Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Selasa, April 01, 2008

BILA RAKYAT HIDUP TANPA NEGARA

Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini, rakyat memunculkan dan menggelar pengadilan versi mereka di Desa Keboromo, Jawa Tengah. Saat rakyaT desa mengetahui sejumlah pamong desa korupsi dengan “menggelapkan” hasil penjualan tanah desa untuk pelebaran jalan, rakyat membawa mereka ke meja hijau hasil buatan mereka sendiri.


Proses sidang rakyat tersebut berlangsung sembilan jam, pertanda seriusnya pelaksanaan pengadilan. Para pamong pun menyerah dan bersedia mengembalikan uang korupsi ke kas desa. Sidang berlangsung tanpa hukum acara, tanpa hukum pidana, tanpa jaksa penuntut umum, tanpa hakim negara, di luar pengadilan, dan syukurlah dapat berhasil baik.

Ada fenomena bahwa rakyat dapat hidup tanpa negara. Rakyat memproses dan memperbaiki ketidakberesan yang mengganggu kesejahteraan bersama. Apakah mungkin rakyat dapat hidup sekurang-kurangnya berkecukupan tanpa negara?

Fenomena Hidup Tanpa Negara

Para petani di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan tidak bisa menikmati kenaikan harga beberapa komoditas seperti harga karet di pasar internasional. Harga karet pada Maret ini malahan turun lebih rendah daripada sebelumnya di atas Rp 12.000,- per kilogram menjadi Rp 11.000,-. (Kompas 24/03).

Nasib kebanyakan korban bencana alam di negeri ini kerap kali kurang mendapat perhatian serius dari negara seperti mereka yang menjadi korban lumpur Lapindo di Jawa Timur.

Kalau pendapat para pakar ekonomi seperti diberitakan media massa, pertumbuhan perekonomian nasional cukup baik, 6,3 persen. Namun realitas perikehidupan rakyat semakin digerogoti ancaman gizi buruk dan kelaparan karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok berlomba-lomba melonjak tinggi. Selain kenaikan harga kebutuhan pokok, kelangkaan beberapa bahan pokok seperti minyak tanah dan kedelai ikut menambah stres rakyat banyak.

Di tengah kehidupan rakyat yang demikian pemerintah dan DPR masih belum menemukan kesepakatan siapa calon gubernur Bank Indonesia yang disepakati bersama, yang konon turut menentukan kebijakan ekonomi negara. Padahal rakyat sudah mendesak untuk diperhatikan dan diperbaiki nasibnya.

Negara Ada karena Rakyat

Dalam sistem dan kehidupan demokrasi seperti Indonesia sekarang, kesejahteraan dan perbaikan kehidupan bersama menjadi prioritas kebijakan pengelola negara. Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan hasil pilihan alias kesepakatan rakyat banyak. Itu artinya kepemimpinan mereka atas negara menjadi legitim.

Bisa dikatakan, negara sebagai entitas politik itu sendiri ada karena rakyat ada. Oleh karena itu otoritas negara atas warganya berlaku sejauh otoritas itu meningkatkan kesejahteraan umum.

Thomas Hobbes (1588-1679) dalam bukunya Leviathan mengatakan bahwa kodrat manusia-manusia yang utama adalah sama alias sederajat. Oleh karena itu sang pemimpin negara hanya menjadi mungkin apabila ada persetujuan (consent) dari manusia-manusia yang bersangkutan. Instansi yang memerintah hanya terjadi apabila masing-masing individu melakukan konvensi. Konvensi bisa tercapai apabila pemerintah tersebut mampu mencapai tujuan bersama yaitu mengatasi the state of nature atau keterancaman hidup manusia karena manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Untuk itu, pemerintah yang disepakati individu-individu untuk memerintah seyogiyanya memperhatikan nasib dan kehidupan mereka yang semakin terancam dari “serigala-serigala” yang semakin merajalela.

Gagalkah Pengelola Negara kita?

Melihat realitas kehidupan rakyat banyak dalam sistem dan kehidupan demokrasi Indonesia saat ini, apakah pengelola negara sudah berkompeten mengatur dan memperjuangkan kehidupan rakyat yang sejahtera, damai, adil dan makmur?

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa pengelola negara baik nasional maupun lokal sebaiknya berlatar belakang pebisnis (Kompas 22/11/2006). Butet Kartarejasa mengajukan bahwa pemimpin negara itu sebaiknya berlatar belakang seniman. Para Filosof seperti Plato dan Aristoteles mengajukan bahwa pemimpin negara yang baik adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan alias para filosof. Lain lagi dengan Machiavellian, seorang pemimpin sejati adalah adalah politikus sejati yang tahu merengkuh dan mempertahankan takhta kekuasaannya.
Siapapun pemerintah yang tepat dan berkompeten serta berlatar belakang apa pun dia, yang paling utama adalah mengenal raison d’être-nya negara Indonesia yang sudah digagas the founding fathers terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: “membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Apapun alasannya, rakyat tidak bisa mencapai kesejahteraan bersama bila tidak ada otoritas negara yang mengatur kehidupan mereka entah secara eksekutif, legislatif maupun judikatif. Bila tidak, maka “serigala-serigala” akan memangsa manusia-manusia lainnya.

Bila kita melihat ada fenomena negara tidak memperhatikan dan mengutamakan kebaikan rakyat banyak, maka saat itulah terjadi pelalaiaan raison d’être sekaligus visi dan misi pembentukan negara Indonesia. Bukan tidak mungkin, terpicu oleh keterancaman dan menderitanya kehidupan harian, rakyat akan “mencabut” kesepakatan atau pelegitimasian terhadap mereka mengelola negara.


Penulis adalah pemerihati sosial, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger