Dalam tulisan ini akan dipaparkan pandangan Paul
Ricoeur tentang hermeneutika, tubuh dan disproporsionalitas manusia.
Hermeneutika
Hermeneutika berusaha menjadikan
dekat apa yang jauh secara temporal, geografis, ilmiah, kultural dengan
‘mengapropriasi’ makna yang mengalami distansi dari kesadaran. Dengan
memaparkan diriku pada horizon makna “yang lain” aku melampaui batas-batas
kesadaran subjektif dan menjadikan diriku terbuka pada kemungkinan dunia baru
(Richard Kearney).
Bagi
Ricoeur hermeneutika dimulai dari penafsiran simbol menuju interpretasi teks.
Hermeneutika berusaha mencari makna dari symbol dan teks. Symbol gives rise to thought. Simbol itu mengundang, aku tidak
menentukan makna, symbol dan teks mengandung makna yang tersembunyi. Makna yang
tersembunyi itu masih perlu dipikirkan, harus ditafsirkan dan dipahami.
Dipengaruhi
oleh Gadamer, Ricoeur menggunakan konsep
distansiasi. Distansiasi merupakan pengambilan jarak dari pengarang
teks dan kondisi budayanya, dengan situasi sekarang. Bagi Gadamer distansiasi
itu membuat asing (alienating),
tetapi bagi Ricoeur, distansiasi itu positif dan produktif. Bagi Ricoeur, teks
menampilkan karakteristik fundmental teks secara historis.
Di
sini Ricoeur mengkombinasikan antara masa lampau dan masa sekarang. Masa lampau
dalam teks harus dianalisis secara objektif dengan ilmu-ilmu (positif) yang
diperlukan dalam penelaahan teks tersebut. Misalnya, bila saya mau menafsirkan
Injil Yohanes, maka saya harus mendekati Injil tersebut dari secara temporal, geografis, ilmiah, kultural
(sejarahnya, asal usul, semiotik, filologis, dan lain sebagainya). Sesudah
didekati dengan ilmu-ilmu tersebut, kemudian terbukalah bagi saya bahwa ada
sesuatu yang baru yang mau dikatakan Injil Yohanes. Tetapi sesuau yang baru itu
harus saya serap dalam diri saya. Ketika menyerap inilah yang disebut
“mengaproriasi” (mengambil menjadi milik sendiri), menjadi teks Injil Yohanes
meberi makna baru (dunia baru) bagi saya. Dapat digambarkan, hermeneutika
Ricoeur (hermeneutika lengkung)
memiliki tahap-tahap yaitu: tahap awal membaca teks, dilanjutkan dengan tahap
kritis (mendalami makna teks) dan diakhiri dengan tahap post-kritis yaitu
meng-apropriasi. Dalam hermenetika ini, diriku yang telah menjawab makna yang
ditawarkan oleh terbukanya teks. Aku memperoleh
diriku kembali setelah mencapai akhir hermeneutika.
Tubuh
Ricoeur (bersumber dari buku Le Volontaire et l’involluntaire, 1955 dan Freedom and Nature, 1966) memperlakukan
“tubuh” sebagai subjek sebagai sutau pendekatan berfilsafat. Penekatan ini menekankan pengutamaan tubuhku sebagai, tubuh
yang tidak bisa lepas dari subjek, melainkan tubuh itu selalu terkait dengan
subjek. Tubuhku adalah tubuhku dan tubuhmu adalah tubuhmu. Dengan mengamati tindakan yang lain, aku
dapat mengenali intensionalitas tindakan ini dan asal subjektifnya. Subjektif
bersifat eksternal dan internal. Melalui empati (Einfühlung), aku memiliki hubungan dengan yang lain, yang tak dapat
direduksi sebagai suatu aspek dari persepsiku. Ini penemuan tubuh pada pribadi
kedua, suatu pengakuan akan tubuh yang lain, sebagai organ dan hakekat yang
lain. Masalah antar subjektivitas diatasi dengan menolak untuk memperlakukan
tubuh hanya sebagai suatu objek; kesadaranku ditransformasikan melalui
kesadaranku akan orang lain.
Pendekatan tubuh sebagai Subjek
merupakan penolakan terhadap pendekatan psikologi empirik. Pendekatan psikologi
empirik tidak dapat menangkap makna penuh dari manusia sebagai incarnate existence. Pendekatan ini
cenderung memperlakukan tubuh sebagai objek yang diobservasi secara ilmiah, dan
mengabaikan pengalaman hidup. Metode ini mereduksi tindakan manusia (dengan
intensionalitas dan referensinya kepda ego, menjadi fakta). Dengan mereduksi
ketidaksadaran (involuntary) menjadi
sejenis fakta empiric, psikologi menyebabkan aspek kehendak dari Saya yang berpikir (Cogito) menghilang.
“Aku menghendaki” sebagai inisiatif yang
bebas dihapuskan, karena tidak memiliki makna empiric, demikian pula
subjektivitas dianalisis menurut ilmu-lmu alam.
Jadi menurut Ricoeur, tubuh manusia
adalah subjek, satu kesatuan. Manusia harus dilihat sebagai subjek, dengan
segala subjektivitasnya (segala pengalaman, referensi, kehendak, dan segala
yang menjadi bagian dirinya). Dalam berfilsafat, maka manusia dilihat sebagai
hubungan antar subjetivitasnya dengan segala keberlainan dan keberadaannya.
Pendekatan Ricoeur adalah pendekatan
yang beralih dari sikap naturalistik kepada sikap fenomenologis. Dari
pendekatan fenomenologislah, maksa sepenuhnya dari tubuh dapat dicapai. Di sini
Ricoeur berusaha mengatasi Husserl.
Karena Husserl kehilangan kedalaman dan misteri “eksistensi bertubuh”. Bagi
Ricoeur, tubuh tidak berwujud dalam arti objektivitas, juga tidak dibentuk oleh
subjek transcendental. Keduanya tidak berlaku bagi tubuh. Tubuh adalah “aku
yang bereksistensi. Baginya, fenomenologi tidak dapat mengabaikan tubuh. Tugas
filsuf adalah mengklarifikasi. Uang diperlukan adalah mengintegrasikan tubuh ke
dalam kesadaran, dan kesadaran dalam tubuh.
Disporporsionalitas
Manusia
Menurut Ricoeur, manusia tidak
proporsional dengan dirinya sendiri. Artinya realitas diri manusia tidak pernah
identik dengan diri manusia yang penuh atau lengkap (cita-citanya). Manusia
kerap kali secara de facto tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Oleh karena
itu, manusia berada di antara yang kehendak terbatas dan tidak terbatas. Oleh
karena itu, manusia dapat melakukan atau jatuh dalam kesalahanatau kejahatan.
Di sinilah kerapuhan (fragility)
manusia.
Paul Ricoeur melihat kehidupan
manusia sebagai suatu dialektik: di satu pihak aku adalah tuan atas diriku dan
aku memilih dan menghendaki rangkaian tindakan (voluntary); di pihak lain aku tunduk pada keharusan, necessity, karena keberadaanku di dunia
dengan segala sesuatu yang tak dapat aku kendalikan, karakterku, unsur-unsur
tidak sadar yang menantang kehendakku (involuntary).
Kehidupan manusia adalah “negosiasi”
antara kebebasanku sebagai manusia dan kendala yang aku alami sebagai manusia
yang hidup di dunia. Yang “baik” dan
yang “jahat” muncul dalam dialektika antara kebebasan kehendak dan “necessity”
atau dorongan-dorongan di luar kenendak atau “passions”. Sejauh manusia
memiliki kebebasan untuk bertindak, ia dapat “jatuh” atau berbuat salah.
“Fallibility” berasal dari kemungkinan manusia tunduk pada “passion”. Karena
“passion” berasal dari tubuh, dan tubuh merupakan bagian intrinsik eksistensi,
maka kemungkinan berbuat salah (kejahatan) bersifat melekat dalam diri manusia.
Perlu ditekankan “kemungkinan” berbuat salah atau jahat – bukan berarti bahwa
manusia secara inheren jahat. Kejahatan adalah kemungkinan yang terlahir
bersama – apakah ia akan mewujudkan kemungkinkan atau tidak, terserah kepada
manusia.
Ada tiga ukuran disproporsi, yang merupakan
tiga cara dalam berhubungan dengan orang lain, secara moral manusia rapuh,
yaitu: imajinasi, karakter dan perasaan. Dalam imajinasi aku melihat diriku
sebagaimana dilihat yang lain. Dalam karakter aku membedakan diriku dengan
semua orang lain. Dalam perasaan, aku merasakan sifat baik atau buruk orang
lain serta pilihanku mengenai yang bail Untuk itu, imajinasi, karakter dan
perasaan perlu disintesekan dengan akal budi sehingga terbentuk pribadi yang
utuh, pribadi (person) dengan stuatus moral. Konflik antara komponen yang
tidak-intelektual dan yang intelektual merupakan sumber kreativitas, tetapi
sekaligus memungkinkan yang jahat, karena melalui imajinasi, karakter dan
perasaan kemungkinan besar kita berbuat salah.
***
Sumber Pustaka:
Simms,
Karl, Paul Ricoeur, Routledge, London
2003
Sastrapratedja,
M, Bahan-Bahan Kuliah Antropologi
Filsafat, 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar