Mandala: “Dari Medan Menuju Jakarta”
(sebuah pemaknaan)
(sebuah pemaknaan)
Baru saja kita menyaksikan bersama, pesawat Mandala Boeing737-RI 091 mengalami kecelakaan (05/09/2005) yang menewaskan ratusan penumpang ditambah dengan sejumlah penduduk akibat tertimpa pesawat. Kecelakaan terjadi akibat gagal melakukan take-off, lalu jatuh, meledak, dan hancur berkeping-keping.
Konon, pesawat tersebut hendak mengadakan perjalanan dari Medan menuju Jakarta. Amat bermakna jika kita coba merenungkan tragedi pesawat Mandala: “dari Medan menuju Jakarta.
Tragedi Mandala
Barangkali ada baiknya pemaknaan tragedi Mandala kita awali dengan mencermati unsur-unsur berikut ini: mulai dari pesawat Mandala, para penumpang, pilot dan para pembantunya dan akhirnya perjalanan dari Medan menuju Jakarta.
Pesawat Mandala merupakan suatu alat transportasi yang sedianya diharapkan dapat membawa penumpang dari Medan menuju Jakarta. Namun karena pesawat “tidak sehat” alias mengalami ketidakberesan maka pesawat gagal take-off dan berujung pada kehancuran. Artinya pesawat yang tidak layak terbang semestinya direparasi atau diperbaiki lebih dulu atau barangkalu perlu diganti dengan yang baru.
Lalu para penumpang pesawat, mereka adalah insan-insan yang beraneka ragam dilihat dari suku, agama, ras dan antargolongan. Kenyataan demikian nyata kita saksikan lewat media televisi dan surat kabar ketika berita kecelakaan pesawat tersebut dilaporkan.
Kalau kita mencermati dari segi etnologis para penumpang Mandala tersebut, maka kita akan tahu bahwa mereka terdiri dari etnis Batak, Jawa, Tionghoa, Aceh dan barangkali masih ada suku lainnya.
Yang lebih berkesan lagi, para penumpang memeluk agama yang berbeda antara lain agama Islam, Katolik, Kristen, Budha dan agama lainnya. Hal ini kita saksikan ketika televisi baik milik pemerintah maupun swasta menyiarkan dan menampilkan pemakaman para korban yang tewas. Para korban tewas beragama Islam dimakamkan seturut ajaran Islam. Demikian pula pemakaman korban tewas beragama Katolik atau Kristen dimakamkan secara Kristiani. Pemandangan mengharukan lewat televisi tersebut menunjukkan kemajemukan dan keberbedaan yang indah.
Lalu, pilot bersama para pembantunya merupakan insan-insan kepercayaan pemilik Mandala dan otomatis oleh para penumpang pula. Para penumpang memercayakan keselamatan dan keamanan diri mereka sepenuhnya kepada pilot dan para pembantunya selama dalam perjalanan menuju tempat tujuan. Pilot menjadi tokoh kunci dan penting selama dalam perjalanan. Ia mengendalikan pesawat seturut ilmu penerbangan yang ia pelajari. Ia juga sadar bahwa pencapaian tujuan bersama tercapai dengan baik bila penumpang mau bekerja sama dengan dirinya. Misalnya para penumpang harus mematikan alat-alat elektronik selama perjalanan seperti Handphone (telepon selular) agar perjalanan pesawat tidak terganggu.
Selanjutnya unsur perjalanan dari Medan menuju Jakarta. Medan merupakan titik keberangkatan. Jakarta menjadi titik tujuan. Perjalanan dari Medan menuju Jakarta ditempuh dengan pesawat. Gambaran perjalanan dari Medan menuju Jakarta adalah sebuah pergerakan dari satu menuju titik lain, dari suatu keadaan menuju keadaan lain, dari keadaan lama menuju suatu keadaan baru. Pencapaian tujuan dapat tercapai dengan baik bila pilot dan para pembantunya memastikan dan menjamin bahwa pesawat akan dapat terbang dan atau siap mengadakan perjalanan. Namun bila pilot dan para pembantunya sembrono dan para penumpang keras kepala misalnya, maka pesawat akan gagal take-off, lalu jatuh dan meledak, akhirnya hancur berkeping-keping.
Dari Medan Menuju Jakarta
Setelah mencermati beberapa unsur peristiwa tragedi Mandala tersebut, saya melihat ada kesamaan antara perjalanan Mandala yang berangkat dari Medan menuju Jakarta dengan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berangkat dari suatu keadaan ketertinggalan dan sedang kiris multidimensi menuju suatu keadaan kemajuan negara yang demokratis, adil dan sejahtera.
Pesawat Mandala itu adalah negara kita. Para penumpang yang majemuk dan pluralis merupakan kenyataan warga NKRI. Pilot dan para pembantunya mewakili para pemimpin kita bersama para pembantunya. Perjalanan dari Medan menuju Jakarta adalah perjalanan NKRI dari keadaan miskin menuju keadaan makmur.
Dalam perjalanan tersebut para warga negara telah memercayakan keselamatan dan keamanan diri mereka kepada pemerintah bersama aparatur lainnya. Itu berarti para warga negara menyerahkan hak untuk pemeliharaan dan pengayoman kepada penyelenggara pemerintahan yang mereka percayai.
Selain itu, para warga NKRI harus mendukung pemerintah dalam melaksanakan programnya dalam kerangka pencapaian tujuan bersama. Artinya ada kerjasama antara warga NKRI dengan pemerintahnya.
Sebaliknya pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan seyogiyanya memastikan “kesehatan” negara sebelum mengadakan perjalanan. Pemerintah semestinya memastikan apakah semua warga NKRI sudah terjamin keselamatan dan keamanannya.
Siapapun yang menjadi “pilot” NKRI, ia harus menjamin keselamatan dan keamanan warga negara, seturut dasar dan konstitusinya (Pancasila dan UUD 1945). Ketetapan itu dirumuskan para bapa bangsa (the founding fathers) untuk memastikan “kesehatan” NKRI.
Menjadi relevan apa yang pernah dikatakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa kita tidak usah takut akan siapa yang menjadi “pilot” atau peminpin negeri ini, asal ia memelihara dan menjamin kebebasan pers, kebebasan akademik, kebebasan berkumpul dan berserikat, (bdk. Saydan, 1999: 3) termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Tentulah, tak seorangpun dari warga ini menginginkan NKRI mengalami tragedi Mandala. Pesawat Mandala tidak sampai ke tujuan karena pesawat “tidak sehat” alias dalam keadaan tidak layak terbang. Harapan kita sebagai warga, semoga perjalanan NKRI “dari Medan menuju Jakarta” berhasil dengan selamat sehingga negara yang demokratis, adil dan sejahtera terwujud.
Penulis adalah alumnus STFT Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar