Oleh Pormadi Simbolon
dimuat di harian SUARA KARYA, Jumat, 24 Februari 2006
Baru-baru ini, para ulama wakil sejumlah organisasi kemasyarakatan menyampaikan sejumlah kegelisahan dan kerisauan mereka atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa (Senin, 13/2) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam waktu yang tak berselang lama, para pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bergegas ke Istana menyampaikan keputusasaan karena persoalan mereka menemui jalan buntu akibat menjadi korban pemerasan dan dijadikan bola pimpong oleh oknum aparat pemerintah.
Para ulama dan debitor BLBI mendapat tempat di hati penghuni Istana Negara dan sudah pasti juga akan mendapat perhatian para anggota DPR. Lalu bagaimana dengan rakyat yang dalam keputusasaan karena kesulitan hidup bila datang ke Istana dan gedung DPR Senayan?
* * *
M Nadinir (36), seorang pemuda lajang dari Bekasi, harus gantung diri karena tidak kuat menanggung kesulitan ekonomi. Susahnya hidup membuat ia mengalami tekanan batin berkepanjangan. Ia putus asa, namun hanya diam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia memutuskan bunuh diri.
Lewat pemberitaan di layar televisi, media cetak dan internet, kita mengetahui betapa banyak rakyat mengeluh dan menjerit karena kesulitan hidup. Sebagian rakyat harus mencari kerak nasi dan sisa makanan tetangga untuk diolah ulang menjadi aking untuk makanan keseharian anak-anak dan keluarga. Ini terjadi akibat harga sembako yang terus membubung naik pasca- kenaikan harga BBM.
Para nelayan tidak bisa mencari ikan di laut karena harga solar semakin tidak terjangkau. Mereka hanya bisa mengeluh tanpa ada tanggapan berarti dari pemerintah. Mereka hanya berusaha untuk bertahan hidup dengan segala usaha yang mungkin dapat mereka lakukan.
Rasanya, nasib rakyat tidak banyak berubah dari masa pemerintahan satu ke pemerintahan lainnya. Tak pelak sempat muncul keluh kesah bahwa hidup di masa pemerintahan Soeharto lebih baik daripada di masa-masa pemerintahan sesudahnya. Sekarang ini hidup dirasakan semakin susah. Pekerjaan sulit didapat. Para petani tidak pernah bisa menikmati keuntungan hasil penjualan gabah mereka.
Kenaikan harga BBM dan kebijakan impor beras di masa pemerintahan SBY (dan pemerintahan sebelumnya) membuat hidup rakyat semakin sengsara dan berada dalam ketidakpastian. Kemiskinan selalu menggerogoti. Kematian akibat kekurangan gizi dan kelaparan pun selalu mengintai rakyat kecil.
Presiden SBY pernah meminta pengertian rakyat atas dicabutnya subsidi BBM yang katanya hanya dinikmati orang kaya. Rakyat pun diam dan mengerti seraya menanti adanya perubahan atas nasib mereka. Nyatanya, kehidupan rakyat semakin memburuk.
Menanggapi kritik dan demo anti-impor beras oleh warga masyarakat, pemerintah dan DPR cenderung apatis dan bersikap tidak peduli. L Wilardjo dalam sebuah artikel di media massa pun menyebut pemerintah dan DPR sudah tebal kuping alias ndableg.
Rakyat sering kali terpaksa harus mengalah pada kemauan pemerintah. Mereka harus menerima kebijakan pemerintah (lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif). Ketika rakyat berusaha memahami dilema yang dihadapi pemerintah, semakin lama mereka semakin menderita dan sengsara. Menangis!
Di saat sulit, gelisah dan putus asa, rakyat hanya bisa diam, memberontak tak akan berarti apa-apa. Mungkin pilihannya adalah "gantung diri" dan atau "mati pelan-pelan" dengan sendirinya?
Pasca-kenaikan harga BBM, kemiskinan selalu menggerogoti kehidupan rakyat. Kesulitan ekonomi membuat mereka ekstra ketat mengatur ekonomi keluarga. Apa pula yang terjadi pada rakyat kecil jika tarif dasar listrik (TDL) jadi dinaikkan dalam waktu dekat?
TDL memang belum dinaikkan. Namun indikasi terjadinya pengangguran dan PHK massal mulai tampak. Ratusan industri logam dan kimia di Sumatera Utara mulai merumahkan karyawannya. Demikian pula PT Sanyo Jasa Components mulai merumahkan 350 orang buruhnya agar bisa survive.
Bisa dibayangkan, kesulitan hidup semakin menjadi-jadi di kalangan rakyat. Mereka membutuhkan tempat mengadu. Bila mengadu ke Istana, rasanya sudah tidak ada artinya lagi. Ketika berdemo ke Istana soal kenaikan harga BBM dan anti-beras impor, rakyat cenderung dicuekin. Harga BBM naik, rakyat sengsara. Kebijakan impor beras dilanjutkan, rakyat tambah menderita.
Demikian pula ketika rakyat berharap pada lembaga perwakilannya sendiri di gedung DPR, yang mereka terima hanya "stempel" setuju atas impor beras. Rakyat pun kembali harus siap-siap menderita dan diacuhkan para wakilnya.
Baik kepada pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif), rakyat tampaknya sudah tidak mendapat tempat di hati mereka. Rakyat selalu dibujuk untuk coba mengerti pemerintah, bahkan pernah diberi sumbangan langsung tunai agar rakyat diam dan tenang.
Apakah kondisi negara demokratis ini masih merupakan manifestasi pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat?
Bila sejumlah tokoh elite ormas, pengusaha konglomerat dan pengutang besar datang ke Istana, mereka langsung mendapat sambutan hangat. Mereka dilayani dan dijamu dengan baik. Ini sebuah kenyataan yang ironis. Sementara rakyat?
Kehidupan rakyat semakin miskin, selain akibat kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, juga karena telah menjadi korban dari ulah para oknum pejabat pemerintah yang cenderung mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mentalitas jalan pintas (jual-beli gelar, ijazah dan jabatan), gaya hidup mewah di kalangan pejabat, berbagai bentuk tindak ilegal (penyenludupan, pemalsuan, pembajakan) dan kekerasan merupakan budaya sekelompok oknum yang menyebabkan rakyat hidup miskin, lemah, marjinal dan semakin sengsara.
Solusi untuk mengurangi kesengsaraan hidup rakyat hanyalah dengan kemauan pemerintah dan DPR untuk membuka hati dan mendengarkan jeritan penderitaan rakyat. Penguasa juga dituntut memiliki kemauan keras menindak para pelaku budaya busuk dan perusak negara serta penyengsara rakyat. Pemerintah SBY dan jajarannya diharapkan bersedia mengubah kultur pemerintahan yang selama ini terkesan acuh tak acuh kepada rakyat miskin, menjadi kultur option for the poors, not for the richEs only.
Bila republik ini masih menganut pemerintahan demokratis, seyogianya pemerintah mengedepankan kepentingan rakyat banyak, sebab kekuasaan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat.
Bila hati dan telinga pemerintah atau DPR tidak terketuk dan tak tergelitik untuk memperhatikan nasib rakyat, maka akibatnya hanya ada dua kemungkinan. Rakyat akan terus menderita tanpa henti atau terpaksa "mati pelan-pelan". ***
Penulis adalah pengamat masalah sosial,alumnus STFT Widya Sasana Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar