan salah satu agama. Fenomena fundamentalisme
agama dapat ditemukan dalam agama besar dunia, seperti Islam, Hindu,
Konfusianisme, Buddha, Kristen dan Yahudi[2].
Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan tentang gerakan
fundamentalisme Islam. Dalam penyelidikan studi fundamentalisme Islam yang
dilakukan Bassam Tibi, agama bagi kaum
fundamentalis adalah ekspresi dari tatanan ilahi, yang secara skematis
bertentangan dengan tatanan dunia sekuler. Gerakan fundamentalisme Islam ingin
memperjuangkan tatanan ilahi atau pemerintahan Allah berdasarkan Al Qur’an. Itu
berarti, para fundamentalis agama adalah para ideolog dan aktivis politik, yang
mementingkan kekuatan politik. Mereka menggunakan simbol-simbol agama dan
mengisinya dengan makna baru demi mencapai tujuannya. Dengan demikian, gerakan
fundamentalisme agama melakukan politisasi
agama demi tujuan ideologis dan politis, yaitu hendak mendirikan pemerintahan
Allah di dunia[3], terutama setelah
pengaruh modernitas mulai diperkenalkan Barat ke dunia global.
2.
Melawan
Modernitas atau Westernisasi
Gerakan fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh modernitas.
Modernitas memproduksi nilai-niai atau agagasan seperti demokrasi, budaya politik
pluralisme, hak asasi manusia, toleransi dan liberalisme. Pada awal Renaissans,
Machiavelli berangkat dari konsep tatanan ilahi dalam membangun gagasan bahwa
manusia dapat memerintah dirinya sendiri. Gagasan pemerintahan rakyat oleh
rakyat (yaitu: kedaulatan rakyat)
kemudian menjadi dasar legitimasi negara-bangsa sekuler, dan percaya bahwa
kemajuan teknologi berkontribusi pada peradaban global yang menyatukan semua
manusia. Namun, produk modernitas ini ditentang oleh gerakan fundamentalisme
agama. Jika modernitas menekankan otonomi individu, fundamentalisme agama
mengembalikan individu-individu ke kolektivitas dimana setiap orang dianggap
sebagai pelengkap bagi komunitas atau masyarakat tertentu. Gerakan
fundamentalisme Islam menawarkan makna alternatif baru bahwa pentingnya ikatan
organik dengan sebuah peradaban, bukan kehendak bebas untuk menjadi anggota
yang berpartisipasi dalam badan politik yang demokratis[4].
Modernitas memiliki dua dimensi yaitu struktural budaya dan
institusional. Modernitas struktural
budaya merujuk pada karya Jurgen Habermas, yaitu prinsip subyektivitas yang
dengannya seseorang didefinisikan sebagai individu yang memiliki kehendak
bebas, mampu menentukan nasibnya sendiri dan mengubah lingkungan sosial dan
alam. Modernitas institusional menjadikan sains dan teknologi sebagai pencapaian
instrumentalnya[5].
Di bagian Timur Tengah dan sebagian besar peradaban non-Barat
lainnya, modernitas telah melanda orang-orang, lebih pada institusi dalam
bentuk hegemoni dan keunggulan teknologi dan militer Barat, dan bukan pada
bidang budaya. Fundametalime Islam muncul sebagai ideologi pemberontakan melawan modernisme atau Barat, terutama
budaya Amerika Serikat. Terjadilah konflik antara peradaban yang berbeda pada
skala global[6].
3.
Demokrasi versus Pemerintahan Allah
Gagasan demokrasi adalah produk dari Barat yang mendasarkan
diri pada kedaulatan rakyat. Demokrasi diterima sebagian dunia karena dapat
menjadi dasar penyatuan umat manusia, meskipun terdapat perbedaan agama dan etnis.
Sebaliknya, pemerintahan Allah, suatu tatanan ilahi (hakimiyyat Allah), yang disajikan oleh kaum fundamentalis Islam
sebagai alternatif global bagi negara sekuler. Namun menurut Bassam Tibi, ide
pemerintahan Allah ini memperburuk dan memecahbelah umat manusia ke dalam
berbagai peradaban[7]. Konflik antar peradaban
tersebut misalnya bentrokan antara Muslim dan Hindu di Ayodhya pada Desember
1992 merupakan peringatan. Karakter global fundamentalise agama menandai era
kekacauan dan perselisihan terbuka baik tingkat lokal maupun tingkat
internasional, regional maupun global.
Fundamentalisme Islam memandang demokrasi sebagai kekufuran.
Hal ini misalnya dikatakan oleh tokoh fundamentalisme Aljazair, Ali Benhaj.
Dalam pandangan mereka gagasan tentang hakimiyyat
Allah/ pemerintahan Allah adalah alternatif penting bagi demokrasi. Dari
contoh ini, terjadilah konflik mendalam antara fundamentalisme dan demokrasi[8].
4.
Upaya Merangkul
Modernitas
Terkait reaksi dunia Islam dengan demokrasi, sebenarnya ada
berbagai arus atau sikap yang muncul yaitu fundamentalisme, tradisionalisme dan
reformisme Islam. Fundamentalisme Islam pada haekatnya politisasi agama dalam
konteks global. Tradisionalisme merupakan arus yng mengedepankan syura atau
konsultasi atau musyawarah dalam mengambil
suatu keputusan dalam hidup bersama.
Arus reformisme Islam merupakan arus yang mencoba merangkul
demokrasi dengan cara-cara Islam. Pembaharu Islam terkemuka, Muhammad Abduh
(1849-1905) berusaha mendukung modernitas budaya dan institusi dengan mencari
sintesis konsep-konsep ini dalam Islam, dan melakukannya tanpa pemikiran
kembali ke pandangan dunia teosentris Islam tradisional[9]. Upaya kaum reformis
merangkul modernitas gagal, bukan karena mereka salah tapi berhenti menemukan
solusi yang mungkin berhasil. Resistensi kaum fundamentalis terhadap demokrasi
lebih kuta. Banyak pembaharu Islam mendapat ancaman dan hukuman mati. Salah
satu pembaharu Islam yang dieksekusi tanpa diadili, misalnya syekh Sudan,
Mahmoud Taha (1905-1985) pada tahun 1985 oleh diktator Sudan, Ja’far
al-Numairi. Oleh karena resistensi yang kuat dan ancaman hukuman mati, tokoh
pembaharu Islam lain seperti Abdullah A. An-Na’im (1946-…) dan Mohammed Arkoun
(1928-2010) masih berharap untuk menerapkan dan mengupayakan reformasi Islam,
tetapi mereka melakukannya di pengasingan, seperti di negara Barat, misalnya
Paris, London atau Washington.
Menurut Bassam Tibi, sebagian besar Muslim, mulai dari para
pemimpin politik mereka, memang merangkul modernitas dengan alasan konformisme.
Konformisme adalah cara berurusan dengan yang tidak sesuai dengan Islam,
sebelum memikirkan kembali dengan konsep dan pandangan Islam yang diwariskan.
Karena belum ada upaya yang dilakukan mendamaikan antara tindakan menyimpang
dengan ajaran Islam, konformisme Islam mengakibatkan kelambatan dalam
berperilaku. Konformisme merupakan upaya naas berurusan dengan modernitas[10].
Di Indonesia, mayoritas Muslim Indonesia seperti diwakili
oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, melihat demokrasi
tidak bertentangan dengan Islam. Demokrasi adalah pemerintahan di tangan
rakyat. Indonesia berbentuk negara republik yang demokratis, pada tahun 1998
memasuki pentas demokrasi yang sesungguhnya, karena tahun-tahun sebelumnya,
sistem demokrasi belum terlaksana dalam arti demokrasi sesungguhnya. Untuk
mewujudkan Indonesia yang demokratis, yang menghargai hak asasi manusia,
Indonesia telah melibatkan lapisan masyarakat, terutama LSM, pers dan
organisasi keagamaan. Menurut Ayang Utriza Yakin, demokratisasi adalah jalan
yang paling baik untuk memelihara, melestarikan, dan mengukuhkan aset nasional
sekarang ini, yaitu stabilitas, keamanan, persatuan dan kesatuan[11], bukan yang sistem yang
lain.
5.
Pilar Moralitas
Internasional
Fundamentalisme Islam berupaya menggulingkan tatanan dunia
yang didominasi modernitas, dan menggantinya dengan pemerintahan berdasarkan
prinsip-prinsip Islam. Namun dalam perjalanan waktu, pemerintahan berdasarkan
agama tertentu tidak cocok dengan tatanan dunia dan negara-negara sekuler yang
berdaulat. Konflik akan terus terjadi, jika ada pemaksaan suatu ideologi
pemerintahan berdasarkan agama tertentu. Agama, entah agama apapun tidak tepat
dijadikan sebagai alat politik atau dipolitisasi untuk kepentingan sekelompok
pelaku. Jika dipolitisasi, maka akan muncul fundamentalis Muslim, Kristen,
Yahudi, Hindu, Buddha, dan agama-agama lainnya. Untuk itu, solusi untuk
menjembatani dan membangun perdamaian antar peradaban adalah pentingnya suatu
kesepatan bersama secara global atau internasional yang dalam bahasa Bassam
Tibi disebut moralitas internasional. Unsur-unsur moralitas internasional ini
terdiri dari demokrasi dan hak asasi manusia.
Moralitas internasional ini sesuai dengan etika atau nilai agama-agama
apapun[12].
6.
Fundamentalisme di
Indonesia
Di Indonesia, sebagai salah satu negara berpenduduk Muslim
terbesar di dunia, kita dapat menemukan beberapa gerakan fundamentalisme Islam.
Salah satu yang masih hangat adalah gerakan Hizbut Tahir Indonesia (HTI). HTI
berupaya mengganti ideologi pemerintahan Indonesia yang berdasarkan
Pancasila menjadi sistem pemerintahan
yang berdasarkan syariat Islam. HTI dibubarkan pemerintah Indonesia pada
tanggal 19 Juli 2017 karena bertentangan dengan demokrasi berdasarkan Pancasila.
Gerakan fundamentalisme Islam lainnya di Indonesia, dapat
ditemukan dalam beberapa organisasi politik Islam. Organisasi politik bercorak
fundamentalisme antara lain Parkai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan
Bintang (PBB). PKS dan PBB secara transparan anggota partai tersebut
menginginkan agar syariat Islam diberlakukan di Indonesia. Ajaran Islam perlu
dimurnikan di era modern sekarang ini[13]. Dewasa ini
fundamentalisme Islam dalam arti ada keinginan kuat menerapkan syariat Islam di
tingkat daerah maupun nasional bermunculan. Hal ini tampak dari Pemilihan
Kepala Daerah DKI Jakarta pada tahun 2017 dan Pemilihan Umum serentak nasional
pada 2019.
III.
Catatan dan Tanggapan Penutup
Gerakan
fundamentalisme agama adalah fenomena global, bisa ditemukan dalam berbagai
agama di dunia, seperti Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha dan agama
lainnya. Gerakan fundamentalisme pada dasarnya ingin memperjuangkan pemerintahan
dunia berdasarkan prinsip-prinsip agama tertentu.
Gerakan
fundamentalisme Islam muncul di tengah gerakan modernisasi dunia atau
westernsasi sedang melanda sebagian besar belahan dunia. Fundamentalisme Islam
menawarkan sistem pemerintahan Allah (hakimiyyat
Allah) sebagai alternatif pemerintahan dunia sekuler, menggantikan sistem demokrasi.
Gerakan
fundamentalisme agama dalam kenyataannya akan bertabrakan dengan komunitas
peradaban non-Muslim. Jika sistem pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip
Islam dipaksakan kepada dunia yang beraneka ragam peradaban, maka akan
menimbulkan konflik dan memunculkan gerakan fundamentalisme dari agama lain,
seperti Yahudi, Hindu, Kristen, Buddha dan lain sebagainya.
Pada hakekatnya,
gerakan fundamentalisme agama adalah gerakan mempolitisasi agama demi
kepentingan sekelompok pelaku. Menurut penulis, agama tidak dapat diperalat
atau dipolitisasi, karena akan menimbulkan konflik baik internal penganut agama
itu sendiri, maupun dengan ekternal, penganut agama lain.
Sebuah solusi untuk
mengatasi konflik, maka perlu dibangun sebuah jembatan yang bisa mendamaikan
aneka komunitas peradaban global yaitu membangun sebuah kesepakatan moralitas
internasional yang terdiri dari demokrasi dan hak asasi manusia. Baik demokrasi
maupun hak asasi manusia tidak bertentangan dengan ajaran agama apapun.
Demokrasi adalah pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Hak asasi manusia
adalah hak-hak dasar manusiawi seperti hak hidup, hak kebebasan (berbicara/berpendapat,
memilih agama atau keyakinan tertentu).
Penulis berpendapat,
bahwa sistem demokrasi dalam pengertian sebagai suatu sistem pemerintahan
berdasarkan kedaulatan rakyat tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama
manapun, termasuk Islam. Sistem demokrasi sangat menghargai hak asasi manusia,
kebebasan berpendapat, termasuk
kebebasan pers, dan pluralitas agama, budaya maupun etnis. Dalam konteks
Indonesia yang majemuk, sistem demokrasi sangat harmonis dan cocok dengan
Indonesia yang majemuk dalam berbagai hal, termasuk agama, budaya dan etnis.
Demokrasi yang berdasarkan Pancasila, mengedepankan kebaikan bersama (umum)
daripada kepentingan orang atau kelompok tertentu.
***
Sumber
Pustaka
Kamus Besar Bahasa
Indonesia versi online dari https://kbbi.web.id/fundamentalisme, diakses 21 Juni
2019, pukul 15.15 WIB
Tibi, Bassam, The Challenge of Funfamentalism: Political
Islam and and the New World Disorder,. Berkeley, Calif London: University
of California Press, 1998
Yakin, Ayang Utriza, DEA., Ph.D, Islam
Moderat dan Isu-isu Kontemporer. Demokrasi,
Pluralisme, Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami dan Jihad, Jakarta: Kencana,
2016, Divisi dari Prenadamediamedia Group, 2016
Wahid, M. Abduh, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam (Telaah Kritis tentang
Eksistensinya masa kini), Jurnal Sulesana, Volume 12 nomor 1 Tahun 2018,
UIN Alauddin Makassar, 2018
[1]
Arti kata diambil website Kamus Besar Bahasa Indonesia dari https://kbbi.web.id/fundamentalisme,
diakses 21 Juni 2019, pukul 15.15 WIB
[2]
Tibi, Bassam, The Challenge of
Funfamentalism, University of California Press, Hal. 20-21
[3]
Ibid., Hal. 23
[4]
Ibid., Hal. 24
[5]
Ibid., Hal. 24
[6]
Ibid., Hal 24
[7]
Ibid., Hal. 26
[8]
Ibid., Hal. 26
[9]
Ibid., Hal. 30
[11] Yakin, Ayang Utriza,
DEA., Ph.D, Islam Moderat dan Isu-isu
Kontemporer. Demokrasi, Pluralisme,
Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami dan Jihad, Hal. 49
[12]
Tibi, Bassam, The Challenge of
Funfamentalism, University of California Press, Hal. 35
[13]
Wahid, M. Abduh, Fundamentalisme dan
Radikalisme Islam, Hal.73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar