Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Maret 16, 2006

MENYOAL HIDUP KEBERAGAMAAN PEJABAT PUBLIK

MENYOAL HIDUP KEBERAGAMAAN PEJABAT PUBLIK

Oleh Pormadi Simbolon*


Menurut pemberitaan media massa, dua mantan pejabat penting departemen agama (Depag), Said Agil Al Munawar dan Taufik Kamil, harus menjalani sebagian sisa hidupnya dalam penjara karena kasus penyimpangan biaya penyelenggaraan ibadah haji. Peristiwa tersebut mengusik dan menyentuh ranah refleksi atas kualitas keberagamaan kita.

Sebelumnya, kedua mantan pejabat tersebut di mata dan di hadapan karyawan departemen agama dan teristimewa jemaat beragama pasti dipandang selain sebagai tokoh penting tetapi juga sebagai tokoh agama atau sosok yang pengetahuan dan penghayatan keberagamaannya mendalam.

Persoalannya bukan karena mereka sebagai pejabat penting negara saja, tetapi juga karena ketokohannya sebagai sosok yang dipandang cakap tentang agama itu sendiri serta sebagai pelayan publik yang berlabelkan departemen agama. Sejauh mana para oknum pejabat mewujudkan kualitas keberagamaannya dalam sikap dan perbuatan? Buah-buah apa yang dihasilkan dari penghayatan keberagamaannya?

Kontradiksi dengan Sikap dan Perbuatan
Menteri Agama, Mohammad M. Basyuni pernah mengatakan, pembangunan agama yang dilaksanakan selama ini belum optimal. Salah satu kekurangan mendasar yang perlu mendapat perhatian dari pejabat Depag beserta jajarannya adalah masih kurang memadainya pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang diajarkan agama di masyarakat. Kehidupan beragama pada sebagian masyarakat baru sebatas pencapaian simbol-simbol (Ikhlas Beramal, No. 39, Th.VIII, Nopember 2005).

Pernyataan Menteri Agama tersebut bisa kita saksikan di lapangan kehidupan masyarakat. Sikap dan perilaku sebagian pejabat negara (tidak hanya di Depag) kerapkali menyeleweng dari sumpah jabatan, tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan publik guna mencari keuntungan dan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sungguh kontradiktif memang antara sumpah jabatan dan perbuatan dalam tugas pelayanannya. Banyak oknum pejabat publik yang cenderung mementingkan kepentingan sendiri, memiliki budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mentalitas jalan pintas (jual-beli) gelar, ijazah, perkara peradilan dan jabatan), gaya hidup mewah di kalangan pejabat, berbagai bentuk tindak ilegal (penyelundupan, pemalsuan, pembajakan) dan kekerasan menjadi buah dari keberagamaannya.

Perilaku sekelompok oknum pejabat publik tersebut selain bertentangan dengan ajaran agama, juga ikut ambil bagian dalam merendahkan mutu kehidupan lahir-batin warga bangsa. Penderitaan rakyat yang semakin mendalam sampai ke tahap yang dapat menghapus pengharapan merupakan salah satu akibatnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, kehidupan moral pejabat di mata publik semakin berantakan dan terkesan negatif. Perilaku sebagian para pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan bagi karyawan/ bawahan dan masyarakat banyak justru menjadi sosok yang mencerminkan manusia egoistik, konsumeristik dan materialistik. Uang seringkali menjadi terlalu menentukan jalannya kehidupan dan pelayanan.

Memang kualitas hidup keberagamaan kita tergantung pada keterbukaan hati setiap pribadi dalam menerima, mengakui dan mewujudkan nilai-nilai ajaran keberagamaan (keadilan, kejujuran dan kemanusiaan) dalam perbuatan, namun berdampak sosial bila setiap pribadi melanggar nilai-nilai tersebut.
Refleksi-Ulang Hidup Keberagamaan kita


Agama seringkali gagal alias mandul dalam diri para pengkhotbah dan pemeluk agama, sebab ajaran agama tidak pernah dibatinkan dalam perilaku tetapi menjadi sekedar simbol-simbol yang menyelubungi perilaku ketidakadilan, ketidakjujuran dan ketidakmanusiawian.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bangsa kita sebagai bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain bangsa kita sebagai bangsa yang mengaku diri beragama. Namun buah-buah dari hidup keberagamaan kita belum menunjukkan buah-buah yang matang alias bisa dilihat dalam perbuatan adil, jujur dan memanusiawi.

Setiap agama, berperan sekurang-kurangnya sebagai pembawa nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran dan kemanusiaan. Ketidakadilan terhadap karyawan dan rakyat yang miskin, lemah, kecil dan marjinal adalah penghinaan kepada Allah Maha Pengasih. Ketidakjujuran dalam tugas pelayanan publik justru merendahkan makna kehidupan beragama. Sikap merendahkan bahkan mengucilkan orang lain sebagai manusia karena berbeda agama atau hal lainnya justru menghina Allah Pencipta.

Peran Agama Dalam Pembangunan Bangsa
Pada saat bangsa Indonesia sedang dalam giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi, perbaikan ekonomi dan kesejahteraan dan program penegakan keadilan, hukum, HAM dan demokrasi, di saat itu pulalah peran agama semakin penting. Peran agama adalah menagih nilai-nilai yang diajarkannya seperti nilai keadilan, kejujuran dan kemanusiaan dari setiap pemeluk agama (termasuk semua pejabat publik) dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang damai, adil dan sejahtera.


Pada 1998, saat Indonesia mengalami proses transisi dari masa Orde Baru menuju masa Reformasi, seorang agamawan, Nurcholish Madjid (Cak Nur) hadir sebagai penunjuk arah bangsa. Dia dengan tenang dan konsisten mendukung proses demokratisasi yang menghargai nilai keadilan, kejujuran dan kemanusiaan. Sosok Cak Nur merupakan model yang setia pada nilai-nilai agama Islam dan membuahkannya dalam sikap dan perilaku konkrit yang berguna bagi kemaslahatan banyak orang.

Demikian pula, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) memperjuangkan nasib rakyat minoritas, tertindas dan tersingkir. Ia tidak takut pada siapapun kecuali kepada Allah yang lewat penghayatan hidup keberagamaannya mengajarkan nilai keadilan, kejujuran dan kemanusiaan.

Masih banyak tokoh dan model yang tidak perlu disebut di sini, tetapi sesungguhnya mereka mewujudkan penghayatan hidup keberagamaannya dalam buah-buah yang bisa dinikmati banyak orang yaitu kebaikan bagi semua orang.


Sesungguhnya kita bisa menilai, bahwa keberagamaan seseorang dinilai bukan dari kata-kata atau khotbah yang keluar dari mulutnya tetapi dari buah-buah penghayatan keberagamaannya, yang lalu diwartakan dalam sikap dan perbuatan saat menjalankan tugas pelayanannya seturut panggilan hidup atau profesinya.


* Penulis adalah pengamat hidup sosial keberagamaan,
alumnus STFT Widya Sanana Malang, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger