"Cutting Culture" Uang Rakyat versus Budaya Unggul
Oleh Pormadi Simbolon
Kereta Api Gumarang jurusan Jakarta-Surabaya, Minggu (12/8), anjlok di Dusun Kramat, Desa Mangunsari, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Penyebab anjloknya kereta api tersebut adalah pemotongan rel sepanjang 5,4 meter oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Peristiwa kecelakaan itu amat memprihatinkan bagi insan-insan yang masih berakal sehat. Pemotongan rel tersebut tentu mengakibatkan celaka dan kerugian bagi publik dan teristimewa bagi pemerintah. Sarana publik dirusak tanpa motif yang jelas.
Siapa pelakunya? Mengapa melakukannya? Yang jelas pelakunya bukan aparat perkeretaapian. Pelakunya pastilah dari warga biasa. Bisa jadi motif pelaku adalah kekecewaan pada pemerintah karena penderitaan hidup yang dideritanya. Bisa jadi pula, motifnya untuk meneror aparat negara. Bisa jadi pula pelaku ikut-ikutan trend budaya memotong (istilah penulis: cutting culture) yang dilakukan sebagian aparat penyelenggara negara terhadap dana anggaran pembangunan di negara ini, yang mengakibatkan kesulitan hidup bagi warga biasa. Yang jelas, pelakunya mempraktekkan budaya memotong yang berujung pada kerugian negara, seperti perilaku sebagian pejabat negeri ini,yang melakukan pemotongan dana anggaran perbaikan kehidupan publik.
“Cutting Culture” Membudaya
Bila ditelusuri perilaku memotong tersebut menjadi cermin kebanyakan perilaku warga di republik ini, khususnya para pejabat publik. Budaya potong-memotong sudah biasa kita dengar dalam kehidupan birokrasi di negeri tercinta ini.
Ada aparat desa yang melakukan pemotongan anggaran perbaikan kampung sehingga kampung tetap tertinggal dari perkampungan lainnya. Sebagian lagi memotong anggaran pembangunan jembatan sehingga jembatannya gampang runtuh. Ada oknum apara pendidikan memotong anggaran perbaikan pembangunan gedung sekolah SD sehingga bangunannya tidak bermutu dan mudah roboh serta menelan korban.
Di tempat lain, ada lagi aparat pemerintah daerah memotong dana anggaran pembangunan provinsi untuk keperluan istri dan anaknya. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan warga masyarakatnya, disalahgunakan untuk mencicil rumah anaknya, untuk membeli handphone istrinya, untuk membayar kredit mobil anak, dan untuk berekreasi ke Bali. Rakyatnya kelaparan, sementara ia dan keluarganya hidup mewah. Rakyat menangis, ia tertawa menikmati duit negara yang dikumpulkan dari rakyat..
Budaya memotong itu terjadi hampir di semua sektor pelayanan publik, seperti yang pernah terjadi di Balai Kota Jakarta pra-Pilkada yang lalu. Ketika hendak mencairkan dana alokasi umum (DAU), seorang petugas menghadapi pemotongan di setiap proses pencairan. Ujung-ujungnya jumlah anggaran bisa menciut menjadi 40% dari jumlah anggaran yang ada.
Belum lama ini pula, hal pemotongan terjadi pada dana alokasi biaya operasional sekolah (BOS) di lingkungan pendidikan dan bantuan langsung tunai (BLT) dalam rangka penanggulangan kemiskinan.
Budaya memotong sudah mengakar dalam budaya bangsa ini. Bila ditelisik di semua lingkup birokrasi baik pemerintah maupun swasta, budaya memotong lebih unggul dan lebih hebat. Budaya memotong terjadi mulai dari aparat negara dari level bawah hingga level atas. Kalau negara lain seperti India dan Cina memiliki keunggulan di bidang pembangunan teknologi dan ekonomi, maka Indonesia terkenal sebagai bangsa yang berbudaya unggul dalam hal memotong (cutting culture).
Budaya Unggul
Sebanarnya secara individu, kepintaran dan kompetensi manusia Indonesia dengan manusia Cina dan India tidak kalah. Ada beberapa individu dari siswa-siswi dari warga bangsa ini berhasil mengalahkan siswa-siswa sederajat dari mancanegara dalam ajang olimpiade internasional bidang matematika dan fisika. Tetapi secara global, mengapa negara India dan China bisa lebih unggul di berbagai bidang?
Perjalanan peradaban Indonesia mengalami stagnasi. Indonesia dipandang tidak unggul di berbagai bidang sebagai akibat dari mental serakah alias budaya memotong para elit politik dari kebanyakan pemimpinnya yang menetes kepada warganya. Faktor utama penghambatnya adalah budaya memotong alias rakus alias mementingkan ego diri dan keluarganya dan mengabaikan raison d’être-nya menjadi aparat negara atau pejabat publik. Faktor lainnya adalah akibat dari budaya memotong tersebut, kepintaran dan kompetensi sebagian warga bangsa ini tergerogoti dan ternafikan. Kerja keras dan kreativitas tersingkirkan oleh budaya korupsi. Proyek pembangunan gedung sekolah, perbaikan kampung, perbaikan jembatan tidak menghasilkan mutu yang diharapkan karena adanya budaya memotong tadi.
Sudah saatnya kita mempersiapkan budaya unggul dengan memulainya dari lingkungan keluarga kita. Budaya unggul adalah budaya elegan, budaya menang, budaya kuat, pandai dan awet terhadap bangsa lain. Budaya unggul mengedepankan sportifitas dan profesionalitas. Kita mempunyai mimpi dan nyali besar untuk menjadi lima besar negara maju di tahun 2030 (the big five). Itulah visi Indonesia tahun 2030. Untuk menwujudkan Indonesia menjadi negara unggul tersebut, maka pemerintah dan masyarakat wajib membangun dan memacu budaya unggul.
Untuk mencapai hal itu, lembaga keluarga dan pemerintah harus bekerja secara sinergis dalam memacu budaya unggul. Dari lingkup lembaga keluarga, pertama, anak-anak harus beri konsumsi gizi yang bagus untuk mengembangkan jaringan syaraf mereka. Kedua, anak-anak harus diberi stimulans (pemacu/ perangsang) agar dapat berpikir aktif dan kreatif. Ketiga, budaya jujur dan adil sudah harus ditanamkan dari lingkungan keluarga. Keempat, anak-anak harus diajak bermimpi dan bernyali besar. Orang tua harus menjadi teladan dalam hal menanamkan budaya jujur, adil dan sportif.
Dari sisi lembaga pemerintah, pertama, pemerintah harus memperbaiki birokrasi yang kerap melakukan budaya cutting dengan memperbaiki kesejahteraan aparatnya, kedua, pemerintah harus menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dalam rangka memacu budaya unggul.
Budaya cutting alias budaya yang suka memotong harus dipotong alias diberantas. Semua warga ini hendaknya memacu dan memilih budaya unggul, budaya elegan, budaya menang dalam menggapai tujuan bersama. Budaya memotong adalah budaya pecundang (loser).
* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta
Trima kasih mengunjungi blog kami!
Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Kamis, Agustus 30, 2007
"Cutting Culture" Uang Rakyat versus Budaya Unggul
Label:
agama,
berita,
budaya unggul,
integritas diri,
korupsi,
opini,
politik
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”
POLITIK AMORAL DAN “DEMOKRASI TANGGUNG JAWAB”
Oleh Pormadi Simbolon
Kecelakaan dan musibah yang terjadi di negeri ini memiliki unsur kesengajaan orang yang tidak bertanggung jawab. Diantaranya, rel kereta api (KA) yang digergaji, pasar yang berturut-turut terbakar di berbagai daerah, seperti Pasar Turi di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Palasari di Jawa Barat dan Pasar Ungaran di Jawa Tengah.
Mendengar hal itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung turun tangan. SBY memerintahkan Kepala Polri dan jajarannya menyelidiki seberapa jauh ada unsur kesengajaan. Setelah melakukan penyelidikan intensif, Kepala Polri melaporkan unsur kesengajaan itu ada. Presiden pun memerintahkan agar hal itu diusut tuntas.
Tindakan sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar tersebut menyangkut kehidupan rakyat banyak. Korban yang paling menderita adalah rakyat jelata, pedagang kecil dan kelompok masyarakat menengah. Jika benar, sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar itu disengaja, maka tindakan tersebut merupakan politik jahat alias tidak bermoral dalam sistem tata hidup bersama di negeri ini.
Sebut saja, Asri (42), pemilik Toko Buku Lestari di Pasar Palasari, mengalami kerugian sampai ratusan juta rupiah. Toko Buku Lestari merupakan sumber nafkah keluarga Asri. Dia menjadi bingung memikirkan biaya hidup keluarganya. Apalagi ia masih berutang kepada bank yang harus dicicil Rp 2,5 juta per bulan.
Di tengah penderitaan orang banyak dan situasi ketidakamanan seperti itu, para elit politik baik di pusat maupun di daerah sebagai aparatur negara dituntut untuk bertanggung jawab. Tugas merekalah untuk mewujudkan keadilan, keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Pelaku sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar yang secara sengaja dengan alasan dan tujuan apapun itu telah mempraktikkan politik tidak bermoral.
Politik Tidak Bermoral
Ada indikasi bahwa pelaku praktek cara pembakaran dan bumi hangus kerapkali diterapkan penguasa untuk tujuan menertibkan hunian liar dan pedagang kaki lima, membangun pasar modern atau kepentingan konglomerat. Seorang Kepala Sudin Tramtib Jakarta Utara,Toni Budiono, (Kompas,2/11/2001) mengaku menggunakan cara pembakaran atau bumi hangus untuk “menertibkan” hunian liar.
Penguasa seringkali melakukan pelarangan yang ditujukan kepada masyarakat bawah, namun tidak pernah memberikan perlindungan. Tindakan penggusuran dan pembakaran oleh oknum aparat tidak disertai dengan solusi yang melindungi dan menjamin keselamatan rakyat. Praktek pelarangan kepada rakyat tidak dibarengi dengan penindakan dan penangkapan terhadap aparat pemerintah yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Praktek politik pembakaran dan bumi hangus semakin menggejala dalam tata hidup bersama di daerah pasca desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No 22/1999. Penguasa otonomi daerah memiliki wewenang yang lebih luas. Penyalahgunaan wewenang pun bisa terjadi jika kekuasaan tanpa moralitas dan tanpa disertai dengan tanggung jawab atas amanat kepenguasaan yang dimilikinya.
Padahal tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis, mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran serta meningkatkan kapasitas publik. Keselamatan rakyat di daerah banyak merupakan tujuan inti otonomi daerah, bukannya untuk kepentingan penguasa, pengusaha dan sekelompok orang saja.
Kedudukan Pemda-Pemda pasca otonomi, bukanlah raja-raja kecil yang merasa memiliki kekuasaan mutlak di daerahnya. Ia tidak mengatasi hukum. Jika para penguasa merasa diri sebagai penguasa mutlak dan kebal terhadap hukum, maka terjadilah praktik politik pembakaran dan bumi hangus di daerahnya. Inilah yang disebut politik tanpa moralitas dan tanpa tanggung jawab.
“Demokrasi Tanggung Jawab”
Bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk membela dan menghidupi demokrasi. Pemerintahan atau pengelolaan kekuasaan harus didasarkan pada elemen-elemen dasar demokrasi dengan penekanan pada karakter personal tanggung jawab, baik tanggung jawab secara moral maupun secara hukum. Barangkali inilah yang dikatakan demokrasi tanggung jawab.
Politik Pemda dalam menata hidup bersama seyogiyanya dijalankan dengan memperhatikan tanggung jawab moral. Soal politik adalah soal tata hidup bersama. Soal moral adalah soal baik dan tidak baiknya suatu hal. Politik dan moral mempunyai hubungan langsung dan konkret. Politik harus dijalankan dengan memperhatikan baik-tidaknya sebuah kebijakan bagi keselamatan rakyat banyak. Hubungan tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan pada kekuasaan atau pada pribadi pemegang kekuasannya, melainkan pada hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial adalah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya.
Kebaikan, keadilan dan keselamatan rakyat banyak menjadi pusat segala hukum yang adil. Hukum yang adil menjadi hukum tertinggi. Kekuasaan seorang pemimpin di daerah entah yang sudah diperoleh melalui Pilkada langsung maupun tidak, berasal dari, oleh dan untuk rakyat banyak, terlebih rakyat kecil dan menengah dengan harapan keamanan dan keselamatan hidup harian mereka. Oleh sebab itu seorang pemerintah dan aparatnya seyogiyanya mengedepankan keamanan dan kesejahteraan orang rakyatnya, bukan malah mempraktekkan politik pembakaran dan bumi hangus yang menyebabkan kebanyakan rakyat semakin menderita.
Penguasa yang menggunakan politik pembakaran dan bumi hangus dalam pemerintahannya adalah penguasa yang tidak bermoral dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rakyatnya.
*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Oleh Pormadi Simbolon
Kecelakaan dan musibah yang terjadi di negeri ini memiliki unsur kesengajaan orang yang tidak bertanggung jawab. Diantaranya, rel kereta api (KA) yang digergaji, pasar yang berturut-turut terbakar di berbagai daerah, seperti Pasar Turi di Surabaya, Jawa Timur, Pasar Palasari di Jawa Barat dan Pasar Ungaran di Jawa Tengah.
Mendengar hal itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung turun tangan. SBY memerintahkan Kepala Polri dan jajarannya menyelidiki seberapa jauh ada unsur kesengajaan. Setelah melakukan penyelidikan intensif, Kepala Polri melaporkan unsur kesengajaan itu ada. Presiden pun memerintahkan agar hal itu diusut tuntas.
Tindakan sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar tersebut menyangkut kehidupan rakyat banyak. Korban yang paling menderita adalah rakyat jelata, pedagang kecil dan kelompok masyarakat menengah. Jika benar, sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar itu disengaja, maka tindakan tersebut merupakan politik jahat alias tidak bermoral dalam sistem tata hidup bersama di negeri ini.
Sebut saja, Asri (42), pemilik Toko Buku Lestari di Pasar Palasari, mengalami kerugian sampai ratusan juta rupiah. Toko Buku Lestari merupakan sumber nafkah keluarga Asri. Dia menjadi bingung memikirkan biaya hidup keluarganya. Apalagi ia masih berutang kepada bank yang harus dicicil Rp 2,5 juta per bulan.
Di tengah penderitaan orang banyak dan situasi ketidakamanan seperti itu, para elit politik baik di pusat maupun di daerah sebagai aparatur negara dituntut untuk bertanggung jawab. Tugas merekalah untuk mewujudkan keadilan, keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Pelaku sabotase rel KA dan pembakaran pasar-pasar yang secara sengaja dengan alasan dan tujuan apapun itu telah mempraktikkan politik tidak bermoral.
Politik Tidak Bermoral
Ada indikasi bahwa pelaku praktek cara pembakaran dan bumi hangus kerapkali diterapkan penguasa untuk tujuan menertibkan hunian liar dan pedagang kaki lima, membangun pasar modern atau kepentingan konglomerat. Seorang Kepala Sudin Tramtib Jakarta Utara,Toni Budiono, (Kompas,2/11/2001) mengaku menggunakan cara pembakaran atau bumi hangus untuk “menertibkan” hunian liar.
Penguasa seringkali melakukan pelarangan yang ditujukan kepada masyarakat bawah, namun tidak pernah memberikan perlindungan. Tindakan penggusuran dan pembakaran oleh oknum aparat tidak disertai dengan solusi yang melindungi dan menjamin keselamatan rakyat. Praktek pelarangan kepada rakyat tidak dibarengi dengan penindakan dan penangkapan terhadap aparat pemerintah yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Praktek politik pembakaran dan bumi hangus semakin menggejala dalam tata hidup bersama di daerah pasca desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No 22/1999. Penguasa otonomi daerah memiliki wewenang yang lebih luas. Penyalahgunaan wewenang pun bisa terjadi jika kekuasaan tanpa moralitas dan tanpa disertai dengan tanggung jawab atas amanat kepenguasaan yang dimilikinya.
Padahal tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis, mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran serta meningkatkan kapasitas publik. Keselamatan rakyat di daerah banyak merupakan tujuan inti otonomi daerah, bukannya untuk kepentingan penguasa, pengusaha dan sekelompok orang saja.
Kedudukan Pemda-Pemda pasca otonomi, bukanlah raja-raja kecil yang merasa memiliki kekuasaan mutlak di daerahnya. Ia tidak mengatasi hukum. Jika para penguasa merasa diri sebagai penguasa mutlak dan kebal terhadap hukum, maka terjadilah praktik politik pembakaran dan bumi hangus di daerahnya. Inilah yang disebut politik tanpa moralitas dan tanpa tanggung jawab.
“Demokrasi Tanggung Jawab”
Bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk membela dan menghidupi demokrasi. Pemerintahan atau pengelolaan kekuasaan harus didasarkan pada elemen-elemen dasar demokrasi dengan penekanan pada karakter personal tanggung jawab, baik tanggung jawab secara moral maupun secara hukum. Barangkali inilah yang dikatakan demokrasi tanggung jawab.
Politik Pemda dalam menata hidup bersama seyogiyanya dijalankan dengan memperhatikan tanggung jawab moral. Soal politik adalah soal tata hidup bersama. Soal moral adalah soal baik dan tidak baiknya suatu hal. Politik dan moral mempunyai hubungan langsung dan konkret. Politik harus dijalankan dengan memperhatikan baik-tidaknya sebuah kebijakan bagi keselamatan rakyat banyak. Hubungan tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan pada kekuasaan atau pada pribadi pemegang kekuasannya, melainkan pada hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial adalah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia yang bertindak menurut akal budinya.
Kebaikan, keadilan dan keselamatan rakyat banyak menjadi pusat segala hukum yang adil. Hukum yang adil menjadi hukum tertinggi. Kekuasaan seorang pemimpin di daerah entah yang sudah diperoleh melalui Pilkada langsung maupun tidak, berasal dari, oleh dan untuk rakyat banyak, terlebih rakyat kecil dan menengah dengan harapan keamanan dan keselamatan hidup harian mereka. Oleh sebab itu seorang pemerintah dan aparatnya seyogiyanya mengedepankan keamanan dan kesejahteraan orang rakyatnya, bukan malah mempraktekkan politik pembakaran dan bumi hangus yang menyebabkan kebanyakan rakyat semakin menderita.
Penguasa yang menggunakan politik pembakaran dan bumi hangus dalam pemerintahannya adalah penguasa yang tidak bermoral dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rakyatnya.
*Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Jumat, Agustus 24, 2007
Khilafah, Pancasila dan Indonesia
Khilafah, Pancasila dan Indonesia
Pormadi Simbolon
"Justru khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia," ujar Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto pada pembukaan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, Minggu (12/8) dalam menanggapi isu seputar maksud pertemuan itu. Dikatakan bahwa salah tujuan pertemuan tersebut adalah untuk kepemimpinan khilafah.
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu kepada Al Quran dan Hadis. Dalam sistem pemerintahan khilafah kepala negara tetap memegang jabatannya selama ia tunduk kepada syari’ah. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Enam puluh dua tahun Indonesia sudah merdeka, selama itu pula gerakan ekstremis bermunculan hendak mengubah dasar negara Indonesia dengan berdasarkan pada salah satu dogma agama tertentu. Hal itu semakin terlihat jelas pasca otoritarianisme Orde Baru. Kita menyaksikan tribalisme sektarian. Ruang-ruang publik dan hidup bersama kita dikepung sekawanan ekstremis yang memburu pembentukan Indonesia atas dasar dogma agama, dan mereka coba menghapus perbedaan antara "agama" dan "negara".
Tampaknya gerakan dan perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Hal itu tampak dalam pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sudah terbukti dalam sejarah bahwa gerakan mendirikan negara Islam yang dilakukan Darul Islam atau DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, yang berlanjut di daerah-daerah lain, seperti Aceh dan Sulawesi Selatan tidak berhasil. Sekarang ini juga ada yang menginginkan negara agama dalam bentuk cita-cita tegaknya Khilafah Islamiyah.
Sementara itu, dewasa ini kelompok-kelompok Islam berkehendak mengubah memperjuangkan gerakan islamisasi negeri ini melalui peraturan-peratuan daerah (Perda). Apakah Perda itu dapat membuat warga menikmati hidup kesehariannya secara lebih baik?
Benarkah Khilafah Menyelamatkan Indonesia?
Kaum nasionalis umumnya menolak pemerintahan dengan sistem khilafah. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU dengan tegas menolak penerapan sistem khilafah di Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan mendekonstruksi negara. (Kompas, 12/08/07)
Kaum nasionalis juga berpendapat bahwa politik transnasional tidak cocok diterapkan di Indonesia karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik di Indonesia.
Jika sistem khilafah diterapkan pasti akan berbenturan dengan sistem republik, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pancasila. Sebab jelas sekali, bahwa Negara Indonesia dibentuk bukan atas dasar salah satu agama. Dalam sistem khalifah, kepala negara memegang jabatannya selama ia tunduk pada syari’ah, sedang dalam sistem republik, kepala negara memegang jabatannya dalam waktu tertentu.
Pembentukan negara Indonesia yang sudah kita jalani selama 62 tahun ini oleh para bapa bangsa didasarkan pada prinsip ‘semua untuk semua’ bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan. Demikianlah Soekarno, proklamator RI ini pernah berkata, “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa? … Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk seseorang, untuk suatu golongan? … Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan… Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa…ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, [yaitu] dasar kebangsaan”. (M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta 1959, 68-69)
Pendiri bangsa ini telah melihat jauh ke depan, bahwa dasar negara Indonesia tidak tepat didasarkan pada dogma salah satu agama tertentu. Dasar negara seyogiyanya mengatasi kepentingan satu golongan, menembus kotak-kotak agama, merangkul semua penghuni negeri ini. Negara yang merangkul semua kepentingan warganya itulah yang akhirnya disepakai sebagai dasar negara dengan berdasarkan pada Pancasila yang berwawasan kebangsaan.
Baik tokoh-tokoh nasionalis maupun tokoh-tokoh muslimin sepakat menerima Pancasila sebagai dasar Negara RI berdasarkan pada prinsip: a) bahwa kaum muslim Indonesia melalui para pemimpinnya, ikut aktif dalam merumuskan dan sepakat menetapkan Undang-Undang Dasar 1945; b) bahwa nilai-nilai luhur Pancasila dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar Negara dan disepakai dan dibenarkan menurut pandangan Islam. (H. Achmad Siddiq dalam Sudjangi, penyunting 1992).
Kehendak membentuk Negara Indonesia dengan sistem khilafah Islamiyah jelas sekali tidak sesuai dengan Indonesia yang multikultural. Gerakan konseptualisasi negara Islam, atau Khilafah Islamiyah sesungguhnya bertabrakan dengan demokrasi. Tabrakannya terletak pada prinsip dasar, seperti pluralisme, ide kedaulatan, dan konstitusi. Demokrasi jelas menolak ide kedaulatan Tuhan dan berlakunya syariat Islam di dalam komunitas masyarakat plural, yang di dalam konsep negara Islam sebagai sesuatu yang prinsip. Ditambah lagi, dengan tidak adanya contoh konkret negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang ideal di dunia, bahkan di Timur Tengah yang memiliki tradisi Islam kuat. Apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran dapat disebut sebagai representasi prototipe negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya? (Khamami Zada, Suara pembaruan, 21/06/2007).
Barangkali, gerakan yang berkehendak untuk mengubah dasar negara RI tidak akan pernah berhenti. Namun sejarah akan membuktikan bahwa sistem negara yang merangkul kepentingan semualah yang akan menyelamatkan Indonesia. Bukan sistem yang mengedepankan kepentingan satu orang atau kelompok yang menyelamatkan Indonesia, tetapi kepentingan bersama alias bonum commune-lah yang menyelamatkan Indonesia.
"Kita" adalah realitas plural yang tidak akan menjadi tunggal. Tetapi, "kita" juga pluralitas yang sedang membentuk sebuah Indonesia yang maju, adil, makmur dan bermartabat. Ideologi Pancasila sudah menyerap semua kepentingan warga bangsa ini. Pancasila adalah untuk semua. Dasar negara adalah semua untuk semua, bukan untuk satu orang atau golongan. Hidup Pancasila!
* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana malang,
Tinggal di jakarta
Pormadi Simbolon
"Justru khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia," ujar Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto pada pembukaan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, Minggu (12/8) dalam menanggapi isu seputar maksud pertemuan itu. Dikatakan bahwa salah tujuan pertemuan tersebut adalah untuk kepemimpinan khilafah.
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu kepada Al Quran dan Hadis. Dalam sistem pemerintahan khilafah kepala negara tetap memegang jabatannya selama ia tunduk kepada syari’ah. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Enam puluh dua tahun Indonesia sudah merdeka, selama itu pula gerakan ekstremis bermunculan hendak mengubah dasar negara Indonesia dengan berdasarkan pada salah satu dogma agama tertentu. Hal itu semakin terlihat jelas pasca otoritarianisme Orde Baru. Kita menyaksikan tribalisme sektarian. Ruang-ruang publik dan hidup bersama kita dikepung sekawanan ekstremis yang memburu pembentukan Indonesia atas dasar dogma agama, dan mereka coba menghapus perbedaan antara "agama" dan "negara".
Tampaknya gerakan dan perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Hal itu tampak dalam pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sudah terbukti dalam sejarah bahwa gerakan mendirikan negara Islam yang dilakukan Darul Islam atau DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, yang berlanjut di daerah-daerah lain, seperti Aceh dan Sulawesi Selatan tidak berhasil. Sekarang ini juga ada yang menginginkan negara agama dalam bentuk cita-cita tegaknya Khilafah Islamiyah.
Sementara itu, dewasa ini kelompok-kelompok Islam berkehendak mengubah memperjuangkan gerakan islamisasi negeri ini melalui peraturan-peratuan daerah (Perda). Apakah Perda itu dapat membuat warga menikmati hidup kesehariannya secara lebih baik?
Benarkah Khilafah Menyelamatkan Indonesia?
Kaum nasionalis umumnya menolak pemerintahan dengan sistem khilafah. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU dengan tegas menolak penerapan sistem khilafah di Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan mendekonstruksi negara. (Kompas, 12/08/07)
Kaum nasionalis juga berpendapat bahwa politik transnasional tidak cocok diterapkan di Indonesia karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik di Indonesia.
Jika sistem khilafah diterapkan pasti akan berbenturan dengan sistem republik, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pancasila. Sebab jelas sekali, bahwa Negara Indonesia dibentuk bukan atas dasar salah satu agama. Dalam sistem khalifah, kepala negara memegang jabatannya selama ia tunduk pada syari’ah, sedang dalam sistem republik, kepala negara memegang jabatannya dalam waktu tertentu.
Pembentukan negara Indonesia yang sudah kita jalani selama 62 tahun ini oleh para bapa bangsa didasarkan pada prinsip ‘semua untuk semua’ bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan. Demikianlah Soekarno, proklamator RI ini pernah berkata, “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa? … Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk seseorang, untuk suatu golongan? … Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan… Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa…ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, [yaitu] dasar kebangsaan”. (M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta 1959, 68-69)
Pendiri bangsa ini telah melihat jauh ke depan, bahwa dasar negara Indonesia tidak tepat didasarkan pada dogma salah satu agama tertentu. Dasar negara seyogiyanya mengatasi kepentingan satu golongan, menembus kotak-kotak agama, merangkul semua penghuni negeri ini. Negara yang merangkul semua kepentingan warganya itulah yang akhirnya disepakai sebagai dasar negara dengan berdasarkan pada Pancasila yang berwawasan kebangsaan.
Baik tokoh-tokoh nasionalis maupun tokoh-tokoh muslimin sepakat menerima Pancasila sebagai dasar Negara RI berdasarkan pada prinsip: a) bahwa kaum muslim Indonesia melalui para pemimpinnya, ikut aktif dalam merumuskan dan sepakat menetapkan Undang-Undang Dasar 1945; b) bahwa nilai-nilai luhur Pancasila dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar Negara dan disepakai dan dibenarkan menurut pandangan Islam. (H. Achmad Siddiq dalam Sudjangi, penyunting 1992).
Kehendak membentuk Negara Indonesia dengan sistem khilafah Islamiyah jelas sekali tidak sesuai dengan Indonesia yang multikultural. Gerakan konseptualisasi negara Islam, atau Khilafah Islamiyah sesungguhnya bertabrakan dengan demokrasi. Tabrakannya terletak pada prinsip dasar, seperti pluralisme, ide kedaulatan, dan konstitusi. Demokrasi jelas menolak ide kedaulatan Tuhan dan berlakunya syariat Islam di dalam komunitas masyarakat plural, yang di dalam konsep negara Islam sebagai sesuatu yang prinsip. Ditambah lagi, dengan tidak adanya contoh konkret negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang ideal di dunia, bahkan di Timur Tengah yang memiliki tradisi Islam kuat. Apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran dapat disebut sebagai representasi prototipe negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya? (Khamami Zada, Suara pembaruan, 21/06/2007).
Barangkali, gerakan yang berkehendak untuk mengubah dasar negara RI tidak akan pernah berhenti. Namun sejarah akan membuktikan bahwa sistem negara yang merangkul kepentingan semualah yang akan menyelamatkan Indonesia. Bukan sistem yang mengedepankan kepentingan satu orang atau kelompok yang menyelamatkan Indonesia, tetapi kepentingan bersama alias bonum commune-lah yang menyelamatkan Indonesia.
"Kita" adalah realitas plural yang tidak akan menjadi tunggal. Tetapi, "kita" juga pluralitas yang sedang membentuk sebuah Indonesia yang maju, adil, makmur dan bermartabat. Ideologi Pancasila sudah menyerap semua kepentingan warga bangsa ini. Pancasila adalah untuk semua. Dasar negara adalah semua untuk semua, bukan untuk satu orang atau golongan. Hidup Pancasila!
* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana malang,
Tinggal di jakarta
Label:
Indonesia,
khilafah,
nilai-nilai pancasila,
NKRI,
politik
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
DISIPLIN DAN KEMERDEKAAN
DISIPLIN DAN KEMERDEKAAN
Oleh Pormadi Simbolon*
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan (KPK) per 15 Agustus 2007 tingkat kepatuhan bidang yudikatif hanya 43,77 persen. Dari total 20.991 penyeleggara negara, baru 9.188 orang yang telah melaporkan kekayaan ke KPK. Itu berarti hakim dan jaksa agung tergolong kelompok yang paling tidak berdisiplin.
Ketidakdisiplinan aparat penegak hukum melaporkan kekayaannya merupakan cermin kepribadian sebagian warga bangsa Indonesia. Jika para penyelenggara negara tidak berdisiplin, apalagi rakyatnya. Sebab kedisiplinan itu pada logikanya menetes dari para pimpinan (level atas) kepada masyarakat umum (level bawah).
Jika ditelusuri lebih dalam, para hakim dan jaksa merupakan salah satu pelaku penghakiman atas perilaku ketidaktaatan masyarakat pada hukum. Aneka putusan penggusuran terhadap sebagian warga masyarakat merupakan hasil dari keputusan para hakim. Namun justru kebanyakan dari mereka menjadi para pelaku ketidakdisiplinan itu.
Ketidakdisiplinan itu justru kontraproduktif terhadap kesejatian tugas mereka Mereka seharusnya bertugas menjaga supaya undang-undang negeri ditaati. Mereka semestinya bertugas mengadili dan memberikan keputusan perkara di pengadilan. Mereka seyogiyanya melakukan pemeriksaan dan menuntut hukuman bagi yang tidak mentaati aturan yang ada. Namun yang terjadi malah ketidaktaatan pada aturan yang mewajibkan mereka harus melaporkan kekayaannya.
Disiplin diri menjadi kunci kemajuan dan kesuksesan serta kebesaran orang-orang besar yang pernah hidup dalam sejarah. Seorang pemimpin, seorang olahragawan, seorang pengusaha, atau siapa saja bisa mencapai kesejatian di bidangnya masing karena pernah mempraktekkan disiplin diri. Sebut saja beberapa contoh pemimpin besar yang pernah ada, Presiden Soekarno, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim. Disiplin dirilah yang menghantar mereka menjadi seorang pemimpin yang disegani dan dikagumi.
Presiden Amerika Serikat (AS) ke-26, Theodore Rosevelt (1858-1919) pernah mengatakan, With self-discipline, most anything is possible, yang terjemahan bebasnya, “dengan disiplin diri, kebanyakan hal menjadi mungkin”. Gary Ryan Blair, seorang motivator negeri paman Sam, pernah berkata, self-dicipline is an act of cultivating. It require you to connect today’s action to tomorrows results. There’s a seasons for sowing a season of reaping. Self-discipline helps you know which is which. Inti pernyataan tersebut mau mengatakan bahwa barang siapa melatih disiplin diri, maka dia akan menuai hasilnya pula. Orang yang tidak berdisiplin diri akan menerima akibatnya.
Kemerdekaan
Baru saja kita memperingati hari proklamasi kemerdekaan RI yang keenampuluhdua. Peringatan itu membawa kita pada cita-cita, semangat, dan perjuangan para Bapa bangsa. Negara merdeka, berpaham kebangsaan yang terbuka, berideologi Pancasila yang menyerap dan merangkul kepentingan semua insan pertiwi yang mereka cetuskan sangat relevan dan aktual bagi bangsa Indonesia yang multikultural.
Kita sudah merdeka selama 62 tahun. Sepuluh tahun pula masa krisis sudah kita lalui. Namun masalah kesadaran akan ketaatan pada hukum masih rendah. Kemerdekaan belum kita isi dengan perubahan sikap dan perilaku. Kemerdekaan masih penuh dengan sikap dan perilaku merdeka untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok masing-masing.
Terasa sekali selama 10 tahun reformasi berjalan semua seperti dibiarkan berjalan sendiri. Sangat terbatas teladan pendidikan hukum dan disiplin yang diberikan kepada rakyat untuk membuat mereka bisa memahami esensi disiplin dan ketaatan pada hukum di negeri ini.
Semua orang menafsirkan disiplin dan hukum atas dasar pemahamannya sendiri. Seolah-olah hukum dan disiplin itu berarti merdeka untuk mencari keuntungan diri dan kelompoknya sendiri. Bahkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara itu diterjemahkan sesuai dengan keinginannya sendiri.
Enam puluh dua tahun merdeka dan sepuluh tahun pasca masa krisis ini seyogiyanya membuat kita terhentak untuk mengisi kemerdekaan ini dengan mengubah sikap dan perilaku dari sikap dan perilaku yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok kepada kepentingan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai sebagai bangsa dan megara Indonesia. Sikap dan perilaku taat pada hukum yang disepakati bersama adalah kunci kesuksesan dan kemajuan bangsa ini.
Praktek penegakan hukum dan disiplin berbangsa dan bernegara menjadi modal utama dalam persaingan global. China, India dan Singapura bisa menjadi beberapa negara yang perkembangan ekonominya paling cepat di dunia karena penegakan hukum dan disiplin yang tegas dan pasti. Siapa saja pelaku ketidaktaatan pada hukum termasuk para pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum, bahkan hukuman mati sekalipun.
Sayangnya di negeri ini, hukum dan sanksi hanya berlaku bagi wong cilik, tetapi tidak berlaku bagi para elit pejabat dan pengusaha di negeri ini. Para hakim dan jaksa yang tidak melaporkan kekayaannya misalnya, mereka tidak mendapat sanksi apapun atas ketidakdisiplinan melaporkan kekayaannya. Ketua MA, Bagir Manan sendiri mengamini bahwa ia tidak bisa memberi sanksi apapun termasuk sanksi administratif kepada bawahannya.
Jika sikap dan perilaku kita masih merdeka untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompok dan bukan bagi kesejahteraaan umum, maka visi Indonesia 2030 akan menjadi sekedar wacana dan ide yang bagus di atas kertas. Padahal persaingan antar bangsa di era globalisasi dewasa ini sangat ketat dan cepat.
Untuk menjadi bangsa dan negara yang disegani dalam percaturan global, dibutuhkan pemimpin dan semua eselonnya yang mampu berdisiplin diri dan lalu menerapkan disiplin itu kepada masyarakatnya.
* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana malang, tinggal di Jakarta
Oleh Pormadi Simbolon*
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan (KPK) per 15 Agustus 2007 tingkat kepatuhan bidang yudikatif hanya 43,77 persen. Dari total 20.991 penyeleggara negara, baru 9.188 orang yang telah melaporkan kekayaan ke KPK. Itu berarti hakim dan jaksa agung tergolong kelompok yang paling tidak berdisiplin.
Ketidakdisiplinan aparat penegak hukum melaporkan kekayaannya merupakan cermin kepribadian sebagian warga bangsa Indonesia. Jika para penyelenggara negara tidak berdisiplin, apalagi rakyatnya. Sebab kedisiplinan itu pada logikanya menetes dari para pimpinan (level atas) kepada masyarakat umum (level bawah).
Jika ditelusuri lebih dalam, para hakim dan jaksa merupakan salah satu pelaku penghakiman atas perilaku ketidaktaatan masyarakat pada hukum. Aneka putusan penggusuran terhadap sebagian warga masyarakat merupakan hasil dari keputusan para hakim. Namun justru kebanyakan dari mereka menjadi para pelaku ketidakdisiplinan itu.
Ketidakdisiplinan itu justru kontraproduktif terhadap kesejatian tugas mereka Mereka seharusnya bertugas menjaga supaya undang-undang negeri ditaati. Mereka semestinya bertugas mengadili dan memberikan keputusan perkara di pengadilan. Mereka seyogiyanya melakukan pemeriksaan dan menuntut hukuman bagi yang tidak mentaati aturan yang ada. Namun yang terjadi malah ketidaktaatan pada aturan yang mewajibkan mereka harus melaporkan kekayaannya.
Disiplin diri menjadi kunci kemajuan dan kesuksesan serta kebesaran orang-orang besar yang pernah hidup dalam sejarah. Seorang pemimpin, seorang olahragawan, seorang pengusaha, atau siapa saja bisa mencapai kesejatian di bidangnya masing karena pernah mempraktekkan disiplin diri. Sebut saja beberapa contoh pemimpin besar yang pernah ada, Presiden Soekarno, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim. Disiplin dirilah yang menghantar mereka menjadi seorang pemimpin yang disegani dan dikagumi.
Presiden Amerika Serikat (AS) ke-26, Theodore Rosevelt (1858-1919) pernah mengatakan, With self-discipline, most anything is possible, yang terjemahan bebasnya, “dengan disiplin diri, kebanyakan hal menjadi mungkin”. Gary Ryan Blair, seorang motivator negeri paman Sam, pernah berkata, self-dicipline is an act of cultivating. It require you to connect today’s action to tomorrows results. There’s a seasons for sowing a season of reaping. Self-discipline helps you know which is which. Inti pernyataan tersebut mau mengatakan bahwa barang siapa melatih disiplin diri, maka dia akan menuai hasilnya pula. Orang yang tidak berdisiplin diri akan menerima akibatnya.
Kemerdekaan
Baru saja kita memperingati hari proklamasi kemerdekaan RI yang keenampuluhdua. Peringatan itu membawa kita pada cita-cita, semangat, dan perjuangan para Bapa bangsa. Negara merdeka, berpaham kebangsaan yang terbuka, berideologi Pancasila yang menyerap dan merangkul kepentingan semua insan pertiwi yang mereka cetuskan sangat relevan dan aktual bagi bangsa Indonesia yang multikultural.
Kita sudah merdeka selama 62 tahun. Sepuluh tahun pula masa krisis sudah kita lalui. Namun masalah kesadaran akan ketaatan pada hukum masih rendah. Kemerdekaan belum kita isi dengan perubahan sikap dan perilaku. Kemerdekaan masih penuh dengan sikap dan perilaku merdeka untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok masing-masing.
Terasa sekali selama 10 tahun reformasi berjalan semua seperti dibiarkan berjalan sendiri. Sangat terbatas teladan pendidikan hukum dan disiplin yang diberikan kepada rakyat untuk membuat mereka bisa memahami esensi disiplin dan ketaatan pada hukum di negeri ini.
Semua orang menafsirkan disiplin dan hukum atas dasar pemahamannya sendiri. Seolah-olah hukum dan disiplin itu berarti merdeka untuk mencari keuntungan diri dan kelompoknya sendiri. Bahkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara itu diterjemahkan sesuai dengan keinginannya sendiri.
Enam puluh dua tahun merdeka dan sepuluh tahun pasca masa krisis ini seyogiyanya membuat kita terhentak untuk mengisi kemerdekaan ini dengan mengubah sikap dan perilaku dari sikap dan perilaku yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok kepada kepentingan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai sebagai bangsa dan megara Indonesia. Sikap dan perilaku taat pada hukum yang disepakati bersama adalah kunci kesuksesan dan kemajuan bangsa ini.
Praktek penegakan hukum dan disiplin berbangsa dan bernegara menjadi modal utama dalam persaingan global. China, India dan Singapura bisa menjadi beberapa negara yang perkembangan ekonominya paling cepat di dunia karena penegakan hukum dan disiplin yang tegas dan pasti. Siapa saja pelaku ketidaktaatan pada hukum termasuk para pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum, bahkan hukuman mati sekalipun.
Sayangnya di negeri ini, hukum dan sanksi hanya berlaku bagi wong cilik, tetapi tidak berlaku bagi para elit pejabat dan pengusaha di negeri ini. Para hakim dan jaksa yang tidak melaporkan kekayaannya misalnya, mereka tidak mendapat sanksi apapun atas ketidakdisiplinan melaporkan kekayaannya. Ketua MA, Bagir Manan sendiri mengamini bahwa ia tidak bisa memberi sanksi apapun termasuk sanksi administratif kepada bawahannya.
Jika sikap dan perilaku kita masih merdeka untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompok dan bukan bagi kesejahteraaan umum, maka visi Indonesia 2030 akan menjadi sekedar wacana dan ide yang bagus di atas kertas. Padahal persaingan antar bangsa di era globalisasi dewasa ini sangat ketat dan cepat.
Untuk menjadi bangsa dan negara yang disegani dalam percaturan global, dibutuhkan pemimpin dan semua eselonnya yang mampu berdisiplin diri dan lalu menerapkan disiplin itu kepada masyarakatnya.
* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana malang, tinggal di Jakarta
Pormadi Paternus Simbolon lahir di Parsiroan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendidikan SD berlangsung di SD Inpres Parsiroan (1982-1988), Pendidikan SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang (1988-1991), Pendidikan SMA di SMA Seminari Menengah Pematang Siantar(1991-1995). Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi FIlsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur (1995-2000. Menikah dengan Tjuntjun pada 8 Juli 2007. Sekarang tinggal di Jakarta. Anda bisa menghubungi saya di email: pormadi.simbolon@gmail.com atau phone: +622132574808
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Pengguna:Pormadi"
Langganan:
Postingan (Atom)