Philips Gibbs bersama orang PNG, (Google.com)
Pormadi Simbolon
Menarik melihat makna maskulinitas dalam budaya Afrika dan di Papua Nugini. Ada kesamaan makna, bahwa maskulinitas atau kejantanan bergantung pada kekuasaan laki-laki mengendalikan feminitas. Sebuah penelitian di Papua Nugini menunjukkan bahwa identitas maskulinitas dapat diubah melalui penyadaran. Penyadaran tersebut membawa semangat egaliter dan kehidupan harmonis. Penelitian tersebut dapat menjadi inspirasi dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.
Terwujudnya kesetaraan gender dalam perspektif hak asasi manusia merupakan cita-cita dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Pria dan perempuan memiliki hak asasi untuk diakui dan dihargai. Posisi laki-laki dan perempuan bukan lagi relasi dominasi atau ketundukan perempuan kepada laki-laki, tetapi dalam kesetaraan gender. Identitas maskulinitas yang masih dominan dalam berbagai budaya masyarakat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ternyata dapat diubah atau dikonstruksi. Tulisan ini mencoba memaparkan studi kasus (Gibss, 2016, p.127-158) yang ditulis Philip Gibbs, sosiolog, dan rohaniwan SVD yang berkarya di Keuskupan Daru-Kiunga, Papua Nugini. Konstruksi gender ini berangkat dari perspektif laki-laki.
Implementasi maskulinitas (kejantanan) kerap terwujud dalam dan melalui bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan dan dipandang lumrah dalam berbagai kebudayaan dunia. Maskulinitas dicapai bila berhasil menundukkan atau mengendalikan lawan jenis atau sesama jenis lewat kekerasan. Sebut saja capaian maskulinitas seperti itu ditemukan dalam kebudayaan di Afrika Selatan (Gear, 2010, p.316) dan pandangan senada juga terdapat di Papua Nugini (Gibbs, 2016, p.127).
Maskulinitas dalam konteks budaya
Di Afrika Selatan, budaya kekerasan terhadap sesama jenis di penjara pria lumrah terjadi. Pelaku kekerasan merasa lebih maskulin jika dapat menunjukkan kejantananannya dengan memperkosa laki-laki sesama jenis. Kejantanannya dicapai melalui kekerasan seksual. Korban perkosaannya dijadikan sebagai ‘istri’ atau ‘teman perempuan’nya layaknya hubungan suami istri di luar (Gear, 2010 p.317).
Menurut Gear, gagasan kuat tentang maskulinitas dan seksualitas terkait dengan sejarah Afrika Selatan yang berjuang melawan kaum apartheid (Gear, 2010, p.316). Pemuda Afrika berjuang dengan kekerasan melawan perlakuan diskriminasi kulit putih.
Dalam kebudayaan masyarakat Papua Nugini terdapat pandangan yang sama. Maskulinitas pria bergantung pada kemampuan pria mengendalikan kaum perempuan. Maskulinitas tercapai bila penundukan perempuan oleh laki-laki berhasil. Kejantanan tersebut dicapai lewat kekerasan baik fisik maupun verbal. Kekerasan-kekerasan ini lumrah terjadi dalam menyelesaikan konflik dan mengungkapkan kemarahan dalam masyarakat Papua Nugini.
Maskulinitas dan kekerasan
Mengapa maskulinitas dikaitkan dengan kekerasan? Maskulinitas hadir dan terbentuk dalam kebudayaan. Dari literatur yang ada, kekerasan menjadi lumrah karena praktik atau habitus tercipta dengan sendirinya di Penjara Pria Afrika dan Provinsi Western, Papua Nugini. Kejantanan dimaknai dan mewujudnyata dalam dominasi atau penundukan kaum perempuan oleh laki-laki, yang jamak terjadi lewat jalan kekerasan.
Dari penelitian Gear (p.317), penetrasi seksual dipaksakan kepada korbannya yang selanjutnya dipandang sebagai ‘istri’-nya untuk menunjukkan dan menguatkan identitas maskulinitas pelaku. Dalam hal ini, gender digabungkan dengan peran seks yang direalisasikan melalui kekerasan seksual.
Studi kasus penyadaran gender di Keuskupan Daru-Kiunga
Apakah identitas maskulinitas ini bisa diubah dan diangkat ke dalam perspektif kesetaraan gender? Apakah konstruksi ‘kebudayaan’ ini dapat dikonstruksi menjadi sebuah kesadaran akan kesetaraan gender? Philips Gibbs melakukan penelitian lewat studi kasus dalam Kelompok Pria (39 orang dari 12 Paroki) di Keuskupan Daru-Kiunga, Provinsi Western Papua Nugini. Kelompok Pria ini terbentuk atas inisiatif para pria dalam rangka merefleksikan identitas dan peran mereka dalam menghadapi masalah terutama kemajuan masyarakat yang pesat dan dampak industri pertambangan dan penebangan kayu di Papua Nugini (Gibbs, 2010, p.130).
Kelompok Pria melakukan pertemuan-pertemuan selama bertahun-tahun di Kiunga, mulai dari tahun 2006 hingga 2009. Mereka membahas dan merefleksikan berbagai tema antara lain, identitas dan peran sebagai pria, kekerasan, bahasa dan nilai-nlai berbasis hak, ketidaksetaraan gender, ketimpangan kekuasaan antara pria dan Wanita, ‘suasana batin’ pria, dampak lingkungan-sosial industri pertambangan, penyebaran HIV-AIDS dan sihir atau sanguma. Pada tahun 2012, kelompok pria melalui tim inti berjumlah 12 orang bertemu bersama di Kiunga. Mereka Kembali berdiskusi tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan dan menjadikan hak asasi manusia menjadi program kesadaran laki-laki terkait peran dan tanggung jawab mereka di tengah masyarakat.
Mekanisme pertemuan lokakarya dilaksanakan dalam bentuk presentasi, diskusi bebas, dan dramatisasi. Fasilitator memberikan pengantar dan pengenalan singkat tentang tema-tema yang akan dibahas, kemudian peserta diajak berdiskusi dan sharing pengalaman secara kelompok. Hasil diskusi diplenokan baik secara lisan, tertulis, grafik maupun dalam bentuk drama.
Malalui pertemuan pleno ini, para peserta memunculkan pertanyaan dan masalah yang menjadi bahan diskusi dalam kelompok besar. Fasilitator membuat catatan rinci dari diskusi dan memberikan umpan balik. Setiap malam peserta melakukan rapat evaluasi untuk mencari cara terbaik untuk melanjutkan lokakarya di hari berikutnya. Kisah-kisah pertemuan ini direkam dan menjadi bahan penting.
Kesadaran kesetaraan gender
Dari catatan Gibbs, pertemuan lokakarya selama bertahun-tahun tersebut pelan-pe;an dari waktu ke waktu dapat meningkatkan kesadaran, dan membentuk kelompok Gerakan Pria. Ditemukan ada tiga poin penting terkait hubungan laki-laki dan perempuan, yaitu: (1) peran dan tugas tidak eksklusif milik laki-laki; (2) kesetaraan dalam wacana perbedaan, dan (3) terjadinya pergeseran dari model kontrol hierarkis ke kontrol egaliter dalam masyarakat.
Kesadaran akan kesetaraan peran dan tugas laki-laki tidak datang begitu saja. Di masa lalu, anak laki-laki dipisahkan dari ibu dan saudara perempuannya dengan tujuan agar tidak terjadi kontak yang tidak pantas yang mengganggu perumbuhan mereka. Tradisi lainnya, anak laki-laki akan pergi untuk waktu yang lama ke dalam hutan untuk belajar merdeka atau mandiri. Nilai kemandirian ini dicapai dengan tinggal berbulan-bulan di hutan. Lalu bagaimana pandangan tradisional ini diterjemahkan dengan bahasa di era sekarang?
Konsep seperti ini harus diterjemahkan dengan ungkapan yang aktual dan relevan. Ditemukan ada tiga peran maskulinitas yang relevan, yaitu pria sebagai penyedia (provider), pelindung (protector), dan pemimpin (leader). Sebagai penyedia, pria bertugas menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi keluarga dan komunitasnya. Sebagai pelindung, pria bertugas melindungi keluarga dan kelompoknya. Sebagai pemimpin, pria mengambil keputusan yang bijaksana dan membimbing keluarganya agar tidak terombang-ambing tanpa kemudi di tengah lautan. Tiga peran laki-laki ini sangat cocok dengan pemahaman tradisional sebagai pemburu, pelindung dalam peperangan dan pemimpin di desa.
Dalam salah satu lokakarya juga muncul kesadaran bahwa orang dapat mengubah budaya yang diwariskan. Kebudayaan itu bukanlah sesuatu seperti batu yang tidak dapat diubah. Para leleuhur juga adalah manusia biasa. Untuk itu, kebudayaan yang baik dapat dilestarikan, sedangkan kebudayaan yang tidak relevan dapat dibuang seperti praktik sihir atau sanguma. Peran sebagai penyedia, pelindung dan pemimpin sangat tepat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda.
Ketiga peran laki-laki tersebut di atas tidak ekslusif dimiliki laki-laki. Peran tersebut juga dimiliki perempuan dengan wacana dan pengungkapan yang berbeda-beda. Sebagai penyedia, perempuan menyediakan makanan untuk anak-anak dan suami. Sebagai pelindung, Wanita membela dan melindungi suami ketika dalam masalah, misalnya di sidang pengadilan. Sebagai pemimpin, perempuan melatih anak-anak agar berdisiplin dalam waktu. Anak-anak diberi batasan dalam bermain dengan teman-teman sebayanya. Inilah sebuah kesetaraan dalam perbedaan.
Pergeseran dari model kontrol hierarkis ke kontrol egaliter juga menjadi kesadaran para pria sebagai hasil dari pertemuan-pertemuan bersama. Uskup Côté mengakui bahwa Gereja Katolik cenderung patriarkal, kurang mengakui feminin. Gereja di Keuskupannya sedang bergumul mencari solusi agar pria dan wanita berpartisipasi bersama dalam komunitas dan kerja tim.
Perpindahan pemahaman tentang model kontrol dari hierarkis ke egaliter lebih dipengaruhi oleh ajaran kristiani. Sekurang-kurangnya perubahan pemahaman itu diilhami ayat Kitab Suci tentang penciptaan. Pertama, Allah menciptakan pria dan wanita secitra dengan Allah. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej. 1:27). Para pria melihat bahwa pria dan wanita sama di hadapan Allah, meskipun berbeda-beda secara fisik.
Kedua, perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Para pria dalam lokakarya menafsirkan bahwa perempuan dibentuk dari bagian tulang rusuk pria (dekat di hatinya) untuk menjadi pendamping di sisinya. Pemahaman ini membawa kesadaran bahwa pria dan wanita adalah setara dan sejajar, tidak lagi laki-laki mensubordinasi perempuan, tetapi dalam posisi berdampingan.
Dukungan otoritas
Inisiatif dan program gerakan pria ini sangat didukung oleh Uskup Gilles Côté, pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Daru-Kiunga, Papua Nugini. Uskup Keuskupan Daru-Kiunga ini menjadi fasilitator, dan Gibbs menjadi penasehat dalam program Kelompok Pria ini. Uskup Gilles Côté berharap Kelompok Pria atau Papa Grup ini menjadi sebuah gerakan yang membuat para pria dapat menghadapi dunia modern dan termasuk dapat membangun relasi yang sehat dengan istri dan keluarganya.
Gerakan pria ini merasakan bahwa kesadaran akan hak asasi manusia dalam perpektif gender adalah hal yang positif. Kesadaran hak asasi seperti ini lebih merupakan pengaruh ajaran kristiani, bukan seperti dipahami berdaarkan pandangan sekuler seperti di Amerika Serikat atau di Australia. Tim inti gerakan ini berencana melanjutkan program penyadaran ini dalam komunitas basis kristiani melalui tiga level strategi, yaitu: (1) penyadaran, (2) pelatihan keterampilan, dan (3) perubahan organisasi.
Untuk program penyadaran, kelompok akan menerbitkan buletin sebagai wadah penyampaian sekaligus penyadaran ide atau gagasan-gagasan positif. Pelatihan keterampilan diwujudkan dalam bidang komunikasi efektif, pendidikan seks, pembekalan perkawinan, penanganan alkohol dan narkoba. Perubahan organisasi dimaksudkan penyesuaian (integrasi) dengan rencana pastoral keuskupan berbasis komunitas basis kristiani.
Penutup
Kekerasan dalam relasi maskulinitas-feminitas yang terjadi Afrika Selatan dan Papua Nugini bisa jadi terjadi juga dalam lingkup penjara dan budaya nusantara. Pandangan maskulinitas berbasis kekerasan yang sudah terbentuk dalam budaya tersebut bukan tidak mungkin untuk diubah atau didekonstruksi. Namun, hal ini tidak mudah. Perubahan itu mungkin, jika didukung otoritas (pemerintah, pemuka agam dan masyarakat) dan lingkungan yang kondusif. Perubahan itu bisa diwujudkan dengan dengan melakukan penyadaran terus-menerus melalui berbagai wadah (lokakarya) dan media massa baik cetak maupun non cetak.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar