Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Januari 26, 2017

Perijinan 11 Rumah Ibadat Non Muslim di Aceh Singkil Dilanjutkan


Para Narasumber. foto: pormadi 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menegaskan bahwa proses perijinan 11 rumah ibadat yang disepakati sejak Oktober 2015 menggunakan Peraturan Gubernus Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Demikian salah satu penegasan hasil Lokakarya tentang Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diselenggarakan Komnas HAM RI selama dua hari, Kamis dan Jumat (19-20 /01/2017) di Subulussalam, Aceh.

Dalam lokakarya tersebut, ketua Komnas HAM RI, Dr. Imdadun Rahmat menegaskan, “Sesuai kesepakatan dan pembicaraan resmi dengan Plt. Bupati Aceh Singkil, pada 18 Januari 2017 di rumah dinas Bupati, pukul 21.00-22.00 WIB bahwa proses perizinan pendirian 11 gereja tetap berdasarkan pada Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007, mengingat proses perizinan 11 gereja telah dikeluarkan sejak Oktober 2015 sebelum Qanun (Red. Qanun nomor 4 Tahun 2016). Ini harus dipegang bersama”.

Hal itu dikatakan Ketua Komnas HAM, yang juga sekaligus menjadi pembicara, ketika ada pertanyaan dari peserta lokakarya yang berasal dari seorang pejabat setingkat eselon III di jajaran pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.

Lebih lanjut Imdadun Rahmat menjelaskan bahwa ada hak-hak internum setiap individu, yang tidak bisa dikurangi, yaitu hak untuk mengimani dan memilih satu agama (non derogable rights). Selain hak-hak internum, adapula hak-hak yang bida sa dibatasi (ditangguhkan) atau diatur cara menikmati dan melaksananakannya, tetapi tidak bisa dihilangkan secara keseluruhan. Sifat hak asasi manusia secara keseluruhan adalah tidak boleh dihilangkan.

Terkait hak untuk mengimani dan memilih satu agama, menurut Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh dan juga Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang juga menjadi pembicara pembicara pada lokakarya tersebut sepakat bahwa hak atas KBB tidak bertentangan dengan Syariat Islam, bahkan nilai-nilai dan sejarah peradaban Islam mendukung pelaksanaan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan itu. Kepala Dinas Syariat Islam tersebut mengapresiasi dan memberikan penghargaan kepada Komnas HAM atas pertemuan ini untuk saling berdiskusi, mendengar, dan membicarakan tentang sisi normatif dan praktik Syariat Islam di Aceh dalam kaitannya dengan kebebasan beragama.



Tiga Masalah Ditemukan Komnas HAM

Koordinator KBB Komnas HAM, Dr. Jayadi Damanik, yang menjadi pembicara berikutnya, mengemukakan bahwa Komnas HAM menemukan tiga permasalahan kebebasan beragama yang telah muncul di Aceh Singkil, yaitu pendirian rumah ibadah, pendidikan agama peserta didik di sekolah, dan hak-hak penghayat kepercayaan, antara lain Parmalim (Pambi).

Dari materi dan pemantauannya di Kabupaten Aceh Singkil, Koordinator KBB Komnas HAM, merekomendasikan beberapa hal, antara lain berikut ini: (1) pendirian rumah ibadah Non Muslim di Aceh Singkil, termasuk untuk kelanjutan pendirian rumah ibadat di Aceh Singkil yang telah memperoleh Rekeomendasi Kemenag dan FKUB setempat, merujuk pada PBM No.9/8 Tahun 2006, setidaknya merujuk pada Pergub No. 25/2007; (2) Qanun Nomor 4 Tahun 2016 tidak dapat diterapkan sebagai dasar hukum pendirian rumah ibadat non muslim di Aceh, termasuk di Aceh Singkil; (3) bila hendak mengatur secara khusus pendirian Rumah Ibadah Muslim di Aceh, maka pengaturannya dapat dengan Qanun, tetapi Qanun tidak dapat mengatur pendirian rumah ibadah non muslim, sebab pengaturan (pembatasan) hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan undang-undang (bdk. Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945).

Salah satu peserta dari Kementerian Agama RI, Direktur Urusan Agama Katolik, Sihar Petrus Simbolon menyampaikan ucapan terimakasih kepada Komnas HAM RI yang mengikutsertakan Ditjen Bimas Katolik dalam lokakarya ini.

“Saya mengucapkan terimakasih kepada Komnas HAM, karena kami diikutsertakan. Saya banyak belajar dari lokakarya ini. Kesan saya, seluruh peserta yang hadir, baik pejabat pemerintah dari Pusat mau[pun dari Daerah punya rasa cinta dan keadilan, bertekad menyelesaikan persoalan di Aceh Singkil. Persoalan di Aceh SIngkil perlu kita selesaikan, agar umat beragama dapat beribadat dengan tenang dan aman. Sebagai Direktur Urusan Agama Katolik, saya berdoa dan memohon agar tekad kita, umat beragama di Aceh Singkil segera mendapat ijin 11 rumah ibadat sesudah PILKADA serentak 2017”, katanya penuh harap.

Pada akhir pertemuan, peserta lokakarya memberikan masukan dan penegasan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh agar (1) melanjutkan proses penerbitan IMB pendirian rumah ibadat untuk 11 rumah ibadat segera setelah Pilkada di Aceh Singkil berdasarkan Pergub. Nomor 25 Tahun 2006; (2) berupaya memfasilitasi guru agama selain Islam di sekolah-sekolah Negeri atau setidaknya tidak memaksakan pendidikan agama Islam kepada anak-anak yang menganut agama lain; (3) memberikan jaminan hak atas identitas kependudukan, termasuk dokumen kependudukan lainnya dan layanan publik, bagi penganut penghayat kepercayaan di Aceh Singkil. Panitia Lokakarya yang mengundang peserta dari berbagai unsur terkait dari jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil (Kodim, Polsek, KakanKemenag), Pemerintah Provinsi Aceh, dan Kementerian terkait (Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Agama RI) bertujuan untuk memperkuat pemahaman hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan mendorong peranserta aktif semua stakeholder, termasuk Pemerintah Daerah dalam pemenuhan dan perlindungan hak atas KBB di Aceh secara umum dan di Aceh Singkil secara khusus. (sudah pernah ditayangkan di bimaskatolik.kemenag.go.id, Pormadi, liputan dari Aceh)

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger