PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL
Oleh Pormadi Simbolon
Baru-baru ini Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dalam pidato politiknya saat peringatan ulang tahun ke-41 Partai Golkar, 26 Nopember 2005 yang lalu,, mewacanakan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjun ke kancah perpolitikan nasional. Latar belakang wacana tersebut rasional karena PNS yang rata-rata memiliki SDM (sumber daya manusia) yang lebih baik daripada kalangan swasta harus diberi kesempatan berkiprah dalam dunia politik.
Selain itu, banyak intelektual di jajaran birokrasi yang sangat layak untuk terjun dalam percaturan politik praktis. Pengalaman kebirokrasian, pendidikan dan pelatihan yang tertata secara sistematis menjadi kelebihan tersendiri bagi para insan PNS.
Pernyataan Jusuf Kalla yang adalah Ketua Umum Golkar itu menuai protes. Wacana yang berciri Orde Baru itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
PNS dan Kedudukannya
PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian).
Dalam Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa PNS bekedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
Dalam sejarahnya, PNS membentuk organisasi KORPRI bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasinya. Namun wadah tersebut pernah digunakan sebagai alat atau kendaraan politik untuk meraih kemenangan suara dalam Pemilu pada masa Oede Baru yang lalu.
Dari pengalaman masa lalu yang mencoreng nama baik KORPRI itu, para insan PNS menyadari perlunya kembali ke jati diri dan semangat awalnya yaitu sebagai abdi negara dan masyarakat tanpa diskriminasi. Hal itu dirumuskan dalam Panca Prasetya KORPRI dalam Munas yang diadakan pada tahun 1999, yang berbunyi: (1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. (3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia dan 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas.
Pelayan Semua, bukan Pelayan Parpol
Bila dilihat dari jati bdirinya, para insan PNS adalah pelayan untuk semua warga negara sesuai dengan bidang masing-masing tanpa diskriminasi atas suku, agama, ras dan golongan. Pegawai Negeri yang terdiri dari Pegawai Sipil, anggota TNI dan POLRI, akhir-akhir ini kembali diajak untuk terjun ke lautan politik praktis.
Berangkat dari pengalaman sejarah, ajakan kembali para PNS memasuki dunia politik tidak berlebihan bila disebut sebagai langkah mundur dan sebuah strategi yang tidak populis dan tidak menjanjikan lagi.
Memperhatikan kenyataan pada masa Orde Baru, KORPRI sebagai pemersatu insan PNS malah mengalami eksistensi yang tidak menguntungkan karena fungsi dan tujuan semula sebagai wadah mempersatukan anggotanya dan menyukseskan program pembangunan nasional serta mewujudkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pegawai Republik Indonesia berubah menjadi alat atau kendaraan politik Golongan Karya demi meraih kemenangan dalam Pemilu pada waktu itu. KORPRI menjadi milik sekelompok masyarakat dengan aspirasi politik tertentu saja, dan lalu mengakibatkan pelayanan publiknya menjadi diskriminatif. Apakah KORPRI mau kembali jatuh kepada pengalaman masa lalu?
PNS yang berjumlah kira-kira 3,7 juta orang dan bergerak di birokrasi tersebut memang merupakan aset SDM yang patut diperhitungkan Parpol dalam merebut suara rakyat dan berkampanye dalam Pemilu. Namun PNS bisa menjadi batu sandungan alias penghambat pelayanan publik secara adil dan merata bila terjun kembali ke dunia politik.
Ajakan kembali PNS terjun ke dunia politik jelas tidak relevan lagi. Hukum positif yang sudah ada yaitu UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 jelas-jelas melarang PNS menjadi anggota Parpol atau pengurus Parpol dan justru dengan tegas mau menarik diri dari dunia politik praktis.
Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2002 dikatakan bila ada PNS yang ingin menjadi anggota Parpol harus keluar dari PNS.
Sangat ironis dan tidak relevan memang, bila wacana penarikan PNS untuk terjun ke kancah perpolitikan nasional digulirkan kembali di era reformasi dan pasca reformasi. Sejak tahun 1998 sudah dikumandangkan bahwa PNS harus menjadi insan pelayan publik dan abdi negara, bukan mendua di tengah kepentingan umum dan kepentingan partai politik.
Semangat reformasi yang begitu indah didengar dan digembar-gemborkan belum lagi terwujud sepenuhnya selama 7-8 tahun terakhir, suatu ajakan untuk kembali ke “semangat” Orde Baru datang menggoda. Di tengah proses perwujudan semangat reformasi dan upaya pemerintah mereformasi birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, melakukan pelayanan publik secara prima tanpa diskriminasi, membangun sikap netral dalam politik demi mengayomi bangsa Indonesia, di situ pulalah muncul sebuah semangat lama yang ditentang insan-insan reformis. Ialah semangat penarikan kembali para insan PNS terjun ke dunia politik dan jelas-jelas tidak sehat bagi instansi birokrasi dan pemerintahan.
Citra PNS yang sering diidentikkan sebagian orang sebagai pelaku tindak korupsi harta negara secara pelan-pelan sedang proses menuju perubahan ke citra PNS yang bersih dan berwibawa, di saat itu pulalah PNS hendak dibawa kembali kepada keadaan yang semakin memperburuk citra PNS itu sendiri. Dengan masuknya para insan PNS ke dunia politik, itu berarti mereka harus berperan ganda dimana dua kepentingan yang saling berbeda harus mereka lakoni.
Yang paling mendasar dari jati diri para insan PNS adalah kedudukannya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang hanya menjalankan kebijakan dan keputusan yang ditetapkan dalam undang-undang kenegaraan yang sah, entah siapapun pimpinan pemerintahan yang sah pula dan pengganti-penggantinya. Jadi para insan PNS beserta wadahnya KORPRI, bukanlah pelayan Parpol tertentu atau Golongan Karya versi Orde Baru tetapi pelayan semua dan diperuntukkan bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.
Penulis adalah insan PNS, tinggal di Jakarta
Oleh Pormadi Simbolon
Baru-baru ini Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dalam pidato politiknya saat peringatan ulang tahun ke-41 Partai Golkar, 26 Nopember 2005 yang lalu,, mewacanakan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjun ke kancah perpolitikan nasional. Latar belakang wacana tersebut rasional karena PNS yang rata-rata memiliki SDM (sumber daya manusia) yang lebih baik daripada kalangan swasta harus diberi kesempatan berkiprah dalam dunia politik.
Selain itu, banyak intelektual di jajaran birokrasi yang sangat layak untuk terjun dalam percaturan politik praktis. Pengalaman kebirokrasian, pendidikan dan pelatihan yang tertata secara sistematis menjadi kelebihan tersendiri bagi para insan PNS.
Pernyataan Jusuf Kalla yang adalah Ketua Umum Golkar itu menuai protes. Wacana yang berciri Orde Baru itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
PNS dan Kedudukannya
PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian).
Dalam Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa PNS bekedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
Dalam sejarahnya, PNS membentuk organisasi KORPRI bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasinya. Namun wadah tersebut pernah digunakan sebagai alat atau kendaraan politik untuk meraih kemenangan suara dalam Pemilu pada masa Oede Baru yang lalu.
Dari pengalaman masa lalu yang mencoreng nama baik KORPRI itu, para insan PNS menyadari perlunya kembali ke jati diri dan semangat awalnya yaitu sebagai abdi negara dan masyarakat tanpa diskriminasi. Hal itu dirumuskan dalam Panca Prasetya KORPRI dalam Munas yang diadakan pada tahun 1999, yang berbunyi: (1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. (3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia dan 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas.
Pelayan Semua, bukan Pelayan Parpol
Bila dilihat dari jati bdirinya, para insan PNS adalah pelayan untuk semua warga negara sesuai dengan bidang masing-masing tanpa diskriminasi atas suku, agama, ras dan golongan. Pegawai Negeri yang terdiri dari Pegawai Sipil, anggota TNI dan POLRI, akhir-akhir ini kembali diajak untuk terjun ke lautan politik praktis.
Berangkat dari pengalaman sejarah, ajakan kembali para PNS memasuki dunia politik tidak berlebihan bila disebut sebagai langkah mundur dan sebuah strategi yang tidak populis dan tidak menjanjikan lagi.
Memperhatikan kenyataan pada masa Orde Baru, KORPRI sebagai pemersatu insan PNS malah mengalami eksistensi yang tidak menguntungkan karena fungsi dan tujuan semula sebagai wadah mempersatukan anggotanya dan menyukseskan program pembangunan nasional serta mewujudkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pegawai Republik Indonesia berubah menjadi alat atau kendaraan politik Golongan Karya demi meraih kemenangan dalam Pemilu pada waktu itu. KORPRI menjadi milik sekelompok masyarakat dengan aspirasi politik tertentu saja, dan lalu mengakibatkan pelayanan publiknya menjadi diskriminatif. Apakah KORPRI mau kembali jatuh kepada pengalaman masa lalu?
PNS yang berjumlah kira-kira 3,7 juta orang dan bergerak di birokrasi tersebut memang merupakan aset SDM yang patut diperhitungkan Parpol dalam merebut suara rakyat dan berkampanye dalam Pemilu. Namun PNS bisa menjadi batu sandungan alias penghambat pelayanan publik secara adil dan merata bila terjun kembali ke dunia politik.
Ajakan kembali PNS terjun ke dunia politik jelas tidak relevan lagi. Hukum positif yang sudah ada yaitu UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 jelas-jelas melarang PNS menjadi anggota Parpol atau pengurus Parpol dan justru dengan tegas mau menarik diri dari dunia politik praktis.
Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2002 dikatakan bila ada PNS yang ingin menjadi anggota Parpol harus keluar dari PNS.
Sangat ironis dan tidak relevan memang, bila wacana penarikan PNS untuk terjun ke kancah perpolitikan nasional digulirkan kembali di era reformasi dan pasca reformasi. Sejak tahun 1998 sudah dikumandangkan bahwa PNS harus menjadi insan pelayan publik dan abdi negara, bukan mendua di tengah kepentingan umum dan kepentingan partai politik.
Semangat reformasi yang begitu indah didengar dan digembar-gemborkan belum lagi terwujud sepenuhnya selama 7-8 tahun terakhir, suatu ajakan untuk kembali ke “semangat” Orde Baru datang menggoda. Di tengah proses perwujudan semangat reformasi dan upaya pemerintah mereformasi birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, melakukan pelayanan publik secara prima tanpa diskriminasi, membangun sikap netral dalam politik demi mengayomi bangsa Indonesia, di situ pulalah muncul sebuah semangat lama yang ditentang insan-insan reformis. Ialah semangat penarikan kembali para insan PNS terjun ke dunia politik dan jelas-jelas tidak sehat bagi instansi birokrasi dan pemerintahan.
Citra PNS yang sering diidentikkan sebagian orang sebagai pelaku tindak korupsi harta negara secara pelan-pelan sedang proses menuju perubahan ke citra PNS yang bersih dan berwibawa, di saat itu pulalah PNS hendak dibawa kembali kepada keadaan yang semakin memperburuk citra PNS itu sendiri. Dengan masuknya para insan PNS ke dunia politik, itu berarti mereka harus berperan ganda dimana dua kepentingan yang saling berbeda harus mereka lakoni.
Yang paling mendasar dari jati diri para insan PNS adalah kedudukannya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang hanya menjalankan kebijakan dan keputusan yang ditetapkan dalam undang-undang kenegaraan yang sah, entah siapapun pimpinan pemerintahan yang sah pula dan pengganti-penggantinya. Jadi para insan PNS beserta wadahnya KORPRI, bukanlah pelayan Parpol tertentu atau Golongan Karya versi Orde Baru tetapi pelayan semua dan diperuntukkan bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.
Penulis adalah insan PNS, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar